Apa yang dimaksud dengan resiliensi keluarga?

resiliensi keluarga

Menurut Hawley dan De Haan (1996), resiliensi keluarga adalah konstruk yang relatif baru yang mendeskripsikan bagaimana keluarga beradaptasi terhadap stres dan bangkit dari kesulitan.

Apa yang dimaksud dengan resiliensi keluarga?

Berawal dari pemahaman mengenai resiliensi individu, konsep resiliensi keluarga dikembangkan. Resiliensi adalah kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat (Tugade & Fredikson, 2004). Diawali dari pemahaman beberapa peneliti keluarga yang menyatakan keluarga sebagai sistem yang memengaruhi resiliensi individu (Vanbreda, 2001). Sebelumnya, Caplan (1982, dalam Vanbreda, 2001) dalam studinya mengemukakan bahwa keluarga sebagai sistem pendukung anggota keluarga, yang mengantarkan pada resiliensi individu. Pada umumnya resiliensi berdampak pada individu atau keberfungsian keluarga yang dipandang hebat dan mengagumkan (Turner, 2001 dalam Mullin & Arce, 2008). Walsh (1996) menjelaskan bahwa konsep resiliensi keluarga memperluas pemahaman mengenai keberfungsian keluarga yang sehat pada situasi sulit (adversity). Pendekatan resiliensi keluarga bertujuan untuk mengidentifikasi dan memperkuat kunci proses interaksional yang memungkinkan keluarga untuk bertahan dan pulih dari tantangan hidup yang mengganggu (Walsh, 2006).

Definisi Resiliensi Keluarga


Menurut Hawley dan De Haan (1996), resiliensi keluarga adalah konstruk yang relatif baru yang mendeskripsikan bagaimana keluarga beradaptasi terhadap stres dan bangkit dari kesulitan. Hingga saat ini konsep resiliensi keluarga masih terus dikembangkan oleh para peneliti. Beberapa definisi dijabarkan untuk memahami konsep ini, diantaranya McCubbin yang mengembangkan definisi resiliensi keluarga sebagai pola perilaku positif kompetensi fungsional individu dan keluarga yang diperlihatkan dalam keadaan stres atau merugikan. McCubbin mengembangkan kerangka teoritis yang disebut sebagai The Resiliency Model of Family Stress, Adjustment, and Adaptation (1996, dalam Vanbreda, 2001). Berikut definisi lengkapnya.

Family resilience can be defined as the positive behavioral patterns and functional competence individuals and the family unit demonstrate under stressful or adverse circumstances, which determine the family’s ability to recover by maintaining its integrity as a unit while insuring, and where necessary restoring, the well-being of family members and the family unit as a whole ” (McCubbin & McCubbin, 1996 dalam Vanbreda, 2001).

Resiliensi keluarga menggambarkan jalan yang keluarga tempuh untuk beradaptasi dan berhasil dalam menghadapi tekanan, baik saat ini maupun dari waktu ke waktu (Hawley & De Haan, 1996). Hawley dan De Haan (1996) menjelaskan bahwa keluarga yang resilien merespon positif terhadap kondisi ini dengan cara yang unik, tergantung pada konteks, tingkat perkembangan, kombinasi yang interaktif antara faktor risiko dan faktor protektif, dan pandangan bersama yang dimiliki keluarga. Walsh (2006) mengemukakan bahwa resiliensi keluarga merupakan suatu penyelesaian masalah dan proses adaptasi dalam keluarga sebagai sebuah unit yang fungsional. “ The termfamily resiliencerefers to coping and adaptational processes in the family as a functional unit ” (Walsh, 2006). Konsep resiliensi keluarga menegaskan potensi untuk kelangsungan hidup, perbaikan, dan pertumbuhan pada semua keluarga, karena keluarga memiliki sumber daya yang bervariasi, tantangan, dan strategi adaptif (Walsh, 2006).

Walsh (2006) juga menjelaskan bahwa resiliensi keluarga merupakan sebuah proses perubahan dan pertumbuhan, baik secara personal maupun relasional yang dibentuk melalui penderitaan yang telah dialami oleh keluarga. Walsh (2006) mengalami pergeseran pandangan mengenai resiliensi keluarga. Sebelumnya ia melihat keluarga tertekan karena kerugian atau dampak yang terjadi akibat kesulitan berubah menjadi memahami bagaimana keluarga ditantang oleh kesulitan.

Orthner (2004) menjelaskan bahwa konsep-konsep dan atribut dari resiliensi keluarga hingga kini masih dalam proses klarifikasi dalam literatur. McCubbin dan McCubbin (1996, dalam Orthner, 2004) mengembangkan lima asumsi besar untuk resiliensi dalam “Resiliency Model of Family Stress, Adjustment, and Adaptation”, dimana keluarga;

  1. Mengalami stres selama siklus kehidupan,
  2. Keluarga juga memiliki kekuatan yang melindungi dan membantu mereka untuk dapat pulih dari krisis keluarga atau pengalaman negatif,
  3. Keluarga dapat memanfaatkan dan berkontribusi pada jaringan hubungan dalam komunitas mereka,
  4. Keluarga berusaha untuk memaknai dan mengembangkan pemahaman bersama tentang pengalaman negatif; dan
  5. Keluarga yang dihadapkan dengan krisis berusaha untuk memulihkan ketertiban dan keseimbangan hidup mereka.

Conger dan Conger (2002) mengonseptualisasi resiliensi keluarga sebagai proses yang berkembang dari waktu ke waktu dalam menanggapi konteks khusus keluarga dan tahap pembangunannya. Resiliensi keluarga menurut Conger dan Conger (2002) dibuktikan dengan indikator tertentu, seperti ikatan keluarga dekat yang mendukung dan kepuasan pernikahan. Demikian pula dengan Patterson (2002), yang memandang resiliensi keluarga melalui proses yang keluarga gunakan untuk beradaptasi dan berfungsi menghadapi paparan trauma atau pengalaman negatif. Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, Simon, Murphy dan Smith (2005) menjelaskan kesamaan komponen relisiensi keluarga, yaitu;

  1. Individu atau keluarga menunjukkan respon positif terhadap situasi sulit, dan
  2. Individu dan keluarga tampil dengan perasaan yang lebih kuat, lebih pandai, lebih percaya diri dan terus berkembang dari penderitaan yang dialami. Sesuai dengan konsep resiliensi keluarga menurut Walsh (2003), yaitu sebagai kemampuan pulih dari keterpurukan sehingga menjadi lebih kuat dan lebih bijaksana.
    Definisi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menurut Walsh (2006). Berikut ini diuraikan mengenai komponen-komponen dalam resiliensi keluarga.

Komponen Resiliensi Keluarga


Walsh (2006) mengemukakan bahwa terdapat komponen-komponen yang membentuk resiliensi keluarga. Komponen ini menjadi proses kunci dalam membentuk resiliensi keluarga. Proses ini ditargetkan untuk menguatkan kapasitas keluarga untuk memantul (rebound) dari krisis dan menguasai tantangan dalam kehidupan (Walsh, 2006; 2012). Gambaran resiliensi keluarga secara menyeluruh dapat diperoleh dengan melihat keseluruhan komponen resiliensi keluarga (Walsh, 2006). Berikut ini adalah ketiga komponen tersebut:

1. Sistem Keyakinan (Family Belief Systems)

Sistem keyakinan merupakan inti dari semua keberfungsian keluarga, juga merupakan dorongan yang kuat untuk terbentuknya resiliensi (Walsh 2006). Walsh (2012) menyebutkan bahwa sistem keyakinan keluarga membantu anggota keluarga untuk memaknai situasi penuh tekanan yang mereka hadapi, memfasilitasi pandangan positif, melihat harapan, dan menyediakan nilai, spiritual dan tujuan hidup. Keyakinan merupakan lensa yang digunakan seseorang untuk memandang dunianya, yang memengaruhi apa yang kita dilihat, tidak kita lihat, dan menentukan kita dalam mempersepsi (Wright, Watson, & Bell, 1996, dalam Walsh, 2006).

Terdapat tiga kunci dalam sistem keyakinan keluarga, yaitu memaknai situasi krisis ( making meaning of adversity), pandangan positif ( positive outlook ), serta transendens dan spiritualitas ( transcendence and spirituality ). Berikut penjelasan mengenai ketiga sub komponen tersebut.

  • Memaknai situasi krisis ( Making meaning of adversity )
    Pemaknaan terkait erat dengan bagaimana sebuah keluarga mengambil hikmah dari situasi krisis yang keluarga jalani (Walsh, 2006). Bagaimana keluarga memaknai situasi krisis dan menurunkan situasi kritis merupakan hal yang penting dalam konsep resiliensi. Sixbey (2005) mengatakan anggota keluarga dapat mengatasi kesulitan dengan baik ketika mereka mempunyai sense of coherence , yaitu memandang krisis sebagai suatu tantangan yang memiliki makna, dapat dimengerti, dapat ditangani bersama (Walsh, 2006). Kagan (1984, dalam Walsh, 2006) menemukan bahwa keluarga memiliki cara yang positif dalam memengaruhi penyesuaian anak-anak dengan berbagi persepsi antara orang tua dan anak, untuk menerima dan memahami apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi pada mereka. Ketika melihat tantangan sebagai hal yang harus diatasi bersama, anggota keluarga akan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi kesulitan (Walsh, 2006).

  • Pandangan positif ( Positive outlook )
    Pandangan positif merupakan keyakinan keluarga akan masa depan dan harapan bahwa masalah akan dapat diselesaikan. Walsh (2006) menjelaskan bahwa pandangan positif tercermin melalui inisiatif dan upaya yang konsisten dalam menyelesaikan masalah, serta dapat memberikan semangat pada keluarga dalam menghadapi masalah. Hal ini terkait dengan harapan yang dimiliki keluarga. Myers (1997) menyatakan bahwa harapan merupakan rasa percaya dapat mengatasi situasi saat ini dan membantu mengurangi kekhawatiran akan masa depan. Dengan adanya pandangan yang positif, menjadikan keluarga lebih terfokus terhadap kekuatan dan potensi, serta penguasaan terhadap krisis.

  • Transendens dan spiritualitas ( Transcendence and spirituality )
    Keyakinan transendens menyediakan makna, tujuan dan hubungan yang berada di luar individu, keluarga maupun masyarakat (Walsh, 2006). Tanpa adanya keyakinan transendens, keluarga akan menjadi lebih rentan sehingga mereka menjadi putus asa dan menyerah. Spiritualitas memberikan pemahaman mengenai tujuan dan hubungan yang berada di luar diri masing-masing anggota keluarga keluarga itu sendiri, serta masalah yang dihadapi oleh keluarga (Walsh, 2006). Keyakinan spiritual dan praktiknya ditemukan dapat menguatkan keberfungsian keluarga, terutama ketika dalam krisis (Beavers & Hampson, dalam Walsh, 2006). Dengan melakukan aktivitas religius seperti berdoa, meditasi dan tergabung dalam komunitas keimanan dapat memberi kekuatan dan dukungan pada keluarga (Walsh, 2007). Tidak hanya melalui aktivitas religius, seseorang juga dapat menemukan panduan dari pengalamannya dengan alam, aktivitas sosial atau berkumpul bersama individu lainnya yang memegang sistem keyakinan yang sama (Sixbey, 2005).

2. Pola Organisasi (Organizational Patterns)

Antara satu keluarga dengan keluarga lainnya tentu memiliki variasi bentuk dan pola hubungan yang berbeda satu dan lainnya (Walsh, 2002). Keanekaragaman ini membuat suatu keluarga perlu menyediakan sebuah struktur keluarga yang terintegrasi dan adaptif bagi para anggotanya (Watzlawick dkk, 1976; Minuchin, 1974 dalam Walsh, 2006). Pola organisasi dalam keluarga dipertahankan melalui norma internal maupun eksternal yang dipengaruhi oleh budaya dan sistem keyakinan keluarga (Walsh, 2006). Walsh (2006) juga menjelaskan bahwa, agar dapat menghadapi krisis secara efektif, keluarga harus mampu memobilisasi dan mengorganisasi potensi yang dimiliki melalui struktur hubungan di dalam keluarga. Terdapat tiga sub komponen dari pola organisasi, yaitu:

  • Fleksibilitas (Flexibility)
    Fleksibilitas dikenal sebagai kapasitas untuk berubah ketika diperlukan (Sixbey, 2005). Fleksibilitas dibutuhkan untuk merealokasi peran dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi dan tantangan yang tidak terduga (Walsh, 2007). Oleh karena itu, keluarga perlu mengembangkan struktur keluarga yang fleksibel agar bisa berfungsi secara optimal dalam menghadapi kesulitan (Walsh, 2003). Fleksibilitas dalam keluarga dapat tercermin dari kepemimpinan otoritatif orang tua. Kepemimpinan otoritatif yang fleksibel adalah hal yang paling efektif mengasuh, membimbing maupun melindungi anak ataupun anggota keluarga lainnya yang cenderung rentan ketika menghadapi kesulitan (Walsh, 2006). Kepemimpinan dan koordinasi yang baik adalah hal yang penting untuk menghadapi masalah, dengan berkolaborasi diantara keluarga dan jaringan sosial (Walsh, 2007).

  • Keterhubungan (Connectedness)
    Keterhubungan mengacu pada struktur ikatan emosional yang kuat diantara anggota keluarga (Walsh, 2006). Keterhubungan emosional antara anggota keluarga merupakan hal yang penting agar keluarga bisa berfungsi dengan baik (Mackay, 2003). Menurut Walsh (2006), keluarga resilien dapat menyeimbangkan kedekatan, saling mendukung, dan komitmen untuk menoleransi keterpisahan dan perbedaan kebutuhan maupun perbedaan pada setiap anggota keluarga. Oleh karena itu saat menghadapi krisis, setiap usaha yang dilakukan harus membuat anggota keluarga tetap bersama (Walsh, 2007).

  • Sumber daya sosial dan ekonomi (Social and economic resources)
    Hal ini merupakan salah satu aspek penting bagi kelangsungan hidup sebuah keluarga. Melalui pola organisasi yang baik, keluarga akan mampu mendistribusikan sumber daya ekonomi dengan lebih baik (Walsh, 2006). Menurut Walsh (2006), sanak saudara maupun jaringan sosial merupakan sumber daya yang penting ketika keluarga menghadapi masalah. Keduanya memberikan dukungan praktis dan psikososial. Kelompok ataupun organisasi dapat menjadi tempat bagi keluarga untuk bertukar informasi, bertukar pikiran, berbagi perasaan serta saling memberikan dukungan semangat untuk bangkit kembali (Walsh, 2003). Kondisi keuangan keluarga yang terjaga juga berperan penting dalam meningkatkan resiliensi pada keluarga (Walsh, 2006).

3. Proses Komunikasi (Communication Processes)

Komunikasi merupakan inti dari proses memaknai dalam keluarga, bagaimana anggota keluarga menerima diri mereka dan hubungan dengan orang lain dan bagaimana mereka merasakan tantangan yang sedang mereka hadapi (Mackay, 2003). Komunikasi yang baik merupakan hal vital dalam fungsi keluarga dan resiliensinya (Walsh, 2006), yang juga dapat membantu keluarga mencapai fungsi dan memenuhi kebutuhan anggota keluarga (Patterson, 2002). Epstein, dkk. (2003, dalam Walsh, 2006) mengatakan bahwa komunikasi mencakup perubahan atau pemberian keyakinan, pergantian informasi, ekspresi emosi, dan proses penyelesaian masalah. Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga sub komponen yang tercakup.

  • Kejelasan (Clarity)
    Sejumlah penelitian menemukan bahwa kejelasan komunikasi adalah hal yang esensial dari keberfungsian keluarga (Beavers & Hampson, dalam Walsh, 2006). Kejelasan mengacu pada pesan yang dikirim secara jelas dan konsisten, baik dalam bentuk kata-kata maupun sikap, serta kesadaran akan kebutuhan untuk menjelaskan sinyal-sinyal yang ambigu (Mackay, 2003). Dengan menyampaikan informasi secara jelas mengenai situasi yang sedang dihadapi dapat memfasilitasi keluarga dalam memaknai, berbagi emosi, dan menginformasikan keputusan yang diambil (Walsh, 2006).

  • Ungkapan perasaan emosional (Open emotional sharing)
    Goleman (1995, dalam Walsh, 2006) menunjukkan pentingnya ungkapan perasaan emosional, untuk coping yang berhasil dan penyesuaian di dalam kehidupan. Komunikasi yang terbuka didukung oleh rasa saling percaya, empati maupun toleransi terhadap perbedaan (Walsh, 2006). Sehingga ketika menghadapi masalah ataupun saat stres, keluarga dapat saling berbagi perasaan mereka secara bebas (Walsh, 2006). Oleh karena itu, keluarga dapat mendorong anggota keluarga untuk terbuka terhadap perasaan mereka dan juga saling menghibur. Dengan menemukan kesenangan ataupun humor saat berada dimasa-masa sulit juga dapat meningkatkan semangat hidup dan ketangguhan anggota keluarga (Walsh, 2006). Penting untuk membangun hubungan yang saling mempercayai, empati, dan toleransi terhadap berbagai emosi yang timbul dan fluktuasinya (Walsh, 2007).

  • Penyelesaiaan masalah yang kolaboratif (Collaborative problem solving)
    Proses penyelesaian masalah yang efektif sangat penting bagi keluarga untuk dapat melakukan penyesuaian terhadap masalah yang tiba-tiba muncul maupun masalah yang muncul terus-menerus dan berkepanjangan (Walsh, 2006). Maka, dengan saling memberikan saran (brainstroming) dan banyaknya ide yang da dapat membuka kemungkinan baru untuk mengatasi kesulitan dan untuk pulih dan bangkit dari musibah (Walsh, 2006). Setiap anggota keluarga harus mampu secara proaktif bekerjasama dalam menghasilkan solusi bagi permasalahan keluarga (Walsh, 2003). Mereka juga akan selalu mempunyai alternatif solusi untuk bisa mengatasi kesulitan yang datang tiba-tiba (Walsh, 2006).

Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk pulih dari krisis dan tantangan yang ditemui dalam hidup. Tidak hanya individu, saat ini keluargapun memiliki pengalaman-pengalaman yang sangat menantang atau situasi krisis yang disebabkan oleh beragam hal. konsep resiliensi keluarga merupakan topik bahasan pada masa psikologi kontemporer (Luthar,Cicchetti&Becker, 2000).

Penelitian sudah banyak dilakukan untuk mengkaji konsep resiliensi keluarga ini, dimana bicara mengenai bagaimana sebuah keluarga mampu menjalankan fungsinya sebagai tempat untuk memberikan kasih sayang, keamanan, perlindungan, dukungan antara satu sama lain, meskipun dihadapkan pada sebuah stressor yang mengakibatkan keluarga dalam kondisi krisis.

Pengertian resiliensi keluarga merupakan suatu cara atau strategi yang dilakukan oleh keluarga dalam menghadapi tekanan, permasalahan atau konflik yang timbul. Keberhasilan dari strategi tersebut tergantung dari bagaimana keluarga menilai permasalahan yang dihadapi.

Luthar dan koleganya (2000) mengatakan bahwa perspektif mengenai resiliensi keluarga merupakan mengenali kekuatan satu sama lain, mampu berdinamika, menjaga hubungan timbal balik untuk menghadapi konflik yang muncul, hingga masalah tersebut menjadi penguat bagi ketahanan keluarga, dan bukan sebagai perusak.

Teori resiliensi keluarga merupakan teori yang tergolong kompleks mengingat keluarga terdiri dari individu yang saling berinteraksi. Mengacu pada perspektif sistem keluarga, resiliensi keluarga adalah hasil dari proses transaksi yang saling berkaitan dalam sebuah sistem yang dinamis.

Proses transaksi dalam keluarga memfasilitasi interaksi antara faktor resiko dan faktor protektif. Resiliensi keluarga dapat berubah sepanjang waktu seiring dengan berbagai tantangan dan peristiwa yang dihadapi keluarga dalam rentang kehidupan (Luthardkk., 2000 dalamKalil, 2003).

Penelitian tentang resiliensi keluarga

Penelitian tentang resiliensi keluarga biasanya memandang keluarga sebagai faktor proteksi atau resiko. Keluarga yang memiliki karakteristik yang berhubungan dengan penyebab ketahanan individu maka dapat dikatakan keluarga sebagai factor protektif. Namun orangtua yang melakukan penganiayaan pada anak, mungkin dapat dikatakan keluarga tidak berfungsi sebagai factor protektif.

Namun beberapa individu yang trauma mungkin memiliki self righting yang baik sehingga ia dapat tetap resiliens meski berada dalam keluarga dan system pengasuhan yang tidak efektif (Gold, 2001; Hooper, 2008). Selain itu, sistem keluarga dapat menjadi faktor risiko di masa kanak-kanak dan jadi factor pelindung ketika anak dewasa untuk individu yang sama. Oleh sebab itu untuk meneliti resiliensi keluarga, seseorang harus memahami konteksnya. Fraser et al. (1999) menyatakan bahwa resiliensi muncul dari heterogenitas individu dan lingkungan yang berpengaruh untuk menghasilkan kinerja luar biasa dalam menghadapi ancaman yang signifikan. Resiliensi individu telah lama dipelajari, namun penelitian dan literature klinis baru saja mulai mengeksplorasi ketahanan keluarga (Walsh, 1996, 1998). Selain itu, resiliensi pada umumnya sering terjadi pada tingkat individu dalam konteks unit atau keluarga yang disfungsional; dan dahulu resiliensi keluarga sering diabaikan. (Hooper,2008).

Saat ini penelitian resiliensi keluarga semakin meningkat. Resiliensi keluarga merupakan cara pandang resiliensi yang lebih sistemik, di definisikan untuk keperluan tinjauan proses interaksi dari waktu ke waktu yang dapat memperkuat keluarga (Hawley&DeHaan,1996).

Karakteristik keluarga yang sering dilaporkan sebagai resiliensi lebih banyak tampak pada keluarga yang mengalami kesulitan atau trauma (McCubbin & Patterson, 1982; Patterson, 2002). Misalnya, kehangatan keluarga, kasih sayang keluarga, dukungan emosional keluarga mungkin tidak ada pada keluarga yang melakukan penganiayaan terhadap anak. Namun, Walsh (1998) berpendapat bahwa jika orang tua tidak dapat menyediakan iklim ini, hubungan dengan anggota keluarga lainnya, seperti saudara yang lebih tua, kakek nenek, dan kerabat jauh dapat melayani fungsi ini.

Lietz (dalam Becvar, 2013) menuliskan bahwa penelitian resiliensi awal banyak dipengaruhi oleh Werner dan Smith (2001) yang selama 40 tahun mempelajari tentang remaja yang beresiko tinggi. Peneliti ini melakukan studi longitudinal yang diikuti oleh 698 bayi yang lahir di Pulau Kauai dalam 1 tahun. Sepertiga dari sampel diidentifikasi sebagai berisiko tinggi. Anak-anak tersebut (a) mengalami stres perinatal, (b) lahir dalam kemiskinan, dan © diangkat dalam kondisi keluarga/orangtua yang berselisih, kecanduan, atau memiliki masalah kesehatan mental.

Sampel dari remaja yang berpartisipasi tersebut kemudian dinilai setiap 10 tahun. Studi ini membongkar satu set factor pelindung yang muncul, seperti menjaga hubungan dengan setidaknya satu orang dewasa yang peduli, yang banyak membantu anak ini hingga berhasil mengatasi tantangan dan akhirnya berkembang menjadi wellfunctioning. Terpenting dalam studi ini adalah bagaimana kita terdorong untuk meneliti bagaimana factor resiko dan pelindung tersebut bekerjasama untuk keberfungsian yang lebih baik (Garmezy, 1993; Garmezy, Masten, & Tellegen, 1984; Luthar, 1991; Masten & Coatsworth, 1998). Penelitian-penelitian tersebut kemudian memberikan kita sebuah kesimpulan bahwa keberhasilan individu mengatasi kesulitan yang dihadapi disebabkan oleh dua hal, yakni personal traits dan factor-faktor protektif dalam keluarga dan konteks sosial (Werner, 1993 ; Wetner&Smith, 1992).

Menurut Walsh (1996) penelitian yang dilakukan berdasarkan topik resiliensi keluarga perlu memperjelas pemahaman atas keluarga, terutama pada keluarga yang berhasil mengatasi gangguan dan tekanan. Metodologi kualitatif dan kuantitatif dapat digunakan dalam penelitian bertopik resiliensi keluarga. Perlu juga dilakukan pendalaman atas system keyakinan keluarga dan konsep keluarga yang mampu berfungsi dengan baik.