Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan. Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari berbagai peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich & Shatte, 2002 dalam Pulungan, Tarmidi, 2012).
Newcomb ,1992 (dalam LaFramboise et al., 2006 dalam Tait, 2008) melihat resiliensi sebagai suatu mekanisme perlindungan yang memodifikasi respon individu terhadap situasi-situasi yang beresiko pada titik- titik kritis sepanjang kehidupan seseorang.
Ramirez (2007) menjabarkan, resiliensi sebagai kemampuan untuk pulih dengan cepat dari perubahan penyakit, depresi, kemalangan, daya apung, atau memliki kemampuan yang memungkinkan untuk kembali dalam keadaan semula setelah menghadapi suatu kegagalan. Seiring berjalannya waktu, beberapa reviewer di berbagai literarur mengungkapkan bahwa resiliensi lebih berfokus pada proses resiliensi seseorang individu berdasarkan pengalamannya.
Resiliensi dapat didefinisikan sebagai pengurangan kelemahan terhadap pengalaman yang beresiko, dan penanggulangan dalam menghadapi stres atau kesulitan (Rutter, 2006 dalam Rutter, 2012). Oleh karena itu, resiliensi merupakan konsep yang interaktif dimana kehadiran resiliensi harus disimpulkan dari variasi individu yang pernah mengalami stres atau kesulitan (Rutter, 1987 dalam Rutter, 2012).
Resiliensi harus dipandang sebagai suatu proses dan bukan sebagai atribut tetap seorang individu. Tentu saja, tidak tertutup kemungkinan bahwa beberapa individu akan menunjukkan resiliensi di berbagai situasi, tapi itu tidak bisa diasumsikan bahwa fitur yang sama akan dapat melindungi dalam kaitannya dengan semua risiko (Rutter, 2012).
Resiliensi psikologis sebagaimana yang didefinisikan oleh Maddi, Kobasa dan Kahn (dalam Sholichatun, 2008) merefleksikan sebuah keyakinan bahwa individu dapat melakukan sebuah respon di bawah kondisi stress secara efektif. Kondisi ini mencakup tiga konstruk yang saling terkait.
-
Pertama adalah komitmen terhadap hidup, yaitu adanya kecenderungan untuk melakukan aktivitas harian secara penuh termasuk melakukan hubungan dengan diri dan orang lain sehingga mereka menghargai nilai-nilai, tujuan-tujuan dan prioritas-prioritas hidup mereka yang berbeda dari orang lain.
-
Kedua adalah adanya pandangan individu bahwa perubahan adalah tantangan dan bahwa perubahan adalah hal yang normal.
-
Ketiga, yaitu adanya keyakinan bahwa individu dapat mengontrol atau mempengaruhi kejadian-kejadian. Manifestasinya adalah adanya sebuah perasaan otonomi personan dan keyakinan bahwa individu dapat mempengaruhi nasib kehidupannya.
Menurut Block, 1971 (dalam Papalia 2001 dalam Widiowati, 2012) resiliensi dikonseptualisasikan sebagai salah satu tipe kepribadian dengan ciri-ciri, kemampuan penyesuaian yang baik, percaya diri, mandiri, pandai berbicara, penuh perhatian, suka membantu dan berpusat pada tugas. Garmezy, 1971 (Luther, et al ., 2000; Olsson et al., 2003; Richardson et al., 1990; Richman & Fraser, 2001; Rutter, 1987, 2001 dalam Everall, et al., 2006, dalam Widiowati, 2012) menyampaikan konsep yang berbeda, resiliensi bukan dilihat sebagai sifat yang menetap pada diri individu, namun sebagai hasil transaksi yang dinamis antara kekuatan dari luar dengan kekuatan dari dalam individu.
Resiliensi tidak dilihat sebagai atribut yang pasti atau keluaran yang spesifik namun sebaliknya sebagai sebuah proses dinamis yang berkembang sepanjang waktu. Hal ini senada dengan Masten, 2001 (dalam LaFramboise, et al., 2006 dalam Widiowati, 2012) yang mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan sebuah proses dan bukan atribut bawaan yang tetahal. Resiliensi lebih akurat jika dilihat sebagai bagian dari perkembangan kesehatan mental dalam diri seseorang yang dapat dipertinggi dalam siklus kehidupan seseorang.
Konsep lain dalam bidang resiliensi psikologis yang membahas relevansi karakteristik internal dalam membantu seseorang untuk mengatasi dan menangani pengalaman hidup negatif, adalah hardiness (Bissonnette, 1998). Konsep hardiness pertama kali diidentifikasi oleh Kobasa (1982). Temuan awal menunjukkan bahwa individu, yang mengalami tingkat stres yang tinggi, namun tetap sehat memiliki struktur kepribadian yang berbeda dari individu yang mengalami tingkat stres yang tinggi dan menjadi sakit.
Struktur utama dari kepribadian ini, dilabeli sebagai hardiness, kemudian didefinisikan sebagai “penggunaan sumber daya ego yang diperlukan untuk menilai, menafsirkan dan menanggapi stres yang sehat”. Hardiness memiliki dimensi kontrol, komitmen, dan tantangan (Subramanian and Vinothkumar, 2009).
Salah satu cara potensial untuk memiliki resiliensi adalah kepribadian hardiness yang merupakan perasaan karakteristik bahwa hidup ini bermakna, mampu menentukan masa depan, dan perubahan yang berharga (Bartone, 2006). Hardiness muncul sebagai pola sikap dan keterampilan yang, bersama- sama, memfasilitasi resiliensi saat dibawah tekanan dengan mengubah keadaan penuh tekanan dari potensi bencana menjadi peluang untuk tumbuh dalam kebijaksanaan dan kinerja (Kobasa, Maddi, & Kahn, 1982; Maddi & Kobasa, 1984, dalam Maddi, Harvey, Khoshaba, Fazel dan Resurreccion, 2009).
Warner dan April (2012) mendefinisikan resiliensi dalam lingkup organisasi kerja sebagai kemampuan untuk tetap berfokus pada tugas, produktif dan terhubung dengan misi organisasi, meskipun mengalami masa-masa sulit. Hal ini mengharuskan pekerja, di semua tingkatan, untuk memiliki kekuatan dalam diri dan kapasitas sumberdaya yang memungkinkan mereka untuk mengatasi dampak yang terjadi karena adanya perubahan skala besar pada organisasi, seperti prioritas baru, kepemimpinan baru, strategi baru organisasi, inisiatif perubahan besar, teknologi baru, merger dan perampingan.
Menurut Vernold (2008) Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berencana untuk kembali ke posisi mereka pada tahun berikutnya memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap kemampuan resiliensi mereka, sedangkan guru- guru yang berencana meninggalkan posisi mereka memiliki tingkat kepuasan yang rendah. Selain itu Vernold (2008) juga menjelaskan bahwa dukungan lingkungan, peluang untuk partisipasi yang bermakna dan harapan yang tinggi dalam pekerjaan merupakan faktor-faktor penting untuk membangun resiliensi pada guru pendidikan khusus.
Individu yang resilien memiliki faktor pelindung yang memungkinkan mereka untuk secara efektif mengarahkan situasi stres. Mengingat sifat dari profesi guru, pendidik dihadapkan dengan berbagai kondisi yang stres setiap hari. Guru yang memiliki internal dan eksternal pelindung tenaga lebih cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih besar dan keinginan yang meningkat untuk tetap dalam profesi mereka. (Vernold, 2008).
Dalam situasi di mana seorang guru merasa didukung dan dihormati, maka mereka cenderung menjadi lebih resilien. Sebaliknya dalam situasi di mana mereka merasa terisolasi, tidak siap, dan tidak didukung, mereka cenderung kurang resilien. (Belknap, 2012).
Resiliensi ditandai dengan semacam tindakan dengan tujuan tertentu dalam pikiran dan semacam strategi bagaimana untuk mencapai tujuan yang dipilih yang melibatkan beberapa unsur terkait. Pertama, rasa harga diri dan kepercayaan diri; kedua, self-efficacy serta kemampuan untuk menghadapi perubahan serta adaptasi; dan ketiga, sekumpulan pendekatan dalam pemecahan masalah sosial (Rutter, 1985).
Rutter, 1985 (dalam Sholichatun, 2008) mengungkapkan adanya empat fungsi resiliensi, yaitu:
- untuk mengurangi resiko mengalami konsekuensi-konsekuensi negatif setelah adanya kejadian-kejadian hidup yang menekan,
- mengurangi kemungkinan munculnya rantai reaksi yang negatif setelah peristiwa hidup yang menekan,
- membantu menjaga harga diri dan rasa mampu diri, dan
- meningkatkan kesempatan untuk berkembang.
Resiliensi bukanlah karakteristik kepribadian atau trait tetapi lebih sebagai sebuah proses dinamis dengan disertainya sejumlah faktor yang membantu mengurangi resiko individu dalam menghadapi tekanan kehidupan.
Hal serupa dinyatakan oleh O’Leary dan Ickoviks (dalam Coulson, 2006 dalam Sholichatun, 2008) yang menyatakan meskipun seorang individu mungkin memperoleh keuntungan dan perubahan positif dari sebuah tantangan hidup, namun tidak ada jaminan bahwa hasil yang sama akan nampak ketika menghadapi tantangan-tantangan lain yang hampir bersamaan terjadi.
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan suatu kemampuan respon dalam berdaptasi terhadap situasi sulit yang bersifat dinamis sehingga dapat berkembang sepanjang waktu dalam siklus kehidupan seseorang dengan disertai sejumlah faktor yang membantu mengurangi resiko individu dalam menghadapi tekanan hidup.
Referensi
http://etheses.uin-malang.ac.id/845/6/10410092%20Bab%202.pdf