Konsep sekuritisasi dikembangkan oleh para ilmuwan yang tergabung dalam Conflict and Peace Research Institute (COPRI) yang dikenal dengan aliran pemikiran The Copenhagen School , terutama diwakili oleh pemikiran Barry Buzan dan rekan-rekannya. Barry Buzan et al mendefinisikan sekuritisasi yang dipandang sebagai versi ekstrim politisasi (Buzan, 1998) karena tindakan yang diambil oleh negara dalam menghadapi isu tersebut akan berbeda dengan isu politik biasa seperti penggunaan kekuatan angkatan bersenjata. Isu publik dalam suatu negara dapat dikategorikan dalam tiga spektrum, yaitu:
-
Isu publik yang tidak mengalami politisasi yakni tidak menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat sehingga muncul dalam debat publik.
-
Isu publik yang mengalami politisasi merupakan bagian dari kebijakan publik yang membutuhkan pilihan pemerintah dan alokasi keuangan.
-
Isu publik yang mengalami sekuritisasi sebagai suatu ancaman nyata sehingga membutuhkan tindakan darurat dan membenarkan tindakan di luar prosedur politik yang normal (Buzan, 1998).
Tiga aktor yang berperan penting (Buzan, 1998) dalam proses sekuritisasi adalah:
-
Referent objects sebagai sesuatu yang dianggap secara nyata dalam keadaan terancam dan memiliki legitimasi untuk bertahan hidup.
-
Securitizing actors sebagai aktor yang melakukan sekuritisasi dengan menyatakan sesuatu- referent objects -secara nyata dalam keadaan terancam.
-
Functional actors sebagai aktor yang mempengaruhi dinamika keamanan dalam sektor tertentu tanpa perlu menjadi referent objects dapat mempengaruhi keputusan dalam masalah keamanan secara signifikan.
Securitizing actors (Buzan, 1998) dalam proses sekuritisasi biasanya adalah pemimpin politik, birokrat, pemerintah, kelompok lobi dan kelompok kepentingan. Proses sekuritisasi mencakup lima sektor keamanan yaitu keamanan militer, politik, sosial, ekonomi dan lingkungan sehingga sumber ancaman bagi referent objects bervariasi. Referent objects (Buzan, 1998) dapat berupa negara (keamanan militer), kedaulatan nasional atau ideologi (keamanan politik), identitas kolektif (keamanan sosial), ekonomi nasional (keamanan ekonomi), atau spesies, habitat hewan dan tumbuhan (keamanan lingkungan). Buzan et al. menekankan pentingnya tindakan penyampaian pernyataan ( speech act ) yang dilakukan oleh securitizing actors dalam proses sekuritisasi untuk meyakinkan konstituen bahwa referent objects sedang dalam keadaan terancam sehingga perlu diambil tindakan normal. Emmers mengungkapkan keberhasilan suatu proses sekuritisasi (Emmers, 2004) sebagai berikut:
“ According to the Copenhagen School, the act of securitization is successful when the securitizing actor succeeds in convincing a relevant audience (public opinion, politicians, military officers or other elites) that a referent object is existentially threatened. In these circumstances, standard political procedures are no longer viewed as adequate and extraordinary measures may be imposed to counter the threat. Due to the urgency of the issue, constituencies tolerate the use of counteractions outside of the normal bounds of political procedures. Extraordinary measures can then be imposed that move beyond rules ordinarily abided by. What constitutes an existentia threat is thus viewed by the school to be a subjective question that depends on a shared understanding of what is meant by such a danger to security. The Copenhagen School asserts, however, that a succesful act of securitisation does not depend on the use of exceptional means. The act simply provides securitising actors with the special right to adopt such actions .”
“ Menurut Copenhagen School, tindakan sekuritisasi berhasil apabila securitizing actors dapat meyakinkan para aktor (opini publik, politisi, pejabat militer, dan elit lainnya) bahwa referent objects secara nyata terancam. Dalam keadaan ini, prosedur politik standar tidak lagi dipandang cukup dan tindakan luar biasa dapat diterapkan untuk mengatasi ancaman tersebut. Karena pentingnya masalah ini, konstituen menerima penggunaan tindakan di luar batasan normal dari prosedur politik. Tindakan luar biasa kemudian dapat diterapkan hingga keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan. Apa yang menjadi ancaman kemudian dipandang oleh pemikiran ini sebagai suatu pertanyaan subjektif yang bergantung pada pemahaman bersama mengenai apa yang dimaksud sebagai suatu ancaman terhadap keamanan. Copenhagen School mengatakan, bagaimanapun juga, bahwa suatu tindakan sekuritisasi yang berhasil tidak bergantung pada penggunaan tindakan -tindakan luar biasa. Tindakan ini hanya memberikan securitizing actors hak istimewa untuk menggunakan tindakan -tindakan tersebut.”
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa proses sekuritisasi yang berhasil membutuhkan setidaknya pemahaman umum mengenai situasi terancam yang dialami oleh referent objects dan mengakui keberadaan ancaman tersebut. Buzan et.al menekankan bahwa proses sekuritisasi dianggap berhasil apabila terdapat tiga komponen (atau langkah), yaitu ancaman bersifat nyata, tindakan darurat dan dampak pada hubungan antar unit dengan mengabaikan aturan yang ada. Namun ketiga hal tersebut tidak perlu sampai diwujudkan dalam bentuk yang kaku, mengingat suatu proses sekuritisasi bergantung secara signifikan pada konsepsi mengenai keamanan itu sendiri. Perkembangan kajian keamanan juga memberikan dinamika tersendiri bagi pendefinisian referent objects dalam suatu isu keamanan.
Perkembangan ini memungkinkan adanya lebih dari satu referent objects pada satu isu keamanan yang bersumber dari suatu proses sekuritisasi. Untuk itu perlu dibahas mengenai karakteristik atau kondisi yang memungkinkan suatu entitas menjadi referent objects . Individu secara perorangan maupun kolektif dalam pendekatan human security dapat menjadi entitas yang terancam sehingga apabila terjadi sekuritisasi maka individu menjadi referent objects . Penekanan aspek individu sesuai dengan definisi human security menurut United Nations Development Program (UNDP) dalam Human Development Report 1994 adalah pada suatu ancaman kronis yang merujuk pada suatu gangguan dengan intensitas di luar batas normal kehidupan individu tersebut dan gangguan terhadap pola aktivitas yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari individu tersebut. Jadi, penekanan ini berupa jenis dan intensitas ancaman yang bersifat luar biasa dimana ancaman tersebut secara signifikan mengubah kebiasaan hidup individu tersebut.
Lingkungan hidup ( environment ) dapat menjadi entitas yang terancam keamanannya ( referent objects ) dengan penekanan pada kondisi lingkungan hidup sebagai komponen penting bagi keamanan negara. Hal ini didasarkan pada dua hal, yaitu:
-
Lingkungan hidup berkaitan erat dengan kondisi hidup individu penduduk suatu negara. Kondisi tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan hidup dimana penduduk tinggal dan beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan hidup sampai saat ini merupakan sumber utama bagi kemakmuran penduduk suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Julian Oswald, konsep keamanan negara berdasarkan pada kedaulatan negara, keselamatan dan pemeliharaan kondisi fisik penduduk negara (Oswald, 1993) tersebut merupakan pertimbangan utama bahkan dominan. Ancaman terhadap lingkungan merupakan gangguan terhadap sumber kemakmuran penduduk yang selanjutnya merupakan gangguan terhadap stabilitas dan keamanan negara.
-
Kondisi lingkungan suatu negara berkaitan erat dengan kedaulatan negara tersebut. Michael Frederick menyebutkan bahwa lingkungan hidup merupakan komponen keamanan negara. Hal ini ditegaskan oleh Frederick dengan mengutip kajian yang melihat lingkungan hidup sebagai variabel bebas sedangkan keamanan negara dalam konteks ini sebagai variabel terikat (Mathews, ed., 1999).
Masalah lingkungan hidup yang bersifat inheren sebagai sumber ketergantungan individu, masyarakat bahkan negara menjadi ancaman bagi keamanan negara. Keamanan negara dapat dipengaruhi oleh masalah lingkungan hidup sampai pada berbagai tingkatan. Hal ini tergantung pada kondisi apakah permasalahan lingkungan hidup dapat menyebabkan kerusuhan sosial, instabilitas politik, kesulitan ekonomi, ancaman bagi integritas sosial, ketegangan diplomatik, atau bahkan peperangan terbuka. Dengan demikian lingkungan hidup dapat menjadi referent objects terkait dengan ancaman yang ditimbulkannya terhadap individu dan negara secara langsung dan juga mempengaruhi keamanan negara.
Perkembangan kajian keamanan pasca Perang Dingin menimbulkan banyak sumber ancaman baru yang seringkali baru dianggap sebagai ancaman serius setelah mengalami proses sekuritisasi. Hanya isu militer dan politik secara tradisional atau pada derajat tertentu isu lainnya juga dianggap sebagai masalah keamanan. Hal ini dapat dipahami karena karena konsep keamanan negara secara tradisional berkaitan erat dengan kedaulatan suatu negara-lingkup teritorial tertentu dimana hanya negara tersebut yang memiliki kewenangan untuk mengelola teritorial tersebut. Konsep ini dikenal sebagai Westphalian Nation State System sebagai produk Perang Tiga Puluh Tahun pada tahun 1648 dengan penekanan pada teritorialitas dan ketiadaan aktor luar (Krasner, 1999) dalam struktur otoritas domestik. Penekanan pada kedua hal tersebut menyebabkan penekanan konsep keamanan hanya pada suatu ancaman yang bersifat militaryexternal (Anggoro, 2004) dimana negara sebagai subyek. Lebih lanjut diungkapkan:
“ …dalam konteks negara berkembang… proyek keamanan negara lebih banyak berkaitan dimensi politik daripada keamanan…(selanjutnya berkembang kajian yang menekankan) keamanan bukan hanya berkaitan dengan nexus military-external tetapi juga menyangkut realitas global… ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup manusia dan ekosistem bumi yang berasal dari degradasi lingkungan dan pertumbuhan penduduk. Meskipun demikian, yang sesungguhnya terjadi tampaknya tidak lebih dari sekedar proliferasi konsep dan kekhawatiran…Para ilmuwan aktivis memang mengguratkan jejak untuk memahami bahaya masa depan, tetapi tidak mampu menembus benteng ortodoksi para pembuat kebijakan yang tetap lebih peduli persoalan urgensi dan prioritas.”
Dengan demikian negara hanya dianggap terancam secara signifikan oleh ancaman yang bersumber dari kekuatan militer negara lainnya. Walaupun demikian, kondisi keamanan global pasca Perang Dingin menggambarkan kondisi yang berbeda terutama kondisi persaingan antara dua negara adidaya “berakhir” ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989 dan mulai disadari bahwa ancaman-ancaman bersifat nonmiliter yang dilakukan aktor-aktor nonnegara juga berpotensi mengancam negara.
Konsep kedaulatan Westphalian bukan satu-satunya konsep kedaulatan (Krasner, 1999) yang dapat dipahami menurut Krasner. Ada empat pengertian kedaulatan, yaitu:
-
Kedaulatan domestik merujuk pada bagaimana berjalannya suatu organisasi yang memiliki otoritas publik dalam suatu negara dan sejauh mana otoritas itu dapat dijalankan secara efektif.
-
Kedaulatan interdependen merujuk pada bagaimana suatu otoritas publik tersebut dapat mengendalikan lalu lintas yang bersifat transnasional seperti barang, manusia, benda polutan, penyakit dan ide-ide, keluar masuk wilayah kewenangannya.
-
Kedaulatan hukum internasional merujuk pada pengakuan status suatu entitas politik dalam sistem internasional.
-
Kedaulatan Westphalian merujuk pada pengaturan institusional untuk mengatur kehidupan politik yang berdasarkan pada teritorialitas dan ketiadaan aktor eksternal dalam struktur otoritas domestik.
Ancaman-ancaman bersifat nonmiliter yang dilakukan oleh aktor nonnegara ini berkaitan dengan konsep kedaulatan domestik dan konsep kedaulatan interdependen. Adanya ancaman tersebut menunjukkan bahwa otoritas publik (pemerintah) tidak dapat secara efektif menjalankan otoritas yang menjadi tugasnya. Adanya ancaman yang bersifat transnasional menunjukkan bahwa pemerintah tidak dapat mengendalikan lalu lintas di wilayah perbatasan. Kedua hal ini merupakan suatu bentuk pengurangan terhadap kedaulatan domestik dan kedaulatan interdepen suatu negara.
Walaupun menurut Krasner, adanya pengurangan terhadap kedaulatan domestik dan kedaulatan interdepeden (Krasner, 1999) tidak mengurangi kedaulatan Westphalian dan kedaulatan hukum internasional. Tidak juga membuat negara harus melakukan tindakan selayaknya apabila terjadi gangguan terhadap kedaulatan Westphalian seperti agresi militer negara lain atau terhadap kedaulatan hukum internasional seperti hilangnya pengakuan terhadap keberadaaan negara tersebut. Namun, ancaman-ancaman yang mengurangi kedaulatan domestik dan kedaulatan interdependen, pada akhirnya merupakan gangguan terhadap kedaulatan Westphalian karena membuat pemerintah harus berkompromi mengenai kedaulatan Westphalian.