Apa yang dimaksud dengan Simbol?

Simbol

Simbol adalah sesuatu yang biasanya merupakan tanda yang terlihat yang menggantikan gagasan atau objek. Simbol sering diartikan secara terbatas sebagai tanda konvensional, sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih standar dan disepakati atau dipakai anggota masyarakat.

Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu ” symbollein” yang berarti mencocokan. Simbol diakui banyak menghubungkan dua entitas, dan kedua bagian itu disebut symbola. Kata ini lambat laun berarti tanda pengenalan, dalam pengertian yang lebih luas, misalnya untuk anggota-anggota sebuah masyarakat rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar.

Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda, tanda, atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan arti yang sudah dipahami. Sebuah simbol bertujuan untuk menghubungkan atau menggabungkan. Dalam pengertian sebagai symbollein, simbol dapat menggambarkan atau mengingatkan atau menunjuk kepada apa yang disimbolkan tersebut.1

Beberapa orang melihat simbol dan ritual sebagai hal yang membosankan, tidak berguna, dan jauh dari sentuhan kenyataan sehari-hari yang penuh makna. Banyak sarjana dididik dalam ilmu pengetahuan Barat memberhentikan emosi, rasa, dan simbol sebagai hal yang tidak efektif atau tidak rasional untuk alat berkomunikasi. Pendukung ritual dan alat-alat simbolik lainnya biasanya adalah mereka yang aktif mengejar pengetahuan spiritual atau berasal dari bidang akademik yang “lebih lembut” seperti teologi, psikologi, antropologi, dan sosiologi. Ritual adalah fakta kehidupan. Kehidupan manusia adalah drama, ritual menambah cahaya dan tindakan untuk panggung yang penuh dengan aktor. Menjelajahi konsep dari ritual dan simbol berarti mempelajari hal yang sangat menarik dan element yang kuat dari kehidupan manusia.2

Perkembangan selanjutnya menyatakan bahwa sebenarnya arti simbol sangatlah penting. Namun, ada ketidakpastian tentang bagaimana simbol-simbol muncul, bagaimana simbol-simbol berpengaruh, dan bagaimana simbol kerap kali memudar artinya. Sistem simbol yang teramat penting adalah bahasa-bahasa manusia berupa segala macam gerak-gerik dan kegiatan tubuh juga mempunyai arti simbolis. Penyembelihan binatang, pemberian kado, proses memasak, cara-cara makan dan minum, menari dan bersandiwara, semua itu dapat berfungsi sebagai simbol dan berhubungan dengan struktur masyarakat yang menjadi tempat panggungnya.

Kebenaran asasi mengenai simbol-simbol adalah bahwa simbol berkaitan erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial. Benar bahwa seorang individu mungkin bertanggung jawab atas penciptaan bentuk simbolis yang baru dan pengaitannya dengan gagasan dan nilai yang baru, tetapi jika semua itu tidak memiliki hubungan dengan yang lama, tidak mungkin diterima. Setiap individu telah dibentuk dalam sistem simbolis bersama dan meskipun sumbangannya sendiri mungkin mengubahnya, sumbangan ini tidak akan menggantikan sistem simbolis itu. Simbol-simbol dan masyarakat saling memiliki dan saling mempengaruhi.3

Selama evolusi manusia telah ada corak-corak masyarakat yang lain, tergantung pada gaya-gaya hidup khusus yang diperlukan untuk kelangsungan hidup. Di lain pihak, telah ada orang-orang yang mendiami daerah-daerah dunia yang kurang ramah, yang tidak tenang, selalu mencari, bersitegang dengan lingkungan alam mereka. Sistem komunikasi yang digunakan adalah pertama-tama sistem saling memberi sinyal dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan praktis atau menghadapi keadaan darurat praktis dan mempergunakan alat-alat simbolis, entah untuk mengenang pengalaman masa lalu, untuk meramal realisasi hubungan-hubungan yang baik dengan roh, binatang, dan sesama manusia di masa yang akan datang. Di lain pihak, ada orang-orang yang menetap, orang-orang yang mendiami daerah-daerah yang lebih ramah, alam menjadi sahabat untuk kelangsungan hidup sehari-hari yang relatif teratur. Sistem komunikasi pertama-tama berupa sistem tanda penataan kehidupan yang menunjukan tugas-tugas yang harus dilakukan dan memberi peran yang sesuai kepada beberapa anggota masyarakat dengan tujuan menjaga kelestarian sumber alam untuk melangsungkan hidup. Simbol tetap berkaitan dengan kegiatan hubungan manusia sehari-hari, tetapi mempunyai fungsi tambahan, yaitu merayakan dan mengabadikan siklus kehidupan dari dunia alami yang teratur dan memperkuat kesesuaian siklus. 4

A.N. Whitehead mengatakan bahwa pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya mengunggah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen yang kemudian membentuk makna simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut referensi. Sebuah simbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti. Sebuah simbol jauh melebihi tanda lahir dan terlihat arbitrer untuk sebuah konsepsi yang abstrak, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan. Fungsi simbol adalah merangsang daya imaginasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. 5

Raymond Firth menulis tentang hakikat simbolisme terletak dalam pengakuan bahwa hal yang satu mengacu (mewakili) pada hal yang lain dan hubungan antara keduanya pada hakikatnya adalah hubungan hal yang konkret dengan yang abstrak, yang khusus dengan yang umum. Hubungan itu sedemikian rupa sehingga simbol dari dirinya sendiri tampak mempunyai kemampuan untuk menimbulkan dan menerima akibat-akibat yang dalam keadaan lain hanya diperuntukan bagi objek yang diwakili oleh simbol itu dan akibat-akibat itu kerap kali mempunyai muatan emosional yang kuat.

Firth memandang simbol mempunyai peranan yang sangat penting dalam urusan-urusan manusia; manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan merekonstruksi realitasnya itu dengan simbol. Simbol tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan, fungsi yang dapat dianggap pertama-tama bersifat intelektual. Sebuah simbol dapat berhasil memusatkan pada dirinya sendiri seluruh hal yang semestinya hanya menjadi milik realitas yang diwakili.

Menurut Firth, simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial. Kesejahteraan seluruh masyarakat akan dapat dipelihara hanya apabila semua hubungan diatur dan digambarkan dalam suatu sistem simbol. 6

Cliford Geertz mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk simbolis dalam suatu konteks sosial yang khusus mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk simbolnya dan dengan demikian menurunkan makna yang autentik. Cara dan pandangan hidup saling melengkapi kerap kali melalui satu bentuk simbolis. Hal ini memberikan gambaran tatanan yang komprehensif dan pada waktu yang sama mewujudkan pola sintetis perilaku sosial. Ada kongruensi dan kesesuaian antara gaya hidup dan tatanan universal dan hal ini terungkap dalam sebuah simbol yang terkait dengan keduanya. Geertz mengkonsepkan simbol sebagai setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah makna simbol. Penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol bersifat teraba, tercerap, umum, dan konkret.7

Simbol menurut Mary Douglas berkaitan dengan bahasa manusia dan tata cara yang dipengaruhi secara mendalam oleh masyarakat dan sebaliknya bahwa setiap masyarakat menemukan simbol-simbolnya yang autentik dengan menimba dari analogi-analogi yang diberikan oleh perilaku berpola tubuh manusia. Douglas menekankan pentingnya simbol-simbol untuk menata masyarakat. Selain itu, bentuk-bentuk simbolis juga diperlukan untuk pengalaman sosial dalam waktu, untuk perubahan, interaksi, yang harus dipandang sebagai simbol historis. Simbol historis yaitu simbol yang dibangun, dipolakan, dibentuk oleh peristiwa-peristiwa penting dalam pengalaman sosial. 8

Victor Turner menambahkan hal yang penting bahwa dalam simbol ada semacam kemiripan antara hal yang ditandai dengan maknanya, sedangkan tanda tidak mempunyai kemiripan sepeti itu. Tanda hampir selalu ditata dalam sistem- sistem tertutup, sedangkan simbol-simbol (khusus simbol yang dominan) dari dirinya sendiri bersifat terbuka secara semantis. Makna simbol tidak sama sekali tetap. Makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada wahana-wahana simbolis yang lama. Individu-individu dapat menambahkan makna pribadi pada makna umum sebuah simbol. Simbol-simbol yang dominan menduduki tempat yang penting dalam sistem sosial mana pun, sebab makna simbol-simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan dapat dikatakan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya. Simbol- simbol yang lain membentuk satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan sekadar embel-embel. Simbol-simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol itu. 9

Ciri Khas Simbol.


Paul Tillich membedakan antara simbol dan tanda. Menurutnya, masing- masing memang menunjuk pada sesuatu yang lain di luar dirinya sendiri. Namun, bila suatu tanda bersifat univok, arbiter dan dapat diganti, karena tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya itu, sebuah simbol sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan yang sampai tingkat tertentu diwakilinya. Simbol berfungsi seperti ini tidak secara mandiri tetapi dalam kekuatan hal yang ditunjuknya.10

Tillich memaparkan ciri khas simbol yaitu:

  • Simbol bersifat figurative. Simbol selalu menunjuk kepada sesuatu di luar dirinya sendiri, sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi.

  • Simbol bersifat dapat dicerap, baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imajinatif.

  • Simbol memiliki daya kekuatan yang melekat. Ciri ini memberi kepada simbol realitas yang hampir hilang daripadanya dalam pemakaian sehari-hari.

Simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat. Ciri ketiga mungkin tampak bersifat individual semata-mata. Namun, Tillich kemudian menyatakan bahwa “jika sesuatu menjadi simbol baginya (yakni bagi individu itu), maka juga menjadi simbol dalam hubungannya dengan masyarakat yang pada gilirannya dapat mengenali simbol itu.

Hidup dan Matinya Simbol.


Dalam tulisannya The Life and Death of Symbols , Anthony Bridge menjelaskan alasan matinya simbolisme. Dalam kesenian (dan hendak ditegaskan juga dalam teologi) suatu gaya hidup selama simbol-simbol terus digunakan sebagai simbol yang menunjuk kepada sesuatu yang lebih jauh dari dirinya sendiri. Segera setelah sebuah simbol digunakan untuk kepentingannya sendiri dan diperlakukan sebagai fakta, artinya sebagai realitas yang sudah cukup dalam dirinya sendiri, simbol itu mati.

Selanjutnya, Bridge menyarankan dua sarana untuk mengatasi masalah matinya simbol. Di satu pihak, ia mendesak agar diciptakannya simbol-simbol baru. Di lain pihak, (langkah yang lebih dapat ditempuh) haruslah dilakukan segala usaha untuk menunjukan hubungan antara simbol lama dan realitas yang ditunjuknya. Simbol terus hidup hanya sepanjang simbol memperkuat pengertian seseorang atau masyarakat tentang realitas ilahi yang menurut maksud semula, digambarkan atau dihadirkan oleh simbol itu. Sekali simbol digunakan untuk kepentingannya sendiri untuk mengungkapkan fakta yang tidak dapat disangsikan, maka kegunaannya habis. Simbol itu menjadi sandi yang tidak berdaya hidup.11

Alasan lain penyebab dari kematian simbol karena adanya upaya untuk memberikan kepada simbol itu tafsiran yang sama sekali tetap, terbatas, tidak boleh berubah. Literalisme (harfiahisme), kesesuaian ketat, kaku, satu lawan satu antara simbol dan realitas, menghapuskan segala konotasi, pesan tambahan, dan sugesti imajinatif yang selalu dipunyai oleh sebuah simbol sejati. Simbolisme tidak dapat hidup dengan literalisme. Namun, juga dapat dinyatakan pendapat bahwa manusia, tanpa simbolisme, tidak dapat sungguh-sungguh hidup. Jika sebuah simbol harus tetap memiliki daya hidupnya, simbol itu harus senantiasa diselaraskan dan ditafsirkan kembali di dalam konteks yang baru.12

Referensi :

1 F. W. Dilliston, Daya Kekuatan Simbol: The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 21.
2 Lisa Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (United State of America: Kumarian, 2005), 15.
3 Diliston, Daya Kekuatan Simbol … 9, 22.
4 Dillistone, Daya Kekuatan Simbol … 23.
5 A.N. Whitehead, Symbolism (Cambridge: Cambridge University Press, 1928), 9.
6 Raymond Firth, Symbols: Public and Private (Allen and Uwin), 1973
7 Cliford Geertz, Antthropological Approaches to the Study of Religion (London and New York: Routledge, 1966).
8 Mary Douglas, Natural Symbols:Explorations in Cosmology (London and New York: Rotledge, 1970).
9 Victor Turner and Edith Turner, Image and Pilgrimage in Christian Culture: Anthropological Perspective (New York: Columbia University Press, 1978).
10 Paul Tillich, Systematic Theology 3 (Chicago: University of Chicago Press, 1964).
11 Anthony Bridge, The Life and Death of Symbols (1958).
12 Dillistone, Daya Kekuatan Simbol … 212-213.