Apa yang dimaksud dengan Rasionalisme ?

Rasionalisme

Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan atau didapatkan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, bukan berasal dari pengalaman inderawi. Rasionalisme menentang paham empirisme, karena kaum rasionalis berpendapat bahwa ada kebenaran yang secara langsung dapat dipahami. Dengan kata lain, orang-orang yang menganut paham rasionalis ini menegaskan bahwa beberapa prinsip rasional yang ada dalam logika, matematika, etika, dan metafisika pada dasarnya benar.

Apa yang dimaksud dengan Rasionalisme ?

Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. Menurut A.R. Lacey bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.

Rasionalisme adalah paham yang menekankan pemikiran sebagai sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran. Menurut para penganut aliran Rasionalisme, manusia dengan akalnya memiliki kemampuan untuk mengetahui struktur dasar alam semesta secara apriori. Maksudnya bahwa pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi atau dengan kata lain Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah akal atau ide.

Akal bahkan dianggap dapat menemukan kebenaran sekalipun belum didukung oleh fakta empiris. Aliran Rasionalisme ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek4. Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari kebenaran-kebenaran apriori yang diketahui secara jernih dan gamblang oleh akal.

Tokoh utama yang memperkenalkan faham Rasionalisme adalah filsuf Perancis yang kemudian dikenal sebagai “bapak filsafat modern” yaitu Rene Descartes (1596-1650). Orisinalitas pemikiran Descartes terletak pada idenya tentang kesangsian (dubium methodicum), untuk memperoleh kebenaran yang tak tergoyahkan. Descartes mengklaim dirinya telah menemukan filsafat yang sangat tajam dan kritis, yaitu metode yang dimulai dengan menyangsikan segala-galanya. Akhir dari kesangsian metodis tersebut adalah kebenaran yang tak dapat disangsikan lagi oleh Descartes, yaitu “aku yang berfikir.” Dari proses kesangsian Descartes yang konon memerlukan waktu seminggu penuh berdiam diri di kamar, muncullah diktumnya yang terkenal “cogito ergo sum: aku perfikir maka aku ada.”

Referensi : Adian dan Lubis, “Pengantar Filsafat Ilmu: Dari David Hume Sampai Thomas Kuhn”, (Depok: Koekoesan, 2011).

Istilah rasionalisme berasal dari bahasa Latin ratio, bermakna akal. Dalam diskursus filsafat, rasionalisme merujuk pada suatu kecenderungan para filsuf yang lebih menitikberatkan kemampuan akal sebagai kemampuan dalam menggapai pengetahuan. Akal dijadikan sumber utama dalam memperoleh pengetahuan. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Parmenides sempat menyinggung pandangan semacam ini.Namun, gagasan yang paling jelas dan luas baru bisa dilacak di zaman klasik pada pemikiran Plato.

Plato menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia bersumber dari dunia ide. Alam ide merupakan sumber segala sesuatu.Ia bersifat abadi, kekal, dan tidak dapat diubah. Alam ide bersifat transenden. Segala sesuatu yang ada di alam semesta, merupakan perwujudan dari alam ide. Pengetahuan yang dihasilkan manusia, pada dasarnya merupakan penyikapan atas apa yang ada di alam ide. Dunia ide adalah alam abadi, tempat segala sesuatu berasal.Ia menjadi prototype sesuatu di dunia. Jika a disebut “rumah” misalnya, maka sebenarnya konsep “rumah” sudah terdapat di dunia ide.

Yang Nampak di dunia adalah bayang-bayang atas konsep rumah yang abadi di alam ide. Pengetahuan bersifat universal. Ini berbeda dari keyakinan semata. Bagi Plato, pengetahuan berbeda dari keyakinan yang benar. Tetapi keyakinan itu harus disertai dasar-dasar (logos), meskipun dalam prakteknya baik pengetahuan maupun keyakinan yang benar mengandung unsur kebaikan.Plato juga kurang memberikan penilaian positif pada indera.

Bagi Plato, hasil pencerapan indera hanyalah objek dari opini. Opini tidak dianggap sebagai pengetahuan valid serta universal. Opini tidaklah netral, dan karenanya perlu dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan dengan kontemplasi mendalam. Hasil kontemplasi merupakan bentuk pencitraan atas apa yang ada di dunia ide. Untuk dapat mengetahui hakekat sesuatu, maka orang perlu mengembangkan kemampuan penalarannya.Hal-hal yang dipikirkan manusia, sebenarnya sudah terlebih dahulu diketahui jiwa. Sesuatu yang inderawi mampu mengingatkan jiwa atas apa yang pernah diketahui, dan yang tidak diketahui oleh pengalaman; hakikat benda- benda.

Manusia yang sudah terbebaskan dari unsur inderawi, mampu memahami hakekat segala sesuatu. Plato mencontohkan hal ini dengan kisah para tawanan yang berada dalam gua, membelakangi api, menghadap ke dinding. Para tawanan mengira realitas yang sebenarnya adalah apa yang ditangkap oleh indera. Mereka pikir dunia adalah sejauh yang bisa dicerap indera; mereka tertipu dengan informasi inderawi. Padahal, dunia yang sebenarnya berada di luar ruang tahanan. Dunia yang sangat luas, tidak terangkau oleh indera.

Plato mengisahkan bahwa seorang tawanan berhasil kabur. Ia keluar, dan menemukan kelapangan dunia. Ia kaget. Ia sadar bahwa dunia yang sebenarnya tidak seperti yang diyakini kawan-kawannya dalam tahanan. Karena tergerak kata hatinya, ia pun kembali untuk menyadarkan mereka. Tetapi di saat kembali dan menceritakan kebenaran, ia malah dibenci. Mereka tidak mempercayaiapa yang dikatakannya. Akhirnya ia pergi keluar seorang diri.

Begitulah kisah orang yang berusaha memberikan penjelasan tentang hakikat kebenaran. Ia akan menghadapi perbagai macam rintangan, misalnya masyarakat yang tidak mampu berpikir sejauh pengalaman mereka. Mereka selalu mencela ketika dikabarkan kebenaran.

Di abad Modern, rasionalisme menemukan sentuhan baru dalam pemikiran Rene Descartes (1596-1650 M). Bapak filsafat Modern ini menjadi pelopor rasionalisme dalam perdebatan epistemologi. Bahkan, pengaruhnya masih dirasakan sampai zaman Kant pada abad ke-18. Kelak kritik-kritik Kant terhadap rasionalisme antara lain ditujukan untuk menjawab gagasan yang diajukan olehnya. Sistem epistemologi Descartes dimulai dengan sikap keragu- raguan. Pandangan semacam ini merupakan upaya sungguh-sungguh mencari akar yang kuat dan pasti sebagai fondasi bagi ilmu pengetahuan.Sistem Descartes disebut keraguan metodis (la doute methodique).

Keraguan metodis adalah meragukan segala hal, termasuk prinsip-prinsip matematika, Tuhan bahkan mencakup eksistensi manusia. Pribadi manusia sebagai makhluk hidup, mungkin sekali tidak nyata. Mungkin kehidupan yang dialami saat ini hanya mimpi. Mungkin manusia tertipu, misalnya oleh setan yang sangat jahat. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa apa yang dialami bebas dari tipu muslihat.

Keraguan Descartes pada titik ini tidak diarahkan menjadi sikap skeptis terhadap realitas. Keraguan tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, dan tidak berasal dari luar. Keraguan ini menemukan legitimasinya dalam kerja pikiran manusia yang sadar. Kesadaran adalah hal pokok yang mendasari filsafat Barat pada masa ini. Kesadaran dibentuk dalam skema berpikir.

Pikiran manusia diupayakan menemukan suatu asas yag pasti dan memiliki legitimasi ilmiah yang kokoh.
Apa yang disadari adalah kenyataan yang sebenarnya. Kesangsian adalah hal yang paling mungkin dialami manusia yang sadar diri. Keraguan adalah hal yang paling tidak mungkin diragukan, bahkan oleh orang yang paling ragu sekalipun.Keraguan itu dirumuskannya dalam kalimat,”Cogito ergo sum: saya berpikir, maka saya ada”.

Descartes beranggapan bahwa manusia memiliki sebuah perangkat ide dalam dirinya. Dari ide ini kelak muncul sejumlah pengetahuan. Ide tersebut berjumlah tiga: ide bawaan (innate), ide yang didapat dari luar (adventitious), dan ide yang diciptakan (factitious).

Ide bawaan berfungsi membentuk seperangkat aturan dalam mendapatkan kepastian, kebenaran, yang berdasarka asas-asas a priori dalam diri subjek. Ide kedua merupakan bentuk kesadaran atas benda-benda yang ada di luar diri subjek. Semisal merasakan cuaca, mendengar kegaduhan, melihat gambaran sesuatu, dan sebagainya.Ide ketiga adalah pemikiran yang dihasilkan subjek.

Dari ide yang dipaparkan di atas, Descartes melanjutkan suatu pembagian tentang substansi. Substansi tersebut terdiri dari Tuhan, pikiran, dan materi. Ketiga hal tersebut adalah klasifikasi tentang ide-ide bawaan, dan merupakan substansi-substansi berbeda. Pikiran manusia diketahui sebagai wujud substansi yang pasti dan melekat pada diri manusia sejak lahir. Materi dalam bentuk tubuh manusia juga tidak dapat disangsikan keberadaannya, maka pendirian tentang keberadaannya tidak dapat diragukan. Sedangkan ide Tuhan disebutnya pula bagian dari ide bawaan, karena ide Tuhan juga tak terbantahkan. Tuhan adalah titik tolak untuk mencapai kebenaran. Model pembagian seperti iniditentang keras oleh tokoh rasionalis lain, misalnya Baruch de Spinoza (1632-1677 M).

Spinoza menawarkan monism yang mengatasi system Descartes. Ia mengajukan satu prinsip tunggal, substansi. Substansi menjadi sumber segalanya. Ide tentang Tuhan, materi, dan pikiran tidak lain adalah satu substansi. Mustahil bahwa terdapat ketiga substansi yang berbeda-beda, karena segala sesuatunya berada dalam kuasa Tuhan. Dengan begitu, semuanya adalah satu substansi. Tuhan tidak jauh berbeda dari substansi tunggal, begitu pula alam materi. Tuhan yang menguasai alam, tidaklah berbeda dari alam yang dikuasainya. Oleh karena itu, yang ada adalah kesatuan dari substansi. Tuhan tidak lain dari alam, alam tidak lain dari Tuhan. Spinoza menyebutnya, Deus sive Natura (Tuhan atau alam).

Tidak ada perbedaan yang jelas antara Tuhan dan alam. Kedua hal itu hanya mewakili dua perspektif yang berbeda dalam melihat substansi tersebut. Dengan ini Spinoza menggugat kemapanan pandangan agamawan ortodoks, dan mengajukan konsep panteisme.

Dari kritikan panteismenya, Spinoza memiliki pandangan berbeda tentang epistemologi. Pengetahuan manusia menurutnya memiliki tiga tahap.

  1. Tahap inderawi
    Tahap inderawi memainkan peranan sebagai penghasil beragam opini. Opini membentuk seperangkat pandangan yang dihasilkan dari kemampuan inderawi. Namun, opini tidak bisa dijadikan pegangan. Untuk itulah dibutuhkan kemampuan akal budi untuk menentukan batas-batas sebuah informasi bisa dianggap sebagai pengetahuan.

  2. Tahap akal budi
    Dengan daya akal budi, manusia dapat memilah apa yang dirasa sesuai dengan penalaran rasionya. Rasio memainkan peran cukup signifikan sebagai pembentuk arah yang benar, terutama karena rasio membentuk fondasi bagi kaidah matematis; melalui akal manusia dapat mencapai pemahaman tentang keniscayaan dunia.

  3. Tahap intuisi.
    Taraf intuisi memberikan jaminan terhadap hasil penalaran yang sudah mencapai tahap kepastian. Dalam taraf intuisi tidak ada kesalahan yang kerap kali terjadi dalam penalaran. Taraf intuisi bersifat seketika, dan melalui ini manusia mampu memahami kebenaran Tuhan. Namun, tahap intuisi ini jarang dikenakan pada seperangkat pengetahuan. Spinoza menjelaskan bahwa sangat sedikit sekali aspek-aspek dalam kehidupan yang bisa diketahui melalui tahap yang terakhir ini.

Motif Spinoza sama seperti Descartes, mencoba menawarkan fondasi kokoh dalam pengembangan pengetahuan.

Kedua pemikiran rasionalis di atas mendapat serangan dari Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M). Leibniz menyempurnakan kedua system sebelumnya. Bagi Leibniz, konsep tiga substansi yang digagas Descartes, maupun kesatuan substansi adalah kurang tepat. Yang terdapat di alam sebenarnya adalah banyak substansi. Substansi-substansi itu tak terhingga, sebagai penyusun segala sesuatu. Substansi di sini merupakan suatu kekuatan primitif, yang tidak dapat diukur seperti halnya benda-benda fisik. Leibniz menyebutnya Monad. Monad adalah substansi sederhana, yang menjadi penyusun segala sesuatu. Setiap benda memiliki monad.

Ketika terjadi sesuatu, maka monad benda-bendalah yang berinteraksi satu sama lain. Monad tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun keberadaannya dapat dipahami secara rasional. Leibniz mengajukan rumusan baru dalam masalah epistemologi. Bagi Leibniz, konsep pengetahuan terbagi menjadi dua: pengetahuan tentang kebenaran abadi, dan pengetahuan tentang kebenaran yang tergantung observasi indera (based onsense observation). Meskipun melakukan pembagian pengetahuan, kunci pemikiran Leibniz adalah deduksi rasional, dan bukan observasi empiris.

  1. Pengetahuan tentang kebenaran abadi
    Pengetahuan model pertama memberikan kejelasan proporsi yang dibentuk dari prinsip-prinsip kepastian, dan kontradiksi. Dua hal itu dapat langsung diketahui dengan hanya melihat putusan yang membentuk suatu pernyataan. Koherensi antar kalimat dengan kalimat menjadi tolok ukur benar tidaknya suatu pernyataan. Kebenaran dihasilkan dengan menelusuri kesesuaian premis-premis dalam susunan kalimat, dengan suatu pembuktian-diri (self-evident).

    Pengetahuan yang termasuk kategori pertama misalnya ilmu logika dan matematika. Dalam logika dan matematika, segala kebenaran tidak didapatkan dari hasil penelusuran di luar prinsip-prinsipnya. Tidak perlu mencari kesesuaian antara teori dengan fakta. Yang dicari dalam menentukan benar tidaknya suatu kesimpulan adalah memeriksa susunan argumentasi, yang membuktikan suatu rumusan ilmiah. Hasil akhir rumusan itu terlepas dari observasi atas fakta alamiah. Dengan begitu, pengetahuan ini tidak memberikan masukan apapun atas fenomena alamiah, tapi hanya bisa diterapkan secara sementara pada batas-batas eksistensi.

  2. Pengetahuan tentang kebenaran yang tergantung observasi indera
    Pengetahuan model kedua, didapatkan dengan meneliti dan menelusuri sejumlah fakta. Kebenaran pengetahuan ini diperoleh melalui observasi inderawi. Dengan begitu, pengetahuan model kedua ini sangat berbeda dari yang pertama. Analisis fakta-fakta sangat diperlukan guna menghasilkan kebenaran. Pengetahuan ini tidak hanya didapat dengan susunan proposisi pembuktian diri, meskipun dituntun dengan suatu kaidah rasional. Leibniz sependapat dengan para rasionalis pada umumnya, tentang ide-ide bawaan. Tetapi, baginya kemampuan indera bukan sama sekali tidak memiliki andil dalam membentuk pengetahuan.

    Kemampuan indera bisa menyampaikan hal-hal particular, dan spesifik. Namun, indera menghadirkan penglihatan sekilas yang suram tentang kebenaran intelaktual. Sebaliknya, rasio, lebih menjamin kejelasan dan keselarasan. Bagi Leibniz, kebenaran tidak didapat melalui penelusuran dari ketiadaan. Secara potensial, kebenaran telah tertanam dalam diri manusia. Kerja pikiran adalah sebuah proses penyelidikan, yang sebenarnya mrupakan aktualisasi kapasitas sifat dasar manusia.

Dari uraian di atas, pemikir kalangan rasionalis telah menanamkan pengaruhnya secara signifikan terhadap proses berpikir induktif. Penalaran semacam ini dimulai dari hal khusus, untuk kemudian dikembangkan kepada hal-hal yang bersifat umum. Model pemikiran seperti ini sangat menentukan dalam pengembangan matematika. Namun, kerangka rasionalisme juga mencakup bidang ilmu-ilmu lainnya, semisal teologi.

Teologi sebagai sebuah keyakinan, dijelaskan dalam kerangka berpikir rasional. Para agamawan berusaha meneguhkan kebenaran agama mereka dengan pembuktian kepastian matematis. Dengan begitu, mereka yakin dapat mensejajarkan agama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Kelak cara berpikir semacam ini ditentang oleh Kant. Kant sama sekali tidak menganggap teologi menemukan klaim kebenarannya, untuk dianggap sejajar dengan ilmu pengetahuan, dengan cara seperti itu. Tetapi, Kant lebih jauh menempatkan agama berada di luar bingkai ilmu pengetahuan.

Referensi :

  • Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: Geoege Allen and Unwin Ltd., 1961).
  • Bernard Wiliams, “Rationaism,” in Paul Edward, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., VII (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972).
  • Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism: Bacon and Descartes (Waltham: Blaisdell Publishing Company, 1969)
  • F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007)
  • Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (Redland: American Book Company, 1951).

Paham rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi, dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio, mustahil manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Rasio itu adalah berpikir. Oleh karena itu, berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuanlah manusia berbuat dan menentukan tindakannya sehingga nanti ada perbedaan perilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi. Tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.

Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempurnaan.

Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini bergantung pada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio ke arah yang memadai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan”. Dalam hal ini, yang dimaksud penyedian kondisi tersebut ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.

Karena pengembangan rasionalitas manusia sangat bergantung pada pendayagunaan maksimal unsur rohaniah individu yang sangat bergantung pada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sumber daya manusia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.