Apa yang dimaksud dengan revolution in military affairs?

Sejarah Munculnya RMA

Kehadiran Revolution In Military Affairs (RMA) setelah Perang Dingin berakhir, tidak bisa dilepaskan dari gagasan Soviet tahun 1970. Para teoritisi dari Soviet-lah yang pertama kali merintis gagasan bahwa inovasi teknologi telah memutus sesuatu yang fundamental dan mengakibatkan konsekuensi jangka panjang. Soviet menamakannya Military-Technical Revolution (MTR).

Gagasan itu muncul karena mereka mempelajari respon negara barat (AS dan sekutunya) yang mengenalkan dua doktrin baru, yaitu air and land battle (ALB) dan Follow on Force Attack (FOFA).

Doktrin baru muncul karena pihak barat menghadapi situasi yang menakutkan, yaitu mutual assured destruction akibat perang nuklir. Mereka kemudian mengenyampingkan perang nuklir dan membuat dua doktrin baru itu dengan dukungan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. AS mengembangkan bidang mikro elektronik, yang menghasilkan precision guided munitions (PGMs) untuk menghancurkan kekuatan Soviet jauh di dalam wilayahnya.

Para teoritisi Soviet membagi MTR menjadi dua variasi, yaitu :

  • Pertama, MTR yang berkonsentrasi kepada kemajuan ilmu pengetahuan dalam lingkup, skala, dan metode bagaimana operasi militer di masa depan.
  • Kedua, MTR yang memfokuskan kepada bagaimana Soviet harus mengatasi inovasi doktrin yang dibuat oleh Barat. Kedua variasi ini menghasilkan teori militer yang meyakinkan bagi Soviet.

Bagi pihak barat, kajian Soviet mengenai MTR dianggap terlalu memfokuskan kepada teknologi daripada faktor operasional dan organisasional. Hal ini membuat MTR tidak berumur lama dan perencana kebijakan pertahanan di Pentagon lalu mengelaborasi konsep tersebut. Pentagon kemudian menambahkan dimensi doktrin dan organisasi, dan menamakannya RMA.

Di AS, kajian mengenai RMA dilanjutkan oleh Office of Net Assesment di Kantor Menteri Pertahanan AS sejak tahun 1990. Segenap perhatian ditujukan kepada kemajuan teknologi militer dengan fokus kepada bagaimana peristiwa di abad 21. Kantor Pertahanan akhirnya mengeluarkan dokumen (fundamental change) untuk mengimplementasikan RMA. Empat angkatan bersenjata di AS (US Army, Navy, Air Force, Marines) pun kemudian mengajukan proposal transformasi militer antara lain: laboratorium, eksperimen, dan simulasi perang. Kegiatan ini juga mendapatkan dukungan Kongres AS dan meminta Departemen Pertahanan memeriksa kesiapan transformasi militer.

Pada tahun 2001, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld membentuk Office of Force Transformation untuk mengembangkan dan mengimplementasikan gagasan transformasi militer. Lembaga ini kemudian menawarkan konsep network centric warfare sebagai konsep operasional yang menjadi kunci dalam transformasi militer.

Implementasi RMA menjadi pusat perhatian saat teknologi militer diperlihatkan di Perang Teluk 1991. Hal yang sama, bahkan berkembang lebih signifikan juga terlihat pada intervensi militer di Kosovo 1999, perang di Afghanistan 2001-2002, dan perang terhadap Irak pada 2003. Teknologi militer tersebut antara lain Precision Guided Munitions (PGMs), pengumpulan data intelijen, pengintaian, dan pengamatan,(intelligence gathering, surveillance, and reconaissance), serta komando, pengendalian, komputasi, dan pemrosesan intelijen.

image

Definisi Revolution in Military Affairs (RMA)

Revolution in Military Affairs (RMA) muncul pada saat militer suatu negara memanfaatkan peluang untuk mentransformasi strategi, doktrin militer, pelatihan, pendidikan, organisasi, peralatan, operasi, dan taktik, untuk mencapai kemenangan militer yang menentukan, melalui cara yang baru secara fundamental”.

Menurut Hundley (1999), RMA merupakan revolusi teknologi militer yang digabungkan dengan kemajuan teknologi pengintaian, komando, kendali, komputer dan intelijen (K3I), dan precision munitions (PMs) dengan konsep operasional yang baru. Termasuk juga peperangan informasi, operasi terpadu yang cepat dan terus menerus (lebih cepat dari musuh), dan menanggung seluruh mandala perang dengan segala risikonya.

Penggunaan teknologi baru yang menjadi syarat terjadinya RMA juga dikemukakan oleh Krepinevich. Krepinevich (1994) mendefinisikan RMA sebagai berikut:

What is a military revolution? It is what occurs when the application of new technologies into a signicant number of military system combine with innovative operational concept and organisational adaptations in a way that fundamentally alter the character and conduct of conflict. It does so by producing a dramatic increase–often an order of magnitude or greater—in the combat potential and the military effectiveness of armed forces.

McNaugher (2007) juga mengemukakan definisi RMA terkait dengan penggunaan teknologi inovatif. Menurut McNaugher, RMA adalah perubahan mendasar di bidang kemiliteran yang mempengaruhi dan sering merubah praktik berperang. RMA adalah perubahan besar dalam sifat perang yang dibawa oleh penggunaan teknologi inovatif yang digabungkan dengan perubahan dramatis pada doktrin militer, konsep organisasi dan operasional, merubah secara mendasar merubah karakter dan bagaimana operasi militer dilakukan.

Senada dengan dua definisi di atas, menurut lembaga think tank militer AS, RAND, RMA diartikan sebagai:

a paradigm shift in the nature and conduct of military operations which either renders obsolete or irrelevant one or morecore competencies in a dominant player, or creates one or morecore competencies in some dimension of warfare, or both

Colin S. Gray (2002) memberikan kritik atas definisi RMA yang dipicu oleh perkembangan teknologi. Menurut Gray, definisi RMA seperti yang diuraikan oleh Krepinevich memiliki dua kekurangan.

  • Kekurangan pertama, adalah syarat bahwa RMA berfungsi karena penggunaan teknologi baru.

  • Kekurangan Kedua, adalah klaim Krepinevich yang menyatakan RMA meningkatkan kekuatan bertempur dan efektivitas militer secara dramatis.

Gray menyatakan bahwa definisi tersebut hanyalah logika yang umum. Gray berpendapat bahwa RMA adalah sebuah perubahan radikal dalam karakter dan bagaimana perang dilakukan. Gray akhirnya mengingatkan bahwa mendefinisikan konsep RMA membutuhkan kehati-hatian untuk tidak memasukkan konsep yang tidak perlu.

Senada dengan Gray, Dima Adamsky (2010) menyatakan bahwa RMA digerakkan lebih dari sekedar terobosan teknologi yang juga belum dapat menjamin kesuksesan inovasi. Adamsky mengakui bahwa banyak revolusi militer telah muncul dari kemajuan teknologi. Teknologi hanya menetapkan parameter sebuah kemungkinan dan menciptakan potensi akan terjadinya RMA.

Dalam definisi yang lain, Goldman (2004) menggunakan istilah transformasi untuk menyebut RMA mengingat studi tersebut dibangun atas teori dan sejarah mengenai inovasi dan difusi militer. Istilah inovasi merujuk kepada perubahan radikal dalam struktur organisasi, alokasi sumber daya, doktrin, dan strategi. Inovasi juga mencakup proses adaptasi institusi dan praktik peperangan yang membuat peluang adanya perubahan teknologi dan/atau pembangunan sosial politik.

Menurut Bitzinger (2005), perbedaan definisi amat disadari oleh analis kajian keamanan. Banyak para pengkaji transformasi pertahanan menyamakan istilah RMA dengan transformasi pertahanan, bahkan menyatakan bahwa transformasi pertahanan adalah bagian dari proses melaksanakan RMA. Bitzinger mendefinisikan transformasi pertahanan sebagai lebih dari modernisasi dan teknologi modern seperti RMA yang berbasis teknologi informasi. Transformasi secara mendasar telah merubah militer secara doktrin, organisasi dan institusi, dan memerlukan kemahiran integrasi sistem yang maju, untuk menggabungkan sistem militer yang berbeda ke dalam jaringan yang kompleks.

Perbedaan definisi RMA memunculkan perdebatan antara pendukung RMA dan yang meragukannya. Raska (2009) melihat mereka yang skeptis bertanya-tanya apakah RMA benar-benar akan memunculkan pergeseran paradigma dalam penggunaan kekuatan.

Raska, mengutip Gray, mengkategorikan evolusi perdebatan RMA ini kedalam lima gelombang, antara lain:

  1. Penemuan awal secara intelektual oleh pemikir militer Soviet pada awal 1980,

  2. Adaptasi konsep, modifikasi, dan integrasi oleh pemikir strategis pihak Barat pada awal 1990,

  3. Bangkitnya technophilia RMA dan munculnya perdebatan antara yang mendukung RMA dan mereka yang meragukannya pada pertengahan tahun 1995

  4. Pergeseran konsep kepada defense transformation a la AS yang lebih luas, dan penelitian empirisnya pada tahun 2000-an,

  5. Kembali menanyakan RMA seperti pada kategori kedua dan ketiga.

Raska kemudian menggambarkan kategorisasi tersebut kedalam tabel sebagai berikut:

Tabel Lima “Gelombang” Teori RMA

Tahun Gelombang Konsep Fokus Perdebatan Tokoh
1980-an Penemuan Intelektual Revolusi Teknis Militer Uni Soviet (MTR) Perubahan paradigma teknologi; inovasi doktrin Uni Soviet Apakah RMA benar- benar ada? Apakah itu RMA? Kapankah Ogarkov (Soviet General Staff)
1990-1994 Adaptasi awal di negara - negara barat Revolusi Militer Vs. RMA (MR Vs RMA) RMA dalam sejarah; sumber inovasi militer RMA terjadi? Arquilla, Creveld Kendall, Krepinevich, Marshall, Mazarr, Ronfeldt, Tofflers
1995-2000 RMA, “Teknofilia” (antusiasme terhadap teknologi) Revolution in Military Affairs (RMA) Sistem dengan sistem, peperangan berbasis jaringan (NCW) Apakah itu RMA? Mengapa RMA? Bacevich, Cohen, Eisenstadt, Gray, Murray, McGregor, Libicki Ochmanek, Owen, O‟Hanlon
2001-2005 Perubahan ke transformasi pertahanan Transforma si Pertahanan (Defense Transformation) Operasi berbasis akibat, peperangan berbasis jaringan Apakah RMA itu memungkink an? Bisa dipenuhi dan benar-benar diinginkan? Cebrowski, Garstka, Cohen, Davis
Sumber: Michael Raska (2011)

Sebagaimana terlihat pada tabel tersebut, perdebatan mengenai RMA pada gelombang terakhir (saat ini), kembali kepada konsep RMA. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep dan istilah RMA yang merujuk kepada definisi Krepinevich (1994) sebagai teoritisi dan pendukung kuat RMA yang menyatakan bahwa RMA adalah aplikasi teknologi baru ke dalam sistem militer yang digabungkan dengan konsep operasional inovatif dan adaptasi organisasional yang mengubah karakter dan bagaimana konflik terjadi.

Referensi :

  • Richard O. Hundley, Past Revolution Future Transformation: What Can the History of Revolution in Military Affairs Tell Us about Transforming the US Military?, (RAND Publishing, 1999)
  • Mark D. Mandeles, Military Transformation Past and Present, Historical Lesson for 21st Century, (Connecticut: Praeger Security International, 2007).
  • Elinor Sloan, Military Transformation and Modern Warfare: A Reference Handbook, (Connecticut: Praeger Security International, 2008).
  • Thomas L. McNaugher, “The Real Meaning of Military Transformation”, Foreign Affairs 85, Januari-February 2007
  • Emily O. Goldman, “Introduction: Military Diffusion and Transformation” dalam Emily Goldman dan Thomas G. Mahnken, op.cit.

Berkembangnya teknologi, khususnya informasi dan komunikasi dalam satu dua dekade terakhir telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam sifat- sifat perang. Kemenangan AS atas Irak pada Perang Teluk pertama dan kedua memperlihatkan keperkasaan teknologi dalam mempengaruhi hasil perang.

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih, peluru kendali yang presisi, penggunaan pesawat pengintai nirawak, telah memberikan kesan bahwa perang bisa dimenangkan oleh pihak yang memiliki keunggulan teknologi. Kemenangan ini bahkan dicapai dengan penggunaan tentara dan waktu yang minimal serta jumlah korban yang terbatas. Keadaan ini disimpulkan oleh para pengkaji studi keamanan bahwa RMA sedang berjalan.

Selain itu, tatanan keamanan yang dinamis dan adanya ancaman potensial dimasa kini dan akan datang, membutuhkan kekuatan militer dari segi ukuran kekuatan, struktur, dan perlengkapan, yang siap untuk mengatasi ancaman tersebut. Bahkan kekuatan militer dimungkinkan untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya konflik agar tidak berlangsung semakin besar dan berlarut. RMA juga dapat ditujukan untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan, sehingga, merupakan sebuah kebutuhan mendesak bahwa RMA dapat diimplementasikan dalam kebijakan pertahanan di Indonesia.

Terlebih, negara di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura secara antusias telah dan sedang beradaptasi dengan RMA.

Menurut Dima P. Adamsky (2008) bahwa keberadaan senjata pintar (smart weapon) dan teknologi belumlah menciptakan RMA. Perkembangan teknologi harus diiringi dengan pemahaman yang lebih dalam, mengenai konsekuensi operasional dan organisasional agar dapat dikatakan sebagai RMA.

RMA bukanlah hanya tentang penggunaan teknologi mutakhir dalam perang, namun juga perubahan mendasar doktrin dan organisasi yang sesuai dengan perubahan teknologi tersebut.

Meskipun RMA telah memiliki definisi tersendiri dalam kajian keamanan internasional, namun perdebatan mengenai istilah yang tepat untuk menggambarkan adanya perubahan mendasar dalam karakter dan sifat bagaimana perang berjalan, belum selesai. Salah satu perdebatan ini bisa ditangkap dari penjelasan Bitzinger (2005) dalam Come The Revolution, Transforming the Asia- Pacific’s Militaries.

RMA seringkali di istilahkan dengan transformasi pertahanan (defense transformation). Beberapa analis menggunakan istilah tersebut secara bergantian dan melihat secara sederhana bahwa transformasi pertahanan adalah nama lain dari RMA. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa transformasi pertahanan adalah proses dalam melaksanakan RMA, sementara di pihak lain mengatakan bahwa transformasi pertahanan adalah tujuannya.

Bitzinger menyatakan bahwa transformasi pertahanan merupakan lebih kepada modernisasi suatu angkatan bersenjata daripada perubahan paradigma dalam karakter dan bagaimana perang dijalankan. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa penggunaan teknologi baru dalam angkatan bersenjata akan membutuhkan perubahan mendasar dalam doktrin militer, operasi, dan organisasi.

Secara umum, terdapat kesamaan pandangan bahwa RMA yang berlangsung saat ini, dan transformasi pertahanan yang sedang berproses, digerakkan oleh kemajuan teknologi informasi yang telah berlangsung dua dekade yang lalu.

Hal ini kemudian memunculkan inovasi dan dan kemajuan signifikan di dalam teknologi sensor, pencari (seeking), komputer dan komunikasi, automasi, jarak, presisi, dan teknologi stealth.

Memahami adanya perdebatan dalam definisi dan konsep mengenai RMA, penulis mendukung dan menggunakan definisi yang dinyatakan oleh Bitzinger sebagai penunjang penelitian, yang sejalan dengan definisi Krevinevich dan Adamsky sebelumya.

Dengan demikian, RMA dapat diartikan sebagai perubahan paradigma dalam karakter dan bagaimana perang dijalankan, dengan ciri penggunaan teknologi baru ke dalam sistem militer yang digabungkan dengan konsep operasional yang inovatif dan adaptasi organisasional.

Referensi :

  • The State Of The Art In The Global Defence Industry: Implications For Revolution In Military Affairs, (Rajaratnam School of International Studies, 2007).
  • Dima P. Adamsky, “Through the Looking Glass, the Soviet - Military Technical Revolution and
  • the American Revolution in Military Affairs”, The Journal of Strategic Studies, Vol. 31, No. 2, 257- 294, April 2008.
  • Richard A. Bitzinger, “Come The Revolution, Transforming The Asia-Pacific’s Militaries”, Naval
  • War College Review (Autumn 2005, Vol. 58 no. 4)