Apa yang dimaksud dengan Sindroma Koroner Akut ?

Sindrom koroner akut adalah suatu kondisi terjadi pengurangan aliran darah ke jantung secara mendadak. Beberapa gejala dari sindrom ini adalah tekanan di dada seperti serangan jantung, sesak saat sedang beristirahat atau melakukan aktivitas fisik ringan, keringat yang berlebihan secara tiba-tiba (diaforesis), muntah, mual, nyeri di bagian tubuh lain seperti lengan kiri atau rahang, dan jantung yang berhenti mendadak (cardiac arrest).

Apa yang dimaksud dengan Sindroma Koroner Akut ?

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi saat terjadi pengurangan mendadak aliran darah ke jantung.


Gambar Mekanisme Penyebab Sindrom Koroner Akut

PATOFISIOLOGI

Sebagian besar Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).

Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

KLASIFIKASI SINDROM KORONER AKUT

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

  1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial infarction)
  2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction)
  3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)


Gambar Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Algoritma evaluasi dan tatalaksana Sindrom Koroner Akut
Gambar Algoritma evaluasi dan tatalaksana Sindrom Koroner Akut (Dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50)

Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

DIAGNOSIS

Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.


Gambar Gejala Sindrom Koroner Akut

1. Anamnesis.

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.

Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :

  1. Pria

  2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis)

  3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner, atau IKP

  4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)

Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) :

  1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)

  2. Nyeri abdomen tengah atau bawah

  3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.

  4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi

  5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik

  6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA, maka terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular.

2. Pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.

Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.

3. Pemeriksaan elektrokardiogram.

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV.

Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).

Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Tabel Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG
Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.

Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.

Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.

Rekaman EKG penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya

4. Pemeriksaan marka jantung.

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.

Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung
Gambar Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung (Dikutip dari Bertrand ME, et al. Eur Heart J 2002;23:1809–1840)

Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.

Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:

  1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.

  2. EKG normal atau nondiagnostik, dan

  3. Marka jantung normal

Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:

  1. Angina tipikal.

  2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.

  3. Peningkatan marka jantung

Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).

5. Pemeriksaan laboratorium.

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.

6. Pemeriksaan foto polos dada.

Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

TINDAKAN UMUM DAN LANGKAH AWAL

Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

  1. Tirah baring (Kelas I-C)

  2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)

  3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)

  4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)

  5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

    • Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B)
      atau

    • Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).

  6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti

  7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

Sumber :
Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia, Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut, 2015

ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL DAN INFARK MIOKARD NON ST ELEVASI

DIAGNOSIS

Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombang Q.

Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi.

Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI dan UAP adalah perawatan dalam Coronary Care Units, mengurangi iskemia yang sedang terjadi beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.

1 Presentasi klinik.

Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:

  1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh sebagian besar pasien (80%)

  2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.

  3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat; minimal kelas III klasifikasi CCS.

  4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah infark miokard

Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen, terutama pada wanita dan kaum lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai adalah awitan baru atau perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin, umur, dan jumlah faktor risiko tradisional.

Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai riwayat PJK, terutama infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi dari SKA. Keluhan yang sama pada seorang pria berumur lanjut (>70 tahun) dan menderita diabetes berpeluang menengah suatu SKA. Angina equivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil merupakan presentasi dari SKA, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi
Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi
(dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50:e1-157)

2. Pemeriksaan fisik.

Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai representasi SKA (Tabel Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi).

3. Elektrokardiogram.

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:

  1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
  2. Gelombang Q yang menetap
  3. Nondiagnostik
  4. Normal

Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.

Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm. Depresi segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang tinggi). Gelombang Q ≥ 0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi (Tabel Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi) sehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA
Gambar Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA (Dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50)

Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan dilanjutkan dengan rawat jalan.

4. Marka jantung.

Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut.

Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung
Gambar Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung (Dikutip dari Bertrand ME, et al. Eur Heart J 2002;23:1809–1840)

Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat.

Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:

  1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat
  2. Miokarditis
  3. Dissecting aneurysm
  4. Emboli paru
  5. Gangguan ginjal akut atau kronik
  6. Stroke atau perdarahan subarakhnoid
  7. Penyakit kritis, terutama pada sepsis

Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.

5. Pemeriksaan Noninvasif.

Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA.

Stresstest seperti exercise EKGyangtelahdibahassebelumnyadapatmembantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan marka jantung yang negatif.

Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.

6. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner).

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik.

Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.

DIAGNOSIS BANDING

Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung (stenosis dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri dada disertai perubahan EKG dan peningkatan marka jantung menyerupai yang terjadi pada pasien NSTEMI. Miokarditis dan perikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada, perubahan EKG, peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung menyerupai NSTEMI. Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG, peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung. Diagnosis banding non kardiak yang mengancam jiwa dan selalu harus disingkirkan adalah emboli paru dan diseksi aorta.

Tabel Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi (dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50:e1-157)
image

STRATIFIKASI RISIKO

Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction), dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik.

Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.

Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing- masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65 tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali keluhananginadalam 24 jamyangtelahlalu, peningkatanmarka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular < 8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk UAP/NSTEMI.

Tabel Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI
Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI

Tabel Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI
Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI

Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE
≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).

Tabel Skor GRACE
Skor GRACE
Skor GRACE

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi GRACE.

Tabel Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip
Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip
(dikutip dari Killip T, Kimball JT (Oct 1967). “Treatment of myocardial infarction in a coronary care unit. A two year experience with 250 patients”. Am J Cardiol. 20 (4): 457–64.)

Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.

Tabel Skor risiko perdarahan CRUSADE
Skor risiko perdarahan CRUSADE
Skor risiko perdarahan CRUSADE

Risiko perdarahan mayor berdasarkan skor perdarahan CRUSADE
Gambar Risiko perdarahan mayor berdasarkan skor perdarahan CRUSADE

Berdasarkan skor CRUSADE, pasien dapat ditentukan dalam berbagai tingkat risiko perdarahan, yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE
image

Selain stratifikasi risiko yang telah disebutkan di atas, untuk tujuan revaskularisasi dan strategi invasif, pasien juga dibagi dalam beberapa kelompok risiko, yaitu risiko sangat tinggi dan risiko tinggi. Penentuan faktor risiko ini berperan dalam penentuan perlu-tidaknya dilakukan angiografi dan waktu dari tindakan tersebut. Kriteria faktor risiko untuk strategi invasif dapat dilihat di tabel berikut ini.

Tabel Kriteria stratifikasi risiko sangat tinggi untuk strategi invasif
Kriteria stratifikasi risiko sangat tinggi untuk strategi invasif

Tabel Kriteria stratifikasi risiko tinggi untuk strategi invasif
Kriteria stratifikasi risiko tinggi untuk strategi invasif

PERTANDA PENINGKATAN RISIKO

1 Pertanda klinis.

Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti usia lanjut, adanya diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis pasien dapat diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya gejala saat istirahat memberikan prognosis yang buruk. Selain itu, nyeri yang berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia, hipotensi dan gagal jantung juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan memerlukan diagnosis dan penanganan segera.

2. Pertanda EKG.

Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien dengan EKG yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan mereka dengan inversi gelombang T. Selain itu, adanya depresi segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang dalam di sadapan anterior, depresi segmen ST ≥0,1 mV atau ≥0,05 mV di dua atau lebih sadapan yang bersebelahan, dan elevasi segmen ST ≥0,1 mV di sadapan aVR memberikan prognosis yang lebih buruk.

TERAPI

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:

  1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C).
    Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high risk)
  2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)
    Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) primer
  3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)
    Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau dengan gejala berulang
  4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (Kelas III-A)
    Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin.

Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:

  • Nyeri dada tidak berulang
  • Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
  • Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6 hingga 9)
  • Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9)
  • Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini berdasarkan evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif.

Risk Score >3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi.
Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas.

Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:

1. Anti Iskemia

  • Penyekat Beta (Beta blocker).

    Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.

    Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I-B). Beberapa penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat pada tabel 12.

    Tabel Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA
    image

  • Nitrat.

    Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.

    1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina (Kelas I-C).

    2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).

    3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).

    4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
      <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C).

    5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C).

    Tabel Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
    Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

  • Calcium channel blockers (CCBs).

    Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA

    Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.

    1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
    2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
    3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).
    4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C).
    5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas III-B).

    Tabel Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
    Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA

2. Antiplatelet

  1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).

  2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).

  3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).

  4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).

  5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).

  6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).

  7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).

  8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).

  9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).

  10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B).

  11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2 selektif dan NSAID non-selektif) (Kelas III-C).

    Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent.

    Tabel Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
    image

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).

4. Antikogulan.

Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.

  1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).

  2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).

  3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).

  4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).

  5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).

  6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).

  7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).

  8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

    Tabel Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA
    Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan

  1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).

  2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C).

  3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).

6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.

  1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).

  2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).

  3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas I-B).

Tabel Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA
Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA

7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.

POPULASI DAN SITUASI KHUSUS

Perhatian khusus perlu diberikan pada pasien dengan diabetes, usia lanjut, jenis kelamin wanita, penyakit ginjal kronik, dan anemia.

1. Diabetes.

Kurang lebih 20-30% pasien NSTEMI diketahui menderita diabetes, dan kurang lebih 20-30% menderita diabetes yang tidak terdiagnosis, atau toleransi glukosa terganggu. Semua pasien NSTEMI perlu diperiksa adanya diabetes, dan apabila diketahui riwayat diabetes atau hiperglikemia, kadar gula darah perlu diawasi (Kelas I-C). Kadar gula darah perlu dijaga dari hiperglikemia (>180-200 mg/dL) dan hipoglikemia (<90 mg/dL) (Kelas I-B). Pemberian antitrombotik pada pasien diabetes serupa dengan pasien non-diabetik (Kelas I-C). Fungsi ginjal pada pasien diabetes perlu diperhatikan secara ketat setelah pemberian kontras (Kelas I-C). Pada pasien diabetes, disarankan untuk melakukan strategi invasif awal (Kelas I-A). Pembedahan CABG lebih disarankan dibandingkan dengan IKP untuk pasien diabetik dengan lesi di batang utama dan/atau penyakit multipembuluh yang lanjut (Kelas I-B).

2. Usia lanjut.

Pasien dengan usia lanjut (>75 tahun) sering memiliki presentasi yang atipikal, sehingga perlu diinvestigasi untuk NSTEMI meskipun tingkat kecurigaan rendah (Kelas I-C). Pemilihan pengobatan untuk pasien usia lanjut dibuat dengan mempertimbangkan perkiraan sisa hidup, komorbiditas, kualitas kehidupan, serta keinginan dan pilihan pasien (Kelas I-C). Pemilihan dan dosis obat-obat antitrombotik perlu disesuaikan untuk mencegah kejadian efek samping (Kelas I-C). Pertimbangan strategi invasif awal dengan kemungkinan revaskularisasi dibuat berdasarkan risiko dan manfaat (Kelas IIa-B).

3. Jenis kelamin

Kedua jenis kelamin perlu dievaluasi dan ditangani dengan cara yang serupa (Kelas I-B). Meskipun demikian, wanita yang datang dengan NSTEMI biasanya berusia lebih lanjut dan lebih sering menderita diabetes, hipertensi, gagal jantung, dan berbagai komorbiditas lainnya, serta sering menampilkan gejala atipikal seperti dispnea atau gejala gagal jantung. Prognosis NSTEMI pada pria dan wanita serupa kecuali pada usia lanjut, di mana wanita memiliki prognosis lebih baik daripada pria. Untuk perdarahan, wanita dengan NSTEMI memiliki risiko yang lebih tinggi.

4. Penyakit ginjal kronik

Disfungsi ginjal ditemukan pada 30-40% pasien NSTEMI. Fungsi ginjal sebaiknya dievaluasi pada semua pasien dengan risiko PGK sebagai eGFR dengan rumus MDRD karena mengikutsertakan etnis dan jenis kelamin dalam penghitungannya. Namun dalam praktek klinis, klirens kreatinin dapat pula dihitung dengan rumus Cockroft-Gault. Pasien NSTEMI dengan PGK perlu mendapatkan antitrombotik yang sama dengan pasien tanpa PGK dengan menyesuaikan dosis terkait tingkat disfungsi ginjal yang dimiliki (Kelas I-B).

Dosis pengobatan perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal. Untuk clopidogrel, tidak ada informasi untuk pasien dengan disfungsi ginjal, sementara dosis ticagrelor tidak dipengaruhi fungsi ginjal (namun tidak diketahui untuk pasien dialisis). Fondaparinuks merupakan obat pilihan untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal moderat (klirens kreatinin 30-60 mL/menit) namun diindikasikontrakan pada gagal ginjal berat (klirens kreatinin <20 mL/menit). Penurunan dosis enoksaparin perlu dilakukan pada gagal ginjal berat (klirens kreatinin <30 mL/menit) menjadi 1 mg/kg sekali sehari.

5. Anemia

SKA yang disertai anemia dikaitkan dengan prognosis yang buruk untuk kematian akibat kejadian kardiovaskular, MI, atau iskemia rekuren. Anemia yang menetap atau memburuk berhubungan dengan mortalitas atau kejadian gagal ginjal yang meningkat setelah perawatan rumah sakit. Hemoglobin baseline yang rendah merupakan marker independen risiko iskemia dan kejadian perdarahan sehingga pengukuran hemoglobin disarankan untuk stratifikasi risiko (Kelas I-B). Transfusi darah hanya disarankan untuk kasus- kasus status hemodinamik yang terganggu atau Hb <8 g/dL atau Ht <25% (Kelas I-C).

MANAJEMEN JANGKA PANJANG DAN PENCEGAHAN SEKUNDER

Pencegahan sekunder penting dilakukan karena kejadian iskemik cenderung terjadi dengan laju yang tinggi setelah fase akut. Beberapa pengobatan jangka panjang yang direkomendasikan adalah:

  1. Aspirin diberikan seumur hidup, apabila dapat ditoleransi pasien.

  2. Pemberian penghambat reseptor ADP dilanjutkan selama 12 bulan kecuali bila risiko perdarahan tinggi

  3. Statin dosis tinggi diberikan sejak awal dengan tujuan menurunkan kolesterol LDL <70 mg/dL (Kelas I-B).

  4. Penyekat beta disarankan untuk pasien dengan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF ≤40%) (Kelas I-A).

  5. ACE-I diberikan dalam 24 jam pada semua pasien dengan LVEF ≤40% dan yang menderita gagal jantung, diabetes, hipertensi, atau PGK, kecuali diindikasikontrakan (Kelas I-B).

  6. ACE-I juga disarankan untuk pasien lainnya untuk mencegah berulangnya kejadian iskemik, dengan memilih agen dan dosis yang telah terbukti efikasinya (Kelas I-B).

  7. ARB dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi ACE-I, dengan memilih agen dan dosis yang telah terbukti efikasinya (Kelas I-B).

  8. Antagonis aldosteron disarankan pada pasien setelah MI yang sudah mendapatkan ACE-I dan penyekat beta dengan LVEF ≤35% dengan diabetes atau gagal jantung, apabila tidak ada disfungsi ginjal yang bermakna (kreatinin serum >2,5 mg/dL pada pria dan >2 mg/dL pada wanita) atau hiperkalemia (Kelas I-A).

Selain rekomendasi di atas, pasien juga disarankan menjalani perubahan gaya hidup terutama yang terkait dengan diet dan berolahraga teratur.

Sumber :
Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia, Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut, 2015

INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI SEGMEN ST

Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah angina tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI). Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

PERAWATAN GAWAT DARURAT

Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.

Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.

Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.

Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:

  1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit

  2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:

    • Untuk fibrinolisis ≤30 menit
    • Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP)

DELAY (KETERLAMBATAN)

Pencegahan delay ama tpenting dalam penanganan STEMI karena waktu paling berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat awal, di mana pasien mengalami nyeri yang hebat dan kemungkinan mengalami henti jantung. Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien dengan kecurigaan infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin begitu diperlukan. Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat bermanfaat. Jadi, delay harus diminimalisir sebisa mungkin untuk meningkatkan luaran klinis. Selain itu delay pemberian pengobatan merupakan salah satu indeks kualitas perawatan STEMI yang paling mudah diukur. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah sakit saat menangani pasien STEMI perlu dicatat dan diawasi secara teratur untuk memastikan kulaitas perawatan tetap terjaga. Beberapa komponen delay dalam penanganan STEMI dapat dilhat pada gambar dibawah ini.

Komponen delay dalam STEMI dan interval ideal untuk intervensi
Gambar Komponen delay dalam STEMI dan interval ideal untuk intervensi

1. Delay pasien

Adalah keterlambatan yang terjadi antara awitan gejala hingga tercapainya kontak medis pertama. Untuk meminimalisir delay pasien, masyarakat perlu diberikan pemahaman mengenai cara mengenal gejala-gejala umum infark miokard akut dan ditanamkan untuk segera memanggil pertolongan darurat. Pasien dengan riwayat PJK dan keluarganya perlu mendapatkan edukasi untuk mengenal gejala IMA dan langkah-langkah praktis yang perlu diambil apabila SKA terjadi.

2. Delay antara kontak medis pertama dengan diagnosis

Penilaian kualitas pelayanan yang cukup penting dalam penanganan STEMI adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil EKG pertama. Di rumah sakit dan sistem medis darurat yang menangani pasien STEMI, tujuan ini sebaiknya dicapai dalam 10 menit atau kurang.

3. Delay antara kontak medis pertama dengan terapi reperfusi

Dikenal juga sebagai delay sistem, komponen ini lebih mudah diperbaiki melalui pengaturan organisasi dibandingkan dengan delay pasien. Delay ini merupakan indikator kualitas perawatan dan prediktor luaran. Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah IKP primer, diusahakan delay (kontak medis pertama hingga masuknya wire ke arteri yang menjadi penyebab) ≤90 menit (≤60 menit bila kasus risiko tinggi dengan infark anterior besar dan pasien datang dalam 2 jam). Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah fibrinolisis, diusahakan mengurangi delay (waktu kontak pertama dengan tindakan) menjadi ≤30 menit.

Di rumah sakit yang mampu melakukan IKP, target yang diinginkan adalah ‘door-to-balloon’ delay ≤ 60 menit antara datangnya pasien ke rumah sakit dengan IKP primer. Delay yang terjadi menggambarkan performa dan kualitas organisasi rumah sakit tersebut.

Dari sudut pandang pasien, delay antara awitan gejala dengan pemberian terapi reperfusi (baik dimulainya fibrinolisis atau masuknya wire ke arteri penyebab) merupakan yang paling penting, karena jeda waktu tersebut menggambarkan waktu iskemik total, sehingga perlu dikurangi menjadi sesedikit mungkin.

TERAPI REPERFUSI

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru.

Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.

1. Intervensi koroner perkutan primer

IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer.

Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis.

Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS)

  1. Farmakoterapi periprosedural
    Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena (Kelas I-C). Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:

    1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari) (Kelas I-B).

    2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan (Kelas I-C).

Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain:

  1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau
    enoksaparin (Kelas I-C).

  2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas IIb-B).

  3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B).

  4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP primer (Kelas III-A).

Tabel Rekomendasi terapi reperfusi
image

2. Terapi fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat- tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I-A). Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.

Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).

Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:

  1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas I-A).

  2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus selama 3 hari (Kelas I-C).

  3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-B).

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien (Kelas I-A). IKP “rescue” diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-B). Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.

Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk gagaljantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial (Kelas I-A). Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A). Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A).

Tabel Rekomendasi terapi fibrinolitik
Rekomendasi terapi fibrinolitik
Rekomendasi terapi fibrinolitik
Rekomendasi terapi fibrinolitik

Langkah-langkah reperfusi
Gambar Langkah-langkah reperfusi

Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI

Langkah 1: Nilai waktu dan risiko

  • Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan tanda dan gejala iskemik)

  • Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis

  • Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP (<120 menit)

Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus tersebut

Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.

Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:

  • Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan untuk strategi invasif

  • Strategi invasif tidak dapat dilakukan

    • Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
    • Kesulitan mendapatkan akses vaskular
    • Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP dalam waktu <120 menit
  • Halangan untuk strategi invasif

    • Transportasi bermasalah
    • Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
    • Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih dari 90 menit

Bila sudah diputuskan fibrinolisis, harus segera diberikan di IGD untuk meminimalisir keterlambatan reperfusi

Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:

  • Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan

    • Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
      kurang dari 90 menit
    • Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
  • Risiko tinggi STEMI

    • Syok kardiogenik
    • Kelas Killip ≥ 3
  • Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan dan perdarahan intrakranial

  • Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala

  • Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

Tabel Indikasi kontra terapi fibrinolitik
image

Tabel Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut
image

3. Koterapi antikogulan

  1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A)

  2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian (Kelas IIa-B)

  3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.

  4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini merupakan rekomendasi dosis:

    • Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah diberikan (Kelas II-C).
    • Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)
    • Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/ IIIa (Kelas II-C)
  5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C)

SUBBAGIAN KHUSUS

Pria dan wanita harus mendapatkan penanganan yang sama (Kelas I-C). Namun demikian, wanita cenderung datang belakangan dan lebih sering memiliki gejala atipikal. Kecurigaan infark miokard yang tinggi harus dipertahankan untuk pasien wanita, diabetes, dan pasien-pasien lanjut usia dengan gejala- gejala atipikal (Kelas I-B). Pasien lanjut usia sering datang dengan gejala ringan atau atipikal, yang sering menyebabkan diagnosis yang terlambat atau bahkan keliru. Pasien lanjut usia juga memiliki risiko perdarahan yang lebih tinggi disertai komplikasi lainnya, mengingat kecenderungan fungsi ginjal yang menurun serta prevalensi komorbiditas yang tinggi pada kelompok ini.

Pemberian dosis yang tepat perlu diperhatikan pada pemberian antitrombotik untuk pasien lanjut usia dan gagal ginjal (Kelas I-B). Disfungsi ginjal dapat ditemukan pada 30-40% pasien SKA dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk serta peningkatan risiko perdarahan. Keputusan pemberian reperfusi pada pasien STEMI seyogyanya dibuat sebelum tersedianya penilaian fungsi ginjal, namun laju filtrasi glomerulus perlu diperkirakan dari saat pasien datang, mengingat pasien SKA dengan PGK sering mengalami overdosis antitrombotik yang akan menyebabkan peningkatan risiko perdarahan.

Untuk pasien-pasien dengan perkiraan klirens kreatinin <60 mL/menit, penyesuaian dosis aspirin, clopidogrel, ticagrelor, fondaparinuks dan heparin yang tidak terfraksi (dosis bolus) tidak diperlukan. Sampai saat ini belum ada informasi mengenai dosis ticagrelor dan fondaparinuks untuk pasien dengan ESRD atau yang menjalani dialisis. Untuk enoksaparin, dosis bolus tidak memerlukan penyesuaian, tetapi setelah trombolisis, pasien dengan klirens kreatinin <30 mL/menit hanya diberikan dosis subkutan sekali setiap 24 jam. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat (GFR 30-59 mL/menit), dosis infus inisial bivalirudin diturunkan menjadi 1,4 mg/kg/jam sedangkan dosis bolus tidak dirubah. Bivalirudin diindikasikontrakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal berat (GFR <30 mL/menit) dan pasien dialisis.

LOGISTIK

Semua rumah sakit yang berpartisipasi dalam perawatan pasien-pasien STEMI harus memiliki Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) yang mampu menangani berbagai aspek perawatan, termasuk penanganan iskemia, gagal jantung berat, aritmia dan komorbid lain yang biasa terjadi (Kelas I-C). Pasien-pasien yang menjalani terapi reperfusi yang berhasil tanpa komplikasi perlu diobservasi selama minimum 24 jam di ICCU, kemudian dipindahkan ke tingkat pengawasan yang lebih rendah (step-down monitoring) selama 24-48 jam berikutnya (Kelas I-C).

PENILAIAN RISIKO DAN PENCITRAAN

Setelah terapi reperfusi, penting untuk menentukan pasien yang memiliki risiko tinggi menderita kejadian selanjutnya seperti re-infark atau kematian, agar dapat dilakukan intervensi dan pencegahan yang sesuai. Mengingat risiko kejadian berkurang seiring dengan waktu, penilaian risiko harus dilakukan sejak dini.

Selama fase akut, ketika diagnosis tidak dapat dipastikan, ekokardiografi darurat dapat berguna. Namun, bila inkonklusif atau tidak didapatkan penemuan dan ada keraguan yang menetap, angiografi darurat perlu dipertimbangkan (Kelas I-C).

Setelah fase akut, pasien-pasien perlu menjalani ekokardiografi untuk penilaian ukuran infark dan fungsi ventrikel kiri pada istirahat (Kelas I-B). Pada pasien-pasien dengan gangguan multipembuluh, atau yang dipertimbangkan untuk menjalani revaskularisasi pembuluh darah lainnya, diindikasikan untuk dilakukan stress testing atau pencitraan untuk iskemia dan viabilitas (Kelas I-A).

TERAPI JANGKA PANJANG

Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien dipulangkan.

Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:

  1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok, dengan ketat (Kelas I-B)

  2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa henti (Kelas I-A)

  3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan setelah STEMI (Kelas I-C)

  4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)

  5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin sejak datang (Kelas I-C)

  6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)

  7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A). Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).

  8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia (Kelas I-B).

KOMPLIKASI STEMI

1. Gangguan hemodinamik

  1. Gagal Jantung

    Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis.

    Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi.

    Peningkatan marka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-BNP menandakan peningkatan stress dinding miokardium dan telah terbukti berperan dalam menentukan diagnosis, staging, perlunya rawat jalan atau pemulangan pasien dan mengenali pasien yang berisiko mengalami kejadian klinis yang tidak diharapkan. Selain itu, nilai marka jantung tersebut dipengaruhi beberapa keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia, iskemia, disfungsi ginjal, usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang dijalani. Sejauh ini belum ada nilai rujukan definitif pada pasien-pasien dengan tanda dan gejala gagal jantung setelah infark akut, dan nilai yang didapatkan perlu diinterpretasikan berdasarkan keadaan klinis pasien.

    Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor terkuat untuk mortalitas setelah terjadinya STEMI. Mekanisme terjadinya disfungsi ventrikel kiri dalam fase akut mencakup hilangnya dan remodeling miokardium akibat infark, disfungsi iskemik (stunning), aritmia atrial dan ventrikular serta disfungsi katup (baik yang sudah ada atau baru). Komorbiditas seperti infeksi, penyakit paru, gangguan ginjal, diabetes atau anemia seringkali menambah gejala yang terlihat secara klinis. Derajat kegagalan jantung setelah infark dapat dibagi menurut klasifikasi Killip yang dapat dilihat di bagian Stratifikasi Risiko dalam bab NSTEMI.

    Penilaian hemodinamik dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik lengkap, pemantauan EKG, saturasioksigen, tekanandarahdanpengukuran urineoutput setiap jam. Pasien yang dicurigai menderita gagal jantung perlu dievaluasi segera menggunakan ekokardiografi transtorakal atau Doppler. Ekokardiografi merupakan alat diagnosis utama dan perlu dilakukan untuk menilai fungsi dan volume ventrikel kiri, fungsi katup, derajat kerusakan miokardium, dan untuk mendeteksi adanya komplikasi mekanis. Evaluasi Doppler dapat memberikan gambaran aliran, gradien, fungsi diastolik dan tekanan pengisian. Pemeriksaan Roentgen dada dapat menilai derajat kongesti paru dan mendeteksi keadaan penting lain seperti infeksi paru, penyakit paru kronis dan efusi pleura.

    Pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan cara-cara konvensional yang terdeteksi sedang mengalami iskemia, elevasi segmen ST atau LBBB baru, perlu dipertimbangkan revaskularisasi lanjut.

    Pasien dengan jejasmiokardium luas dalam fase akut dapat menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung kronik. Diagnosis ini memerlukan penatalaksanaan sesuai panduan gagal jantung kronik. Beberapa pasien dengan gagal jantung kronik simtomatis di mana fraksi ejeksi berkurang atau terdapat dis-sinkroni elektrik yang ditunjukkan dengan pemanjangan QRS memenuhi kriteria implantasi defibrilator kardioverter, cardiac resynchronization therapy (CRT), atau defibrilator terapi resinkronisasi jantung.

    • Hipotensi
      Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output.

    • Kongesti paru
      Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.

    • Keadaan output rendah
      Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan.

    • Syok kardiogenik
      Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK (SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru.

      Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2, L/menit/ m2 dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya <20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi mitral. Adanya disfungsi ventrikel kanan pada ekokardiografi awal juga merupakan prediktor penting prognosis yang buruk, terutama dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks volume sekuncup awal dan follow- up serta follow-up stroke work index merupakan prediktor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas 30 hari pada pasien dengan syok kardiogenik dan lebih berguna daripada variabel hemodinamik lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok kardiogenik tidak mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel kiri dan curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi ventrikel kiri dan komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan ekokardiografi Doppler 2 dimensi.

  2. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut

    Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11±5 hari sejak infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%.
    Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal (<48 jam) atau VT yang berkelanjutan pada pasien dengan infark miokard akut masih kontroversial. Pada pasien dengan infark miokard akut, VF/VT yang terjadi awal merupakan indikator peningkatan risiko mortalitas 30 hari (22% vs 5%) dibandingkan dengan pasien tanpa VF/VT. ACE-I atau ARB mengurangi mortalitas 30 hari pasien-pasien ini. Studi-studi lain menyatakan bahwa pemberian penyekat beta dalam 24 jam pertama setelah infark miokard akut pada pasien dengan VF/VT yang berlanjut dikaitkan dengan berkurangnya mortalitas tanpa diikuti perburukan gagal jantung.

    Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa. Keadaan-keadaan tersebut memerlukan perhatian dan penanganan segera. Blok AV derajat tinggi dulunya merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kematian akibat jantung dibandingkan dengan takiaritmia pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% setelah infark miokard.

    • Aritmia supraventrikular

      Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam dan seringkali berulang. Seringkali aritmia dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memerlukan pengobatan selain antikoagulasi. Dalam beberapa kasus laju ventrikel menjadi cepat dan dapat menyebabkan gagal jantung sehingga perlu ditangani dengan segera. Kendali laju yang cukup diperlukan untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan dapat dicapai dengan pemberian penyekat beta atau mungkin antagonis kalsium, baik secara oral maupun intravena.

      Beberapa (namun tidak semua) penelitian menyatakan bahwa terjadinya fibrilasi atrium dalam keadaan infark miokard akut merupakan prediktor independen untuk all-cause mortality, dan tidak tergantung dari pengobatan yang diberikan. Fibrilasi atrium tidak hanya meningkatkan risiko stroke iskemik selama perawatan namun juga selama follow-up, bahkan pada AF paroksismal yang telah kembali menjadi irama sinus saat pasien dipulangkan. Pasien dengan AF dan faktor risiko untuk tromboembolisme perlu menjalani terapi antikoagulasi oral secara benar. Karena AF biasanya memerlukan antikoagulasi, pemilihan stent DES saat re-stenosis perlu dipertimbangkan secara hati-hati terhadap risiko perdarahan serius yang dikaitkan dengan kombinasi tiga terapi antitrombotik yang berkepanjangan.

      Takikardia supraventrikular jenis lain amat jarang terjadi, self-limited dan biasanya membaik dengan manuver vagal. Adenosin intravena dapat dipertimbangkan untuk keadaan ini bila kemungkinan atrial flutter telah disingkirkan dan status hemodinamik stabil. Selama pemberian, EKG pasien perlu terus diawasi. Bila tidak diindikasikontrakan, penyekat beta juga dapat berguna. Bila aritmia tidak dapat ditolerir dengan baik, kardioversi elektrik dapat diberikan.

    • Aritmia ventrikular

      Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari pertama fase akut dan aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau fenomena R-on-T umum ditemukan. Mereka dianggap tidak dapat dijadikan prediktor untuk terjadinya VF dan tidak memerlukan terapi spesifik.

      Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama idioventrikular yang terakselerasi. Irama tersebut terjadi akibat reperfusi, di mana laju ventrikel <120 detak per menit dan biasanya tidak berbahaya. VT yang tidak berlanjut (<30 detik) bukan prediktor yang baik untuk VF awal dan dapat ditoleransi dengan baik, biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kejadian yang lebih lama dapat menyebabkan hipotensi dan gagal jantung dan dapat memburuk menjadi VF. Tidak ada bukti bahwa pengobatan VT yang tidak berlanjut dan tanpa gejala dapat memperpanjang hidup, sehingga pengobatan untuk keadaan ini tidak diindikasikan, kecuali bila terjadi ketidakstabilan hemodinamik. VT yang berlanjut atau disertai keadaan hemodinamik yang tidak stabil memerlukan terapi supresif.

      Fibrilasi ventrikel memerlukan defibrilasi segera. Meskipun ditunjukan bahwa lidokain dapat mengurangi insidensi VF pada fase akut infark miokard, obat ini meningkatkan risiko asistol. VF yang berlanjut atau VF yang terjadi melewati fase akut awal (di mana takiaritmia tersebut terjadi bukan karena penyebab yang reversibel seperti gangguan elektrolit atau iskemi transien/reinfark) dapat berulang dan dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi. Meskipun kemungkinan iskemia miokard perlu selalu disingkirkan dalam kasus aritmia ventrikel, perlu ditekankan bahwa revaskularisasi tidak dapat mencegah henti jantung berulang pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri abnormal yang berat atau dengan VT monomorf yang berlanjut, bahkan bila aritmia yang terjadi awalnya merupakan akibat dari iskemia transien.

    • Sinus bradikardi dan blok jantung

      Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal STEMI, terutama pada infark inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan oleh karena opioid. Sinus bradikardi seringkali tidak memerlukan pengobatan. Bila disertai dengan hipotensi berat, sinus bradikardi perlu diterapi dengan atropin. Bila gagal dengan atropin, dapat dipertimbangkan penggunaan pacing sementara.

      Blok jantung derajat satu tidak memerlukan pengobatan. Untuk derajat dua tipe I (Mobitz I atau Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya dikaitkan dengan infark inferior dan jarang menyebabkan efek hemodinamik yang buruk. Apabila terjadi perubahan hemodinamik, berikan atropin dahulu, baru pertimbangkan pacing. Hindari penggunaan agen-agen yang memperlambat konduksi AV seperti penyekat beta, digitalis, verapamil atau amiodaron. Blok AV derajat dua tipe II (Mobitz II) dan blok total dapat merupakan indikasi pemasangan elektroda pacing, apalagi bila bradikardi disertai hipotensi atau gagal jantung. Bila gangguan hemodinamik yang terjadi berat, hati-hati dalam pemberian pacing AV sekuensial. Pada pasien yang belum mendapatkan terapi reperfusi, revaskularisasi segera perlu dipertimbangkan.

      Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di atas bundle of HIS, dan menghasilkan bradikardia transien dengan escape rhythm QRS sempit dengan laju lebih dari 40 detak per menit, dan memiliki mortalitas yang rendah. Blok ini biasanya berhenti sendiri tanpa pengobatan. Blok AV terkait infark dinding anterior biasanya terletak di bawah HIS (di bawah nodus AV) dan menghasilkan QRS lebar dengan low escape rhythm, serta laju mortalitas yang tinggi (hingga 80%) akibat nekrosis miokardial luas. Terjadinya bundle branch block baru atau blok sebagian biasanya menunjukkan infark anterior luas, dan kemudian dapat terjadi blok AV komplit atau kegagalan pompa.
      Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok bifasik atau trifasik atau countershock elektrik. Bila elektroda pacing terpasang, perlu dicoba dilakukan pacing. Apabila tidak, lakukan kompresi dada dan napas buatan, serta lakukan pacing transtorakal.

      Elektroda pacing transvena perlu dimasukkan bila terdapat blok AV lanjut dengan low escape rhythm seperti yang telah dijelaskan di atas, dan dipertimbangkan apabila terjadi blok bifasik atau trifasik. Rute subklavia sebaiknya dihindari setelah fibrinolisis atau bila terdapat antikoagulasi, dan dipilih rute alternatif. Pacing permanen diindikasikan pada pasien dengan blok AV derajat tiga persisten, atau derajat dua persisten terkait bundle branch block, dan pada Mobitz II transien atau blok jantung total terkait bundle branch block awitan baru.

2. Komplikasi kardiak

Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior, iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor risiko terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari setelah STEMI, meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan meningkatnya pemberian terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali sehari) dapat menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi segera. CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis yang berat.

  1. Regurgitasi katup mitral

    Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan pemeriksaan klinis dan perlu segera dikonfirmasi dengan ekokardiografi darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.

  2. Ruptur jantung

    Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.

  3. Ruptur septum ventrikel

    Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi dengan cepat dengan gagal jantung akut dan mumur sistolik yang kencang yang terjadi pada fase subakut. Diagnosis ini dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang dapat membedakan keadaan ini dengan regurgitasi mitral akut dan dapat menentukan lokasi dan besarnya ruptur. Left-to-right shunt yang terjadi sebagai akibat dari ruptur ini dapat menghasilkan tanda dan gejala gagal jantung kanan akut awitan baru. Operasi segera dikaitkan dengan laju mortalitas yang tinggi dan risiko ruptur ventrikel berulang, sementara operasi yang ditunda memungkinkan perbaikan septum yang lebih baik namun mengandung risiko terjadinya pelebaran ruptur, tamponade dan kematian saat menunggu operasi. Mortalitas keadaan ini tinggi untuk semua pasien dan lebih tinggi lagi pada pasien dengan kelainan di inferobasal dibandingkan dengan di anteroapikal.

  4. Infark ventrikel kanan

    Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi, terkait dengan STEMI dinding inferior. Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST ≥1 mV di V1 dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang disertai dengan hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena hepatika dan jejas dinding inferior dalam berbagai derajat. Meskipun terjadi distensi vena jugularis, terapi tetap diberikan dengan tujuan mempertahankan tekanan pengisian ventrikel kanan dan mencegah atau mengobati hipotensi. Pemberian diuretik dan vasodilator perlu dihindari karena dapat memperburuk hipotensi. Irama sinus dan sinkronisitas atrioventrikular perlu dipertahankan dan AF atau blok AV yang terjadi perlu segera ditangani.

  5. Perikarditis

    Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin majunya terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur dan pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya dengan re-elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat trombosis stent, misalnya. Pericardial rub yang terus- menerus dapat mengkonfirmasi diagnosis, namun sering tidak ditemukan, terutama apabila terjadi efusi perikardial berat. Ekokardiografi dapat mendeteksi dan menentukan besarnya efusi, bila ada, dan menyingkirkan kecurigaan efusi hemoragik dengan tamponade. Nyeri biasanya menghilang dengan pemberian aspirin dosis tinggi, paracetamol atau kolkisin. Pemberian steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari karena dapat menyebabkan penipisan jaringan parut dan pembentukan aneurisma atau ruptur. Perikardiosentesis jarang diperlukan, namun perlu dilakukan apabila terdapat perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade. Bila terjadi efusi perikardial, terapi antikoagulan yang sudah diberikan (misalnya sebagai profilaksis tromboemboli vena) perlu dihentikan kecuali apabila benar-benar diindikasikan pemberiannya.

  6. Aneurisma ventrikel kiri

    Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dindinganterolateral, dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi gangguan sistolik dan diastolik dan, seringkali, regurgitasi mitral. Ekokardiografi Doppler dapat menilai volume ventrikel kiri, fraksi ejeksi, derajat dan luasnya abnormalitas gerakan dinding, dan mendeteksi trombus yang memerlukan antikoagulasi. ACE-I/ARB dan antagonis aldosteron telah terbukti memperlambat proses remodeling dalam infark transmural dan meningkatkan kemungkinan hidup, dan perlu diberikan segera sejak keadaan hemodinamik stabil. Pasien seringkali akan menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung kronik dan perlu ditangani dengan sesuai.

  7. Trombus ventrikel kiri

    Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang terutama karena kemajuan dari terapi reperfusi, penggunaan obat-obatan antitrombotik dalam STEMI, dan berkurangnya ukuran infark miokardium akibat reperfusi miokardium yang segera dan efektif. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat infark miokard anterior memiliki trombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini dikaitkan dengan prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang luas, terutama bagian anterior dengan keterlibatan apikal, dan risiko embolisme sistemik. Penelitian-penelitian yang relatif tua menunjukkan bahwa pemberian antikoagulasi pada pasien-pasien dengan abnormalitas gerakan dinding anterior besar mengurangi terjadinya trombus mural.

Sumber :
Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia, Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut, 2015