Apa yang dimaksud dengan Quarter Life Crisis?

image
Apa yang dimaksud dengan quarter life crisis dan bagaimana cara menghadapinya di usia 20 tahun? Merasa penuh tekanan, kesepian, disorientasi hidup, disorientasi karier dan sahabat mulai berkurang.

1 Like

Saya rasa ini akan menjadi diskusi yang sangat menarik, karena sebagian dari kita kemungkinan mengalami fase quarter life crisis. Fase quarter life crisic yang merupakan fase seperempat abad dalam hidup manusia tentunya diharapkan kita telah menuju kematangan dan mampu mengaktualkan diri. Di fase kematangan inilah seharusnya kita telah memiliki kematangan berfikir dan bertindak, memahami hidup kita mau dibawa kemana dan apa tujuan dalam hidup kita. Fase dimana kita menemukan “inilah aku”. Namun, pada usia yang seperempat abad ini terkadang kita masih belum tahu arah hidup kita. Kita takut kehilangan kenyaman, misalnya takut ditinggalkan teman, takut jauh dari orang tua, takut untuk mengaktualkan diri dan mungkin ketajutan-ketakutan lainnya. Kenyataannya kehidupan akan terus berjalan bagaimanapun kondisi kita. Ada beberapa hal yang menurut saya untuk mengahadapi quarter life crisis:

  1. Cari apa sebenarnya tujuan hidup kita. Bertanya kepada diri tentang sebenarnya apa tujuan hidup, mungkin hal yang berat. Namun di fase umur seperempat abad ini, saya rasa ini adalah pertanyaan yang benar-benar harus dijawab. Semakin awal (sebelum umur seperempat abad) kita mampu menjawabnya maka akan semakin cepat terarah hidup kita. Namun jika kita baru menyadari pada umur seperempat abad ini, tidak ada kata terlambat. Dengan memahami tujuan dari hidup kita, maka akan dengan mudah menentukan langkah-langkah untuk mencapainya. Dasar panduan hidup kita akan dapat di dalam kitab suci kita. Pasti kita akan mendapatkan jawaban jika mencoba membuka hati untuk menemukannya dan bagaimana cara kita hidup.

  2. Cari passion. Seringkali kita masih bingung, sebenarnya apa passion kita. Dalam memilih pekerjaan tentunya akan sangat menyenangkan jika pekerjaan yang kita lakukan adalah passion kita. Untuk mencari passion ini, sekali lagi kita perlu berfikir dan merenungkan. Perlu kepedulian dan kejujuran di dalam diri kita, apa yang sebenarnya kita inginkan dan ingin menjadi seperti apa kita. Perlu kita ingat dan rasakan, hal apa yang dapat membuat bersemangat dalam hidup kita dan kita ingin terus mengerjakannya. Ada perasaan senang dan puas ketika telah mengerjakannya. Fikiran kita bisa tercurah pada pekerjaan itu, rela tidak dibayar meskipun ketika melakukannya. Mungkin itulah passion Anda. Bukankah akan lebih menyenangkan jika apa yang kita kerjakan adalah yang kita senangi, dibayar pula.

  3. Jangan takut menghadapi tantangan hidup. Bagaimanapun kehidupan terus berjalan. Mungkin kita akan kehilangan beberapa hal yang pernah dimiliki di masa sebelumnya. Kehilangan waktu di masa sekolah atau kuliah, jauh dari orang tua atau bahkan “subsidi” dari orang tua. Di masa ini kita harus sadar bahwa diri kita sendiri lah yang akan bertanggung jawab terhadap kehidupan kita. Kehidupan ini harus kita jalani dengan penuh tanggung jawab. Lakukan hal-hal baru yang meningkatkan kapasitas kita. Dengan berbagai tantangan yang kita hadapi akan membuat kita lebih dewasa dan mampu untuk memaknai kehidupan. Lakukan hal-hal posistif untuk meningkatkan kualitas hidup.

  4. Bergaulah dengan orang-orang yang positif. Bagaimana kita menilai sesuatu dan merespon sesuatu juga tergantung dengan lingkungan. Lingkungan kemudian akan mempengaruhi karakter karena instensnya interaksi. Bergaul dengan orang-orang yang positif akan mempengaruhi pola pikir kita. Maka bergaul dengan orang-orang yang positif adalah sebuah sarana untuk membentuk kepribadian yang lebih baik. Keikhlasan, optimism, perjuangan, empati, keteraturan, keahlian, motivasi, dan banyak hal lain yang mungkin bisa ditiru dan dipelajari.

  5. Terus perbaiki diri. Manusia adalah makhluk yang dinamis. Terus berubah dan maju. Maka sebuah terus memperbaiki diri adalah sebuah keharusan. Rencanakan dan lakukan hal-hal yang menjadikan diri lebih baik. Asah skill dan kembangkan passion. Perlu kita ingat bahwa di dalam diri manusia ada beberapa dimensi, yaitu dimensi ruhiyah( rohani), jasad (fisik) dan fikir/ pemikiran (fikriyah). Untuk menjadi manusia yang baik, kita harus memberikan asupan yang seimbang terhadap setiap bagiannya-bagiannya. Let’s be better !

  6. Selalu bersyukur. Bersyukur atas yang kita miliki membuat kita menjadi tenang dalam menghadapi kehidupan serta mengurangi ketertekanan. Bersyukur bukan berarti kita hanya menikmati apa yang dimiliki. Tetapi berusaha juga agar apa yang kita miliki juga mampu memberikan manfaat. Terkadang apa yang kita pandang baik dan menyenangkan ternyata penuh dengan perjuangan dan penderitaan. Apa yang kita hadapi ternyata menaikkan “level” kita. Terkadang manusia hanya memandang sesuatu dalam satu sisi. Setiap orang pasti punya ujiannya masing-masing. Maka bersyukur dengan keadaan kita akan membuat kita lebih berani dan tenang dalam menghadapi kehidupan.

  7. Berdoa. Aspek spiritual adalah hal yang sangat penting. kedekatan kita kepada Sang Pencipta akan menjadikan hidup kita lebih tenang. Selalu dekatkan diri kepada Sang pencipta agar kita dibimbing untuk dapat menjalani kehidupan dengan benar. Karena kehidupan kita tak hanya di dunia namu ada dunia lain yang lebih panjang.

Demikian pendapat saya. Mungkin ada tambahan atau masukan dari teman-teman?

1 Like

Istilah quarter-life crisis dicetuskan oleh Robbins dan Wilner (2001) yang merupakan sebuah perasaan pada saat transisi dari kehidupan perguruan tinggi ke “dunia nyata” dengan rentang usia mulai dari masa remaja akhir sampai dengan pertengahan usia 30 tahun, namun lebih intens dirasakan di usia 20 tahunan. Masalah yang dihadapi berkisar pada kehidupan pekerjaan dan karier serta hubungan cinta dengan lawan jenis (Nash & Murray, 2010).

Menurut Dickerson (dalam Agustin, 2012), quarter-life crisis lebih banyak dialami oleh wanita daripada laki-laki karena tuntutan wanita sekarang tidak hanya sebatas menikah dan merawat keluarga, tetapi dapat bekerja, memiliki karier dan kondisi finansial yang baik, serta membangun kehidupan sosial.

5 fase yang dilalui oleh individu dalam Quarterlife Crisis


Menurut Robinson (2011), kelima fase tersebut antara lain :

  • Fase pertama , adanya perasaan terjebak dalam berbagai macam pilihan serta tidak mampu memutuskan apa yang harus dijalani dalam hidup
  • Fase kedua , adanya dorongan yang kuat untuk mengubah situasi
  • Fase ketiga , melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya sangat krusial, misalnya keluar dari pekerjaan atau memutuskan suatu hubungan yang sedang dijalani lalu mulai mencoba pengalaman baru
  • Fase keempat, membangun pondasi baru dimana individu bisa mengendalikan arah tujuan kehidupannya
  • Fase kelima , membangun kehidupan baru yang lebih fokus pada hal-hal yang

Cara-cara menghadapi Quarterlife Crisis


Menurut Jennyfer (2019) terdapat beberapa cara menghadapi Quarterlife Crisis, yaitu:

  • Kenali diri sendiri. Anda harus mengetahui diri Anda sendiri. Apa yang ingin Anda lakukan untuk ke depannya, kelebihan serta kekurangan Anda. Jadikan hal tersebut sebagai bahan evaluasi sekaligus motivasi untuk menjalani hidup. Hal ini dilakukan agar Anda tahu apa tujuan hidup Anda.

  • Jangan memendam diri sendiri. Jika Anda memiliki keraguan dan masalah, cobalah untuk membagikan atau menceritakannya kepada orang lain. Bisa saja orang yang mendengarkan masalah Anda memiliki jalan keluar dan membuat Anda tidak berdiam diri di satu tempat saja.

  • Berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Salah satu yang mencirikan quarter life crisis adalah senang membandingkan diri dengan orang lain. Tentu saja Anda tahu betul bahwa hal itu tidak akan ada habisnya. Fokus terhadap diri sendiri untuk berkembang adalah langkah yang baik untuk mengurangi kebiasaan tersebut.

  • Membuat rencana hidup. Tidak perlu terlalu jauh, cukup 5 tahun ke depan Anda ingin berada di mana dan sudah mencapai apa saja adalah rencana yang perlu Anda buat. Selain itu, pikirkan dengan matang bagaimana Anda meraih mimpi dalam 5 tahun tersebut. Selain itu, quarter life crisis juga bisa dihadapi dengan membuat perencanaan finansial dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini bertujuan agar Anda memiliki tabungan untuk masa depan dan menata kehidupan lebih baik.

  • Mencari hobi baru. Jika Anda merasa tidak produktif dan begini-begini saja, cobalah untuk mencari hobi baru. Aktivitas yang produktif dan mengembangkan kemampuan Anda dapat membuat diri Anda menjadi jauh lebih baik.

  • Beraksi. Anda harus menjemput impian Anda, menunggu tidak akan membuat segalanya berjalan dengan baik. Cari tahu caranya dan percaya pada diri sendiri ketika mulai menjalani kegiatan itu.

Istilah Quarter life crisis dikemukakan pertama kali oleh Alexandra Robbins dan Abby Wilner pada tahun 2001 berdasarkan hasil penelitian mereka terhadap kaum muda di Amerika memasuki abad ke-20. Mereka memberi julukan kepada kaum muda tersebut sebagai “ twenty somethings ”, yakni individu yang baru saja meninggalkan kenyamanan hidup sebagai mahasiswa dan mulai memasuki real-life , dengan tuntutan untuk bekerja atau menikah.

Dilatar belakangi oleh teori tahapan perkembangan kehidupan Erik Erikson, masih jarang ditemukan penelitian yang berfokus pada masa dimana seorang remaja mengalami transisi sebelum memasuki masa dewasa sebagai masa yang penting (Black, 2010). Padahal pada masa tersebut, individu juga mengalami perubahan emosi dan tingkah laku yang sangat bervariasi.

Bagi sebagian besar individu, masa-masa quarter-life atau di usia 20-an tahun tidak harus berjalan dalam sebuah krisis, melainkan menjadi masa-masa yang menyenangkan karena ada kesempatan untuk mencoba segala kemungkinan guna memperoleh makna hidup yang lebih mendalam. Namun, beberapa individu lainnya ada yang menjalani masa quarter-life dengan perasaan panik, penuh tekanan, insecure dan tidak bermakna (Nash dan Murray, 2010).

Dari gambaran tersebut, Quarter-life crisis dapat didefinisikan sebagai suatu respon terhadap ketidakstabilan yang memuncak, perubahan yang konstan, terlalu banyaknya pilihan-pilihan serta perasaan panik dan tidak berdaya ( sense of helplessness ) yang biasanya muncul pada individu di rentang usia 18 hingga 29 tahun. Awal mula munculnya onset ditandai saat individu telah menyelesaikan perkuliahan, dengan karakteristik emosi seperti frustasi, panik, khawatir, dan tidak tahu arah. Krisis ini juga bisa mengarah ke depresi dan gangguan psikis lainnya. (Robbins dan Wilner, 2001; Olsen-Madsen, 2007, dalam Black, 2010).

Fischer (2008) menjelaskan Quarter-life crisis sebagai suatu perasaan yang muncul saat individu mencapai usia pertengahan 20-an tahun, dimana ada perasaan takut terhadap kelanjutan hidup di masa depan, termasuk di dalamnya urusan karier, relasi dan kehidupan sosial. Byock (2010) mendefinisikan Quarter-life crisis sebagai suatu hasil dari benturan antara memasuki realita masa dewasa dengan dorongan untuk mencapai kehidupan yang lebih kreatif karena adanya banyak pilihan untuk diambil, misalnya dalam hal pekerjaan, relasi interpersonal serta hubungannya dengan komunitas.

Terdapat 5 (lima) fase yang dilalui oleh individu dalam Quarter life Crisis menurut Robinson (2011), kelima fase tersebut antara lain :

  • Fase pertama , adanya perasaan terjebak dalam berbagai macam pilihan serta tidak mampu memutuskan apa yang harus dijalani dalam hidup
  • Fase kedua , adanya dorongan yang kuat untuk mengubah situasi
  • Fase ketiga , melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya sangat krusial, misalnya keluar dari pekerjaan atau memutuskan suatu hubungan yang sedang dijalani lalu mulai mencoba pengalaman baru
  • Fase keempat , membangun pondasi baru dimana individu bisa mengendalikan arah tujuan kehidupannya
  • Fase kelima , membangun kehidupan baru yang lebih fokus pada hal-hal yang memang menjadi minat dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh individu itu sendiri.

Area Permasalahan dalam Quarter-life crisis


Ketika individu mengalami Quarter-life crisis terdapat berbagai macam pertanyaan dalam benaknya mengenai berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek tersebut juga menjadi area permasalahan yang dialami individu, seperti dikemukakan oleh Nash dan Murray (2010) berikut ini :

  1. Mimpi dan Harapan

    Individu mempertanyakan mimpi-mimpi dan harapan akan hidupnya di masa depan, termasuk didalamnya adalah bagaimana ia menemukan apa yang menjadi minatnya, bagaimana kalau di usia tertentu yang sudah ditargetkan ia belum mencapai mimpinya, hingga sudah terlambatkah atau bagaimana caranya bila ia harus mengubah atau mengatur ulang harapannya tersebut.

  2. Tantangan di bidang Akademis

    Individu mempertanyakan mengapa ia terokupasi untuk melanjutkan kuliah dan menggenapinya dengan karier yang cemerlang sementara di sisi lain ia sudah memiliki minat di bidang lain. Selain itu, bagaimana individu akan menghadapi kebebasan pasca menyelesaikan kuliah juga menjadi permasalahan tersendiri, apalagi bila pada akhirnya pengalaman masa kuliah ternyata tidak mampu mengakomodasi pemenuhan individu akan impian-impiannya.

  3. Agama dan Spiritualitas

    Individu mempertanyakan sisi spiritualitasnya mulai dari apakah agama yang ia anut sudah merupakan pilihan yang tepat, apakah orangtua akan kecewa bila individu tidak lagi taat atau bahkan pindah keyakinan hingga bayangan akan agamatau kepercayaan seperti apa yang akan individu tersebut terapkan pada anakanaknya kelak.

  4. Kehidupan Pekerjaan dan Karier

    Individu pada umumnya terperangkap dalam pertanyaan antara ingin mengerjakan pekerjaan atau karier yang ia minati dengan kebutuhan dan tuntutan untuk bekerja demi memperoleh penghasilan yang besar dan pada akhirnya mampu mandiri secara finansial. Selain itu, individu juga mulai mempertanyakan tekanan atau stres kerja yang menghambat kehidupannya, serta pertanyaan-pertanyaan lain seputar ketakutan karena tidak mampu mengaktualisasikan diri dan adanya perasaan ragu-ragu untuk menunjukkan potensi diri yang sesungguhnya.

  5. Teman, Percintaan dan Relasi dengan Keluarga

    Individu mulai mempertanyakan apakah benar-benar ada pasangan jiwa yang tepat untuknya, bagaimana ia akan tahu kalau pasangannya saat ini adalah orang yang tepat, serta kebingungan mengatasi masalah saat menjalani masa lajang dengan keinginan untuk juga mau terikat dalam suatu relasi interpersonal. Hubungan dengan keluarga juga diwarnai pertanyaan seputar kemandirian dan keinginan untuk bebas dari orangtua. Sementara itu, dalam hal pertemanan, individu mempertanyakan cara mereka untuk memperoleh teman sejati sekaligus figur yang mereka bisa percaya dan andalkan.

  6. Identitas Diri

    Individu mempertanyakan esensi dari masa dewasa sebagai masa yang memberikan rasa antusias namun disisi lain juga memberikan perasaan terancam. Dalam hal identitas diri, individu mulai memberikan perhatian khusus terhadap penampilan, pembawaan diri hingga reaksi emosi yang mereka ekspresikan kepada lingkungan, misalnya mengapa mereka mudah kuatir akan suatu hal dan mudah terokupasi akan hal yang lain. Identitas diri juga membangun kesadaran individu pada pilihan politik hingga orientasi seksual.

Periode ketika pada seseorang terjadi krisis emosional yang melibatkan perasaan kesedihan, terisolasi, ketidakcukupan, keraguan terhadap diri, kecemasan, tak termotivasi, kebingungan, serta ketakutan akan kegagalan sebagaimana tergambar dari tokoh tersebut kerap dikenal sebagai Quarter Life Crisis (QLC). Biasanya, ia dipicu permasalahan finansial, relasi, karier, serta nilai-nilai yang diyakini.

Menurut peneliti dan pengajar Psikologi dari University of Greenwich, London, Dr. Oliver Robinson, ada empat fase dalam QLC. Pertama , perasaan terjebak dalam suatu situasi, entah itu pekerjaan, relasi, atau hal lainnya. Kedua, pikiran bahwa perubahan mungkin saja terjadi.

Selanjutnya , periode membangun kembali hidup yang baru. Yang terakhir adalah fase mengukuhkan komitmen anyar terkait ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dipegang seseorang.

Umumnya, QLC dialami orang pada umur 20-an, baik awal, tengah, maupun akhir dekade ketiga dalam hidup seseorang. Namun, perasaan cemas, bingung, dan sedih yang terdapat dalam krisis memasuki tahap kedewasaan bisa saja berlanjut sampai usia 30-an.

Pada awalnya, gejala yang menandakan seseorang sedang mengalami krisis seperempat abad ini terlihat sepele dan sering terjadi. Berikut adalah gejala nya :

1. Mulai mempertanyakan hidup

Pertanyaan yang sering muncul terkait kehidupan adalah salah satu gejala awal yang sering disepelekan karena terkadang fase ini adalah hal yang wajar terjadi. Oleh karena itu, jika sudah sering mempertanyakan diri sendiri, bisa jadi kita sedang menghadapi krisis seperempat abad.

Berbagai pertanyaan yang timbul di kepala tersebut bisa berupa, apa sebenarnya tujuan hidup kita atau pencapaian apa yang sudah kita raih selama ini?

2. Merasa hanya ‘jalan di tempat’

Selalu merasa terjebak dalam situasi apa pun? Atau merasa hidup tidak berjalan sesuai dengan harapan bahkan usaha yang telah dilakukan? Mungkin itu tandanya seseorang mengalami quarter life crisis.

3. Kurang motivasi

Jika merasa tidak bersemangat dalam melakukan aktivitas apapun, seperti bekerja atau sekedar melakukan hobi, bisa saja seseorang sedang mengalami quarter life crisis.

4. Bingung memilih keluar dari zona nyaman atau tidak

Bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja, tetapi takut untuk keluar dari zona nyaman tersebut? Nah, contoh ini adalah salah satu pertanda yang dapat muncul bila sedang menjumpai krisis ini.

Pekerjaan yang dilakukan sekarang memang sudah membuat seseorang sangat nyaman, tetapi tidak berkembang. Seseorang berpikir bahwa akan sulit untuk memulai segalanya dari awal, sehingga kondisi ini cenderung membuat takut untuk keluar dari zona nyaman.

5. Tidak bahagia dengan pencapaian yang didapat

Setelah memilih untuk menetap di pekerjaan tersebut, hanya melakukan hal-hal yang sudah diketahui dan pencapaiannya pun terasa kurang. Merasa tidak berbahagia dengan pencapaian yang sudah didapat pun adalah gejala munculnya quarter life crisis .

6. Merasa ‘terombang-ambing’

Merasa terombang-ambing dalam hal percintaan maupun finansial juga menjadi masalah ketika quarter life crisis terjadi.

Ternyata meragukan apakah seseorang memilih pasangan yang tepat juga menjadi pertanda bahwa sedang mengalami quarter life crisis . Seseorang menjadi sering bertanya dan terlalu meragukan diri sendiri berdampak pada hasil keputusan yang dibuat tidak secara realita.

Selain itu, kondisi finansial yang tidak seimbang juga mempengaruhi quarter life crisis . Pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, sehingga tidak memiliki tabungan untuk masa depan.

7. Tertekan dengan lingkungan sekitar

Nah, sering merasa ditekan oleh keluarga atau lingkungan terkait dengan masa depan pun juga bisa membuat masuk dalam fase quarter life crisis. Fase ini muncul akibat keluarga yang sering menanyakan perihal kemampuan dalam menjalani hidup.

Gejala-gejala quarter life crisis ini adalah beberapa tanda dari sekian banyak yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, tidak semua orang yang mengalami gejala di atas sedang menghadapi quarter life crisis.

Misalnya, orang yang sering berpindah pekerjaan pun tidak dapat dikatakan sedang mengalami krisis ini. Bisa saja alasan dibalik itu semua karena perusahaan yang sedang melakukan phk atau pindah karena jarak kantor ke rumah cukup jauh untuk ditempuh.

Quarter-Life Crisis adalah sebuah istilah yang menggambarkan keadaan dimana sesorang mulai memasuki periode pencarian dirinya dan biasanya terjadi di di umur 20 hingga 35 tahun, dimana sesorang memasuki fase perjalanan menuju kedewasaan

Mengutip laporan dari media The Guardian pada tahun 2011 yang berjudul “The Quarter-Life Crisis: young insecure and depressed” berdasarkan penelitian British Psychologist yang di dukung Gumentree.com menemukan bahwa 86% dari 1,100 orang muda meresa tertekan, merasa khawatir, meresa kecewa, mereasa sendiri, dan merasa depresi dalam hal finansial, hubungan atau relationship, pekerjaan maupun karir. Mengutip Psycholgytoday.com pada tahun 2015 artikelnya yang berjudul Quarter-Life Crisis: 5 Step to Floundering yang mencantumkan riset dari International Journal of Behavioral Development yang menemukan bahwa 39 persen lak-laki dan 49 perempuan merasakan krisis di umur 20-an. Pada Journal Contemporary Family Therapy 2008 yang menyebutkan ada hubungan bagaimana capaian anak memengaruhi orang tua dalam memandang mereka dan juga orang tua berharap bisa memastikan bahwa anaknya bahagia dan akhirnya anak juga berharap menyenangkan orang tua mereka

Menurut peneliti Dr, Oliver Robinson dari University of Greendwich , London , terdapat 4 fase dalam Quarter-Life Crisis . Pertama, Perasaan yang terjebak pada suatu situasi, baik dalam relasi, pekerjaan maupun hal lainnya, Kedua, seseorang memasuki fase sedikit perubahan yang terjadi. Ketiga, Pada periode ini seseorang mulai menata lagi kehidupan yang baru. Keempat, pada periode ini sesorang mulai menetapkan atau mengukuhkan komitmen terhadap ketertarikan juga mengukuhkan terhdap nilai-nilai yang di bangun

Gejala umum pada masa Quarter-Life Crisis adalah “rasa kepalsuan dan juga perasaan bahwa seseorang masih anak-anak”, akibatnya seseorang akan pergi ke segala arah seperti banyak berganti pekerjaan, berganti pasangan cinta, semuanya dalam upaya untuk mencari tahu siapa kita dan bagaimana kita bisa tepat dengan dunia. sederhannya kita merasa tersesat meskipun secara teknis kita tahu dimana kita. Seperti yang di gambarkan oleh Psikolog Kenneth Hill’s “The Psychology of Lost” terdapat 5 langkah dalam menemukan jalan hidup seseorang

  1. Melepaskan Petunjuk yang salah
    Menyakinkan diri bahwa seseorang tidak tersesat, ada beberapa orang yang merasa putus asa dan akhirnya mengikuti jalan yang tidak jelas. Kita semua merasakan hal yang sama di umur 20-an. Lakukan sesuatu yang berbeda untuk mencari tahu siapa kita, tidak ada kata terlambat untuk mencari tahu siapa kita sebenarnya, Ilmu saraf menjelaskan bahwa otak kita bukan seperti batu, mereka seara berkelanjutan beradaptasi dalam menanggapi apa yang kita pelajari dan alami sepanjang hidup.

  2. Tenang
    Begitu menyadari bahwa kita tersesat, kebanyakan orang panik, justru kecemasan yang memperburuk pandangan misalnya ketika kita kesusaha, ketakutan yang tinggi pikiran kita cenderung kemana mana yang malah akhirnya kita tidak bisa menyelesaikan masalah ketakuan dan kesusahan kita begitu juga kehidupan ketika kita terlalu over kita cenderung menjadi merasa kacau yang akhirnya memilih jalan dengan dengan perlawanan yang mudah dan tanpa tujuan yang jelas, jadi cara terbaik adalah tetap tenang dalam menjalaninya sampai paling tidak kita mendapatkan pemahaman tentang kita

  3. Temukan Petunjuk
    Ibarat pendaki gunung yang cerdas mereka akan menggunakan Sesutu yang menonjol/ terkenal sebagai petunjuk arahnya tanpa panduan yang benar-benar sudah jelas dan kita juga tidak dapat menghindari ketrika kita tersesat di hutan. Demikian juga dalam mendefinisikan sesuatu hal yang penting, berarti dan hal yang kita sukai di usia awal 20-an kita akan cenderung mera tersesat dalam kacau dari apa yang mungkin seseorang lihat dan rasakan di lingkungannya, jadi setelah kita melepaskan hal yang sekiranya salah dan tidak sesuai dengan diri kita kemudian cobalah melangkah kedepan dengan mencari tahu tentang apa yang kita suka, apa yang baik buat kita dan apa yang dunia butuhkan dsb dengan cara mungkin bisa mencatatnya

  4. Buat Rencana Kedepan
    Setelah kita menemukan petunjuk dengan mendefinisikannya kembali, segera buat rencana dimana kita bisa membuat peta rencana yang kita ingin lakukan dengan cara menetukan waktu, itu penting untuk kita bisa tahu apa saja yang akan sekiranya terjadi sehingga menghindari kemungkin-kemungkinan terburuk dari apa yang kamu sukai dan renacankan

  5. Berhenti Mencari alasan
    Kita bisa memegang kendali atas tujuan kita jika kita bisa bertanggung jawab atas hal itu, Di usia 20-an jauh lebih mudah untuk menghindar seperti “saya tidak cukup pintar”, “waktunya tidak tepat” “ saya tida beruntung” dan sebaginya. Smith seorang professor ekonomi dari universitas Waterloo berpendapat bahwa “berbica pada diri sendiri” akan membantu kita terhadap apa yang kita inginkan. seperti “oke, saya ingin menjadi pendengar yang baik ”, “saya ingin menjadi orang tua yang hebat”. Ilmu saraf mengungkapkan bahwa apa yang kita ucapkan ke diri sendiri akan berkontribusi pada hasil. Dengan langkah-langkah yang terarah kita akan mendapatkan kehidupan yang tidak kita sesali

Menurut peneliti dan pengajar Psikologi dari University of Greenwich, London, Dr. Oliver Robinson, ada empat fase dalam QLC. Pertama, perasaan terjebak dalam suatu situasi, entah itu pekerjaan, relasi, atau hal lainnya. Kedua, pikiran bahwa perubahan mungkin saja terjadi.

Selanjutnya, periode membangun kembali hidup yang baru. Yang terakhir adalah fase mengukuhkan komitmen anyar terkait ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dipegang seseorang.

Umumnya, QLC dialami orang pada umur 20-an, baik awal, tengah, maupun akhir dekade ketiga dalam hidup seseorang. Namun, perasaan cemas, bingung, dan sedih yang terdapat dalam krisis memasuki tahap kedewasaan bisa saja berlanjut sampai usia 30-an.

“QLC tidak secara harfiah terjadi saat Anda memasuki usia seperempat dari total hidup Anda, tetapi terjadi pada seperempat tahap awal perjalanan Anda menuju kedewasaan. Biasanya pada periode antara umur 25-35 dan paling banyak pada usia sekitar 30,” ujar Robinson kepada The Guardian .

Kenali gejala awal munculnya quarter life crisis

Pada awalnya, gejala yang menandakan Anda sedang mengalami krisis seperempat abad ini terlihat sepele dan sering terjadi. Namun, jangan biasakan hal tersebut. Anda dapat melihat dengan seksama apakah tanda-tanda di bawah ini sedang Anda hadapi?

Selain itu, Anda bisa mengaitkannya dengan masalah yang terjadi di hidup Anda.

1. Mulai mempertanyakan hidup

Pertanyaan yang sering muncul terkait kehidupan Anda adalah salah satu gejala awal yang sering disepelekan karena terkadang fase ini adalah hal yang wajar terjadi. Oleh karena itu, jika sudah sering mempertanyakan diri sendiri, bisa jadi Anda sedang menghadapi krisis seperempat abad.

Berbagai pertanyaan yang timbul di kepala tersebut bisa berupa, apa sebenarnya tujuan hidup Anda atau pencapaian apa yang sudah Anda raih selama ini?

2. Merasa hanya ‘jalan di tempat’

Selalu merasa terjebak dalam situasi apa pun? Atau Anda merasa hidup tidak berjalan sesuai dengan harapan bahkan usaha yang telah Anda lakukan? Mungkin itu tandanya Anda mengalami quarter life crisis.

3. Kurang motivasi

Jika Anda merasa tidak bersemangat dalam melakukan aktivitas apapun, seperti bekerja atau sekedar melakukan hobi, bisa saja Anda sedang mengalami quarter life crisis.

4. Bingung memilih keluar dari zona nyaman atau tidak

Anda bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja, tetapi takut untuk keluar dari zona nyaman tersebut? Nah, contoh ini adalah salah satu pertanda yang dapat muncul bila sedang menjumpai krisis ini.

Pekerjaan yang Anda lakukan sekarang memang sudah membuat Anda sangat nyaman, tetapi tidak berkembang. Anda berpikir bahwa akan sulit untuk memulai segalanya dari awal, sehingga kondisi ini cenderung membuat Anda takut untuk keluar dari zona nyaman.

5. Tidak bahagia dengan pencapaian yang didapat

Setelah memilih untuk menetap di pekerjaan tersebut, Anda hanya melakukan hal-hal yang sudah Anda ketahui dan pencapaiannya pun terasa kurang. Merasa tidak berbahagia dengan pencapaian yang sudah didapat pun adalah gejala munculnya quarter life crisis.

6. Merasa ‘terombang-ambing’

Merasa terombang-ambing dalam hal percintaan maupun finansial juga menjadi masalah ketika quarter life crisis terjadi.

Ternyata meragukan apakah Anda memilih pasangan yang tepat juga menjadi pertanda bahwa Anda sedang mengalami quarter life crisis. Anda menjadi sering bertanya dan terlalu meragukan diri sendiri berdampak pada hasil keputusan yang dibuat tidak secara realita.

Selain itu, kondisi finansial yang tidak seimbang juga mempengaruhi quarter life crisis. Pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, sehingga tidak memiliki tabungan untuk masa depan.

7. Tertekan dengan lingkungan sekitar

Nah, sering merasa ditekan oleh keluarga atau lingkungan terkait dengan masa depan Anda pun juga bisa membuat Anda masuk dalam fase quarter life crisis. Fase ini muncul akibat keluarga yang sering menanyakan perihal kemampuan Anda dalam menjalani hidup.

Gejala-gejala quarter life crisis ini adalah beberapa tanda dari sekian banyak yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, tidak semua orang yang mengalami gejala di atas sedang menghadapi quarter life crisis.

Misalnya, orang yang sering berpindah pekerjaan pun tidak dapat dikatakan sedang mengalami krisis ini. Bisa saja alasan dibalik itu semua karena perusahaan yang sedang melakukan phk atau pindah karena jarak kantor ke rumah cukup jauh untuk ditempuh.

Pemicu-Pemicu QLC

Jika ditilik lebih dalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam krisis selama transisi menuju tahap kedewasaan.

Aneka fasilitas dan pilihan kemungkinan yang tersedia menyebabkan orang justru stagnan. Jika dibandingkan generasi-generasi terdahulu, milenial dan generasi setelahnya tergolong beruntung karena dapat mengecap beragam kemudahan atau akses yang membuat hidup lebih baik: dari segi peluang kerja, pendidikan, akses kesehatan, keamanan, dan sebagainya.

Soal pekerjaan, seperti ditulis Forbes , generasi terdahulu boleh jadi memandang tujuan bekerja utamanya adalah untuk mendapat uang semata, sementara sebagian milenial merasa pekerjaan adalah sesuatu yang mesti memenuhi kebutuhan aktualisasinya, harus terkait hal yang disuka atau bisa mewujudkan mimpi-mimpinya.

Cari uang dirasa sebagai hal yang jamak, lapangan kerja bermacam-macam tersedia, tapi mendapat pekerjaan sesuai idamanlah yang patut dikejar menurut mereka. Pergeseran ekspektasi ini memberi sumbangsih pada ketidakpuasan mereka dalam dunia karier, kekecewaan, kecemasan, dan ujung-ujungnya QLC.

Saat segalanya cenderung gampang didapat, suatu hal tak lagi dirasa istimewa, kepuasan seseorang pun semakin susah terpenuhi, demikian dinyatakan Atwood & Scholtz, penulis studi tentang QLC tadi. Mereka membuat analogi: bila setiap orang bisa memakai jam Rolex dan hal itu gampang didapat, status dan kesenangan saat memiliki Rolex akan berkurang, bahkan tiada.

Aneka pilihan yang tersaji juga berarti ada tanggung jawab-tanggung jawab yang harus diemban. Tidak semua orang sanggup menerima hal tersebut, apalagi bila mereka belum benar-benar matang secara mental, tetapi segi usia sudah dituntut masyarakat untuk bertanggung jawab dalam hal pekerjaan dan relasi. Kesenjangan antara kesiapan diri dengan ekspektasi sosial inilah yang mengakibatkan QLC.

QLC berkisar pada masalah identitas seseorang: seperti apa nilai-nilai yang dipercayanya, dengan apa ia mengafiliasikan diri, hal apa saja yang prinsipil buatnya. Bagaimana ia membentuk dan kemudian menunjukkan identitasnya itu tidak lepas dari teknologi yang ada sekarang. Karenanya, hal ini menjadi faktor kedua yang potensial memicu QLC.

Melihat QLC dari Perspektif Lain

Sebagian anak muda memandang QLC sebagai hal yang menyebalkan dan ingin cepat-cepat mereka lalui. Namun sebenarnya, ada keuntungan yang bisa mereka dapatkan jika krisis ini pernah menghampiri mereka.

Atwood & Scholtz berargumen bahwa perasaan hilang arah atau tak punya pegangan, bahkan tujuan hidup, bisa menjadi titik awal seseorang untuk melakukan pencarian jati diri. Setelah melakukan evaluasi dari situasi yang ada, ia dapat menentukan dengan jujur apa yang sebenarnya ingin dicari, apa yang bisa membahagiakan dirinya sekalipun hal itu berbeda dengan kemauan orang-orang terdekat.

“Anak-anak muda mungkin beralih dari satu relasi ke relasi lain, pekerjaan demi pekerjaan, bukan karena mereka tak mampu berkomitmen, melainkan komitmen mereka berbeda. Mereka berkomitmen justru kepada diri mereka sendiri—untuk mencari makna dan tujuan hidup, mengejar kebahagiaan dan kebebasan masing-masing apa pun bentuknya,” tulis Atwood & Scholtz dalam makalah mereka.

Senada dengan para peneliti ini, dalam tulisannya yang bertajuk “Why Millenials Need Quarter Life Crisis” di Psychology Today , Caroline Beaton menyatakan QLC bisa menjadi pengingat bagi seseorang untuk terus berjuang maju dalam hidupnya. QLC adalah tentang ketidakpastian, dan dari situ pula, seseorang dapat menangkap bahwa tidak ada hal yang permanen di dunia ini, termasuk krisis yang dialaminya sendiri.

Terkadang, QLC membuat orang ingin terus berlari atau melawan. Namun, semakin jauh atau cepat orang berlari demi keluar dari krisis tersebut, bisa semakin nihil hasilnya. Alternatif tindakan yang bisa dilakukan saat badai QLC menerpa adalah mencoba menerima hidup pada saat ini walaupun belum benar-benar sesuai kehendak seseorang.