Apa yang dimaksud dengan Simplisia?

image

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.

Apa yang dimaksud dengan Simplisia ?

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhsn atau eksudat tumbuhan.

Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 2000). Simplisia nabati sering berasal dan berupa seluruh bagian tumbuhan, tetapi sering berupa bagian atau organ tumbuhan seperti akar, kulit akar, batang, kulit batang, kayu, bagian bunga dan sebagainya. Di samping itu, terdapat eksudat seperti gom, lateks, tragakanta, oleoresin, dan sebagainya.

Materia Medika Indonesia merupakan pedoman bagi simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan yang dipergunakan untuk keperluan lain yang dijual dengan nama yang sama. Namun, simplisia yang dijelaskan disini adalah simplisia nabati yang secara umum merupakan produk hasil pertanian tumbuhan obat setelah melalui proses pasca panen dan proses preparasi secara sederhana menjadi bentuk produk kefarmasian yang siap dipakai atau siap diproses selanjutnya, yaitu:

  1. Siap dipakai dalam bentuk serbuk halus untuk diseduh sebelum diminum (jamu)
  2. Siap dipakai untuk dicacah dan digodok sebagai jamu godokan (infus)
  3. Diproses selanjutnya untuk dijadikan produk sediaan farmasi lain yang umumnya melalui proses ekstraksi, separasi dan pemurnian.

Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan tumbuhan liar (wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg (konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Walaupun ada juga pendapat bahwa variabel tersebut tidak besar akibatnya pada mutu ekstrak nantinya dan dapat dikompensasi dengan penambahan/pengurangan bahan setelah sedikit prosedur analisis kimia dan sentuhan inovasi teknologi farmasi lanjutan sehingga tidak berdampak banyak pada khasiat produknya. Usaha untuk mengajegkan variabel tersebut dapat dianggap sebagai usaha untuk menjaga keajegan mutu simplisia.

Dalam perkembangan selanjutnya, tahapan usaha menjamin keajegan kandungan kimia diserahkan pada tahapan teknologi fitofarmasi. Produk tumbuhan obat dari tahap pertanian, yaitu simplisia berubah posisi menjadi bahan dasar awal serta ekstrak sebagai bahan baku obat dan produk sediaan.

Variasi senyawa kandungan dalam produk hasil panen tumbuhan obat (in vivo) disebabkan oleh aspek sebagai berikut:

  1. Genetik (bibit)
  2. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)
  3. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh)
  4. Panen (waktu dan pasca panen)

Besarnya variasi senyawa kandungan meliputi baik jenis ataupun kadarnya sehingga timbul jenis (spesies) lain yang disebut kultivar. Namun sebaliknya bahwa kondisi dimana variabel tersebut menghasilkan produk yang optimal atau bahkan unggulan secara kimia, maka dikenal obsesi adanya bibit unggul dan produk unggulan serta daerah sentra agrobisnis, dimana tumbuhan obat unggulan tersebut ditanam.

Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi senyawa kandungan, kontaminasi, dan stabilitas bahan. Namun demikian, simplisia sebagai produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat diperkecil, diatur dan diajegkan. Hal ini karena penerapan iptek pertanian pasca panen yang terstandar.

Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar umum:

  1. Simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3 parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis) serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi)
  2. Simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu quality-safety- efficacy (mutu-aman-manfaat)
  3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap respon biologis harus mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan.

Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi (serbuk jamu dsb) masih harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku. Standarisasi suatu simplisia tidak lain merupakan pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari produk seperti yang ditetapkan sebelumnya.

Dalam bentuk bahan dan produk kefarmasian baru, yaitu ekstrak, maka selain persyaratan monografi bahan baku (simplisia), juga diperlukan persyaratan parameter standar umum dan spesifik. Parameter spesifik ekstrak yang sebagian besar berupa analisis kimia yang memberikan informasi komposisi senyawa kandungan (jenis dan kadar) nantinya lebih banyak tercantum di buku khusus monografi ekstrak tumbuhan obat. Demikian juga dari data analisis kimia ini, dapat menentukan aspek bisnis sebagai komoditi produk galenik dan proses teknologi fitofarmasi dalam rangkaian produksi produk jadi mengandung ekstrak.

Berdasarkan trilogi mutu-aman-manfaat, maka simplisia sebagai bahan baku ekstrak tetap harus lebih dahulu memenuhi persyaratan monografinya, yaitu buku Materia Medika Indonesia. Dan kemudian dalam proses seterusnya, produk ekstrak juga harus memenuhi
persyaratannya, yaitu parameter standar umum dan spesifiknya dalam buku monografi.

Dalam farmakognosi, selain tumbuhan yang benar-benar digambarkan sebagai sumber simplisia untuk obat, juga dipelajari sumber simplisia untuk pangan dan tumbuhan beracun, karena sering sulit memberi batasan jelas antara tanaman pangan, tanaman obat dan tanaman beracun. Sebagai contoh, tumbuhan sumber kafein, dan rempah-rempah, lebih digolongkan kepada tumbuhan pangan daripada tumbuhan obat, meskipun diketahui keduanya bahwa beberapa senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya mempunyai aktivitas biologi dan dapat bersifat toksik pada pemberian dengan dosis kuat pada manusia.

Demikian pula, beberapa jenis tanaman pangan yang telah jelas masuk dalam golongan tanaman pangan ditelaah dalam farmakognosi, karena nilai nutrisinya. Selain itu, beberapa tanaman yang digolongkan dalam tumbuhan beracun pada penggunaan dosis rendah dapat digunakan sebagai obat, misalnya kurare, digitalis, tanaman sumber racun anak panah Strychnos nuxvomica, dan lain-lain.

Jenis tanaman lain adalah golongan tanaman industri, seperti tanaman sumber minyak, lemak, minyak atsiri, serat, karet dan lain-lain juga digunakan dalam farmasi meskipun lebih banyak sebagai bahan baku bagi industri sabun, parfum, tekstil dan lain-lain.
Bidang fitokimia telah berkembang dengan pesat. Meskipun demikian, masih banyak tumbuhan yang perlu diteliti. Pada penelitian bahan alam, untuk menjadi suatu obat diperlukan berbagai bidang seperti botani, fitokimia, farmakologi, kimia medisinal, klinik dan farmasetika (untuk dijadikan bentuk modern).

Simplisia hewan, seperti halnya dengan simplisia dari tumbuhan diperoleh dari hewan piaraan atau hewan liar. Hewan liar harus diburu, misalnya ikan paus, menjangan dan lain-lain.

Untuk mendapatkan simplisia dengan kondisi optimum maka diusahakan sejauh mungkin hewan untuk simplisia berasal dari hewan piaraan seperti pada tumbuhan dibudidaya, misal tawon untuk menghasilkan madu yang baik.

Bahan obat seperti lanolin, produk susu, hormon, produk endokrin dan beberapa enzim diperoleh dari hewan piaraan seperti domba, sapi, babi dan sebagainya. Sebagai sumber produk kelenjar hewan dan enzim biasanya rumah penjagalan, dan dalam jumlah besar dapat dijadikan bahan obat dalam farmasi. Mengenai proses dan pemurnian bahan dari hewan tergantung dari simplisia masing-masing.

Sumber :

Lully Hanni Endarini, Farmakognisi dan Fitokimia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan

Referensi :

  • Gunawan, D dan Mulyani, S. 2002. Ilmu Obat Alam. (Farmakognosi) Jilid 1. Penebar Swadaya, Jakarta.

  • Heinrich, et al. 2009. Farmakognosi dan fitoterapi; alih bahasa: Winny R. Syarief et al; editor bahasa Indonesia, Amalia H. Hadinata. EGC, Jakarta.

  • Kar, Autosh, 2013. Farmakognosi dan farmakobioteknologi; alih bahasa, July Manurung, Winny Rivany Syarief, Jojor Simanjuntak; editor edisi bahasa Indonesia, Sintha Rachmawati, Ryeska Fajar Respaty Ed 1-3. EGC, Jakarta.

  • Parameter Standar Simplisia dan Ekstrak. BPOM RI.