Apa yang dimaksud dengan Resusitasi Jantung Paru atau Cardio Pulmonary Resusitation (CPR)?

Resusitasi jantung paru-paru

Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali.

Apa yang dimaksud dengan Resusitasi Jantung Paru atau Cardio Pulmonary Resusitation (CPR)?

Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu metode untuk memberikan bantuan sirkulasi. Resusitasi Jantung Paru (RJP) dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup korban yang mengalami henti jantung dengan mengkombinasikan antara kompresi dada dan nafas buatan untuk memberikan oksigen yang diperlukan bagi kelangsungan fungsi sel tubuh (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012).

Resusitasi juga dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menghidupkan kembali, melalui usaha untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis (Cadogan, 2010).

Prosedur Cardio Pulmonary Resusitation

Resusitasi Jantung Paru

Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan hidup (chain of survival) : cara untuk menggambarkan penanganan ideal yang harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi berkurang, sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar untuk bisa bertahan hidup.

Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari beberapa tahap berikut ini (AHA, 2010):

  1. Mengenali tanda-tanda cardiac arrest dan segera mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services).
  2. Segera melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada.
  3. Segera melakukan defibrilasi jika diindikasikan.
  4. Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support).
  5. Melakukan perawatan post cardiac arrest .

Prosedur CPR menurut American Heart Association 2010 adalah terdiri dari circulation, airway dan breathing :

  1. Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong.

  2. Memastikan kondisi kesadaran pasien.

    Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar/ tidak. Penolong harus menepuk atau menggoyang bahu korban sambil bertanya dengan jelas:

    ‘Hallo, Pak/ Bu! Apakah anda baik-baik saja?’.

    Jangan menggoyang korban dengan kasar karena dapat mengakibatkan cedera. Juga hindari gerakan leher yang tidak perlu pada kejadian cedera kepala dan leher.

  3. Mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)

    Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan dan segera menghubungi 118 untuk memanggil ambulans. Jika ada orang lain disekitar korban, minta orang tersebut untuk menelpon ambulans dan ketika menelpon memberitahukan hal-hal berikut: lokasi korban nomor telpon yang anda pakai, apa yang terjadi pada korban, jumlah korban, minta ambulans segera datang dan tutup telepon hanya jika diminta oleh petugas.

  4. Memastikan posisi pasien tepat

    Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus berbaring pada permukaan yang datar, keras, dan stabil. Jika korban dalam posisi tengkurap atau menyamping, maka balikkan tubuhnya agar terlentang. Pastikan leher dan kepala tersangga dengan baik dan bergerak bersamaan selam membalik pasien.

Fase-fase Resusitasi Jantung Paru sesuai Algoritma AHA (2010) adalah :

1) Fase I: Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support)

  • C (Circulation)

    Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi: Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1–2 cm raba dengan lembut selama 5–10 detik. Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/ pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.

    Melakukan kompresi dada: Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :

    1. Menentukan titik kompresi (center of chest): Cari possesus xypoideus pada sternum dengan tangan kanan, letakkan telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus xypoideus.

    2. Melakukan kompresi dada: Kaitkan kedua jari tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan kedua siku dan pastikan mereka terkunci pada posisinya, posisikan bahu tegak lurus diatas dada korban dan gunakan berat badan anda untuk menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm), lakukan kompresi 30x dengan kecepatan minimal 100x/menit atau sekitar 18 detik. (1 siklus terdiri dari 30 kompresi: 2 ventilasi). Lanjutkan sampai 5 siklus CPR, kemudian periksa nadi carotis, bila nadi belum ada lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bila nadi teraba, lihat pernafasan (bila belum ada upaya nafas) lakukan rescue breathing dan cek nadi tiap 2 menit.

  • A (Airway)

    Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/ jaw thrust.
    Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers sweep), sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.

  • B (Breathing)

    Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000–1000ml (10ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari pasien setelah diberikan bantuan napas.

    Cara memberikan bantuan pernapasan:

    Mulut ke mulut: penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700–1000ml (10ml/kg). Volume udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

    Setelah nafas dan nadi korban ada, jika tidak ada kontraindikasi untuk mencegah kemungkinan jalan nafas tersumbat oleh lidah, lender, atau muntah berikan posisi recovery pada korban dengan langkah sebagai berikut (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012):

    1. Letakkan tangan korban yang dekat dengan anda dalam posisi lengan lurus dan telapak tangan menghadap keatas kearah paha korban.

    2. Letakkan lengan yang jauh dari anda menyilang diatas dada korban dan letakkan punggung tangannya menyentuh pipinya.

    3. Dengan menggunakan tangan anda yang lain, tekuk lutut korban yang jauh dari anda sampai membentuk sudut 90˚.

    4. Gulingkan korban kearah penolong.

    5. Lanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban, ‘tanda sirkulasi’, dan pernafasan tiap 2 menit hingga bantuan datang.

2) Fase II: Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life Support)

Fase kedua merupakan fase yang dilakukan setelah tunjangan hidup dasar (basic life support) berhasil diberikan. Fase ini terdiri dari:

  1. D (Drug): pemberian obat-obatan termasuk cairan untuk memperbaiki kondisi korban atau pasien.

  2. E (ECG) : melakukan pemeriksaan diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk mengetahui fibrilasi ventrikel.

3) Fase III: Tunjangan Hidup Terus-Menerus (Prolonged Life Support)

  1. G (Gauge): pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.

  2. H (Head): tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya gangguan neurologic yang permanen.

  3. I (Intensive Care): perawatan intensif di ICU, meliputi: tunjangan ventilasi (trakheostomi), pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung.

Obat Emergency atau Resusitasi


Menurut Philladelpia (2010) prinsip obat kegawat daruratan (emergency) adalah :

  1. Koreksi hipoksia.

  2. Mempertahankan sirkulasi spontan pada kondisi tekanan darah yang adekuat.

  3. Membantu mengoptimalkan fungsi jantung.

  4. Menghilangkan nyeri.

  5. Koreksi asidosis.

  6. Mengatasi gagal jantung kongestif.

Obat-obat resusitasi jantung paru dan obat-obat perbaikan sirkulasi yang biasa digunakan antara lain :

  1. Oksigen.

  2. Meningkatkan tekanan darah : epinefrin atau adrenalin, vasopressin, dopamine.

  3. Meningkatkan denyut jantung atau nadi (heart rate) : atropin.

  4. Menurunkan atau mengatasi aritmia supraventrikel : adenosine, dilteazem, amiodaron.

  5. Obat-obatan untuk IMA : morfin, aspirin, fibrinolitik.