Apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0?

revolusi industri 4.0

Saat ini, dengan berkembangnya teknologi informasi yang begitu pesat, sejak kira-kira tahun 2010, dunia sudah masuk kedalam revolusi industri 4.0.

Apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0 ?

Istilah Industri 4.0 lahir dari ide revolusi industri ke empat. European Parliamentary Research Service menyampaikan bahwa revolusi industri terjadi empat kali, yaitu :

  • Revolusi industri pertama terjadi di Inggris pada tahun 1784 dimana penemuan mesin uap dan mekanisasi mulai menggantikan pekerjaan manusia.

  • Revolusi yang kedua terjadi pada akhir abad ke-19 dimana mesin-mesin produksi yang ditenagai oleh listrik digunakan untuk kegiatan produksi secara masal.

  • Revolusi yang ketiga terjadi ketika penggunaan teknologi komputer untuk otomasi manufaktur mulai tahun 1970.

Saat ini, perkembangan yang pesat dari teknologi sensor, interkoneksi, dan analisis data memunculkan gagasan untuk mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam berbagai bidang industri. Gagasan inilah yang diprediksi akan menjadi revolusi industri yang berikutnya. Angka empat pada istilah Industri 4.0 merujuk pada revolusi yang ke empat. Industri 4.0 merupakan fenomena yang unik jika dibandingkan dengan tiga revolusi industri yang mendahuluinya.

Industri 4.0 diumumkan secara apriori karena peristiwa nyatanya belum terjadi dan masih dalam bentuk gagasan (Drath dan Horch, 2014).

Istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011 (Kagermann dkk, 2011). Negara Jerman memiliki kepentingan yang besar terkait hal ini karena Industri 4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020 . Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman agar selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur (Heng, 2013). Beberapa negara lain juga turut serta dalam mewujudkan konsep Industri 4.0 namun menggunakan istilah yang berbeda seperti Smart Factories, Industrial Internet of Things, Smart Industry , atau Advanced Manufacturing. Meski memiliki penyebutan istilah yang berbeda, semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri tiap negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi tersebut diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi digital di berbagai bidang.

Industri 4.0 diprediksi memiliki potensi manfaat yang besar. Tabel dibawah ini menunjukkan potensi manfaat Industri 4.0 menurut beberapa artikel.

Penulis Potensi Manfaat
Lasi dkk (2014) Pengembangan produk menjadi lebih cepat, mewujudkan permintaan yang bersifat individual (kustomisasi produk), produksi yang bersifat fleksibel dan cepat dalam menanggapi masalah serta efisiensi sumber daya.
Rüßmann dkk (2015) Perbaikan produktivitas, mendorong pertumbuhan pendapatan, peningkatan kebutuhan tenaga kerja terampil, peningkatan investasi.
Schmidt dkk (2015) Terwujudnya kustomisasi masal dari produk, pemanfaatan data idle dan perbaikan waktu produksi.
Kagermann dkk (2013) Mampu memenuhi kebutuhan pelanggan secara individu, proses rekayasa dan bisnis menjadi dinamis, pengambilan keputusan menjadi lebih optimal, melahirkan model bisnis baru dan cara baru dalam mengkreasi nilai tambah.
Neugebauer dkk (2016) Mewujudkan proses manufaktur yang efisien, cerdas dan on-demand (dapat dikostumisasi) dengan biaya yang layak.

Sebagian besar pendapat mengenai potensi manfaat Industri 4.0 adalah mengenai perbaikan kecepatan-fleksibilitas produksi, peningkatan layanan kepada pelanggan dan peningkatan pendapatan. Terwujudnya potensi manfaat tersebut akan memberi dampak positif terhadap perekonomian suatu negara.

Industri 4.0 memang menawarkan banyak manfaat, namun juga memiliki tantangan yang harus dihadapi. Drath dan Horch (2014) berpendapat bahwa tantangan yang dihadapi oleh suatu negara ketika menerapkan Industri 4.0 adalah munculnya resistansi terhadap perubahan demografi dan aspek sosial, ketidakstabilan kondisi politik, keterbatasan sumber daya, risiko bencana alam dan tuntutan penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Menurut Jian Qin dkk (2016), terdapat kesenjangan yang cukup lebar dari sisi teknologi antara kondisi dunia industri saat ini dengan kondisi yang diharapkan dari Industri 4.0. Penelitian yang dilakukan oleh Balasingham (2016) juga menunjukkan adanya faktor keengganan perusahaan dalam menerapkan Industri 4.0 karena kuatir terhadap ketidakpastian manfaatnya.

Berdasar beberapa penjelasan tersebut maka sesuai dengan yang disampaikan oleh Zhou dkk (2015), secara umum ada lima tantangan besar yang akan dihadapi yaitu aspek pengetahuan, teknologi, ekonomi, social, dan politik. Guna menjawab tantangan tersebut, diperlukan usaha yang besar, terencana dan strategis baik dari sisi regulator (pemerintah), kalangan akademisi maupun praktisi. Kagermann dkk (2013) menyampaikan diperlukan keterlibatan akademisi dalam bentuk penelitian dan pengembangan untuk mewujudkan Industri 4.0. Menurut Jian Qin dkk (2016) roadmap pengembangan teknologi untuk mewujudkan Industri 4.0 masih belum terarah. Hal ini terjadi karena Industri 4.0 masih berupa gagasan yang wujud nyata dari keseluruhan aspeknya belum jelas sehingga dapat memunculkan berbagai kemungkinan arah pengembangan.

Definisi Industri 4.0


Definisi mengenai Industri 4.0 beragam karena masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Kanselir Jerman, Angela Merkel (2014) berpendapat bahwa Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional.

Schlechtendahl dkk (2015) menekankan definisi kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain.

Pengertian yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann dkk (2013) bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya. Penggabungan ini dapat terwujud melalui integrasi antara proses fisik dan komputasi (teknologi embedded computers dan jaringan) secara close loop (Lee, 2008).

Hermann dkk (2015) menambahkan bahwa Industri 4.0 adalah istilah untuk menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai nilai berupa smart factory , CPS, IoT dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular dengan teknologi CPS yang memonitor proses fisik produksi kemudian menampilkannya secara virtual dan melakukan desentralisasi pengambilan keputusan. Melalui IoT, CPS mampu saling berkomunikasi dan bekerja sama secara real time termasuk dengan manusia. IoS adalah semua aplikasi layanan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal maupun antar organisasi. Terdapat enam prinsip desain Industri 4.0 yaitu interoperability, virtualisasi, desentralisasi, kemampuan real time, berorientasi layanan dan bersifat modular.

Berdasar beberapa penjelasan di atas, Industri 4.0 dapat diartikan sebagai era industri di mana seluruh entitas yang ada di dalamnya dapat saling berkomunikasi secara real time kapan saja dengan berlandaskan pemanfaatan teknologi internet dan CPS guna mencapai tujuan tercapainya kreasi nilai baru ataupun optimasi nilai yang sudah ada dari setiap proses di industri.

Model Industri 4.0


Usaha untuk menemukan aspek apa saja yang ada di dalam Industri 4.0 tidak cukup dengan hanya melalui pemahaman definisinya. Perlu pemahaman yang lebih komprehensif tentang Industri 4.0 melalui model kerangka konsepnya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menyusun model kerangka Industri 4.0. Kagermann dkk (2013) di dalam laporan final kelompok kerja Industri 4.0 yang disponsori oleh kementerian pendidikan dan riset Jerman memberikan rekomendasi model kerangka Industri 4.0. Model yang direkomendasikan merupakan perwujudan dari integrasi tiga aspek seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

Tiga Aspek Integrasi Industri 4.0
Gambar Tiga Aspek Integrasi Industri 4.0 (Kagermann dkk, 2013)

Tiga aspek, berdasarkan gambar diatas, adalah sebagai berikut :

  • Aspek pertama adalah integrasi horisontal yang berarti mengintegrasikan teknologi CPS ke dalam strategi bisnis dan jaringan kerjasama perusahaan meliputi rekanan, penyedia, pelanggan, dan pihak lainnya.

  • Aspek kedua merupakan integrasi vertikal yang menyangkut bagaimana menerapkan teknologi CPS ke dalam sistem manufaktur/ produksi yang ada di perusahaan sehingga dapat bersifat fleksibel dan modular.

  • Aspek ketiga meliputi penerapan teknologi CPS ke dalam rantai rekayasa nilai secara end to end . Rantai rekayasa nilai menyangkut proses penambahan nilai dari produk mulai dari proses desain, perencanaan produksi, manufaktur hingga layanan kepada pengguna produk. Integrasi aspek-aspek tersebut memerlukan delapan aksi. Aksi tersebut adalah :

    1. standardisasi,
    2. pemodelan sistem kompleks,
    3. penyediaan infrastruktur jaringan komunikasi,
    4. penjaminan keselamatan dan keamanan,
    5. desain organisasi dan kerja,
    6. pelatihan sumber daya manusia,
    7. kepastian kerangka hukum dan
    8. efisiensi sumber daya.

BITKOM, VDMA dan ZVEI (VDI/VDE-Gesellschaft Mess- und Automatisierungstechnik, 2015) mengembangkan model lain yang disebut RAMI 4.0 (Reference Architecture Model Industry 4.0). Model ini berbentuk kubus seperti yang ditunjukkan pada Gambar berikut ini,

image
Gambar RAMI 4.0 (VDI/VDE-Gesellschaft Mess-und Automatisierungstechnik, 2015)

Pada gambar diatas, sumbu vertikal RAMI 4.0 terdiri dari enam lapisan yang menunjukkan sudut pandang berbagai aspek industri terhadap Industri 4.0. Sudut pandang tersebut meliputi aspek pasar/ bisnis, fungsi, informasi, komunikasi dan sudut pandang mengenai kemampuan integrasi dari komponen (aset perusahaan). Sumbu horisontal sebelah kiri menunjukkan aliran siklus hidup produk atau arus nilai tambah dalam proses produksi di industri yang diiringi dengan penerapan digitalisasi. Sumbu horisontal sebelah kanan menjelaskan mengenai hierarki kendali sistem produksi mulai dari produk, peralatan di lantai produksi sampai ke tingkat perusahaan dan dunia luar. Menurut Zezulka dkk (2016), model ini kurang mendukung solusi teknis yang diperlukan untuk mewujudkan perangkat keras maupun perangkat lunak penerapan Industri 4.0.

BITKOM, VDMA dan ZVEI kembali merekomendasikan model lain yang disebut Industry 4.0 Component Model (VDI/VDE-Gesellschaft Mess-undbAutomatisierungstechnik, 2015). Model ini menjelaskan lebih baik mengenai solusi teknis penerapan Industri 4.0 melalui peran teknologi CPS. Model ini berfokus pada fitur komunikasi antara sistem virtual dengan sistem nyatanya. Perwujudan model ini berupa penyematan wadah elektronik/Administration shell yang menampung semua data selama siklus hidup tiap komponen sistem produksi. Data yang ditampung dapat diakses oleh seluruh entitas dari rantai produksi. Gambaran model ini ditunjukkan oleh gambar berikut ini,

Model Komponen Industri 4.0
Gambar Industry 4.0 Component Model (VDI/VDE- Gesellschaft Mess- und Automatisierungstechnik, 2015)

Fraunhofer, sebuah organisasi riset dan teknologi di Eropa merekomendasikan model lain yang disebut Fraunhofer Industrie 4.0 layer model (Neugebauer dkk, 2016). Model ini diklaim lebih komprehensif karena memasukkan lebih banyak unsur tangible. Gambaran dari model tersebut adalah sebagai berikut,

image
Gambar Struktur Fraunhofer Industrie 4.0 Layer Model (Neugebauer dkk, 2016)

Model ini disusun dari hasil ekstraksi dokumen berbagai penelitian dan hasil wawancara terhadap para ahli. Model ini tersusun atas tiga lapisan utama. Lapisan inti terkait produksi. Lapisan ini terbagi menjadi sepuluh bagian teknologi inti yaitu:

  • engineering
  • manufacturing technologies and organization
  • machines
  • smart capabilities
  • robotics and human-robot collaboration
  • production planning control
  • logistics
  • work organization
  • workplace design and assistance
  • resource and energy efficiency .

Lapisan berikutnya adalah aspek teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan realisasi konsep Industri 4.0. Lapisan terluar terkait transformasi perusahaan akibat implementasi Industri 4.0 meliputi bisnis, manajemen dan sumber daya manusia.

Model kerangka Industri 4.0 saat ini masih terus dikembangkan. Hal ini bertujuan demi terwujudnya model yang secara global dapat digunakan sebagai acuan penerapan Industri 4.0 di berbagai tipe dan level industri. Berdasar telaah di atas, ditemukan empat belas aspek yang ada pada Industri 4.0. Aspek-aspek tersebut ditunjukkan pada tabel dibawah ini,

No Aspek Deskripsi
1 Standardisasi Meliputi segala usaha menyusun standar dan referensi dalam implementasi Industri 4.0
2 Pemodelan Meliputi usaha untuk memodelkan sistem yang kompleks di industri
3 Jaringan komunikasi Ketersediaan teknologi perangkat keras atau lunak untuk pertukaran informasi dan data yang cepat dan real time.
4 Safety and security Segala hal terkait keamanan sistem pengolahan data dan keamanan penggunaan teknologi bagi manusia.
5 Sumber daya manusia Meliputi usaha untuk mentransformasi sumber daya manusia agar siap menghadapi perubahan akibat Industri 4.0.
6 Hukum Meliputi usaha untuk menyusun kerangka hukum dalam implementasi Industri 4.0 (kontrak, perjanjian, aturan, dsb).
7 Efisiensi sumber daya Meliputi segala usaha untuk melakukan efisiensi sumber daya (energi, biaya, dsb) akibat implementasi teknologi Industri 4.0
8 Teknologi CPS Segala usaha terkait pengembangan teknologi CPS, IoT, virtualisasi, yang menjadi kunci teknologi Industri 4.0.
9 Smart Factory Meliputi pengembangan sistem manufaktur/produksi yang otomatis, cerdas, modular dan adaptif.
10 Bisnis Meliputi penemuan model bisnis baru atau perubahan proses bisnis akibat penerapan Industri 4.0.
11 Desain kerja Meliputi pengembangan dan penelitian terkait perubahan sistem kerja yang akan dihadapi oleh pekerja.
12 Services Meliputi segala usaha dalam mengolah big data dan membuat aplikasi pemanfaatannya.
13 Manajemen dan Organisasi Terkait perubahan dan pengembangan model manajemen dan organisasi karena penerapan Industri 4.0.
14 Rekayasa produk end to end Terkait rekayasa produk atau layanan yang terdigitalisasi selama siklus hidupnya (smart product).
Referensi
  • Lasi, H., Fettke, P., Kemper, H.G., Feld, T. & Hoffmann, M. (2014). Industry 4.0. Business & Information Systems Engineering, 6(4), p.239.
  • Rüßmann, M., Lorenz, M., Gerbert, P., Waldner, M., Justus, J., Engel, P. & Harnisch, M. (2015). Industry 4.0: The future of productivity and growth in manufacturing industries. Boston Consulting Group, p.14.
  • Schmidt, R., Möhring, M., Härting, R. C., Reichstein, C., Neumaier, P. & Jozinović, P. (2015). Industry 4.0-potentials for creating smart products: empirical research results. International Conference on Business Information Systems, pp. 16-27.
  • Neugebauer, R., Hippmann, S., Leis, M., & Landherr, M. (2016). Industrie 4.0-From the Perspective of Applied Research. Procedia CIRP, Vol. 57, pp. 2-7.
  • Hoedi Prasetyo, Wahyudi Sutopo, Industri 4.0: telaah klasifikasi aspek dan arah perkembangan riset

Adalah Prof Klaus Schwab, Ekonom terkenal dunia asal Jerman, Pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) yang mengenalkan konsep Revolusi Industri 4.0. Dalam bukunya yang berjudul “The Fourth Industrial Revolution”, Prof Schawab (2017) menjelaskan revolusi industri 4.0 telah mengubah hidup dan kerja manusia secara fundamental. Berbeda dengan revolusi industri sebelumnya, revolusi industri generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas.

Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri dan pemerintah. Bidang-bidang yang mengalami terobosoan berkat kemajuan teknologi baru diantaranya (1) robot kecerdasan buatan ( artificial intelligence robotic ), (2) teknologi nano, (3) bioteknologi, dan (4) teknologi komputer kuantum, (5) blockchain (seperti bitcoin), (6) teknologi berbasis internet, dan (7) printer 3D.

Revolusi industri 4.0 merupakan fase keempat dari perjalanan sejarah revolusi industri yang dimulai pada abad ke -18. Menurut Prof Schwab, dunia mengalami empat revolusi industri. Revolusi industri 1.0 ditandai dengan penemuan mesin uap untuk mendukung mesin produksi, kereta api dan kapal layar.

Berbagai peralatan kerja yang semula bergantung pada tenaga manusia dan hewan kemudian digantikan dengan tenaga mesin uap. Dampaknya, produksi dapat dilipatgandakan dan didistribusikan ke berbagai wilayah secara lebih masif. Namun demikian, revolusi industri ini juga menimbulkan dampak negatif dalam bentuk pengangguran masal.

Ditemukannya enerji listrik dan konsep pembagian tenaga kerja untuk menghasilkan produksi dalam jumlah besar pada awal abad 19 telah menandai lahirnya revolusi industri 2.0. Enerji listrik mendorong para imuwan untuk menemukan berbagai teknologi lainnya seperti lampu, mesin telegraf, dan teknologi ban berjalan. Puncaknya, diperoleh efesiensi produksi hingga 300 persen.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat pada awal abad 20 telah melahirkan teknologi informasi dan proses produksi yang dikendalikan secara otomatis. Mesin industri tidak lagi dikendalikan oleh tenaga manusia tetapi menggunakan Programmable Logic Controller (PLC) atau sistem otomatisasi berbasis komputer. Dampaknya, biaya produksi menjadi semakin murah. Teknologi informasi juga semakin maju diantaranya teknologi kamera yang terintegrasi dengan mobile phone dan semakin berkembangnya industri kreatif di dunia musik dengan ditemukannya musik digital.

Revolusi industri mengalami puncaknya saat ini dengan lahirnya teknologi digital yang berdampak masif terhadap hidup manusia di seluruh dunia. Revolusi industri terkini atau generasi keempat mendorong sistem otomatisasi di dalam semua proses aktivitas. Teknologi internet yang semakin masif tidak hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia tetapi juga telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan transportasi secara online.

Munculnya bisnis transportasi online seperti Gojek, Uber dan Grab menunjukkan integrasi aktivitas manusia dengan teknologi informasi dan ekonomi menjadi semakin meningkat. Berkembangnya teknologi autonomous vehicle (mobil tanpa supir), drone, aplikasi media sosial, bioteknologi dan nanoteknologi semakin menegaskan bahwa dunia dan kehidupan manusia telah berubah secara fundamental.

Revolusi industri 4.0 membuka peluang yang luas bagi siapapun untuk maju. Teknologi informasi yang semakin mudah terakses hingga ke seluruh pelosok menyebabkan semua orang dapat terhubung didalam sebuah jejaring sosial. Banjir informasi seperti yang diprediksikan Futurolog Alvin Tofler (1970) menjadi realitas yang ditemukan di era revolusi industri saat ini. Informasi yang sangat melimpah ini menyediakan manfaat yang besar untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun perekonomian.

Revolusi industri generasi empat tidak hanya menyediakan peluang, tetapi juga tantangan bagi generasi milineal. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pemicu revolusi indutri juga diikuti dengan implikasi lain seperti pengangguran, kompetisi manusia vs mesin, dan tuntutan kompetensi yang semakin tinggi.