Apa yang anda ketahui tentang Sastra Angkatan 45?

Sejarah sastra

Apa yang anda ketahui mengenai sastra angkatan 45?

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

Para sastrawan tidak sependapat tentang penamaan Angkatan 45. Ada yang suka, ada juga yang tidak suka dengan penamaan itu.

H. B. Jassin mengatakan bahwa satu hal yang tidak aneh mengapa sebagian Angkatan 45 tidak suka Cap 45. Tahun itu ialah tahun proklamasi kemerdekaan yang harusnya membanggakan, tetapi tahun itu bertalian pula dengan kejadian-kejadian yang tidak semuanya menyenangkan hati, pembunuhan-pembunuhan (dari kedua belah pihak), culik-menculik, agitasi, korupsi, saling cakaran, pasis-pasisan. Revolusi dari sudut ini kita bisa lihat dalam novel Idrus Surabaya dan analisis Sjahrir dalam Perjuangan kita, suatu kritikan hebat terhadap pemuda dan pemimpin yang dilihat Sjahrir terpengaruh oleh Jepang dan melakukan cara-cara fasis dalam perjuangan kemerdekaan.

Dengan mengakui kelemahan-kelemahan ini, sebaliknya orang yang suka nama Angkatan 45, tetap melihat tahun itu sebagai tahun yang mulia dalam perjuangan kebangsaan Indonesia. Mereka bertanya: Dengan tiada penumpahan darah sediakah Belanda menyerahkan kemerdekaan?

Ada juga orang mengemukakan keberatan: Apakah kita berhak membonceng pada nama mentereng Angkatan 45, sedang kita belum tentu ikut berjuang dengan perbuatan?

Tenaga kata-kata yang mengandung pikiran paling dalam dianggap kurang dari perjuangan dengan senjata, padahal bahasa hati tidak kurang meresapkan arti kemerdekaan.

Tentang Chairil Anwar kita pasti bisa mengetahui bahwa dia Angkatan 45, dalam bentuk dan visi. Begitu juga Asrul Sani. Dan ……. Idrus!

Meskipun dia tidak mau. Dan Anas Ma’ ruf, meskipun ragu-ragu karena bajunya dan jiwanya masih Pujangga Baru. Rosihan Anwar, Usman Ismail, mereka semua adalah Angkatan 45. Sebagian melihat hasil seninya, yang lain menurut pengalamannya. Yang seorang lebih berhasil dari yang lain dalam keaslian sebagai Angkatan 45, yang seorang lebih tegas dari yang lain.

Para penyair Angkatan 45 membedakan dirinya dalam bentuk dan visi dari angkatan sebelumnya. Namun secara individual masing-masing berbeda karakter. Chairil Anwar anarkis, tetapi Asrul Sani moralis.

Bandingkanlah karakter kedua penyair yang terkandung dalam sajaknya masing-masing di bawah ini!

Anarkis Chairil Anwar yang membentak sebagai binatang jalang.

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan.

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,

Jangan tambatkan pada siang dan malam

Dan

Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,

Tidak minta ampun atas segala dosa,

Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Moralis Asrul Sani yang tidak kurang individualisnya.

Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari

Aku panglima dari segala burung rajawali

Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,

Aku jadikan belantara, jadi hutan mati

Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa,

Budak- budak tidur di pangkuan bunda

Siapa kenal daku, akan kenal bahagia

Tiada takut pada pitam.

Tiada takut pada kelam

Titam dan kelam punya aku

Kedua penyair tersebut di atas menggunakan kata-kata sehari-hari sehingga dapat kita bayangkan maksud mereka.Tiga sekawan pengarang Tiga Menguak Takdir: Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Chairil Anwar anarkis, Asrul Sani moralis, Rivai Apin nihilis.

Prof. Dr. A. Teeuw (1958: 88) mengatakan bahwa Rivai Apin adapula disebut nihilis – dan bukan tak beralasan, asal saja ditambah menyebutnya: nihilis emosional, nihilis perasaan. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan dan di dalam dunia ini. Apa yang harus diperbuat dunia ini dengan dia.

Referensi

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf