Apa yang dimaksud dengan Retorika?

Gaya komunikasi seseorang juga dapat dilihat dari retorika. Retorika adalah ilmu berbicara. Dalam bahasa Inggris, yaitu rhetoric dan dari bahasa latin rhetorica yang berarti ilmu bicara.

Apa yang dimaksud dengan retorika secara detail ?

Retorika berasal dari bahasa Yunani rhetoric yang berarti seni berbicara. Retorika pada awalnya sering dipakai dalam perdebatan di pengadilan atau dalam perdebatan antarpersonal untuk mempengaruhi orang lain yang ada di sekitarnya dengan cara persuasif.

Littlejohn mendefinisikan kajian retorika secara umum sebagai simbol yang digunakan manusia. Pengertian ini kemudian diperluas dengan mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan sekitarnya.

Retorika adalah komunikasi dua arah, face to face, satu atau lebih orang (seorang berbicara kepada beberapa orang maupun seorang bicara kepada seorang lain) masing–masing berusaha dengan sadar untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik satu sama lain. Sasaran persuasi timbal balik itu, tentu saja tidak perlu dibatasi hanya pada orang–orang yang turut dalam perdebatan, yaitu para ahli retorika dapat juga berusaha mempengaruhi pihak ketiga.

Tujuannya adalah untuk membantu yang di persuasi dalam membangun citra tentang masa depan, masa untuk bertindak, yaitu melalui retorika, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan kepercayaan, nilai, pengharapan mereka.

Retorika diartikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni berbicara “the art of constructing arguments and speech making”.

Dalam perkembangannya, retorika juga mencakup proses untuk menyesuaikan ide dengan orang lain dan menyesuaikan orang dengan ide melalui berbagai macam pesan. Dewasa ini, fokus perhatian retorika bahkan lebih luas lagi, yang mencakup segala hal bagaimana manusia menggunakan simbol untuk mempengaruhi siapa saja yang ada di dekatnya dan membangun dunia di mana mereka tinggal.

Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengungkapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Dewasa ini, retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi. Melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat, dan menegaskan.

Retorika adalah bagian dari ilmu bahasa (Linguistik), khususnya ilmu bina bicara (Sprecherziehung). Retorika sebagai bagian dari ilmu bina bicara ini mencakup, yaitu Monologika (Ilmu tentang seni berbicara secara monolog, dimana hanya seorang yang berbicara). Dialogika (Ilmu tentang seni berbicara secara dialog, dimana dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan). Pembinaan Teknik Bicara (teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik membaca dan bercerita).

Ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam retorika ini yaitu :

  • Pertama, pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik.
  • Kedua, pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa yang baik.

Teori retorika berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Maksudnya, seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk khalayaknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos), dan etika/kredibilitas (ethos). Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang mendorong khalayak untuk menemukan sendiri potongan–potongan yang hilang dari suatu pidato, digunakan dalam persuasi.

Referensi :

  • West, Richard. 2008. Pengantar Teori Komunikasi – Teori dan Aplikasi
  • Onong Uchjana Effendy, Komunikasi: Teori dan Praktek
  • Anwar Arifin, Komuniasi Politik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)
  • Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1989 ), cet. 1
  • Morissan dan Andy Corry, Teori Komunikasi: Komunikator, Pesan, Percakapan, dan Hubungan (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009).
  • Dori Wuwur Hendrikus, Retorika: Terampil berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991).
  • Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia, 2007).

Pengertian retorika menurut beberapa ahli adalah:

  1. Menurut Plato, retorika yang tidak memandang kemanfaatan dan kebenaran bukanlah retorika. Menurutnya retorika merupakan seni bertutur untuk memaparkan kebenaran.

  2. Menurut Aristoteles, retorika adalah ilmu dan seni yang mengajarkan kepada orang unuk terampil menyusun dan menyampaikan tuturan secara efektif untuk mempersuasi pihak lain. Tuturan yang efektif adalah memaparkan kebenaran, disiapkan dan ditata secara sistematis dan ilmiah, mengolah dan menguasai topik tutur, serta mempunyai alasan pendukung atau argumen.

  3. Menurut Becket, retorika adalah seni yang mengafeksi pihak lain dengan tutur, yaitu memanipulasi unsur-unsur tutur dan respons pendengar. Tindakan manipulasi ini dilakukan dengan perhitungan yang matang sebelumnya.

  4. Donal C. Bryant memandang retorika sebagai suatu tutur yang mempersuasi dan memberikan informasi rasional kepada pihak lain.

  5. Bishop Whately memandang retorika sebagai masalah bahasa. Karena itu, kita dapat memahami bahasa jika membatasi retorika. Retorika adalah seni yang mengajarkan orang tentang kaidah dasar pemakaian bahasa yang efektif .

Littlejohn dalam bukunya Teori Komunikasi: Theories of Human Communication menyebutkan bahwa pada awalnya, retorika berhubungan dengan persuasi, sehingga retorika adalah seni penyusunan argumen dan pembuatan naskah pidato. Kemudian, berkembang sampai meliput proses “adjusting ideas to people andpeople to ideas” dalam segala jenis pesan.

Fokus dari retorika telah diperluas bahkan lebih mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk mempengaruhi lingkungan di sekitarnya dan untuk membangun dunia tempat mereka tinggal.

Teori retorika berpusat pada pemikiran mengenai retorika yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Maksudnya seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk khalayaknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos) dan etika/kredibilitas (ethos). Yang dikenal dengan segitiga retorika.

Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif dan silogisme retoris, yang memandang khalayak untuk menemukan sendiri potongan-potongan yang hilang dari suatu pidato digunakan dalam persuasi. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa retorika adalah teori yang memberikan petunjuk untuk menyusun sebuah presentasi atau pidato persuasif yang efektif dengan menggunakan alat-alat persuasi yang tersedia.

Sejarah Perkembangan Retorika


Dasar utama dari retorika adalah berbicara atau penuturan kata-kata dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dengan demikian usia retorika sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Menelusuri sejarah retorika, menurut De Vito, teori-teori retorika mulai dikenal pada tahun 3000-an SM, yakni dengan adanya sebuah esai yang berisi saran atau anjuran mendasar untuk berbicara yang efektif kepada para Fira’un (penguasa Mesir).

Menurut Suhandang (2009), retorika dikenal sejak tahun 465 SM melalui makalah Corax yang berjudul “Techne Logon” (seni kata-kata), dimana pada waktu itu seni berbicara atau ilmu berbicara hanya digunakan untuk membela diri dan mempengaruhi orang lain. Dengan kata lain pada waktu itu retorikaatau ilmu komunikasi digunakan untuk membela diri yang berhubungan dengan kepentingan sesaat dan praktis.

Corax membagi pidato dalam lima bagian yaitu:

  • Pembukaan
  • Uraian
  • Argumen
  • Penjelasan tambahan
  • Kesimpulan

Di Yunani, retorika yang efektif mulai berkembang pada abad ke-5 SM, yakni pada masa kejayaan filsafat Sophisme yaitu aliran yang mendahului zaman filsafat klasik atau dikenal juga dengan sebutan zaman pra-klasik (Suhandang,2009).

Georgias (480-370 SM) dari kaum sofisme mengatakan bahwa kebenaran suatu pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan. Georgias ini merupakan guru retorika yang pertama. Ia membuka sekolah retorika yang mengajarkan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu (berbicara tanpa persiapan). Ia meminta bayaran mahal, sekitar 10.000 dollar per mahasiswa.

Georgias bersama Protagoras menjadi “dosen terbang” yang mengajar berpindah dari satu kota ke kota lain. Sekolah tersebut dibuka dalam rangka memenuhi pasar akan kemampuan berrpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif.

Protagoras (500-432 SM) dari Abdeira berpendapat bahwa kecakapan berbicara bukannya untuk mencari kemenangan, melainkan untuk keindahan bahasa. Baginya retorika bukan sekedar ilmu berpidato, melainkan di dalamnya juga mencakup pengetahuan tentang sastra, gramatika dan logika. Sokrates (469- 399 SM) juga menentang pendapat Georgias, ia berpendapat bahwa retorika harus dipergunakan untuk menemukan kebenaran. Tekniknya adalah dialog, dengan dialog orang akan mencapai dasar dan inti keterangan. Namun Sokrates dianggap menyimpang karena dialog digunakan untuk mempengaruhi, bukan untuk mengumpulkan fakta atau data.

Sementara menurut Isokrates hakikat pendidikan adalah kemampuan membentuk pendapat yang tepat tentang masyarakat. Isokrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat, retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra.

Berbeda pendapat dengan Isokrates, Plato (427-347 SM) mempunyai pendapat bahwa inti pendidikan adalah ilmu pasti dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Bagi Plato yang menjadi murid Sokrates pula, retorika adalah penting sebagai metode pendidikan, alat untuk mencapai kedudukan dalam pemerintahan dan untuk mempengaruhi rakyat.

Sebagai metode pendidikan, menurut Plato retorika bertujuan memiliki dan menggunakan bahasa yang baik serta memberikan kemampuan menyusun kalimat-kalimat yang sempurna disamping merupakan dasar dan jalan bagi orang untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam terutama dalam bidang politik. Dalam hal ini ia sepakat dengan Isokrates yang menggunakan retorika demi persiapan para muridnya untuk menjadi negarawan, namun sebaliknya Plato mengecam para pengikut Georgias yang membuat teks pidato secara profesional untuk para penyelenggara negara demi uang.

Teori-teori retorika yang efektif selanjutnya dikembangkan oleh Aristoteles (384-322 SM) dengan mengajarkan bentuk-bentuk retorika yang jelas, singkat dan meyakinkan. Zaman pun beralih pada era klasik di mana pendidikan retorika lebih dikembangkan serta ditekankan kepada cara berpikir dalam mempelajari retorika. Aristoteles merupakan murid dari Plato.

Ia menulis tiga jilid buku berjudul De ArteRhetorica, yang diantara berisi lima tahap penyusunan suatu pidato yang dikenal sebagai “Lima Hukum Retorika” seperti Inventio (penemuan), Dispositio (penyusunan), Elocutio (gaya), Memoria (mengingat) dan Pronuntiatio (penyampaian).

Setelah mengalami perkembangannya di Yunani,retorika kemudian menyebar ke Romawi. Di Romawi pun retorika mengalami pengkajian lebih sempurna lagi, terutama dilakukan oleh salah seorang pengikut Aristoteles yang bernama Marcus Tulius Cicero (106 SM-43 M). Cicero berusaha megembangkan retorika melalui buku karangannya yang diberi judul De Oratore.

Ia menjelaskan bahwa retorika pada hakikatnya memiliki dua tujuan yaitu suasio (anjuran) dan dissuasio (penolakan). Dalam hal ini Cicero menyadarkan publiknya akan pentingnya retorika dalam sidang pengadilan. Cicero juga mengajarkan bahwa dalam mempengaruhi khalayak, seorang orator harus meyakinkan mereka akan kejujuran dan kebenarannya. Puncak kejayaan retorika di Romawi adalah pada masa Cicero. Dialah orang pertama yang memperkenalkan metode retorika.

Dalam pelaksanaannya, Cicero membagi kegiatan retorika dalam dua tahap.

  • Pertama, investio yang berarti mencari bahan dan tema yang akan diuraikan dalam pidato. Pada tahap ini bahan-bahan dan bukti harus dibahas sesingkat mungkin dengan memperhatikan kewajiban si pembicara untuk mendidik, membangkitkan kepercayaan dan menggerakkan isi hati khalayaknya.

  • Kedua, orde cellocatio yang mengandung arti menyusun teks, atau isi pidato dengan menuntut kecakapan si pembicara dalam memilih mana yang lebih penting didahulukan penyampaiannya dan mana yang kurang penting. Urutan penyampaian isi pidato pun meminta perhatian si pembicara akan exordium (pendahuluan), narratio (pemaparan), confirmatio (pembuktian), refutatio (bandingan serta bantuan pendapat lain) dan pexoratio (penutup).

Plutarch (46-120 SM) berpendapat bahwa si pembicara harus memiliki keyakinan pada dirinya sendiri, menguasai bahan, percaya akan diri sendiri, menggunakan teknik bahasa yang; merupakan peningkatan, aliterasi dan susunan kalimatnya baik. Mula-mula pendidikan retorika dilakukan dengan cara membawa murid ke ruang pengadilan untuk mendengarkan persoalan-persoalan yang sedang digelar dalam proses peradilan disana atau membawanya ke forum sidang senat untuk mendengarkan argumentasi-argumentasi yang dinyatakan terhadap pelbagai persoalan yang sedang dibahas. Jadi tujuan tertinggi dari mempelajari retorika pada saat itu adalah untuk menjadi anggota perwakilan atau pemimpin negara.

Selanjutnya, Tacitus (55 SM-116 M) dalam bukunya yang berjudul Agricela dan Dialogus Oratorebus secara jelas mengatakan bahwa retorika akan hilang nilainya seiring dengan berkurang atau memudarnya demokrasi, seperti pada saat bertambah buruknya situasi politik Romawi di bawah pemerintahan

Konsul Domitinius. Masa kemunduran Romawi di abad pertengahan itu turut melanda pula pada anggapan masyarakat Eropa terhadap retorika. Ketika keyakinan Nasrani berkuasa, semua ilmu pengetahuan didominasi oleh dogma gereja, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliyah, malah disamakan dengan berhala (Suhandang, 2009).

Retorika modern (dalam Jurnal Komunikasi Rajiyem, 2005) ditandai dengan munculnya Renaissance atau abad pencerahan sekitar tahun 1200-an. Menurut Jalaluddin Rakhmat, ada tiga aliran retorika modern:

  1. Aliran epistemologis
    Epistemologis membahas teori pengetahuan, asal-usul, sifat, metode dan batas-batas pengetahuan manusia. Pemikiran epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif yakni yang membahas proses mental.

  2. Aliran belles lettres
    Retorika dalam aliran ini sangat mengutamakan keindahan bahasa dan segi estetis pesannya, sehingga tidak jarang mengabaikan aspek informatifnya.

  3. Aliran elokusionis
    Aliran ini menekankan teknik penyampaian pidato.

Terakhir, pada abad 20 retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun bergeser menjadi speech, speech communication atau oral communication atau public speaking (Suhandang, 2009).

Unsur-Unsur Dalam Proses Retorika

Adapun yang termasuk unsur-unsur dalam proses retorika (Suhandang, 2009) antara lain:

  1. Komunikator
    Pembicara atau komunikator merupakan pusat transaksi. Meskipun secara fisik ia selalu berhadapan baik langsung maupun tidak langsung dengan hadirin, pembicara bertindak sebagai komunikator yang tampil sebagai sentral kegiatan yang menggambarkan terpusatnya jiwa para hadirin dengan “memandang” si pembicara tampil sebagai alasan untuk berkumpulnya mereka di tempat itu. Pembicara yang cerdas adalah orang yang selalu memperhatikan reaksi yang timbul dari audiensnya, sehingga ia dengan segera akan mengubah strategi dan gaya pidato jika mengetahui bahwa respons yang muncul dari audiens bersifat negatif atau menentang.

  2. Pendengar (hadirin)
    Para pendengar atau hadirin (audiens) yang terlibat dalam proses kegiatan retorika pada hakikatnya merupakan insan-insan yang jelas masing-masing berbeda dan memiliki kekhasan sendiri. Meskipun kita sering mengatakan hadirin sebgai kumpulan orang-orang secara tidak langsung dinyatakan tidak memiliki keanekaragaman namun kita tidak lupa bahwa itu merupakan campuran dari insan-insan yang berbeda dan satu sama lain terpisah. Masing-masing insan pendengar dimaksud masuk dalam situasi retorika dengan pelbagai maksud, berbeda motif, berlainan harapan, berbeda pengetahuan, berlainan sikap, kepercayaan dan nilai. Pendek kata, mereka hadir dengan berbeda predisposisi.

    Fraser bond menggolongkan pendengar menjadi 3 yaitu, golongan intelek, golongan praktisi dan golongan non intelek.

    • Golongan intelek, cirinya menghargai orang lain menerima masukan orang yang berilmu.
    • Golongan praktisi, orang-orang yang lebih menyukai kegiatan praktek daripada teori.
    • Golongan non intelek, orang yang lebih memperhatikan apa yang menjadi kebutuhannya atau kepentingan pribadi.
  3. Suara (bunyi-bunyian)
    Bunyi apa saja yang bisa didengar ataupun tidak di sekitar kegiatan retorika itu akan mengganggu dalam penyampaian dan penerimaan pesan.Bunyi itu mungkin berasal dari luar konteks yang paling dekat seperti, suara mobil, teriakan anak-anak, hembusan angin ataupun hujan. Maupun suara yang berasal dari dalam konteks yang bersangkutan seperti audiens yang mengobrol, gangguan udara pada mikropon, gemersik kertas, kata-kata klise dan prasangka dalam pikiran pembicara atau pendengar, kacamata hitam yang dipakai untuk menghalangi pandangan hadirin terhadap mata kita yang melihat teks saat pembacaan pesan yang dikomunikasikan, podium yang menghalangi penglihatan audiens terhadap gerak kita dan kecemasan yang timbul pada diri pembicara juga bisa dianggap sebagai suatu gangguan bunyi (noise band).

  4. Pesan dan salurannya
    Pesan yang kita sampaikan selalu mengandung makna yang dibangun oleh adanya isi (content) dan lambang (symbol). Isi komunikasi dimaksud tidak lain adalah apa yang kita pikirkan atau buah pkiran yang akan kita sampaikan, sedangkan lambang yang paling utama untuk melukiskan buah pikiran iu adalah bahasa, dan umumnya bahasa dikemukakan dalam bentuk untaian kata-kata. Dalam hal pemilihan kata perlu diketahui bahwa setiap kata selalu mengandung dua pengertian, yaitu: pengertian denotatif yang mengandung arti sebagaimana tercantum dalam kamus (arti kata) dan pengertian konotatif yang mengandung pengertian emosional atau mengandung penilaian tertentu (makna buah pikiran atau maksud penyampaian). Sedangkan saluran yang dimaksud adalah medium yang meneruskan pesan bermakna dari pengirim kepada penerimanya. Dalam hal ini kita bisa membayangkan adanya saluran abstrak yang meneruskan suara, saluran yang menghubungkan hal-hal yang berkenaan dengan pembicaraan dan pendengaran. Namun demikian ada juga saluran yang tampak dan penting adanya, seperti kontak mata, gerakan badan, tangan serta cara berpakaian dapat menyalurkan pesan yang mengandung arti tertentu.

  5. Akibat
    Berhasil atau tidaknya suatu pidato tergantung pada interaksi antara pembicara dan informasi lain yang dimiliki audiens. Karenanya jika menginginkan menjadi pembicara yang efektif maka harus mengetahui informasi, sikap dan kepercayaan yang dimiliki hadirin terhadap tema pidato. Kredibilitas akan mempengaruhi cara hadirin dalam memahami pidato kita dan dalam hal ini.

    Carl Hovland menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya orator dalam berpidato tergantung pada:

    • Maksud si pembicara berpidato
    • Kejujuran si pembicara
    • Kedudukan dan tanggungjawab sosial pembicara
    • Pengalaman si pembicara
    • Pandangan si pembicara mengenai hal-hal yang aktual.

    Dengan demikian akibat dari proses retorika itu merupakan feedback pidato yang belum tentu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pembicara. Dalam hal ketidaksesuaian ini diperlukan perubahan strategi, teknik dan taktik.

  6. Konteks
    Antara pembicara dan pendengar, beroperasi dalam suatu konteks yang meliputi dimensi lingkungan sosial secara fisik dan psikis. Konteks sangat berperan dalam kegiatan retorika. Konteks selalu menimbulkan pengaruh yang berarti bagi berlangsungnya retorika dan karena perlu dianalisis serta diatur adanya dalam setiap situasi retorika (Suhandang, 2009: 52-73).

Pembagian Retorika


Pembagian retorika (Hendrikus, 1993) antara lain:

  1. Monologika
    Adalah ilmu tentang seni berbicara secara monolog, yaitu hanya seorang yang berbicara. Bentuk-bentuk yang tergolong dalam monologika adalah pidato, kata sambutan, kuliah, makalah, ceramah dan deklamasi.

  2. Dialogika
    Adalah ilmu tentang seni berbicara secara dialog, di mana dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan. Bentuk dialogika yang penting adalah diskusi, tanya jawab, perundingan, percakapan dan debat.

  3. Pembinaan Teknik Bicara.
    Efektivitas monologika dan dialogika tergantung pada teknik bicara. Oleh karena itu teknik bicara ini merupakan bagian yang penting dalam retorika. Perhatian ini lebih diarahkan pada pembinaan teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik membaca dan bercerita.

Tujuan dan Fungsi Retorika


Tujuan Retorika

Retorika pada awalnya berkaitan dengan persuasi, sehingga retorika adalah seni penyusunan argumentasi dan pembuatan naskah pidato. Persuasi dapat diartikan sebagai metode komunikasi sebagai ajakan, permohonan atau bujukan yang lebih menyentuh emosi, yaitu aspek afeksi dari manusia (Arifin, 2011)

Sedangkan menurut Erwin P. Bettinghaus (1973), persuasi merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau perilaku orang melalui transmisi pesan (Okta, 1976). Meskipun demikian persuasi dapat dipahami bahwa selain mengajak atau membujuk khalayak dengan menggugah emosi, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara logis dengan menyentuh aspek kognitif individu, yaitu dengan menggugah khalayak berdasarkan situasi dan kepribadian khalayak (Arifin, 2011).

Secara massa, retorika bertujuan (Tasmara, 1987) sebagai berikut:

  • To inform, memberikan penerangan dan pengertian kepada massa, guna memberikan penerangan yang mampu menanamkan pengertian dengan sebaik-baiknya.
  • To Confise, meyakinkan dan menginsafkan.
  • To Inspire, menimbulkan inspirasi dengan teknik sistem penyampaian yang baik dan bijaksana.
  • To Entertain, menggembirakan, menghibur atau menyenangkan dan memuaskan.
  • To Ectuate (to put into action), menggerakkan dan mengarahkan mereka untuk berindak menetralisir dan melaksanakan ide yang telah dikomunikasikan oleh orator di hadapan massa.

Fungsi Retorika

I Gusti Ngurah Okta (1976) menjelaskan retorika adalah:

  1. Menyediakan gambaran yang jelas tentang manusia terutama dalam hubungan kegiatan bertuturnya, termasuk ke dalam gambaran ini antara lain gambaran proses kejiwaan ketika ia terdorong untuk bertutur dan ketika ia mengidentifikasi pokok persoalan dan retorika bertutur ditampilkan.

  2. Menampilkan gambaran yang jelas tentang bahasa atau benda yang biasa diangkat menjadi topik tutur. Misalnya saja gambaran tentang hakikatnya, strukturnya, fungsi dan sebagainya.

  3. Mengemukakan gambaran terperinci tentang masalah tutur misalnya dikemukakan gambaran tentang hakikatnya, strukturnya, bagian-bagiannya dan sebagainya.

Berdasarkan dengan penampilan gambaran ketiga hal tersebut disiapkan pula bimbingan tentang:

  • Cara-cara memilih topik
  • Cara-cara memandang dan menganalisa topik tutur dengan menentukan sasaran ulasan yang persuasif dan edukatif
  • Penulisan jenis tutur yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai.

Pemilihan materi bahasa serta penyusunan menjadi kalimat-kalimat yang padat, utuh dan bervariasi. Pemilihan gaya bahasa dan tutur dalam penampilan bertutur kata.

Lima Hukum Retorika


Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, memperoleh lima tahap penyusunan pidato yang terkenal sebagai lima hukum retorika (The Five Canons of Rhetoric), limahukum tersebut adalah:

1. Invention (penemuan bahan).

Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penemuan. Invention didefinisikan sebagai konstruksi atau pengembangan dari sebuah argument yang relevan dengan sebuah tujuan dari pidato (West &Turner, 2007).

Seorang speaker tidak asal berbicara saja, namun harus secara sistematis mencari isi dan secara sadar memutuskan apa yang harus disertakan bagi audience yang mereka tuju. Canon yang pertama ini berhubungan erat dengan critical thinking serta argumentasi. Dalam canon pertama ini didukung dengan faktor pendukung agar bersifat lebih persuasif.

Faktor-faktor tersebut antara lain :

  1. Ketika dapat memilih topik, pilih sesuatu yang bermakna
  2. Kenali subject nya
  3. Ketahui apa yang kita inginkan dari audience kita.
  4. Berikan argument terbaik yang dapat kita berikan.
  5. Analisa audience
  6. Tailor the message to the audience
  7. Pastikan bahwa audience tahu bahwa subject kita bermanfaat.
  8. Gunakan bukti yang berkualitas tinggi.
  9. Sebutkan sumber bukti yang kita gunakan.
  10. Be Organized
  11. Respon to protential objections
  12. Beradaptasi terhadap gangguan yang kita hadapi

Invention berhubungan erat dengan logos. Dalam invention dapat dimasukkan beberapa argument enthymematic. Sebagai tambahannya invention dimaknai secara luas sebagai body of information dan pengetahuan yang dibawa pembicara dalam situasi saat pidato disampaikan (West & Turner, 2007)

Dalam invention terdapat topics dan civic spaces. Topics merupakan bantuan yang digunakan dalam invention yangmengacu pada argument yang digunakan oleh pembicara. Topic (yang mengacu pada argument tersebut) membantu menguatkan persuasi pembicara. Civic spaces merupakan makna yang tersedia dari persuasi atau lokasi metafora di mana retorika memiliki kesempatan untuk membawa efek perubahan (West & Turner, 2007).

2. Dispositio/Arrangement (penyusunan bahan/materi).

Disposisi merupakan penataan ide. Yang dimaksud penataan ide adalah urutan ide dalam speech yang kita lakukan. Penataan ide akan membantu pendengar memahami hubungan antar ide serta menghindari kebingungan. Penataan ide yang efektif juga akan membuat pesan lebih persuasif dengan membiarkan setiap ide membangun di atas apa yang telah dipresentasikan lebih dahulu dan membuat argumen lebih kuat.

Menurut West dan Turner (2007), Aristoteles merasa bahwa seorang pembicara harus mencari pola penataan pesan yang meningkatkan efektivitas pidato mereka. Dalam penataan pidato ini, dibagi dalam tiga bagian, yakni: introduction, body dan conclusion.

Introduction merupakan bagian dari penataan strategi dalam pidato yang bertujuan untuk mendapatkan perhatian audience, menghubungkan diri dengan audience dan menyediakan garis besar tujuan pembicara berpidato (West & Turner, 2007: 345).

Body sebagai kelanjutan dari introduction, body merupakan bagian dari penataan pidato yang berisi arguments, examples, dan detil-detil penting untuk membuat sebuah poin. Aristoteles menyatakan bahwa audience harus dibimbing dari satu poin ke poin yang lainnya (West &Turner, 2007).

Sebagai penutup dari pidato, conclusion atau kesimpulan merupakan sebuah rangkuman yang berisi poin-poin utama pembicara dan merangsang emosi audience (West & Turner, 2007).

3. Style/Elocutio (gaya/pemilihan bahasa yang indah).

Style adalah cara penggunaan bahasa dalam mengekspresikan ide. Penggunaan style yang efektif akan membuat pesan lebih jelas, menarik dan powerful. Sebagai persuader yang efektif, diharapkan dapat menggunakan bahasa yang secara efektif menyuarakan argument. Penggunaan bahasa harus sungguh- sungguh diperhatikan sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang salah.

Menurut West dan Turner (2007), penggunaan istilah yang aneh atau sudah ketinggalan jaman sebaiknya dihindari. Selain itu, Aristoteles juga menyarankan penggunaan metafora untuk membantu audience memahami hal-hal yang kurang jelas sehingga lebih mudah dipahami.

4. Memory (mengingat materi).

Memory berhubungan dengan kemampuan untuk mengingat mengenai apa yang akan kita katakan. Pada zaman dahulu, hal ini berarti mempelajari cara untuk mengingat ide dalam urutan untuk kita mempresentasikan mereka dengan bahasa yang kita rencanakan. Pada masa kini, hal ini lebih kepada bagaimana menggunakan catatan atau manuskrip dari pada menghapal secara keseluruhan.

5. Pronountiatio/Delivery (penyampaian).

Delivery merupakan canon final dari retorika. Delivery melibatkan secara vokal dan fisik dalam mempresentasikan speech kita. Delivery sangat penting karena orang lebih memperhatikan ideyang dipresentasikan secara menarik dan powerful. Delivery seharusnya mempresentasikan ide sesuai bobotnya dan tidak untukmembuat ide lemah tampil lebih kuat.

Menurut West dan Turner (2007), delivery merupakan presentasi non verbal dari seorang pembicara. Di dalamnya terdapat kontak mata, tekanan suara, pengucapan, dialek, gerakan tubuh dan penampilan fisik. Pembicara disarankan untuk menggunakan tingkatan pitch, ritme, volume dan emosi yang pantas. Aristoteles meyakini bahwa cara sesuatu diucapkan mempengaruhi kejelasannya.