Apa yang dimaksud dengan Sesat atau Dhalal didalam Islam ?

Sesat atau dhalal hakikatnya adalah pergi meninggalkan kebenaran, diambil dari tersesatnya jalan, yaitu menyimpang dari jalan yang seharusnya.

Apa yang dimaksud dengan Sesat atau Dhalal didalam Islam ?

Dhalal secara etimologi berasal dari bahasa arab dengan fi`il atau kata kerja “dhalla- yadhillu”, lafazh dhalāl yang juga mempunyai bentuk lain yaitu dhalālah adalah masdar atau kata benda abstark. Susunan tersebut mengikuti wajan fa’ala- yaf’ilu seperti dharaba-yadhribu. Selain wazan di atas, ada versi lain yaitu fa’ila- yaf’alu seperti ta’iba-yat’abu sehingga menjadi dhalla-yadhallu.

Kata dhalal dalam bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan dengan kata “sesat”, pemaknaan dhalal sebagaimana dimaksud di atas merupakan lawan kata dari kata ihtada yang berarti “mendapatkan petunjuk”, yang berarti pula batil, menyimpang dari jalan agama, menyimpang dari yang haq atau keluar jadi jalan yang lurus.

Kata dhalal dalam penggunaannya dalam bahasa arab mempunyai beberapa arti yang beragam dan berbeda: diantaranya:

  1. Berarti “hilang”
  2. Berarti gagal atau tidak berhasil.
  3. Berarti sia-sia/menyianyiakan sesuatu.
  4. Berarti lupa.
  5. Berarti hancur/menghancurkan.
  6. Berarti bingung.

Dari uraian tentang pegungkapan dhalal yang terdapat dalam al-Qur’an ada beberapa pengertian tentang pengertian dhalal menurut ulama:

  1. Ridha menjelaskan bahwa orang yang sesat adalah orang yang tidak mengetahui kebenaran secara pasti, atau tidak mengetahui kebenaran dengan cara yang sahih yang diiringi dengan perbuatan. Ia membagi dhalal kepada empat macam, yaitu :

    • Pertama, orang yang belum sampai padanya dakwah risalah kerasulan, atau ia mengetahui adanya risalah dengan cara yang tidak dapat dicerna pemikiran. Orang ini hanya dapat menggunakan hidayah indera dan akal bukan petunjuk agama.

    • Kedua, orang yang menerima risalah dengan cara yang dapat dicerna akal, ia berkeinginan kepada risalah tersebut dapat berusaha kuat untuk mengikutinya, tetapi upayanya tersebut tidak sesuai dengan keimanan yang dimaksud riasalah tersebut. ia menghabiskan umurnya dalam kondisi pencarian kebenaran.

    • Ketiga, orang yang mengetahui dan menerima risalah seraya membenarkannya tanpa mau memikirkan petunjuk-petunjuknya dan tidak mengenal dasar-dasar risalah tersebut. Mereka mengikuti hawa nafsu dalam memahami dasar-dasar akidah. Mereka adalah orang yang berbuat bid’ah dalam akidah dan agama.

    • Keempat, orang yang sesat dalam perbuatan dengan berpaling dari hukum- hukum yang telah ditentukan risalah tersebut.

  2. Dhalal secara terminology menurut al-Raghib al-Ashfahani memberikan pengertian dhalal yaitu berpaling atau menyimpang dari jalan yang lurus. Termasuk juga dalam pengertian dhalal perbuatan yang menyimpang dari manhaj, baik itu secara sengaja atau terlupa, sedikit atau banyak.

    Kesesatan atau dhalal, bisa terjadi pada siapapun, baik orang kafir, fasik, munafik ataupun orang mukmin, bahkan bisa terjadi pada seorang nabi atau rasul, meskipun perbedaan pengertian sesat atau dhalal antara dua kelompok tersebut sangatlah jauh. Menurut al-Ashfahani juga, bahwa berjalan mengikuti jalan yang lurus (shirath al-Musthaqim) yang diridhai Allah sangatlah sulit untuk dilakukan.

Dari asal bahasa dan perkembangannya penggunaan lafazd dhalal sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa dalam kajian tentang jangkauan konsep dhalal tidak dapat lepas dari prinsip yang saling berlawanan yaitu “ lurus” dan “ bengkok”. Kedua prinsip tersebut memiliki makna yang bernilai sangat penting setelah al-Qur’an menggunakan dhalal dalam kanca religius.Jalan lurus adalah bernilai positif karena jalannya orang-orang beriman yang mengikuti agama Allah dan jalan bengkok adalah bernilai negatif karena mengambarkan orang-orang kafir yang senantiasa berlawanan dengan agama Allah yang lurus.3

Bentuk-Bentuk Sesat atau Dhalal


Berdasarkan makna dan pengungkapan lafadz Dhalal dalam al-Qur’an, maka dapat dilakukan bahwa lafadz dhalal secara bahasa berarti sesat, bingung dan sia-sia. Pengungkapan lafadz dhalal dalam al-Qur’an yang berbeda-beda bentuk katanya (tafsir) seperti dalam bentuk fi’il madhi, fi’il mudhari, dan amr baik tsulatsi maupun ruba’i, bentuk mashdar, dan fa’il telah membawa penggeseran makna.

  1. Dalam bentuk fi’il madhi tsulatsy mujarrad, dhallal memiliki dua makna lazim (tidak membutuhkan maful bih) seperti dhalla syai (sesuatu telah hilang/lenyap) dan makna muta’addi (membutuhkan maful bih) seperti dhalla fulānun al-tharīqa (fulan kehilangan jalan/tersesat). Bentuk tersebut digunakan dalam al-Qur’an pada Q.S. al- Baqarah ayat 108, Q.S. al-Nisa ayat 116 dan 136, Q.S. al-Ma`idah ayat 12 dan 105.

  2. Dalam bentuk fi’il madhi tsulatsi mazid, dengan menambah huruf hamzah qath’i diawal yang berfungsi li ala-ta’diyah sehingga lafadz dhalal menjadi adhalla. Pada bentuk lafazd dhallal yang semula berarti sesat berubah menjadi menyesatkan. Contoh penggunaan pada Q.S. al-Nisa` ayat 88, Q.S. Thaha ayat 79, Q.S. al-Rum ayat 29, dan Q.S. yasin ayat 62.

  3. Dalam bentuk fi’il mudhari tsulatsi mujarrad yaitu yadhillu memiliki beberapa makna. Makna yadhillu yang pertama adalah tidak mendapatkan petunjuk. Penggunaannya dalam al-Qur’an ada pada Q.S. al-An`am ayat 117, Q.S. Yunus ayat 108 dan Q.S. al-Isra ayat 15. Makna yadhillu kedua adalah salah menempatkan sesuatu, contoh dalam al-Qur’an adalah pada Q.S. Thāha ayat 52. Ketiga adalah bermakna lupa, contoh dalam al-Qur’an adalah Q.S. al-Baqarah ayat 282.

  4. Dalam bentuk fi’il mudhari tsulatsi mazid, yaitu yudhillu memiliki makna menyesatkan atau mendapatinya dalam kesesatan, sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah ayat 26, al-An’am ayat 144, al-Taubah ayat 115, al- Ra’d ayat 127 dan Ibrahim ayat 4 dan 27.

  5. Dalam bentuk ism fa’il mufrad dari fi’il lazim yaitu dhall dan dalam bentuk jamak yaitu dhāllun memiliki beberapa arti, yaitu orang yang bingung. Penggunaan lafazd dan makna tersebut ada dalam surat al- Dhuha ayat 7. Kedua bermakna orang yang tidak mendapat petunjuk, terdapat dalam Q.S. Ali`Imran ayat 90, al-Hijr ayat 56, dan al-Waqi’ah ayat 51.

  6. Dalam bentuk ism fa’il mufrad dari fi’il mu’ta’adi yaitu mudhillu dan dalam bentuk jamak yaitu mudhillūn memiliki arti orang yang menyesatkan orang lain dari petunjuk. Penggunaannya dalam al-Qur’an terdapat dalam Q.S. al-Qashas ayat 15, al-Zumar ayat 37 dan al-Kahfi ayat 51.

  7. Dalam bentuk ism tafdil yaitu adhallu memiliki arti lebih tersesat.
    Penggunaan dalam al-Qur’an terdapat dalam Q.S. al-Ma’idah ayat 60, al- A’raf ayat 179, al-Isra’ ayat 72 dan al-Furqan ayat 34, 42, dan 44.4

sesat

Makna Pengertian Sesat atau Dhalal dalam al-Qur’an


Dalam al-Qur’an lafadz dhalal dengan berbagai kata turunnya sebagaimana terungkap dalam pembahasan di atas dhalal menurut bahasa di atas sebanyak 1915 kali. Setelah dilakukan pengkajian terhadap lafadz dhalal dan kata yang turunnya dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an, ditemukan makna dan pengertian dhalal dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an.

1. Kufur

Allah. Telah mengutus utusan (Rasul) dan menurunkan sebuah kitab sebagai petunjuk jalan yang lurus sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al- Nisa/4: 174-175 dan Q.S.Syu`arā’ / 26: 52

“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. dan menunjuki mereka kepada jalan yang Lurus (untuk sampai) kepada-Nya.”

Istilah jalan yang lurus sebagai jalan orang Islam, orang yang mengaku mengikuti petunjuk Allah yaitu ayat-ayat yang turun dari-Nya. Berupa al-Qur’an sudah mengakar di ubun-ubun umat Islam karena istilah tersebut sudah menjadi bagian dari surat al-Fatihah ayat ke-6 yang menjadi bacaan wajib dalam shalat.

Tunjukilah Kami jalan yang lurus.

Dengan ayat ini menurut al-Thabathabai dalam tafsiral-Mizan Allah telah menetapkan untuk semua makhuknya sebuah jalan dimana mereka menggunakan jalan tersebut untuk titian menuju kepada Allah. Hal itu karena sebagaimana keterangan Q.S. al-Insyiqaq/84: 6 bahwa pada prinsipnya manusia itu dalam perjalanan menuju Tuhannya.

Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya.

Namun Allah menerangkan bahwa jalan tersebut tidak satu dengan pengikut yang satu pula, namun telah terbagi dalam dua golongan yaitu dua jalan. Sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Yasin/36: 60-61:

Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”, (61).dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.

Mengenai sifat dari jalan yang lurus telah dijelaskan oleh kelanjutan ayat dari suratal-Fatihah sebagai jalan orang yang diberi nikmat.

Menurut Ibnu Katsir dari ayat di atas berhubungan dengan Q.S. al- Nisa`/4: 69 berikut ini:

dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.

Dengan mengutip riwayat dari al-Dhahhak dari ibn Abbba’s yang dimaksud ayat shirath al-dhina anamtalayhim adalah dengan menaati Allah. Beribadah kepada Allah dari golongan malaikat-malaikat Allah, para nabi, al-Shiddiqin, para syahid dan orang-orang yang shalih.

Sedangkan lawan dari jalan yang lurus tersebut adalah jalan orang-orang yang dimurkai Allah dari jalan orang-orang yang sesat, sebagaimana ditegaskan akhir Q.S. al-Fathah/1: 7

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa yang dimaksud al-maghdhub’alayhim adalah orang-orang Yahudi dan al-dhalin adalah menunjukkan kepada kaum Nasrani.Kedua jalan dari kedua golongan ini sama-sama jalan yang sesat.

Orang-orang Yahudi adalah termasuk golongan umat nabi Musa as.Maka mereka digolongkan sebagai ahl-kitab karena pernah menerima ajaran monotaisme. Namun sebagaimana dikisahkan dalam ayat di atas mereka termasuk golongan orang sesat yang dimurkai oleh Allah karena golongan Yahudi pada masa nabi Muhammad saw. Hanya mempercayai Taurat namun tidak mempercayai Injil yang dibawa nabi Isa as.

2. Syirik

Konsep dhalal juga meliputi pengertian syirik yaitu mempersekutukan Allah dengan selain-Nya. Penegasan termuat dalam Q.S. al-Nisa/4: 116

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa memper- sekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.

Makna Syirik merupakan bagian dari kufr dari sisi penentangannya terhadap Allah dan Rasulnya. Pada zaman Nabi Muhammad saw masyarakat yang dikategorikan musyrik ini secara keras menolak untuk menyembah kepada Allah, mereka tetap melanjutkan kebiasaannya untuk menyembah berhala. Menurut riwayat dari Ibnu Jarir dari al-Dhahak bahwa orang-orang musyirk berkata.“ para malaikat adalah anak perempuan Allah, sesunggguhnya kami menyembah mereka agar mereka mendekatkan kami kepada Allah secara lebih intim”. Al-Dhahak berkata, “ maka menjadikan para malaikat sebagai Tuhan, membuatkan patung-patungnya dalam sosok wanita, kemudian mereka berhakim dan menaatinya”.

Dalam catatan sejarah, berhala-berhala yang dibikin oleh masyarakat Arab tersebut dianggap sebagai dewa-dewa kecil yang disebut anak perempuan Tuhan, ibu-bapak Tuhan dan sahabat-sahabat Tuhan.Tiga diantara yang paling terkenal di Makkah adalah Latta, Uzzah, dan Manat.

Penuturan keadaan masyarakat Makkah yang polities tersebut terdapat dalam Q.S. al-Najm/53:18-23.

Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar… Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza,.dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?.yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil…itu tidak lain hanyalah Nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan- sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.

Menyembah berhala dan semuanya benda-benda selain Allah jelas dinilai sebagai kesesatan karena berhala-berhala itu adalah benda mati yang tidak bisa member manfaat apa-apa kepada manusia.

Orang beriman yang menyembah satu Tuhan Allah jelas dinilai sebagai pejalan di jalan yang lurus bukan yang sesat digambarkan sebagai manusia berfikir logis dan sehat. Orang beriman tidak akan menyembah selain Allah karena Allah adalah Tuhan yang sesungguhnyayang akan sanggup melindunginya dari bahaya, sedangkan berhala-berhala yang diciptakan dan disembah oleh orang-orang musyrik jelas tidak akan memberikan manfaat apa-apa, apalagi pelindungan dari segala yang menimpa manusia, sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Yasin/36:23-24 dan al-An`am/6:57.

Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain nya jika (Allah) yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?.Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.

Katakanlah: Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.

Menurut sebuah penelitian, orang-orang musyrik lebih menunjuk kepada orang-orang Arab di zaman Rasulullah saw. Ciri-ciri mereka berpaham politeisme, paganisme dan tidak memiliki kitab suci atau pun pseudo kitab suci.Jadi mereka yang memiliki kitab suci, meskipun tampak berpaham wathanniyyat tidak dapat dianalogikan dengan al-Musrikun. Untuk itu pengikut Majusi dan Sabi`un tetap tergolong sebagai ahl-Kitab.

3. Nifaq

Dalam beberapa ayat yang memuat kata dhalal dapat ditemukan bahwa makna dhalal tidak hanya ditujukan untuk golongan manusia yang secara penuh menentang jalan Allah. Sebagaimana diterangkan dalam Q.S. al-Mumtanah ayat 1 berikut ini dhalal juga ditujukan kepada orang-orang beriman karena melakukan perbuatan yang mengikuti hawa nafsunya sampai mau berkerja sama dengan lawan (kaum kufur), sehingga tidak peduli bila perbuatan mereka itu akan berakibat buruk buat kelangsungan dakwah Islam. Orang-orang beriman inilah yang disebut sebagai orang munafik.

Sebagaimana firman Allah Q.S. al-Mumtahanah/60 : 1

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus.

Menurut riwayat ayat tersebut turun berkenaan dengan perbuatan Hathib bin Abi Balta’ah. Ia adalah seorang muhajirin yang juga pernah ikut perang badar. Ketika Nabi Muhammad saw. Membuat keputusan untuk menyerang Makkah Hathib bin Abi Balta’ah hendak membocorkan rencana Nabi Muhammad tersebut kepada kaum Kafir Makkah. Balta`ah merasa tidak sebagaimana sahabat Muhajirin lain yang punya kerabat di Makkah yang bisa melindungi harta bendanya, sehingga ia membuat jasa baik kepada orang-orang kafir makkah agar mereka melindungi harta keluarganya.

Ayat tersebut turun untuk melarang orang-orang beriman bersahabat, bekerjasama dengan orang-orang musyrik dan kafir atau bahkan mengangkat mereka sebagai pemimpinnya. Larangan ini karena orang-orang beriman yang bekerja sama dengan orang-orang kafir atau bahkan mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpinnya maka orang-orang beriman tersebut telah dikategorikan sebagai masuk golongan orang kafir. Maka tindakan orang beriman tersebut dinilai sebagai tindakan yang sesat sebagaimana sesatnya orang-orang kafir dan musyrik.

Dalam analisis faruq Sherif, al-Qur’an lebih banyak menyebutkan kemunafikan dalam konteks peristiwa sejarah atau orang-orang tertentu.Orang-orang munafiq dicirikan dalam sejarah orang yang memiliki iman yang palsu pada peristiwa ketika Nabi Muhammad memerangi musuh-musuhnya, orang-orang munafiq meskipun secara lahiriyah mengaku beriman, tetapi menunjukkan tingkah laku ppermusuhan. Mereka bekerja sama dengan orang-orang kafir bahkan menentang rencana-rencana Nabi Muhammad.

4. Kebingungan para Calon Nabi

Dhalal dalam al-Qur’an juga digunakan untuk menunjukkan masa lalu para nabi dan rasul Allah sebelum turunnya wahyu sebagaimana hidayah atau petunjuk. Dalam konteks ini lafazd dhalal sangat jelas dipertentangkan dengan huda. Tergambar dalam ayat-ayat berikut ini bahwa para nabi itu dulunya mengalami kebingungan bahkan kekeliruan tetapi kemudian diberi petunjuk (huda) oleh Allah. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. al-Dhuhā ayat 7:

“dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.”

Dalam tafsir Ibn Katsir diterangkan bahwa sebagian mufassir menjelaskan maksud ayat tersebut adalah keterangan bahwa nabi Muhammad saw. Pada masa kecil ketika masih tinggal diMakkah juga dalam keadaan sesat (dhalal) kemudian kembali.

Pada surat al-Syu’ara ayat 20 juga diterangkan tentang Musa as. Yang mengatakan bahwa beliau dulunya juga dalam kesesatan.

berkata Musa: “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu Termasuk orang-orang yang khilaf.

Dikotomi sesat dapat petunjuk dalam masa lalu para nabi juga tergambarkan dalam Q.S. al-An’am/6:77. Dalam ayat tersebut diceritakan bahwa dalam perjalanan mencari Tuhan yang tidak kunjung memuaskan, Ibrahim berujar apabila tidak mendapat petunjuk dari Tuhan maka pastilah Ibrahim akan berada dalam kesesatan.

kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: “Inilah Tuhanku”. tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.

Dalam kisah Ya’qub yang mencintai anaknya Yusuf secara berlebihan di atas saudaranya yang lain dinilai oleh keluarga Ya`qub sebagai sesat (dhalal) karena telah menimbulkan sikap yang telah membeda-bedakan kepada anaknya Q.S. Yusuf/12: 95

keluarganya berkata: “Demi Allah, Sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu “.

Menurut Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud **_dhalalika al-qadim_** adalah Yaqub berada dalam kesalahan terdahulu.

5. Hilang dan Lenyap

Kata dhalal dalam al-Qur’an tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan suatu konsep-konsep yang bermuatan religius. Dhalal dalam al-Qur’an juga terbukti digunakan sebagai makna asalnya dalam bahasa Arab, diantaranya hilang Q.S. al-isrā`/16:67

dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.

Menurut Ibn Katsir dhalal ayat tersebut berarti dzahaba(hilang) yaitu hilanglah hati mereka setiap benda-benda yang mereka sembah selain Allah.

Pada ayat lain Allah berfirman Q.S. Surat al-A`raf ayat 37 dhalal berarti lenyap.

Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya dalam kitab (Lauh Mahfuzh); hingga bila datang kepada mereka utusan-utusan Kami (malaikat) untuk mengambil nyawanya, (di waktu itu) utusan Kami bertanya: “Di mana (berhala-berhala) yang biasa kamu sembah selain Allah?” orang-orang musyrik itu menjawab: “Berhala-berhala itu semuanyatelah lenyap dari kami,” dan mereka mengakui terhadap diri mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.

Menurut Ibn Katsir maksud dhalal dalam ayat tersebut adalah lenyap atau hilang dari sesuatu sehingga kita tidak dapat mengharapkan manfaat dan kebaikan dari sesembahan yang kita sembah selain Allah.

Referensi :

  • Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, juz 1 (Beirut: Dar al- Ma’rifah, t. t). Muhammad Fu’ad Abd al-Baihaqi, al-Mu’jam al-Mufahras lī Alfazh al-Qur’ān al- Karīm, (Beirut: Dar al-fikr, 1981).
  • Imam al-din Abi al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-'Azhim, (Kuwait: Jam’iyyahiyah’al-Turats al-Islamy, 1998).
  • Phlilip K.Hitti… Dunia Arab, Penerjemah Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P. sihombing (Bandung: Sumur Bandung, tt).
  • Faruq Sherif, al-Qur’an Menurut al-Qur’an, penerjemah: MH Assaf dan Nur Hidayah (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
  • Abi al-Hasan ‘Ali bin Ahmad l-Wahidi al-Naysaburi, Asbab al-Nuzul (ttp: Makkah wa Mathba`ah al-Manar,tth).

Penafsiran Ibnu Katsir tentang kata dhalal sesuai dengan bentuk kalimatnya adalah sebagai berikut:

  1. Kata dhalal yang berbentuk fi’il mudhari tsulatsi mazid, diartikan menyesatkan atau mendapatinya dalam kesesatan

    ”Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?.” dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” Surat Al-Baqarah Ayat 26

    Dalam tafsirnya, al-Sa’di berkata melalui sanadnya dari ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan berjumlah sahabat: tatkala Allah memberikan dua perumpamaan untuk kaum munafik seperti pada ayat “perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api” dan pada ayat ”atau seperti hujan lebat dari langit”, maka kaum munafik berkata, ”Allah terlalu agung untuk memberikan perumpamaan seperti itu.” Maka dia menurunkan ayat ini, ”sesungguhnya Allah tidak memandang rendah untuk membuat perumpamaan….mereka adalah orang merugi.”

    Allah memberitahukan bahwa dia tidak memandang enteng sesuatu yang dijadikan-Nya sebagai perumpamaan, walaupun rendah dan hinnya sesuatu nyamuk. Sebagaimana Dia tidak memandang remeh untuk dijadikannya sebagai perumpamaan, sebagaimana dia pun telah memberikan perumpamaan dengan lalat dan laba-laba pada surat ini. Arti lā yastahyi ialah: tidak memandang remeh. Ada juga yang mengartikan untuk memberikan sesuatu yang kecil maupun besar. Mā untuk menyatakan sedikit, seperti anda mengatakan La adhribanna dharban mā’ saya akan memberikan perumpamaan kecil’.Lalu, Dia membenarkan dengan perkara yang lebih rendah atau lebih tinggi”.

    Artinya, dengan perkara yang lebih kecil dan sepele, seperti halnya bila seseorang yang disifati kikir dan bakhil, lalu sipenyimak mengatan “ya”, pada hal orang tadi lebih kikir dan bakhil dari itu.

    Adapun mereka yang kafir mengatakan, apakah maksud Allah menjadikan perumpamaan” mereka menyepelekan perumpamaan itu sebagai kesesatan mereka, sebagaimana Allah berfirman dalam suratal- Mudatsir

    Al-Sa`di berkata dalam tafsirnya dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dan dari sejumlah sahabat bahwa yang dimaksud “ dengan perumpamaan itu dia menyesatkan banyak orang”, yakni kaum munafik, “ dan dengan perumpamaan itu dia menjerumuskkan banyak orang”, yakni kaum mukmin. Maka kaum munafik semakin bertambah sesat karena mereka mendustakan perumpamaan yang telah diberikan Allah yang telah diketahu tatkala diberikan. Itulah penyesatkan Allah dengan perumpamaan kepada kaum munafik dan petunjuk Allah dengan perumpamaan kepada orang-orang beriman dan membenarkan sehingga bertambahlah keimanan dan petunjuknya kepada petunjuk yang sudah ada karena mereka membenarkan apa yang telah mereka ketahui dengan benar dan yakin.

  2. Kata dhalal yang berbentuk fi’il madhi tsulatsy mujarad diartikan dengan sesuatu telah hilang/lenyap .

    “Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? dan Barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, Maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus.” Q.S. al-Baqarah/108

    Allah Ta’ala melarang kaum mukmin banyak bertanya kepada Nabi saw. Mengenai perkara yang belum terjadi. Sebagaimana Allah telah berfirman,

    ”hai orang-orang beriman, janganlah kau menanyakan kepada (Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu, dan jika kamu menanyakan pada saat al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.” (al-Maaidah: 101)

    yakni, apabila menanyakan perinciannya setelah ayat itu diturunkan, niscaya ia akan menjelaskan kepadamu, dan janganlah kamu menanyakan perkarya yang belum terjadi karena boleh jadi perkara itu akan diharamkan karena ditanyakan.

  3. Kata dhalal berbentuk ism fail mufrad dari fiil lazim diartikan dengan orang yang tidak mendapat petunjuk.

    ”Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat.” Q.S. al-Imrān /3:90

    Allah mengancam oarang-orang kafir setelah dia beriman kemudian tetap dalam kekafirannya hingga dia mati.Allah memberitahukan bahwa tobat mereka tidak diterima pada saat kematiannya. Hal ini sebagaimana Alah berfirman,

    ”Tiada tobat bagi orang-orang yang melakukan berbagai keburukan sehingga apabila kematiannya datang kepada salah seorang diantara mereka.“

    oleh karena itu, Allah berfirman,” maka tidak akan diterima tobatnya. Mereka adalah orang-orang yang sesat,” yakni orang- orang yang meninggalkan kebenaran untuk menuju kebatilan.

  4. Kata dhalal berbentuk ism madhi tsulatsi mazid diartikan dengan sesat berubah menjadi menyesatkan.

    ”Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, Padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.” Q.S. al-Nisā`/4:88

    Allah berfirman dengan mengingkari perselisihan kaum mukmin dalam menghadapi kaum munafik.Pandangan mereka terbagi dua. Imam Ahmad meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ,

    ”bahwa Rasulullah saw. berangkat ke Uhud, lalu, segolongan orang yang semula pergi bersamanya, kembali lagi. Dalam menghadapi mereka, pendapat para sahabat Rasulullah terbagi dua: pendapat yang mengatakan akan membunuhnya dan yang mengatakan tidak boleh membunuhnya sebab mereka kaum mukmin juga. Maka Allah menurunkan ayat,”maka mengapa kamu menjadi dua golongan dalam menghadapi orang-orang munafik.”Rasulullah dalam hal ini bersabda,” keberadaan golongan itu baik juga adanya. Ia dapat mengikis keburukan seperti ububan seperti mengikis karatnya besi.”

    Hadist ini dikemukakan dalam sahih lain dari hadist Syu`bah. Muhammad bin Ishak bin Yasar menuturkan Ihwal peristiwa Uhud bahwasanya Abdullah bin Ubai bin Salul kembali lagi ke Madinah bersama sepertiga pasukan. Dia pulang bersama 300 tentara, sedangkan Nabi saw. tetap melanjutkan perjalanan bersama 700 orang lain.
    Firman Allah,” Padahal Allah telah mengembalikan mereka kepada kekeliruan,” yakni memulangkan dan menjerumuskan mereka ke dalam kesalahan. Firman Allah., “ lantaran apa yang telah mereka lakukan”, yakni lantaran mereka durhaka dan menyalahi Rasulullah serta mengikuti kebatilan. “apakah kamu hendak menunjukkan orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, maka sesekali kamu tidak mendapatkan jalan untuknya”. Artinya, ia tidak memiliki jalan menuju hidayah.

  5. Kata dhalal yang berbentuk fi’il madhi tsulatsy mujarad diartikan dengan sesuatu telah hilang/lenyap

    ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” Q.S. al-Nisā`/4:116

    Makna Syirik merupakan bagian dari kufr dari sisi penentangannya terhadap Allah dan Rasulnya. Pada zaman Nabi Muhammad saw. masyarakat yang dikategorikan musyrik ini secara keras menolak untuk menyembah kepada Allah, mereka tetap melanjutkan kebiasaannya untuk menyembah berhala. Menurut riwayat dari Ibnu Jarir dari al-Dhahak bahwa orang-orang musyirk berkata.“para malaikat adalah anak perempuan Allah, sesunggguhnya kami menyembah mereka agar mereka mendekatkan kami kepada Allah secara lebih intim”. Al-Dhahak berkata berkata, “ maka menjadikan para malaikat sebagai tuhan, membuatkan patung-patungnya dalam sosok wanita, kemudian mereka berhakim dan menaatinya”.

    Dalam catatan sejarah, berhala-berhala yang dibikin oleh masyarakat Arab tersebut dianggap sebagai dewa-dewa kecil yang disebut anak perempuan Tuhan, ibu-bapak Tuhan dan sahabat-sahabat Tuhan.Tiga diantara yang paling terkenal di Makkah adalah Latta, Uzzah, dan Manat. Penuturan keadaan masyarakat Makkah yang politis tersebut terdapat dalam firman-Nya sebagai berikut :

    ”Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza,.dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?).yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.itu tidak lain hanyalah Nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan- sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” Q.S. al-Najm/53:18-23

    Menyembah berhala dan semuanya benda-benda selain Allah jelas dinilai sebagai kesesatan karena berhala-berhala itu adalah benda mati yang tidak bisa memberi manfaat apa-apa kepada manusia.

    Orang beriman yang menyembah satu Tuhan Allah jelas dinilai sebagai pejalan di jalan yang lurus bukan yang sesat digambarkan sebagai manusia berfikir logis dan sehat. Orang beriman tidak akan menyembah selain Allah karena Allah adalah Tuhan yang sesungguhnya yang akan sanggup melindunginya dari bahaya, sedangkan berhala-berhala yang diciptakan dan disembah oleh orang-orang musyrik jelas tidak akan memberikan manfaat apa-apa, apalagi perlindungan dari segala yang menimpa manusia, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya

    ”mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain nya jika (Allah) yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?.Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.” Q.S. Yasin/36:23-24

    ”Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.” al-An`am/6:57

    Menurut sebuah penelitian, orang-orang musyrik lebih menunjuk kepada orang-orang Arab di zaman Rasulullah saw. Ciri-ciri mereka berpaham politeisme, paganisme dan tidak memiliki kitab suci atau pun pseudo kitab suci. Jadi mereka yang memiliki kitab suci, meskipun tampak berpaham wathanniyyat tidak dapat dianalogikan dengan al-Musyrikun. Untuk itu pengikut Majusi dan Sabi`un tetap tergolong sebagai ahli-Kitab.

  6. Kata dhalal yang berbentuk ism tafdil diartikan dengan lebih tersesat.

    “Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, Yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi[424] dan (orang yang) menyembah thaghut?”. mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” Q.S. al-Maidah/5:60

    Allah., berfirman, “katakanlah,’ apakah aku akan memberitahukan kepadamu ihwal orang yang lebih buruk pembalasannya dari pada itu disisi Allah.” Yakni, apakah aku akan memberitahukan kepadamu ihwal pembalasan dari sisi Allah pada hari kiamat yang kamu anggap akan ditimpahkan kepada kami? Padahal, kamulah yang memiliki sifat-sifat itu seperti dijelaskan oleh firman Allah.,” yaitu orang yang dilaknat Allah”, yakni dijauhkan dari rahmat-Nya,” dimurkai-Nya”, yakni dimurkai dan setelah itu tidak akan diridhai untuk selamanya.” Dan dia menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi”

    Sufyan al-Tsauri meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah saw. Ditanya mengenai kera dan babi, apakah ia merupakan binatang yang dialih rupakan oleh Allah? Beliau menjawab,

    “Allah tidak membinasakan suatu kaum.’atau beliau mengatan, ‘Allah tidak mengalih rupakan suatu kaum lalu menjadikan mereka berketurunan dan beranak cucu dan bahwasanya kera dan babi ada sebelum itu.”

    Hadist ini pun diriwayatkan oleh Muslim.

    Dan firman Allah,” dan penyembah thāgut” yakni menjadi kan sebagian mereka sebagai hamba thagut. Penggalan ini dibaca dengan beberapa versi, namun seluruh maknanya berpulang pada,” Hai Ahli Kitab, kamu adalah orang yang mencela agama kami yaitu agama yang mengesakan Allah dan mengkhususkan aneka aneka ibadah kepada-Nya, bukan kepada selainnya: bagaimana mungkin hal ini muncul dari dirimu sedang di antara kamu terdapat aneka penyembahan thagut?” Oleh karena itu Allah., berfirman,” mereka lebih buruk tempatnya” dari pada yang kamu kira akan ditimpahkan kepada kami” dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. Penggala ini merupakan pemakaian tingkat perbandingan tanpa penyebutan perkara yang dibandingkannya seperti yang terjadi pada firman Allah,” pada hari itu penghuni surga lebih baik tempatnya dan lebih bagus perkataannya.

  7. Kata dhalal dalam bentuk fi’il mudhari tsulatsi mazid diartikan dengan menyesatkan atau mendapatinya dalam kesesatan.

    “dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?”Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Q.S. al-An`ām/6:144

    Firman Allah., “katakanlah,’ apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina.” Yakni, aku tidak mengharamkan yang mana pun.” Ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?” yakni, rahim itu hanya mengandung anak jantan dan betina, namun mengapa kamu menghalalkan yang satu dan mengharamkan yang lain? Terangkanlah kepadaku dengan berdasarkan pengetahuan jika kamu orang-orang yang benar.”Yakni, semuanya itu halal.

    Firman Allah.,” apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu?” penggalan ini untuk membungkam perbuatan mengada-ngada kepada Allah dan bid’ah mereka ihwal perkara yang tidak diharamkan oleh-Nya.”Dan siapakah orang yang yang lebih zalim dari pada orang yang mengada-ngadakan dusta kepada Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” yakni tiada yang lebih zalim daripada orang semacam itu.”Sesungguhnya Allah tidak akan member petunjuk kepada orang yang zalim.” Orang yang pertama kali disesatkan setelah turunnya ayat ini ialah Amr bin Lahui bin Qum’ah karena dialah orang yang pertama kali mempersembahkan untah sa’ibah, washilah, dan ham sebagaimana itu ditegaskan dalam shahih Shahihain.

  8. Kata dhalal dalam bentuk ism tafdil diartikan lebih tersesat.

    “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” Q.S. al- A`raf/7:179

    Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat ini.Allah., berfirman , “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan untuk Jahanam sebagaian besar jin dan manusia.” Yakni kami menyiapkan mereka untuk Jahanam dan berprilaku dengan prilaku penghuni Jahanam. Hal itu karena tatkala Allah hendak menciptakan makhluk, maka Dia mengetahui apa yang akan mereka lakukan, sebelum keberadaan mereka.

    Mereka memilki hati yang mereka tidak gunakan untuk memahami, memilki mata yang tidak mereka gunakan untuk melihat, dan memiliki telinga yang tidak digunakan untuk mendengar.” Yakni mereka tidak memanfaatkan sedikit pun organ-organ tubuh yang telah dijadikan Allah sebagai sarana untuk memperoleh hidayah.

    Firman Allah.,”Mereka seperti binatang.” Yakni, orang-orang yang tidak menyimak kebenaran, tidak menyadarinya, dan tidak melihat hidayah adalah seperti binatang yang dilepas yang tidak memanfaatkan organ-organ tubuh itu kecuali sekadar untuk memperoleh makanan dalam kehidupan lahiriyah dunia. Binatang itu mendengar suara pengembalanya namun dia tidak memahami apa yang diucapkan. Maka sehubung dengan mereka Allah berfirman,”Bahkan mereka lebih sesat” dari pada binatang-binatang itu, sebab binatang kadang-kadang dapat mengerti hardikan pengembala walaupun ia tidak memahaminya. Kemudian binatang itu berbuat menurut tujuan penciptanya baik berdasarkan nalurinya maupun karena ketaklukannya. Hal itu berbeda dengan orang kafir. Sesungguhnya Allah menciptakan dia supaya menghambakan diri kepada Allah dan mengesakan- Nya, lalu dia mengingkari dan menyekutukan Allah., Maka manusia yang taat kepada Allah adalah lebih mulia diakhirat dari pada malaikat, sedangkan manusia yang kafir kepada-Nya adalah lebih buruk dari binatang. Oleh karena itu,Allah., berfirman,” Mereka itu adalah orang-orang yang lalai.

  9. Kata dhalal dalam bentuk fi’il mudhari tsulatsi mujarrad diartikan dengan tidak dapat petunjuk.

    ”Katakanlah: “Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu Barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan Barangsiapa yang sesat, Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu”.” Q.S. Yunus/108

    Menurut Ibnu Katsir ayat ini menjelaskan bahwanya Allah menyuruh Nabi Muhammad agar memberitahukan kepada manusia apa yang dibawa olehnya dari sisi Allah itu merupakan kebenaran yang tidak diragukan lagi. Orang yang memperoleh petunjuk maka manfaatnya adalah bagi dirinya sendiri.Dan barang siapa yang sesat maka kemudaratannya berpulang pada dirinya sendirinya juga.”Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu,” Yakni aku bukan pengatur atas hidayahmu.Sesungguhnya aku hanya pemberi peringatan bagimu.Hidayah itu dari Allah.”

  10. Kata dhalal dalam bentuk ism failmufrad dari fiil mutaadi diartikan dengan orang yang menyesatkan orang lain dari petunjuk.

    ”aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.” Q.S. al Kahfi/18:51

    Menurut Ibnu Katsir ayat ini menjelaskan bahwanya Allah berfirman swt., sesungguhnya orang-orang yang kamu ambil sebagai pelindung- pelindung selain aku adalah hamba sepertimu. Mereka tidak memiliki apapun, dan aku tidak menghadirkan mereka dalam penciptaan langit dan bumi, tidak pula mereka adakan. Akulah pencipta seluruh perkara,pemgatur dan penetapnya. Dalam melakukan semua itu, aku tidak ditemani oleh sekutu, penolong, atau penasehat. Karena itu, Allah., berfirman,” Dan tidaklah aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong,” yakni pembantu-pembantu. Demikian penafsiran malik.

  11. Kata dhalal dalam bentuk ism fail mufrad dari fiillazim diartikan orang yang bingung.

    “dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” Q.S. al-Dhuhā/93:7

    Menurut Ibnu Katsir ayat ini menjelaskan bahwanya Allah.,berfirman,” Dan Dia mendapimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberi petunjuk” adalah seperti firman Allah.,

    “demikianlah kami wahyukan kepadamu ‘ruh’ dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang kami tunjuki dengan Dia siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamb-hamba Kami.” (al-Syuura: 52).

  12. Kata dhalal dalam bentuk fi`il madhi tsulatsi mazid, diartikan sesat menjadi menyesatkan.

    “tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? dan Tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” Q.S. al-Rum/30:29

    Menurut Ibnu Katsir ayat ini menjelaskan bahwanya Allah., menerangkan bahwa kaum musyrikin itu menyembah selai-Nya karena kedunguan dan kebodohan mereka sendiri.” Tetapi orang-orang yang zalim,” yaitu orang-orang yang menzalimi dirinya sendiri dengan melakukan kemusyrikan,” mengkuti hawa nafsuny” dalam hal penyembahan tandingan-tandingan tanpa ilmu pengetahuan,” Maka siapakah yang kan menunjukkan orang yang telah disesatkan Allah?” tidak ada seorang pun yang dapat menunjukkan orang telah ditetapkan Allah sebagi orang yang sesat. “Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” Mereka tidak dapat melepaskan diri dari kekuasaan Allah, tidak dapat berlindung, dan mengelak, sebab apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi, dan apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.

Referensi :

  • Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an
  • Muhammad Nasib Ar-Rifā’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsīr (Jakarta: Gema insani, 1999).