Apa yang dimaksud dengan Sialolithiasis?

Sialolithiasis

Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktus kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu.

Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula (warthon’s duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari sekresi kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada duktus submandibula sehingga muncul sialolithiasis.

Sialolithiasis

Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktuskelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karenapenumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalamiproses kalsifikasi hingga terbentuk batu.

Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula
(warthon’s duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari
sekresi kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi padaduktus submandibula sehingga muncul sialolithiasis.

EPIDEMIOLOGI


Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kelenjar saliva, diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi. Perbandingan angka kejadian padalaki-laki dan perempuan adalah 1,04 banding 1, dan usia paling banyak terjadi antara25 tahun sampai 50 tahun.

80-90% sialolithiasis ditemukan pada kelenjar submandibula, 6% pada kelenjar parotis, 2% pada kelenjar sublingual, dan 2% ditemukan pada kelenjar liur minor. Terdapat dua faktor penting yang menjadi alasan tingginya kejadian sialolithiasis pada kelenjar submandibula.

  • Pertama, sifat saliva yang dihasilkan oleh kelenjar submandibula mengandung banyak mucin, bahan organik, enzim fosfatase, kalsium, fosfat, pH alkalin, karbon dioksida rendah.

  • Kedua, faktor anatomi dimana warthon’s duct panjang dan berkelok, posisi orifisium lebih
    tinggi dari duktusnya dan ukuran duktus lebih kecil dari lumennya.

ANATOMI KELENJAR SALIVA


Kelenjar saliva dapat dibedakan atas kelenjar parotidea, kelenjarsubmandibularis, kelenjar lingualis, dan kelenjar assesorius.Kelenjar parotidea terletak pada bagian samping, di atas m. masseter. Bagianinferior menempel pada m. sternocleidomastoideus, dan pada bagian posterior,kelenjar ini terletak di atas venter posterior m. digastricus. Kelenjar ini dipisahkandari kelenjar submandibularis oleh ligamentum stylomandibularis, sedangkan bagiandalam, yaitu perluasan retromandibular berhubungan dengan rongga parafaringeal .

Anatomi kelenjar Saliva
Gambar Anatomi kelenjar Saliva

Cabang dan terminal n. facialis berjalan di dalam substansi kelenjar tersebut. Ductusparoticus, misalnya ductus stensen, dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula dariaspek anterior kelenjar, melintasi m. masseter, menembus m. buccinator, danmemasuki rongga mulut pada regio molar pertama atau molar kedua rahang atas.Kelenjar submandibula terletak di segitiga submandibula yang dibatasi olehmuskulus digastrikus anterior – posterior dan inferior dari os. mandibula.

Posisi kelenjar submandibula terletak di medial dan inferior ramus mandibula. Bagianposterior kelenjar submandibula sebagian berada di atas dan sebagian di bawah dari mandibula posterior. Kelenjar ini berbentuk seperti huruf “C” mengelilingi batas anterior dari muskulus milohioid kemudian menjadi dua lobus, superfisial danprofunda. Lobus bagian profunda lebih besar dari lobus superfisialisnya.

Kelenjar submandibula mendapatkan inervasi dari dua sumber, yaitu simpatisdan para simpatis. Inervasi saraf simpatis dari ganglion cervikalis superior melalui n.lingualis, dan inervasi saraf parasimpatis dari ganglion Submandibula yang diberimakan oleh arteri lingualis. Bagian dalam kelenjar submandibula mendapat vaskularisasi dari cabang submental arteri dan vena fasialis yang kemudian berjalan sampai bagian superfisial melalui tepi inferior mandibula. Lymph node pada kelenjar submandibula terdiri dari (A) superfisial, (B) anterior, © posterior, dan (D)submental.

Duktus submandibula (wharton’s duct) berada di permukaan medial dari kelenjar dan berjalan di antara lateral muskulus Milohioid dan muskulus Hioglosusdan di atas muskulus Genioglosus, membentuk belokan tajam di lateral m. Milohioid (sering menjadi tempat calculi). Duktus ini bermuara ke dalam rongga mulut, lateraldari frenulum lingualis yang terlihat di bagian depan dasar mulut. Panjangnya rata-rata sekitar 5 cm. Duktus Submandibula mendapat inervasi dari n. Lingualis dan n.Hipoglosus yang berjalan di bawah dan mengikuti duktus.

Kelenjar sublingual menempati rongga sublingual bagian anterior dan karenaitu hampir memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis memasuki rongga mulutmelalui sejumlah muara yang terdapat sepanjang plica sublingualis. yaitu suatu lingirmukosa anteroposterior di dasar mulut yang menunjukkan alur dan ductussubmandibularis atau melalu ductus utama yaitu ductus bartholin) yang berhubungandengan ductus mandibularis.

Kelenjar saliva minor dalam jumlah besar terletak pada submukosa ataumukosa bibir, permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum danmukosa bukal. Pengetahuan atau pengenalan lokasi kelenjar minor ini dibutuhkankarena banyak proses penyakit yang terdapat di kelenjar saliva mayor juga rnengenaikelenjar assesorius ini Kemungkinan terjadinya penyakit kelenjar saliva memberikandiagnosis altematif untuk patologis yang terbadap pada regio ini.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batusaliva mungkin berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus ,Streptococcus viridans)dari kelenjar, Sjögren’s sindromdan atau peningkatan kalsium, dehidrasi, yang meningkatkan viskositas saliva; asupan makanan berkurang, yang menurunkan permintaan untuk saliva, atau obat yang menurunkan produksisaliva, termasuk anti histamin tertentu, anti hipertensi (diuretic) dan anti psikotik,tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secaraidiopatik.

Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik di permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dandebris sel. Bahan anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.Sedangkan ion kalsium, magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yangmenyusunnya antara lain mikrokristalin apetit
[Ca5(PO4)OH] atau whitlokit [Ca3(PO4)].

Pengamatan dengan menggunakan transmisi mikroskop elektron danmikroanalisis X-ray.Pada batu sialolithiasis, didapatkan gambaran menyerupai strukturmitokondria, lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai salahsatu penyebab proses kalsifikasi dalam sistem duktus submandibula.

Etiologi sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat digunakanuntuk menjelaskan terjadinya penyakit ini.

  • Pertama, adanya ekresi dari intracellularmicrocalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaanadanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke dalam duktussalivary dan menjadi nidus kalsifikasi.

  • Kedua hipotesis ini sebagai pemicu nidusorganik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi organik daninorganik.

Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknyabatu, yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membransel akibat proses penuaan.

DIAGNOSIS KLINIS


image

Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan gejalaapapun (asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat intermitten merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan dengan selera makan (mealtime syndrome). Pada saat selera makan muncul sekresisaliva meningkat, sedangkan drainase melalui duktus mengalami obstruksi sehinggaterjadilah stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelejar.

Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpaisekret yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga timbul gejala infeksi sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi padakelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis.

Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior sering mendapatkancalculi pada duktus submandibula, juga dapat meraba pembesaran duktus dankelenjar. Perabaan ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar saliva (hypofunctional atau non-functional gland).

Studi imaging sangat berguna untuk diagnosis sialolithiasis, radiografi oklusal berguna dalam menunjukkan baturadiopaque.

PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Radiologis Imaging

Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar salivaantara lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan), Sialography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound, dan Nuclear Scintigraphy.

Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan tertentu dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya yangberkaitan dengan gangguan kelenjar saliva, seperti pada Sialolithiasis Submandibula.

  1. Plain - Film Radiography
    Sebelum teknologi imaging berkembang pesat seperti sekarang, plain foto masih dapat digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva. Teknik ini banyak memberikan informasi selain data dari pemeriksaan klinis. Pada evaluasi sialolithiasis submandibula, masih efektif untuk melihat batu pada duktus, tapi sulit untuk mengevaluasi batu di glandula atau batu yang kecil. Hanya 20% sialolith yang radio transparent sehingga metode ini hanya digunakan untuk skreening bila metodelainnya tidak tersedia.

    Untuk memaksimalkan hasil, dianjurkan pengambilan filmdari berbagai sudut yang berbeda, termasuk dari sudut dasar mulut. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran yang jelas, dimana batu kadang-kadang tertutup oleh tulang mandibula. Sehingga perlu diambil gambaran dari rongga mulut dan regio submandibula, termasuk gambaran oklusi duktus dengan dental-film atau anter oposterior view tulang mandibula.

  2. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
    Kehadiran CT Scan merevolusi diagnostic imaging sejak ditemukannya padatahun 1970-an, terutama untuk kasus head and neck imaging. Dia sering digunakan,karena cukup adekuat untuk mendiagnosis sialolithiasis dengan potongan tiapmilimeter. Akan tetapi CT scan tidak bisa menentukan lokasi batu yang kecil secara tepat, kadang kala irisannya tidak mengenai duktus sehingga tidak terlihat gambaran hyperdense.

  3. Ultrasonography (USG)
    Ultrasonografi merupakan metode diagnostik noninvasif, tapi penggunaan danhasil yang didapat sangat tergantung pada keahlian operator (operator dipendent) danimage yang dihasilkan tidak bisa diintepretasi langsung oleh ahli bedah, kecuali diamengerjakan sendiri. USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi sialolithiasis.

    Untuk memperjelas hasil bisa menggunakan resolusi tinggi (7-12 MHz) dengan tranducer linier dan kontak permukaan yang kecil. Gambar diperoleh terutama menggunakan bidang aksial submandibula dengan setelan oblique untuk menentukan letak lesi dan menelusuri pembuluh darah. Penekanan seminimal mungkin untuk menghindari distorsi anatomis.

  4. Sialography (Sebagai Gold Standar)
    Sialografi merupakan upaya untuk membuat gambaran radiopaque (opacification) pada duktus kelenjar saliva dengan memasukkan bahan kontras berupa water soluble radiopaque dye secara retrograde intracanular. Cara ini dianggap sebagai gold standar karena dapat memberikan gambaran yang jelas tidak hanya batu, tapi juga struktur morfologis duktus seperti lesi karena trauma, massa, prosesinflamasi, dan penyakit obstruktif lainnya.

    Keuntungan sialografi bisa bersifat terapeutik, dimana cairan dye menyebabkan dilatasi pada duktus dan batu terdorong keluar melalui orifisium duktus (caruncula sublingualis). Kerugian metode ini antara lain, dapat menyebabkan nyeri, infeksi, anafilaktik shock, dan perforasi dindingduktus, kadang-kadang justru mendorong batu menjauhi caruncula. Oleh karena itu,sialografi tidak boleh dilakukan bila terjadi infeksi akut karena akan memicumeningkatnya proses inflamasi. Kelemahan ini diminimalisir dengan teknik pengembangan tanpa kontras, cukup dengan merangsang saliva sebagai penggantifungsi kontras (yaitu Magnetic Resonance Sialography).

  5. Magnetic Resonance (MR) Sialography
    MR Sialografi merupakan prosedur diagnostik nonivasif yang relatif barudengan akurasi tinggi untuk mendeteksi calculi, sensitifitas 91% spesifisitas 94%nilai pediksi positif 97% dan nilai prediksi negatif 93%. Hal ini lebih baik darisialografi konvensional. Secara teknis fungsi bahan kontras digantikan oleh saliva(natural contras) yang dirangsang produksinya dengan orange juice, danmenggunakan imaging T2-Weighted turbo spin-echo slides bidang sagital danaxial…

    Keuntungannya adalah tidak invasif, tidak menggunakan bahan kontras,tidak ada radiasi, tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan juga bisa mengevaluasikelainan fungsi kelenjar (Dynamic MR sialography). Kekurangan teknik inimembutuhkan waktu yang lebih lama pada proses merangsang saliva sebagai kontrasalami, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan biaya sangat mahal.

b. Endoskopis

Endoskopi yang dikenal dengan Sialendoskopi merupakan prosedurnoninvasif yang dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk cabang sekunder dan tersier duktus. Sialendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat jalan dengan menggunakan anestesi lokal lidocain 2% dimana pasien duduk di kursiatau setengah berbaring.

Fungsi utama Sialendoskopi untuk konfirmasi sekaligus diagnosis obstruksi dan striktur sistem duktus serta pengambilan sialolith. Pada prinsipnya Sialendoskopi dilakukan dengan memasukkan sistem semirigid keintraluminar duktus melalui caruncula sublingualis. Diameter Sialendoskop yang sering digunakan antara 0.8 mm - 1,6 mm. Visualisasi intraluminar dan kondisipatologis dapat diamati secara langsung.

Selain diagnostik, metode ini bisa melakukan prosedur intervensi seperti dilatasi progresif, pembersihan dan pembilasan, serta pengambilan batu dengan forcep maupun laser fragmentation.Indikasi penggunaannya pada semua pembengkakan dan nyeri intermitten padakelenjar atau duktus saliva yang belum diketahui sebabnya. Tidak ada kontra indikasimutlak termasuk pada anak maupun manula, karena selain minimal invasif Sialendoskopi hanya membutuhkan anestesi lokal dan cukup rawat jalan saja.

Pada keadaan tertentu Sialendoskopi dapat menimbulkan komplikasi lesi pada saraf yang menimbulkan parastesi (0,4%), terjadi infeksi (1,6%), perdarahan (0,5%), dan kerusakan sistem duktus seperti striktur (2,5%).

PENATALAKSANAAN


1. Tanpa pembedahan

Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaanantibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secaraspontan. pengobatan yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bacteria diobati dengan antibiotik golongan penicillin dan Cephalosporins, (875 mg amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu satu minggu ) atau augmentin,cefzil, ceftin,nafcillin,diet kaya protein dan cairan asam termasuk makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan batu
lebih lanjut dalam kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang Salivasi), batu dikeluarkan dengan pijat atau masase pada kelenjar.

Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukantindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama bila berada di bagian posterior Warton’s duct, sehingga pendekatan konservatif sering diterapkan.

2. Pembedahan


Gambar Pembedahan sialolithiasis dengan batu yang besar

Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan,terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10mm), atau lokasi yang sulit.

Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa dilakukan tindakan simple sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukandiseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisadilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering menimbulkan nyeri berat post operative.

Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi batu berada padagland’s pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy dengan tingkatkesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-cabang dari n. facialis.

3. Minimal invasiv

  1. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
    ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing danpankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulaitahun 1990an. Tujuan ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yangkecil sehingga tidak mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.

    Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur n. facialis.Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagicdiathesis), kelainan kardiologi, dan pasien dengan pacemaker merupakan kontraindikasi umum ESWL.

    Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position). Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm sehinggalesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan denganbatu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 – 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impactsper menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan.

    Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi.Ketepatan posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography,echography probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadifragmen.

    Beberapa penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up ataskeberhasilan penggunaan ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasusdimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah difollow up selama 3 tahun,Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptomsetelah diamati 5 tahun sejak pengobatan menggunakan ESWL.

  2. Sialendoskopi
    Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjarsaliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi,striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopimerupakan complete exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabangsekunder dan tersier.

    Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopiadalah semua pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelasasalnya.

    Koch et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk :

    1. deteksi sialolith yang samar,
    2. deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan profilaksis pembentukan batu,
    3. pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,
    4. deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,
    5. diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yangmelibatkan kelenjar saliva,
    6. sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.

    Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasiveyang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-anak, dewasa maupun usia lanjut.

    Teknik Intervensi Sialendoskopi.

    Sialendoskopi dilakukan dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjardiinjeksi dengan bahan anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan bertahap dengan probe yang bertambah besar sampai sesuai dengandiameter sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe. Pembilasan ini dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris.

    Duktus kelenjar saliva inidiobservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak bisamasuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding duktus. Biladidapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya.Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau <3 mm pada kelenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian kita masukkan ke dalam working chanel sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengandiameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep).

    Berikutnya batu dihisap dan sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya .Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laserhelium ke dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Kemudian bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama.Sedangkan pada kasus mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan pembilasan dan penghisapan.

    Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktussubmandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggudengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitarorifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva.Pemberian hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerahstriktur juga dapat mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi.

4. Decision Tree

Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik maupun terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksipada saluran kelenjar saliva. pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang padakelenjar saliva yang berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan sialendoskopi atau MR sialografi sebagai pilihan modalitas diagnostik.


Gambar Decision Tree untuk Evaluasi dan Managemen Sislolithiasis

Sialendoskopi merupakan pilihan utama pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada kasus kelenjar bilateral direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi untuk melihat tekstur kelenjar, jaringan sekitar, dan sistem duktus beberapa kelenjar.Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mmparotis) maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion.

Pada batu denga nukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi bagian yang lebih kecil menggunakan Laser Lithotripsy kemudian dikeluarkandengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukupdilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan ballooncatheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus.Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbukamaupun minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:

  1. kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus
  2. perdarahan post operative,
  3. striktur sistem duktal,
  4. pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,
  5. cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporealtherapy, dan
  6. residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.

Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebihmemungkinkan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.

KOMPLIKASI


Komplikasi meliputi obstruksi terus-menerus dari saluran, yang mengarah keinvasi bakteri, pertumbuhan berlebih dan infeksi yang menyebabkansialoadenitis.