Apa yang dimaksud dengan Qona'ah?

Qana’ah merupakan sifat-sifat yang terpuji menurut ajaran Islam. Sifat qanaah penting dimiliki pada saat kita tertimpa musibah. Apa yang dimaksud dengan Qana’ah ?

Qanaah artinya merasa cukup terhadap pemberian rezeki dari Allah swt. Qona’ah adalah rela dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menghindari rasa tidak puas dalam menerima pemberian dari Allah swt. Dengan sikap inilah maka jiwa akan menjadi tentram dan terjauh dari sifat serakah atau tamak.

Lawan kata dari qanaah ini adalah tamak. Orang yang tamak selalu merasa kurang, walaupun dia sudah mendapatkan karunia dan rezeki dari Allah swt. Tamak identik dengan rakus, semuanya ingin dimiliki. Sudah mempunyai ini, ingin juga yang itu; sudah punya itu, masih ingin yang lain. Bahayanya apabila orang tamak tidak lagi memerhatikan yang halal maupun yang haram.

Sifat qanaah ditunjukkan dengan kerelaan diri untuk menerima apa adanya dan menjauhkan diri dari sikap tidak puas terhadap ketentuan Allah. Sifat qanaah penting dimiliki pada saat kita tertimpa musibah. Musibah merupakan ujian bagi umat manusia untuk menguji kadar keimanan mereka. Seseorang yang ketika diuji justru bertambah keimanan dan ketakwaannya berarti hamba yang memiliki sifat qanaah. Sebaliknya, jika dengan bencana yang menimpa, seseorang menjadi kafir berarti ia belum memiliki sifat qanaah. Kita seharusnya meyakini bahwa segala musibah yang menimpa manusia merupakan kehendak Allah semata.

Akan tetapi, bukan berarti kita harus pasrah dan tanpa usaha untuk menghindari terjadinya musibah. Musibah sejatinya merupakan bentuk ujian Allah kepada hamba-Nya. Bagi seseorang yang memiliki keimanan yang bagus, cobaan dianggapnya sebagai sarana peringatan atas kekhilafan yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, cobaan justru akan mendorongnya semakin bertaqarub dan mendidik untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji.

Qanaah bukan berarti bersikap pasrah buta. Kita diharuskan untuk senantiasa berusaha menghindari terjadinya bencana sesuai dengan kemampuan. Misalnya, jika ingin terhindar dari bahaya banjir, kita senantiasa menjaga lingkungan dan kelestarian alam dengan tidak melakukan penebangan hutan secara liar. Itulah usaha yang perlu kita lakukan agar banjir tidak menimpa kita.

Referensi :

Menurut bahasa qana’ah artinya menerima apa adanya atau tidak serakah. Qana’ah dalam kamus Al Munawwir mempunyai arti merasa puas dengan apa yang diterima, yang puas, rela atas bagianya. Sedangkan secara istilah ialah satu akhlak mulia yaitu menerima rezeki apa adanya dan menganggapnya sebagai kekayaan yang membuat mereka terjaga statusnya dari meminta-minta kepada orang.

Sedangkan terdapat pengertian lain dalam sebuah riwayat hadis yaitu sebagai berikut:

Kekayaan itu bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan itu adalah kaya hati. (H.R. Bukhari Muslim)

Hadis diatas menjelaskan sesungguhnya hakikat kekayaan itu bukanlah diukur dari banyaknya harta, karena banyak orang yang memiliki banyak harta tidak merasa puas dan tenang dengan apa yag dianugerahkan kepadanya, bahkan terus berusaha memperbanyak harta. Jadi, seakan- akan dia itu orang miskin yang rakus. Hakikat kaya ialah kaya hati, yaitu orang yang merasa cukup dan menerima apa yang dianugerahkan kepadanya serta tidak rakus untuk terus menerus memperbanyak dan memaksakan diri untuk menerimanya.

Dikatakan juga bahwa qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi hilangnya sesuatu yang ada. Muhammad bin 'Ali At Tirmidzi menegaskan bahwa : qana’ah ialah kepuasan jiwa atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya. Dikatakan pula qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam yang ada ditangan. Maksudnya menerima apa yang telah dianugerahkan Allah kepada-Nya.

Sedangkan menurut Amin Syukur, qana’ah ialah menerimanya hati terhadap apa yang ada, walaupun sedikit, lalu tidak lupa disertai sikap aktif, serta terus berusaha, karena orang yang qana’ah akan menganggap cukup apa yang ada sebagai karunia dari Allah.

Terdapat juga penjelasan lain dalam sebuah riwayat hadis yaitu sebagai berikut :

Qana’ah (menerima pemberian Allah apa adanya) adalah harta yang tidak pernah sirna. (HR. Thabrani)

Dari qana’ah ini manusia diajarkan untuk menerima apa yang ada, bukan mencari apa yang tidak ada. Qana’ah tidak terlepas juga dari zuhud, karena dari zuhud manusia bisa mengerti bahayanya cinta dunia.

Karena kata zuhud jika dilihat secara bahasa memiliki arti meninggalkan, tidak memperhatikan, meremehkan, memandang hina atau remeh. Jadi zuhud adalah sikap menghindari kesenangan dunia untuk mencari kebutuhan akhirat sebanyak-banyaknya, oleh karena itu dengan menanamkan zuhud dalam diri akan menjadikan manusia mengurangi kegiatannya untuk mencari kesenangna dunia, yang mana urusan dunia yang malah akan berbuah pada kesia-sian jika terlalu sibuk dengan urusan dunia. Ini juga sesuai dengan dalil yaitu sebagai berikut :

Artinya: Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (At tin : 4).

Menunjukkan bahwa manusia adalah ciptaan-Nya yang paling mulia dan sempurna, artinya bahwa manusia semestinya benar-benar bisa berpikir dan mampu mengendalikan hawa nafsunya dan bisa memilih mana yang baik dan tidak.

Dalam Buku yang berjudul Merambah Jalan Shufi, karya As sayyid Bakri Al Makki, bahwa qana’ah ialah logistik yang tak pernah habis, yang mana tak seperti kehidupan yang pasti terkikis dan musnah, hiduplah dengan qana’ah , yaitu menerima apa yang ada, jangan tamak jangan mencari yang tidak ada. Kelak kau akan bahagia, terpuji dimata orang, dan mulia di mata Allah swt.

Dijelaskan lagi dalam buku yang berjudul Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi menjelaskan bahwa qana’ah ialah menerima apa yang ada atau menerima cukup pemberian dari Allah, tidak akan menggerutu tentang apa yang sudah diberikan, serta menerimanya dengan senang hati. Di dalam buku ini juga dijelaskan jangan sampai manusia hanya bermalas-malasan, tapi juga harus tetap menegakkan ikhtiar. Jika memang ikhtiar yang dilakukan kurang memuaskan tetaplah tenang dan jangan menggerutu karena orang yang qana’ah ialah orang yang tidak mudah terpengaruh oleh pasang surutnya keadaan dirinya.

Sedangkan menurut Hamka, qana’ah ialah menerima dengan cukup, yang di dalamnya mengandung lima perkara pokok, yakni sebagai berikut :

  • Menerima dengan rela apa yang ada.
  • Memohon tambahan yang sepantasnya kepada Allah yang dibarengi dengan usaha.
  • Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah.
  • Bertawakal kepada Allah.
  • Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Hal ini dimaksudkan karena intisari ajaran Islam ialah qana’ah, yang dimaksud bukan qana’ah dalam ikhtiar, melainkan qana’ah dalam hati. Sebagai seorang muslim, diharuskan untuk percaya pada kekuasaan yang lebih dari kekuasaan manusia, bersabar untuk menerima ketentuan ilahi yang tidak mengenakan, dan bersyukur terhadap nikmat yang diberinya serta bekerja dan berusaha sekuat tenaga.

Qana’ah merupakan modal yang paling teguh untuk menghadapi kehidupan, karena dapat menimbulkan semangat dalam mencari rezeki, dengan tetap memantapkan pikiran, meneguhkan hati, bertawakal kepada Allah, mengharapkan pertolongannya, dan tidak putus asa ketika tidak berhasil atau impian yang diinginkan tidak terwujud.

Sekali lagi, penekanannya disini adalah, yang dimaksudukan qana’ah disini ialah bukan hanya berpangku tangan dan pasrah dalam menerima keadaan, namun qana’ah yang dimaksudkan tersebut juga dapat difungsikan sebagai cara untuk menjaga kesederhanaan dari hati agar tetap dalam ketentraman, agar terhindar dari beberapa lenanya dunia, serta tidak berorientasi pada harta saja. Karena orang yang qana’ah telah memagar hartanya sekedar apa yang ada didalam tangannya dan tidak menjalar pikirannya kepada yang lain. dan malah bisa memaksimalkan harta yang dimilikanya dijalan Allah.

Referensi
  • Sudarsono, Etika Islam : Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)
  • Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir Kamus Arab Indonesia , (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997)
  • Muhammad Fauki Hajjad, Tasawuf Islam dan Akhlak . terj. Kamran As’ad Irsyady dan Fakhrin Ghozali, (Jakarta: Amzah, 2011)
  • Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al As Qalanni, Fathul Baari : Syarah Kitab Shahih Al Bukhari, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2009)
  • Muhammad Husain Fadhullah, Islam dan Logika Kekuatan , terj. Afif Muhammad dan H. Abdul Adhim, (Bandung: Anggota IKAPI, 1995)
  • Amin Syukur, Sufi Healing : Terapi dengan Metode Tasawuf, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2012)
  • Abd Al Karim Ibn Hawazin Al Qusyairy, Risalah Sufi Al-Qusyayri, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994)
  • Assayid Bakri Al Maliki, Merambah Jalan Shufi Menuju Surga Ilahi, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, cet III, 2002).
  • As Sayyid Bakri Al Makki, Merambah Jalan Shufi : Jalan Menuju Surga , (Bandung : Al gensindo, 1995).
  • Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam Materi , ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1995 )
  • Hamka, Tasawuf Modern , ( Jakarta : Republika Penerbit, 2015 ).
  • Muhammad Rifa’i Subhi, Tasawuf Modern : Paradigma Alternatif Pendidikan Islam , (Pemalang : Alrif Manegement, 2012)

Qana’ah, menurut tokoh-tokoh sufi memiliki perbedaan, karena pengalaman spiritual yang dialami oleh masing-masing tokoh sufi tersebut berbeda-beda yang dialami oleh para tokoh sufi. Pengertian tentang qana’ah menurut para tokoh sufi yaitu sebagai berikut :

  • Al Syafi’i yang mana dikutip Ahmad Musyafiq dalam buku Reformasi Tasawuf Al Syafi’i dijelaskan bahwa qana’ah ialah suatu kelegaan hati, hal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam syairnya :

    Si budak menjadi merdeka karena qana’ah
    Dan si merdeka menjadi budak karena tamak
    Maka berqana’ahlah karena tidak ada
    Sesuatu yang menjijikan selain tamak.

    Orang yang serakah akan selalu menjadi budak dunia, yang selalu sibuk mencari kesenangan, kenikmatan dunia tanpa memikirkan kehidupan akhiratnya.

  • Al Ghazali menyatakan bahwa orang yang keinginannya lemah, dan meninggalkan mencari adalah orang yang qani’ (orang yang mencukupkan apa adanya), maksudnya ialah orang-orang yang mencukupkan dirinya dengan yang ada.

  • Al Fudlail berkata zuhud di dunia ialah qana’ah (merasa cukup apa yang ada ) khususnya kepada harta.

  • Al Qusyayriah Jabir Bin Abdallah menyatakan bahwa Rasullah SAW telah mengatakan bahwa qana’ah ( sikap puas dengan apa yang ada ) adalah harta kekayaan yang tak pernah habis.

  • Abu’ Abdillah bin Khafifah menyatakan qana’ah ialah meninggalkan keinginan terhadap sesuatu yang hlang atau yang tak dimiliki, dan menghilangkan ketergantungan kepada apa yang dimiliki.

Qana’ah dalam Al Qur’an dan Hadits

Dalam dalil-dalil Al qur’an dan hadits, terdapat pula penjelasan tentang qana’ah , diantaranya yaitu sebagai berikut :

Ayat-ayat Al Qur’an tentang Qana’ah

Artinya : Tuhan-mu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu. (Al Isra : 66 – 67).

Dalam Tafsir Al Azhar dijelaskan bahwa manusia diperintahkan agar tidak bermalas-malasan dan tidak berpangku tangan, mereka diperintahkan untuk mencari karunia-Nya yang tidak lain adalah untuk mencari rezeki yang telah dilimpahkan oleh Allah.

Dan hal itu sesuai dengan pengertian qana’ah , menerimanya hati terhadap apa yang ada, walaupun sedikit, lalu tidak lupa disertai sikap aktif, serta terus berusaha.

Dan dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. ( Al Furqon : 62 ).

Dijelaskan bahwa tanda syukur atas nikmat Allah ini ditandai dengan adanya keasadaran dari lubuk hati yang terdalam untuk menerima segala nikmat dan anugrah yang diberikan oleh Nya, dengan disertai pula dengan ketundukan juga kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya serta dorongan untuk bersyukur dengan lidah dan perbuatan.

Dan dalam buku Tasawuf Kontekstual, menjelaskan bahwa agar rezeki itu jadi halal dan berkah (kecukupan), hal tersebut harus sesuai dengan konsep sabar dan qana’ah yang dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa dengan qana’ah maka akan muncul sikap untuk menerima pemberian-Nya. Karena di dalam buku tersebut qana’ah adalah suatu sikap dari kepuasan jiwa atas rezeki yang dimiliki, walau sedikit yang diberikan namun harus tetap bersyukur

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian qana’ah dari ayat tersebut ialah menerima rezeki yang diberikan serta menyikapi pemberian-Nya, yaitu dengan cara bersyukur.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim : 7).

Di dalam ayat Al Qur’an di atas jika menjelaskan tentang munculnya sikap kufur sebagaimana yang tertera dalam buku Tafsir Al Azhar, kufur ialah sebuah sikap merasa tidak puas dengan nikmat yang telah diberikan dari Allah, dan selalu merasa kurang dengan apa yang sudah diberikan. Hal tersebut sangat tidak menggambarkan konsep dari qana’ah itu sendiri, yang mana qana’ah sendiri ialah menerima segala ketentuan Allah dengan ikhlas tanpa mengeluh sekalipun.

Penjelasan dari penafsiran ayat di atas dapat diperjelas dalam buku Ihya’ Ulumuddin yang menjelaskan bahwa orang yang qani’ tidak akan mencari harta, melainkan hanya mencari harta tersbut jika dibutuhkan, karena orang yang kata qani’ tersebut mengandung arti orang yang mencukupkan apa yang ada, yang mana hanya kan mencari harta ketika ia memang membutuhkannya.

Ia akan menerima dengan ikhlas sambil terus menerus melakukan ikhtiar secara maksimal dijalan yang diridhai Allah SWT.

Hadits tentang Qana’ah

Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Menuruti hawa nafsu akan menghalangi dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan akan membuat lupa akhirat, ketahuilah dunia itu berlalu sambil membelakangi. (H.R. Ibnu Abi Uqbah).

Aku kira kalian telah mendengar kedatangan Abu Ubaidah dan bahwa ia membawa sesuatu, mereka menjawab, “benar wahai Rasullah”, beliau lalu bersabda : Bergembiralah kalian dan berharaplah untuk mendapatkan apa yang menyenangkan kalian, demi Allah aku tidak mengkhawatirkan kefakiran kalian, tetapi aku khawatir diimpahkannya dunia kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkannya kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba-lomba mendaptkanya, sebagaimana mereka berlomba mendapatkannya, dan melalaikan kalian sebagaimana telah melalaikan mereka. (H.R. Abu Musa Ibnu Uqbah).

Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta, tetapi kaya itu adalah kaya jiwa. (H.R. Abu Hurairah).

Dengan memahami qona’ah, kita diharpkan untuk menyadari akan betapa bahayanya jika hanya karena indahnya dunia yang dilimpahkan kepada manusia, bukanya dimanfaatkan untuk tabungan diakhirat nanti, tapi malah berlama-lama menikmati keindahanya untuk memuaskan diri, hal tersebut juga sesuai dengan ayat Al qur’an berikut.

Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia ini (dibanding dengan akhirat), hanyalah kesenangan (yang sedikit). (Q.S. Ar rad : 26).

Manusia tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kehidupan yang kekal ialah kehidupan di akhirat dan di sanalah nikmat yang sesungguhnya, maka dari alangkah baiknya manuisa yang telah dilenakan oleh gemerlapnya dunia mereka harusnya sadar bahwa hidup itu hanya sementara.

Jika memang ingin kaya hendaklah mencukupkan diri dengan apa yang sudah ada, jangan bernafsu mencari banyaknya harta apalagi merampas hak orang lain, serta berkeinginan untuk mendapatkan yang lebih, ingin ini dan itu. Hadapkan saja muka didalam taat kepada Allah, tentramkan jiwa dalam menjalani kehidupan, ingatlah orang-orang yang masih serba kekurangan khususnya masalah harta.

Referensi :
  • Ahmad Musyafiq, Reformasi Tasawuf Al Syafi’ i , ( Jakarta : Fitroh Printing, 2003 )
  • Al Ghazali , Ihya’ Ulumuddin , diterj. Ismail Zakub, Jilid VII, ( Jakarta Selatan : CV Faizan, 1985)
  • 'Abd Al Karim Ibn Hawazin Al Qusyairy, Risalah Sufi Al-Qusyayri, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994)
  • Hamka, Tafsir Al Azhar, Jilid 5, (Jakrta : Gema Insani, 2015)
  • M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur’an , ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 )
  • Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual : Solusi Problem Manusia Modern , ( Yogyaarta : Pustaka Pelajar, 2003 )

Qona’ah artinya nerimo ing pandum… Menerima dengan sebuah kenyataan… Bahwasannya hidup itu tiada selamanya indah, membahagiakan, menarik dan seterusnya… Ada di suatu masa, akan terjadi kepada siapapun juga, dimana titik-titik yang tidak menyenangkan, tidak membahagiakan mungkin saja terjadi… Tetaplah tenang, tetap legowo dan qona’ah menerima keadaan kita…

Bagaimana mungkin hendak memohon ridhoNya sedang kita sendiri tidak ridho kehendakNya??..

Apapun situasi yang mungkin kita hadapi, yakinlah bahwasannya Allah itu tidak membebani melainkan menurut kadar kemampuan kita menerima sebuah beban… Tetaplah berjuang menurut kadar kemampuan masing-masing, dan terimalah setiap keadaan dengan rasa syukur… Innallaha ma’ana… Tidak usah bersedih hati

Mursyid Syeikh Muhammad Zuhri (Abah FK)

Menurut bahasa qana’ah adalah menerima apa adanya atau tidak serakah. Qana‘ah diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdallah bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:

Artinya: “ Qana‘ah (menerima pemberian Allah) adalah harta yang tidak sirna.” (HR. Thabrani).2

Qana‘ah (sikap puas dengan apa yang ada). Dikatakan juga bahwa qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi hilangnya sesuatu yang biasa ada. Muhammad bin ‘Ali at-Tirmidzi menegaskan: qana’ah adalah kepuasan jiwa atas rejeki yang dilimpahkan kepadanya. ”Dikatakan qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam yang ada di tangan.

Rasa cukup terhadap apa yang ada pada diri sendiri, merupakan ungkapan tentang kecukupan diri sehingga membuat seseorang tidak mengerahkan kemampuan dan potensinya untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan dan disukainya. Suatu hal yang membuat seseorang kehilangan rasa lapar saat menghadapi sesuatu keinginan yang tidak dapat direalisasikan, atau suatu kebutuhan yang tidak mungkin dia penuhi. Dengan perasaan tersebut dia tidak perlu akan kebutuhan-kebutuhan yang orang lain mungkin sangat mendesak.

Hamka dan Aa-Gym sepakat bahwa qana’ah berarti merasa puas dan cukup. Maksudnya rezeki yang diperoleh dari Allah dirasa cukup dan disyukuri. Betapapun penghasilan yang didapat, ia terima dengan ikhlas sambil terus menerus melakukan ikhtiar secara maksimal dijalan yang diridhai Allah SWT.

Qana’ah yaitu rela dengan sekedar keperluan berupa makan, minum, dan pakaian. Maka hendaklah ia merasa cukup sekadar yang paling sedikit dan dengan jenis yang kurang. Tangguhkan keinginan padanya hingga suatu hari atau hingga satu bulan agar dirinya tidak terlalu lama bersabar atas kefakiran. Hal itu mendorong pada ketamakan. Hal itu dapat mendorong pada ketamakan, meminta-minta dan merendahkan dirinya pada orang-orang kaya.

Menurut kaum sufi qana’ah adalah salah satu akhlak mulia yaitu menerima rezeki apa adanya dan menganggapnya sebagai kekayaan yang membuat mereka terjaga statusnya dari meminta-minta kepada orang. Sikap qana’ah membebaskan pelakunya dari cekam kecemasan dan memberinya kenyamanan psikologis ketika bergaul dengan manusia.

Jadi orang yang memiliki sifat qana’ah akan merasa puas dengan yang diperolehnya dan menjadikan kenikmatan tersebut untuk menghindari dari hal-hal yang buruk, qana’ah juga menjadikan seseorang tidak sombong karena berfikir apa yang mereka dapat hanyalah titipan yang kapan saja bisa hilang.

Qana’ah merupakan sifat terpuji yang mencerminkan perilaku rela, merasa berkecukupan sabar, ikhlas serta tawakal kepada Allah SWT. Syukur, sabar, ikhlas, lapang dada, jujur, dermawan, rendah hati (tawadhu’), amanah, pemaaf, dan Qana’ah merupakan akhlak baik (Mujib, 2012). Qana’ah yang merupakan sebuah sifat dapat dikaji sebagai konstruk psikologi, Qana’ah dapat kita kaji melalui firman Allah SWT. yang termaktub dalam Surah Al-Baharaah Ayat 155 yang artinya “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Qana’ah juga dapat dikaji dalam hadits, Rasulullah Shallallahu„alaihi Wa Sallam bersabda, “Sungguh beruntung orang yang berislam, memperoleh kecukupan rezeki dan dianugerahi Qana’ah atas segala pemberian” (Hasan. HR. Tirmidzi). Sufistik clasik seperti Abdul Qadir Al Jailani menafsirkan Qana’ah itu aktif, yaitu menyuruh percaya yang benar-benar akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia, tetapi tetap kita berusaha mencari rizki, menyuruh sabar menerima ketentuan Illahi jika ketentuannya itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat, tetapi harus mencari tau apa nikmat yang diberikan Allah kepada kita jika kita tidak tahu apa nikmat yang diberikanNya maka itu bukanlah syukur melainkan sebuah keterpaksaan (Rahmat, 2017). Sedangkan Sufistik modern seperti Haji Abdul Malik Karim Abdullah (Hamka) menafsirkan Qana’ah sebagai menerima segala sesuatu dengan cukup, Hamka juga memetakan lima perkara yang terkandung dalam Qana’ah antara lain, menerima dengan rela akan apa yang ada, memohonkan kepada Allah Tambahan yang pantas, dan berusaha, menerima dengan sabar akan ketentuan Allah, bertawakal kepada Allah serta
tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Tafsir tersebut berdasar dari pengkajian sabda Rassulullah SAW. “Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, kekayaan ialah kekayaan jiwa” (Ulfah & Istiyani, 2016)

Sifat Qana’ah merepresentasikan kepuasan terhadap apa yang dimiliki maupun dicapai, hal ini berkaitan dengan Qana’ah sebagai upaya dalam menjalani kehidupan yang baik dan sehat atau dalam kajian Islam disebut Hayattan Tayyibah (Ali, 2014). Qana’ah juga memiliki peran dalam mengatasi masalah sosial dan lingkungan (Ali, 2014). Sebagai seorang Muslim wajib hukumnya melaksanakan akhlak baik dalam berperilaku seharihari, sebab akhlak baik merupakan pijakan masyarakat muslim dalam beribadah, bermasyarakat serta dalam menghadapi segala bentuk problematika dan masalah. akhlak yang baik juga merupakan cerminan dari muslim yang memang menjalankan perintah agama atau dapat disebut memiliki kadar spiritualitas.