Miopia atau rabun jauh merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki mata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Dalam keadaan ini objek yang jauh tidak dapat dilihat secara teliti karena sinar yang datang saling bersilangan pada badan kaca, ketika sinar tersebut sampai diretina sinar-sinar ini menjadi divergen, membentuk lingkaran yang difus dengan akibat bayangan yang kabur (Curtin, 2002). Miopia disebut dengan rabun jauh akibat berkurangnya kemampuan untuk melihat jauh akan tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik (Ilyas, 2008). Apabila bayangan dari benda yang terletak jauh berfokus di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi, maka mata tersebut mengalami miopia, atau penglihatan dekat (nearsight) (Vaughan, 2000). Untuk mengerti miopia kita perlu mengetahui dasar-dasar dari lensa, kornea, dan retina.
Menurut Mansjoer (2001), miopia adalah mata dengan daya lensa positif yang lebih kuat sehingga sinar yang sejajar atau datang dari tidak terhingga difokuskan di depan retina. Apabila mata berukuran lebih panjang daripada normal, maka kesalahan yang terjadi disebut miopia aksial. Apabila unsur-unsur pembias lebih retraktif daripada rerata, maka kesalahan yang terjadi disebut miopia kelengkungan atau miopia retraktif. Titik tempat bayangan paling tajam fokusnya di retina disebut “titik jauh”. Orang dengan miopia memiliki keuntungan dapat membaca titik jauh tanpa kacamata bahkan pada usia presbiopik (Vaughan, 2000). Miopia merupakan masalah yang cukup penting, tidak hanya karena tingginya prevalensi miopia, tetapi juga karena miopia dapat menyebabkan kebutaan dan meningkatkan resiko untuk kondisi yang mengancam penglihatan (contohnya glaukoma). Karena miopia berhubungan dengan penurunan penglihatan jarak jauh jika tidak dilakukan koreksi, miopia dapat membatasi ruang lingkup pekerjaan (American Optometric Association, 2006).
Etiologi
Faktor genetik dapat menurunkan sifat miopia ke keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun autosomal resesif. Penurunan secara sex linked sangat jarang terjadi, biasanya terjadi pada miopia yang berhubungan dengan penyakit mata lain atau penyakit sistemik. Pada ras oriental, kebanyakan miopia tinggi diturunkan secara autosomal resesif (Ilyas, 2008). Selain faktor genetik, menurut Curtin (2002) ada 2 mekanisme dasar yang menjadi penyebab miopia yaitu:
-
Hilangnya bentuk mata (hilangnya pola mata), terjadi ketika kualitas gambar dalam retina berkurang;
-
Berkurangnya titik fokus mata maka akan terjadi ketika titik fokus cahaya berada di depan atau di belakang retina. Miopia akan terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang pada saat masih bayi. Dikatakan bahwa semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, maka semakin besar kemungkinan mengalami miopia. Ini karena organ mata sedang berkembang dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan. Akibatnya, para penderita miopia umumnya merasa bayangan benda yang dilihatnya jatuh tidak tepat pada retina matanya, melainkan didepannya (Curtin, 2002).
Klasifikasi
Terdapat beberapa bentuk miopia yaitu miopia aksial, miopia kurvatura, dan perubahan indeks refraksi.
-
Miopia aksial, yaitu terjadinya miopia akibat panjangnya sumbu bola mata (diameter antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan lensa normal;
-
Miopia kurvatura, yaitu terjadinya miopia diakibatkan oleh perubahan dari kelengkungan kornea atau perubahan kelengkungan dari pada lensa seperti yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana ukuran bola mata normal; dan
-
Perubahan indeks refraksi atau miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang terjadi pada penderita diabetes melitus sehingga pembiasan lebih kuat (Ilyas, 2008).
Menurut Ilyas (2008), derajat beratnya miopia dibagi menjadi miopia ringan, miopia sedang, dan miopia berat atau tinggi.
-
Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri;
-
Miopia sedang dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri; dan
-
Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Menurut Ilyas (2008), perjalanan miopia dikenal dalam bentuk miopia stasioner, miopia progresif, dan miopia maligna.
-
Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa;
-
Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata; dan
-
Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa = miopia maligna = miopia degeneratif.
Patofisiologi
Pada saat baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hiperopia, namun saat pertumbuhan, mata menjadi kurang hiperopia dan pada usia 5-8 tahun menjadi emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetrop ini disebut emetropisasi. Pada anak dengan predisposisi berlanjut, namun mereka menderita miopa derajat rendah pada awal kehidupan. Saat mereka terpajan pada faktor miopigenik seperti kerja jarak dekat secara berlebihan yang menyebabkan bayangan buram dan tidak terfokus pada retina. Miopisasi berlanjut untuk mencapai titik fokus yang menyebabkan elongasi aksial dan menimbulkan miopia derajat sedang pada late adolescence (Fredrick, 2002).
Dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi pada miopia yaitu:
-
Menurut tahanan sklera
-
Mesodermal Abnormalitas Mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana pembuangan sebagian mesenkim sklera dapat menyebabkan terjadi ektasia pada daerah ini karena adanya perubahan tekanan dinding okular (Sativa, 2003).
-
Ektodermal-Mesodermal Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil ketidakharmonisan pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah pengaruh epitel pigmen retina (Sativa, 2003).
-
Meningkatnya suatu kekuatan yang luas
-
Tekanan intraokular basal Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat pada glaukoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada peningkatan pemanjangan sumbu bola mata (Sativa, 2003).
-
Susunan peningkatan tekanan Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stress. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg (Sativa, 2003).
Faktor Risiko
Terdapat dua pendapat yang menerangkan faktor risiko terjadinya miopia, yaitu berhubungan dengan faktor herediter atau keturunan, faktor lingkungan, dan gizi (Ilyas, 2008).
-
Faktor Herediter atau Keturunan
Faktor risiko terpenting pada pengembangan miopia sederhana adalah riwayat keluarga miopia. Beberapa penelitian menunjukan 33-60% prevalensi miopia pada anak-anak yang kedua orang tuanya memiliki miopia, sedangkan pada anak-anak yang salah satu orang tuanya memiliki miopia, prevalensinya adalah 23-40%. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa ketika orang tua tidak memiliki miopia, hanya 6-15% anak-anak yang memiliki miopia (White, 2005).
Penelitian yang dilakukan Gwiazda dan kawan-kawan melaporkan anak yang mempunyai orang tua miopia cenderung mempunyai panjang aksial bola mata lebih panjang dibanding anak dengan orang tua tanpa miopia. Sehingga anak dengan orang tua yang menderita miopia cenderung menjadi miopia dikemudian hari (Jurnal Oftalmologi Indonesia, 2008). Indeks heritabilitas yang tinggi ditemukan dalam studi terhadap anak kembar yaitu dari 75% sampai 94%. Studi dengan jumlah sampel yang besar pada kembar yang monozigot dan dizigot indeks heritabilitasnya diestimasikan sekitar 77% (Myrowitz, 2012). Penyakit yang terutama disebabkan oleh keturunan ditemukan cenderung memiliki onset yang lebih cepat, terutama pada anggota keluarga, dan banyak gejala klinis yang berat dibandingkan dengan kondisi yang sama tetapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini telah digambarkan dengan jelas oleh Liang et al. Peneliti-peneliti ini mempelajari tentang miopia, terutama mengenai dampak dari tingginya miopia akibat keturunan dan hubungannya dengan tingkat keparahan serta awal mula timbulnya miopia (White, 2005).
-
Faktor Lingkungan
Tingginya angka kejadian miopia pada beberapa pekerjaan telah banyak dibuktikan sebagai akibat dari pengaruh lingkungan terhadap terjadinya miopia. Hal ini telah ditemukan, misalnya terdapat tingginya angka kejadian serta angka perkembangan miopia pada sekelompok orang yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja terutama pada pekerjaan dengan jarak pandang yang dekat secara intensive. Beberapa pekerjaan telah dibuktikan dapat mempengaruhi terjadinya miopia termasuk diantaranya peneliti, pembuat karpet, penjahit, mekanik, pengacara, guru, manager, dan pekerjaan-pekerjaan lain (White, 2005).
Selain itu, faktor yang diketahui dapat mempengaruhi miopia adalah pendidikan. Beberapa penelitian secara konsisten menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tingkat pendidikan dan kejadian miopia. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi risiko untuk terjadinya miopia. Goldschmidt melaporkan bahwa angka kejadian miopia pada mahasiswa di Hong Kong dan Taiwan lebih dari 90% dengan derajat miopia rata-rata 4-5 D (White, 2005). Identifikasi hubungan antara miopia dengan near-working, dengan cara menghubungkan miopia dengan intelektualitas sangatlah rumit.
Penelitian oleh Saw et al’s di Singapore menyebutkan bahwa mereka yang memiliki derajat miopia yang tinggi dan rendah banyak terjadi selama masa sekolah. Sebuah pola umum telah dilaporkan pada beberapa peneliti di literatur bahwa anak dengan miopia cenderung memiliki intelektualitas yang lebih tinggi dan hasil belajar yang lebih baik. Kegiatan ektrakulikuler telah teridentifikasi sebagai faktor penyebab yang memungkinkan berkembangnya miopia pada pelajar berdasarkan fakta terdapatnya perbedaan ektrakulikuler yang diikuti oleh siswa di sekolah, yaitu bimbingan belajar atau kelompok belajar yang kegiatannya yaitu membaca (White, 2005). Seiring dengan kemajuan teknologi dan telekomunikasi seperti televisi, komputer, video game dan lain-lain, secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan aktivitas melihat dekat (Tiharyo, Gunawan, dan Suhardjo, 2008).
Konsumsi sayuran dan buah juga dapat mempengaruhi terjadinya miopia. Adapun sayuran dan buah yang diketahui mempengaruhi, yaitu wortel, pisang, pepaya, jeruk, buah merica dan cabai. Hal ini dikarenakan pada sayuran dan buah tersebut memiliki kandungan beta karoten yang tinggi, yang nantinya akan dikonversikan menjadi vitamin A (retinol) untuk tubuh (Lubis, Siti Mahreni Insani, 2010).