Apa yang dimaksud dengan Rumpon ?

Rumpon

Rumpon (Fish Agregating Devices/FADs) merupakan alat bantu pengumpul ikan yang menggunakan berbagai bentuk dan jenis pengikat/atraktor dari benda padat, berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul, yang dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi penangkapan ikan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah sejak tahun 2014 melarang penggunaan rumpon tanpa izin sebagai media tangkap ikan di laut.

Apa yang dimaksud dengan Rumpon ?

Rumpon adalah salah satu jenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dilaut, baik laut dangkal maupun laut dalam. Pemasangan tersebut dimaksudkan untuk menarik gerombolan ikan agar berkumpul disekitar rumpon, sehingga ikan mudah untuk ditangkap.

Rumpon adalah karang buatan yang dibuat oleh manusia dengan tujuan sebagai tempat berkumpul ikan. Rumpon merupakan rumah buatan bagi ikan di dasar laut yang dibuat secara sengaja dengan menaruh berbagai jenis barang di dasar laut seperti ban, dahan dan ranting dengan pohonnya sekaligus. Barang–barang tersebut dimasukkan dengan diberikan pemberat berupa beton, batu–batuan dan penberat lainnya sehingga posisi dari rumpon tidak bergerak karena arus laut. Barang–barang yang dimasukkan kedalam laut dapat terus ditambah secara berlanjut untuk menambah massa rumpon.

Pembuatan rumpon ikan sebenarnya adalah salah satu cara untuk mengumpulkan ikan, dengan membentuk kondisi dasar laut menjadi mirip dengan kondisi karang–karang alami, rumpon membuat ikan merasa seperti mendapatkan rumah baru. Meski untuk mengetahui keberhasilanya dibutuhkan waktu yang tidak sedikit sekitar 3- 6 bulan namun usaha pembuatan rumpon ini merupakan solusi terbaik meningkatkan hasil perikanan di laut.

Sumber

Indonesia dikelilingi dua wilayah perairan samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sehingga memiliki potensi sumber daya ikan tuna yang cukup melimpah. Jenis ikan tuna memiliki sifat bermigrasi jauh terkadang melintasi wilayah perairan beberapa negara sehingga untuk pengelolaan sumberdaya ikan tuna tersebut harus dilakukan secara bersama-sama dengan negara lain. Di samping kedua perairan samudera tersebut, Indonesia juga memiliki perairan laut yang cukup dalam di perairan kepulauan seperti di Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Seram dan Teluk Tomini, dimana pada perairan ini juga tersedia sumber daya ikan tuna yang cukup banyak. Berdasarkan statistik perikanan 2015, produksi ikan tuna yang didaratkan di Indonesia mencapai 1.326.156 ton, dengan rincian yellowfin tuna: 217.847 ton, bigeye tuna: 86.213 ton, albakor: 8.750 ton, southern bluefin tuna: 1.063 ton, skipjack tuna: 496.682 ton dan neretic tuna: 515.601 ton (DJPT, 2015). Hasil tangkapan tuna tersebut berasal dari wilayah perairan laut lepas, zone ekonomi eksklusif (ZEE) dan perairan kepulauan (archipelagic waters) yang bersifat oseanik.

Untuk mengeksploitasi sumber daya ikan tuna tersebut terdapat beberapa jenis alat tangkap yang digunakan antara lain: rawai tuna (tuna longline), pukat cincin (purse seine), huhate (pole and line), pancing ulur (hand line), pancing tonda (troll line) dan jaring insang (gillnet). Sampai saat ini tuna long line mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap total hasil tangkapan tuna di Indonesia dan banyak dioperasikan di perairan Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan sebagian di Laut Banda. Pada tahun 2004- 2013 produktivitas kapal tuna long line semakin turun, diindikasikan dengan menurunya laju pancing (hook rate) yang saat ini mencapai kurang dari 1 ekor tuna/ 100 mata pancing dan daerah penangkapan tuna long line juga semakin jauh sampai di perairan laut lepas serta ukuran ikan tuna yang tertangkap juga semakin kecil (Merta, 2005; Chodrijah & Nugraha, 2013). Dampak dari kondisi tersebut maka total produksi perikanan tuna di Indonesia mengalami penurunan (Irianto et al., 2016). Kejadian ini diperburuk dengan mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) dan juga dilarangnya melakukan alih tangkapan (transhipment) di laut sehingga banyak kapal tuna long line yang mengurangi jumlah hari operasinya. Dalam rangka peningkatan produktivitas perikanan tuna di Indonesia, maka diintroduksi rumpon laut dalam yang dikenal juga “payaos” sebagai alat bantu penangkapan untuk mengumpulkan ikan tuna sebelum dilakukan penangkapan. Payaos (rumpon laut dalam) semula digunakan oleh nelayan Filipina untuk menangkap ikan tuna di perairan Laut SuluSulawesi dan Samudera Pasifik. Di Indonesia payaos pertama kali dipasang di perairan sekitar Papua dan Sulawesi untuk mendukung perikanan pole and line, namun rumpon tradisional sebagai alat bantu menangkap ikan tuna telah lama digunakan oleh nelayan di perairan Laut Makasar, sekitar perairan Mamuju Sulawesi Barat (Monintja, 1993).

Sejak tahun 2004 pemasangan rumpon laut dalam sudah menyebar luas di seluruh wilayah perairan Indonesia dan didukung pula program “rumponisasi” oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) pada beberapa tahun terakhir. Tujuan program ini adalah dalam rangka efisiensi usaha penangkapan tuna karena nelayan tidak perlu mencari daerah penangkapan dengan berlayar jauh sehingga penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dapat dihemat. Program rumponisasi untuk usaha penangkapan ikan tuna cukup berhasil dengan meningkatnya jumlah rumpon yang dipasang baik melalui swasembada nelayan, maupun bantuan pemerintah. Bahkan memunculkan usaha jasa penyewaan rumpon atau bagi hasil dengan nelayan yang melakukan penangkapan ikan. Namun dengan semakin banyaknya rumpon yang dipasang dan pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif di sekitar rumpon, menimbulkan beberapa permasalahan di lapangan baik terkait masalah keberadaan sumber daya tuna, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan juga permasalahan sosial berupa konflik antar nelayan pengguna rumpon.

SEJARAH PERKEMBANGAN RUMPON DI INDONESIA

Penggunaan rumpon oleh nelayan di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Tahun 1921 nelayan Deli Serdang di Sumatera Utara telah menggunakan rumpon (lokal = unjan) pada perikanan pukat selar, kemudian berkembang di perairan utara Jawa dengan nama “tendak” (Rusman, 1954). Penggunaan rumpon laut dalam (“payao”) telah lama dioperasikan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebagai alat bantu penangkapan ikan tuna dan cakalang, dengan alat tangkap huhate dan pancing ulur. Rompong mandar termasuk rumpon laut dalam yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan pelagis besar oleh nelayan di daerah Sulawesi Selatan. Meski telah lama dikenal, baru sejak tahun 1985, teknologi rumpon laut dalam berkembang di KTI; Sorong, Fakfak, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan) sebagai alat bantu penangkapan ikan pada perikanan huhate dan pancing ulur (Gafa & Subani, 1993). Namun untuk rumpon laut dalam (“payao”) mulai dioperasikan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebagai alat bantu penangkapan ikan tuna dan cakalang, dengan alat tangkap pole and line dan pancing ulur (hand line) terutama di perairan sekitar Sorong oleh PT Usaha Mina (Monintja, 1993).

Di Samudra Hindia, penggunaan rumpon laut dalam pada perikanan pukat cincin dimulai pada awal tahun delapan puluhan. Penggunaan rumpon laut dalam pada perikanan pukat cincin di perairan Barat Sumatera berkembang sekitar tahun 2003 pada perikanan pukat cincin (mata jaring 4 inci) dari Sibolga, dengan daerah penangkapan di sekitar perairan Mentawai. Pada tahun 2006 beberapa armada kapal pukat cincin yang berasal dari utara Jawa (Pekalongan dan Juwana) melakukan operasi penangkapan di perairan Bengkulu dan Selatan Jawa memanfaatkan sumber daya ikan pelagis besar, seperti ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tuna (Thunnus spp.) (Atmaja et al., 2012). Pada tahun 2004-2005 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap membuat kebijakan program rumponisasi dengan memberikanan bantuan rumpon kepada nelayan, khusus untuk menangkap ikan tuna. Dengan banyaknya rumpon yang dipasang saat ini menyebabkan sangat sulit untuk dikendalikan dan dibatasi jumlahnya sehingga menimbulkan dampak negatif terutama terhadap penangkapan ikan tuna yang masih berukuran kecil (juvenile tuna) sehingga muncul wacana penghapusan rumpon di perairan Indonesia.

Dengan rumpon, berbagai alat tangkap dapat dioperasikan secara lebih efisien. Efisiensi tercapai karena karakter perikanan tangkap yang lebih bersifat hunting, menjadi lebih pasti oleh karena terlokalisirnya ikan yang menjadi target penangkapan. Adanya daerah penangkapan yang sudah dapat ditentukan, dapat mengurangi biaya eksploitasi kapal. Berdasarkan kajian, penggunaan rumpon dapat menghemat penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dan waktu tangkap bagi nelayan, serta meningkatkan hasil tangkapan (Soeboer et al., 2008). Penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan laju tangkap, efisiensi waktu dalam pencarian gerombolan ikan sehingga mengurangi biaya operasi kapal dan memudahkan operasi penangkapan ikan (Atapattu, 1991).

Penggunaan rumpon sebagai alat bantu pada operasi penangkapan dapat meningkatkan hasil tangkapan cakalang (skipjack) pada perikanan huhate (pole and line). Nugroho & Atmadja (2013) menyampaikan bahwa penggunaan rumpon memberi kepastian dalam penentuan daerah penangkapan dan mampu menekan biaya (BBM) sebesar 30%. Fonteneau (1991) mengatakan bahwa tipe biomasa tuna di sekitar rumpon lebih besar dibanding biomasa free schooling. Hal ini berarti alat penangkapan ikan terutama pukat cincin yang dioperasikan di sekitar rumpon memperoleh hasil tangkapan lebih banyak dibanding di luar rumpon. Penggunaan rumpon telah menjadi pilihan dalam mencapai efektifitas dan efisiensi dalam operasi penangkapan ikan khususnya tuna hampir di seluruh dunia.