Regulasi diri dalam belajar menekankan pada strategi proaktif, self-directed, pada pembelajar untuk lebih konsisten dan lebih sukses dalam meningkatkan kemampuan belajarnya.
Regulasi diri dalam belajar merupakan konsep terorganisir dalam menggambarkan proses-proses dan strategi yang digunakan oleh pemelajar secara sengaja untuk mengarahkan pikiran, perasaan dan tindakannya agar menjadi lebih efektif (Zimmerman & Schunk, 2001). Strategi regulasi diri dalam belajar adalah sebuah proses konstruktif dimana pemelajar menetapkan tujuan belajarnya, kemudian melakukan monitoring, regulasi (pengaturan) dan kontrol secara kognitif, memotivasi tingkah laku, yang dituntun dan diarahkan oleh tujuan dan lingkungan dimana individu berada. Aktivitas regulasi diri ini dapat memediasi keterkaitan antara individu dan lingkungan dengan prestasinya secara menyeluruh (Pintrich, 2000).
Regulasi diri dalam belajar berupaya memahami bagaimana individu meningkatkan kinerja dengan beradaptasi terhadap tantangan dan dinamika konteks belajar.
Para peneliti di area ini menemukan bahwa perubahan teknologi dan kondisi masyarakat menyebabkan individu terdorong untuk beradaptasi sehingga dapat menjadi pemelajar sepanjang hidupnya (Lapan, 2004).
Menurut Zimmerman (2000) penggunaan lingkaran regulasi diri dapat secara luas menjelaskan besarnya persistensi dan perasaan puas pada individu yang berprestasi sama besarnya dengan penghindaran dan keragu-raguan pada individu yang kurang berprestasi. Artinya perasaan puas dan persistensi kelompok berprestasi tinggi sejalan dengan penghindaran dan keragu-raguan kelompok yang kurang berprestasi. Oleh sebab itu strategi regulasi diri dalam belajar menjadi keterampilan yang harus dikembangkan dan diterapkan dalam setiap aktivitas belajar agar pemelajar memperoleh kepuasan dan prestasi yang tinggi dalam aktivitas belajarnya. Penerapan regulasi diri dalam belajar ini perlu diterapkan secara terus menerus (internalized) dan bersifat otomatis agar dapat meningkatkan kinerja yang konsisten.
Untuk menjadi terinternalisasi regulasi diri dalam belajar terdiri dari tiga tahap yaitu tahap pelaksanaan, tahap internalisasi dan tahap pelibatan diri dalam proses belajar.
Tahap 1: Tahap pelaksanaan
Pelaksanan regulasi diri terbagi ke dalam 3 proses yaitu: forethought, volitional control, dan self reflection.
-
Proses pertama, forethought, merupakan strategi membuat perencanaan . Individu berprestasi melakukan kontrol terhadap tugas dengan merencanakan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan. Tindakan-tindakan tersebut oleh Lapan (2004) diidentifikasi muncul dalam beberapa tingkah laku antara lain: melakukan analisis tugas (Zimmerman, 2000); meningkatkan motivasi dan keyakinan diri yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas yang sulit dengan kualitas yang baik (Pressley & Wolosyn, 1995), menyusun tujuan dan standar yang bermakna bagi dirinya secara pribadi (Zimmerman, 2000) dan memusatkan perhatian penuh pada penguasaan tugas dan kemajuan dari keterampilan yang diperoleh (mastery learning), bukan sebagai kompetisi dan membandingkannya dengan orang lain (Pintrich & Schunk, 1996).
-
Proses kedua, volitional control adalah tahap selama pelaksanaan tugas tersebut, dimana individu melakukan berbagai strategi pencapaian tugas dengan kesungguhan dan kemauan yang tinggi dengan memantau dan melakukan upaya- upaya untuk meningkatkan prestasi. Misalnya, menggunakan pendekatan berpikir yang berbeda, menggunakan teknik imajinasi untuk menguasai tugas, menggunakan teknik mengingat tertentu yang efektif, serta tetap fokus dan memperkecil hal-hal yang dapat mengganggu proses belajarnya, membagi-bagi tugas menjadi bagian lebih kecil supaya dapat dimonitor dengan efektif (R.Gardner, 1990; Pressley & Wolloshyn, 1995).
-
Proses ketiga, self reflection yaitu melakukan refleksi diri. Menurut Zimmerman (2000), pemelajar efektif selalu melakukan refleksi diri setelah menyelesaikan tugasnya. Misalnya mengevaluasi sukses atau gagalnya tugas yang telah dibuat. Pemelajar efektif biasanya tidak mengaitkan kegagalannya dengan rendahnya kemampuan, tetapi karena strategi yang kurang tepat atau usaha yang kurang maksimal. Dengan demikian mereka akan berusaha kembali untuk mengupayakan keberhasilan dengan cara dan strategi baru yang berbeda (Weiner,1972; Zimmerman & Kitsantas,1997).
Menurut Bandura (1997) pemelajar yang efektif mengevaluasi prestasi mereka dengan cara meningkatkan penguasaan materi, keterampilan pribadi, bekerja dalam tim secara kolaboratif dan pencapaian tujuan. Dengan menggunakan lingkaran regulasi diri ini pemelajar efektif memperoleh pengalaman dan kepuasan diri dalam pekerjaannya dan semakin termotivasi untuk lebih baik di masa mendatang, serta dapat mengantisipasi tugas-tugas lain yang lebih menantang (Lapan, 2004).
Tahap 2: Internalisasi,
Internalisasi merupakan proses menjadikan penerapan regulasi diri dalam belajar menjadi tindakan yang otomatis dilakukan. Hal ini terjadi ketika individu dapat menerapkan proses regulasi dalam belajar efektif di atas ke dalam situasi yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan secara konsisten.
Lapan (2004) menyatakan bahwa individu dapat menerapkan aktivitas regulasi diri ini ke dalam situasi yang tidak disukainya. Hal ini dikarenakan kesuksesan akademik di sekolah menuntut siswa untuk mencapai pengetahuan dan kompetensi dalam rentang yang luas, padahal kenyataannya ada mata pelajaran yang disukai maupun tidak disukai. Idealnya, pen erapan regulasi diri ini harus dilakukan berulang-ulang agar siswa menemukan kesukaan akan pengalaman belajar, mampu mempelajari materi ajar, terinspirasi akan hasil belajarnya sehingga ia senang mempelajari materi tersebut dan mengalami kepuasan. Keberhasilan mempelajari materi ajar akan mendatangkan rasa ingin tahu yang lebih besar dan pelibatan diri yang lebih tinggi untuk menguasai materi ajar.
Sebaliknya, kegagalan akademik akan membuat siswa merasa bosan, tidak mendapatkan sesuatu dari proses belajarnya, demotivasi, bahkan menghindari situasi belajar. Ketika siswa dapat menerapkan strategi belajar efektif dalam segala situasi yang dihadapinya maka paling tidak hasil dari penerapan strategi belajar efektif tidak membuatnya gagal dalam menguasai materi ajar bahkan pada mata pelajaran yang tidak disukainya sekalipun. Keberhasilan akan dapat dirasakan secara relatif dalam diri individu. Hal ini akan mendatangkan pemahaman baru akan kapasitas kemampuan yang dimilikinya melalui perolehan nilai yang dicapai. Situasi yang sering terjadi adalah banyaknya siswa yang mengalami proses belajar sebagai situasi yang tidak menyenangkan seperti cara pengajaran yang tidak menarik, membosankan, sampai pada situasi tidak mampu memahami pelajaran yang diberikan. Dampaknya adalah pelibatan diri dalam belajar yang rendah dan motivasi belajar yang juga minimal untuk mengikuti proses belajar secara aktif.
Ryan dan Deci (2000) menggambarkan bahwa pelajaran yang tidak menarik tidak mendorong individu untuk belajar. Apabila pelajaran yang tidak menarik itu dihadapi dengan regulasi diri dalam belajar yang efektif melalui penetapan tujuan, kontrol, evaluasi dan srtategi kognitif yang beragam, maka pelajaran yang tidak menarik itu dapat berubah menjadi lebih menarik dan meningkatkan motivasi. Motivasi yang tadinya eksternal bisa menjadi internal melalui proses integrasi terhadap materi pelajaran yang diikuti. Misalnya dengan mengetahui tujuan sebuah materi kuliah maka mahasiswa dapat memberikan nilai (bobot) terhadap aktivitas yang dilakukan sesuai tujuan, dan membuat materi yang dipelajari sebagai proyek pribadi. Pemelajar yang berinisiatif untuk melakukan kontrol terhadap perencanaan, pelaksanaan dan hasil dari aktivitas belajarnya akan merasakan sendiri kebutuhan untuk mempelajari topik tersebut lebih dalam dan tertarik untuk terlibat lebih jauh dalam aktivitas tersebut. Keberhasilan dalam memahami materi, menyelesaikan tugas, mendalami materi menjadi pendorong yang membuat pemelajar semakin aktif terlibat dalam proses belajarnya.
Tahap 3: Pelibatan diri.
Pelibatan diri yang semakin kuat ketika individu dapat melihat hasil dan memaknai apa yang telah dicapai sebagai bernilai dan meningkatkan motivasi intrinsik untuk dapat lebih berprestasi lagi karena telah melewati tahap 1 dan 2. Ketidakmampuan orang tua dan dosen untuk membuat pemelajar lebih terlibat dalam pengalaman dan tingkah laku belajarnya menjadi kendala paling utama bagi pencapaian prestasi yang memuaskan (Marks, 2000). Peningkatan tingkat keterlibatan pemelajar dalam aktivitas belajar di kelas terbukti berkorelasi secara kuat dengan prestasi akademik, sebaik perkembangan kognitif maupun sosial (Steinberg, 1996).
Pada dasarnya pemelajar yang menerapkan strategi belajar aktif dapat meningkatkan motivasinya untuk menjadi pemelajar aktif dan terlibat penuh dalam aktivitas belajarnya. Strategi belajar aktif meliputi lingkaran proses: merencanakan, meningkatkan dan mengevaluasi hasil belajar (Zimmerman, 2000), serta melakukan internalisasi terhadap tingkah laku regulatifnya (Ryan & Deci, 2000). Ketika pemelajar merasa puas dan bermakna dengan sendirinya prestasi belajar mereka akan meningkat dan menumbuhkan perasaan mampu, kompeten serta arah yang lebih jelas terhadap pengalaman belajarnya (Baard, Deci, & Ryan, 1998; Sheldon &Kasser, 1998).
Zimmerman dan Martinez-Pons (1988) menemukan sejumlah kategori yang digunakan dalam regulasi diri seperti penetapan tujuan, perencanaan, mencari informasi, mencatat, memonitor perkembangan struktur lingkungan, melakukan konsekuensi diri, melakukan pengulangan, mengingat dan mencari bantuan teman dosen serta orang dewasa lainnya. Melalui seleksi, monitoring dan regulasi diri dari strategi kognitif dan metakognitif ini pemelajar secara aktif memperoleh kontribusi dari proses belajar mereka (Wolter, 2003).
Penelitian Pintrich, Roeser dan De Groot (1994) menunjukkan bahwa pemelajar yang menggunakan strategi kognitif seperti melakukan elaborasi dan organisasi terhadap materi pelajaran melalui tingkat berpikir yang lebih tinggi dan mendalam, dapat mengulangi kembali serta lebih menguasai informasi yang dipahaminya dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menggunakan strategi kognitif. Penelitian Wolter (2004) dan Zimmerman (1989), juga menunjukkan bahwa strategi metakognitif seperti perencanaan, monitoring dan regulasi membantu pemelajar menjadi lebih efektif dalam menggunakan strategi kognitif. Bagaimanapun, strategi kognitif dan tingkah laku ini diperlukan, tetapi belum cukup menjelaskan proses regulasi diri tanpa adanya komponen motivasional yang memengaruhi individu dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan regulasi diri dalam belajar tersebut (Wolters,2003; Zimmerman,1989).
Secara umum dapat dijelaskan bahwa upaya regulatif terhadap usaha mental yang dilakukan terus menerus secara spontan memberikan umpan balik berupa perasaan berhasil karena mampu memahami dan menguasai pelajaran. Perasaan ini akan mendorong seseorang untuk berusaha lebih baik lagi dan mengulangi kembali proses kognitifnya serta meningkatkan keyakinan diri akan kemampuannya. Kondisi ini merupakan proses timbal balik terhadap strategi kognitif, keyakinan diri maupun prestasi belajar yang tidak saja membuat pemelajar mampu meningkatkan prestasi yang sifatnya segera tetapi juga keyakinan akan kemampuan diri dan motivasi untuk meraih tujuan akademik yang lebih tinggi (Zimmerman, 1995).
Dalam hal ini penetapan tujuan dan kemajuan akan pencapaian tujuan berfungsi sebagai penghubung yang aktif antara faktor kognitif dan motivasi (Schutz). Artinya untuk menjadi pemelajar yang menginternalisasi penerapan regulasi diri dalam belajar berarti individu harus melibatkan baik komponen kognitif maupun motivasional.
Bisa saja individu melakukan strategi regulasi kognitif seperti menggunakan teknik belajar melalui mengingat, memahami, menganalisis, mengelaborasi, serta memecahkan masalah. Akan tetapi tanpa dibarengi dengan strategi tingkah laku seperti merencanakan melalui penetapan tujuan yang jelas, memonitor maupun mengevaluasi hasilnya maka individu tidak akan memeroleh umpan balik dan kepuasan atau perasaan terlibat yang membuatnya senang dan puas. Kondisi demikian akan membuat motivasi individu tidak konsisten dan tidak stabil. Apalagi kalau motivasi individu adalah eksternal seperti belajar untuk memperoleh pujian, hadiah atau hal eksternal lainnya. Ketika ada informasi yang berbeda dengan pengalamannya seperti tantangan maupun kendala dalam melaksanakan proses belajarnya maka keteguhan hatinya atau daya juangnya akan menurun dan mudah menyerah.
Misalnya banyak mahasiswa yang tidak menyukai pelajaran tertentu karena tidak menyukai cara mengajar dosennya. Kegagalan seorang dosen untuk membuat mahasiswa memahami pelajarannya, tidak membuat pemelajar yang kurang menerapkan aspek motivasional dan strategi metakognitif berusaha lebih keras, melainkan membuat mahasiswa tersebut tidak mau melibatkan diri atau bahkan menghindari pelajaran tersebut. Pada akhirnya individu gagal meningkatkan prestasi atau menguasai materi tersebut padahal mungkin saja individu tersebut berbakat di bidang yang tidak disukainya. Kenyataannya beberapa studi melaporkan tingginya persentase pemelajar yang secara kronis tidak dapat mengikuti dan terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar di kelas dengan rentang 40% - 60% di luar data ‘dropout’ (Goodlad, 1984; Steinberg, 1996).
Regulasi diri dalam belajar merupakan keterampilan belajar (learning skill) yang perlu dimiliki oleh setiap pemelajar yang ingin berhasil dalam proses pendidikannya. Terbentuknya penerapan regulasi diri dalam belajar secara menetap akan membentuk sikap kerja yang tidak saja bermanfaat ketika masih duduk dibangku pendidikan tetapi merupakan sikap kerja yang menjadi modal bagi individu ketika kelak menjadi pekerja yang efektif.