Apa Yang Dimaksud Dengan Qadha dan Qadar?

Qadha adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.

Apa yang dimaksud dengan qadha dan qadar secara lebih rinci ?

Menurut bahasa qadha memiliki beberapa arti yaitu hukum, ketetapan, perintah, kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan. Sedangkan menurut istilah, qadha adalah ketentuan atau ketetapan Allah SWT dari sejak zaman azali tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya sesuai dengan iradah (kehendak-Nya), meliputi baik dan buruk, hidup dan mati, dan seterusnya.

Menurut bahasa, qadar berarti kepastian, peraturan, dan ukuran. Sedangkan menurut istilah, qadar adalah perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya yang telah ada sejak zaman azali sesuai dengan iradah-Nya. Qadar disebut juga dengan takdir Allah SWT yang berlaku bagi semua makhluk hidup, baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi.

Iman Kepada Qada dan Qadar

Beriman kepada qada dan qadar adalah menyakini dengan sepenuh hati adanya ketentuan Allah SWT yang berlaku bagi semua mahluk hidup. Semua itu menjadi bukti kebesaran dan kekuasan Allah SWT. Jadi, segala sesuatu yang terjadi di alam fana ini telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Dalil-dalil Tentang Beriman Kepada Qadha dan Qadar

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Q.S Ar-Ra’d ayat 11

"Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” Q.S Al-A’laa ayat 3

Hikmah Beriman kepada Qada dan qadar

Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:

  • Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
    Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian.

    Firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 53 yang artinya :

    “dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”

  • Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
    Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.

    Firman Allah SWT dalam QS.Yusuf ayat 87 yang artinya :

    Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.

  • Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
    Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.

    Firman Allah dalam QS Al- Qashas ayat 77 yang artinya :

    Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

  • Menenangkan jiwa
    Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.

    Firman Allah dalam QS. Al-Fajr ayat 27-30 yang artinya :

    Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku.

Qadha secara etimologi adalah masdar dari Qadhay- yaqdhiy- Qadhaa al-asya’, yang bermakna mengadakan dengan sebuah ketetapan dan mentakdirkannya. Qadha juga berarti hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan. Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyelesaikannya.

Qadha dalam pengertian terminologi adalah sesuatu yang ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahannya.Kata qadha didalam alqur’an banyak sekali didapatkan dengan variasi makna yang berbeda-beda. Seperti halnya contoh dibawah ini;

Dan tidak ada seorangpun diantara kamu mendatanginya (Neraka). Hal itu bagi Tuhan mu adalah suatu ketentuan yang pasti. (Q.S. Maryam : 17)

Qadar Secara etimologi adalah masdar dari qadara-yaqdaru qadaran, dan adakalanya huruf dalnya disukunkan (qadran). Maka qadar adalah akhir atau puncak segala sesuatu. Adapun qadr secara terminologi adalah ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya, atau sesuatu yang telah ditentukan sejak zaman azali.

Didalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menggunakan kata qadar, seperti halnya ayat dibawah ini;

Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu.Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. (Q.S. al-Ahzab : 38)

Istilah qadha dan qadar didalam al-qur’an maupun hadis tidak pernah dijumpai secara bersamaan dihubungkan dengan waw ‘athof (kata sambung). Dalam konteks pembahasan akidah, kata qadha saja dan qadar saja yang terdapat didalam al-qur’an maupun Sunah adalah Musytarak (memiliki makna ganda). Akan tetapi makna tersebut mengerucut pada makna ilmu Allah dan perbuatan Allah SWT, bukan kehendak manusia ataupun perbuatan manusia.

Iman kepada Qadha dan Qadar

Beriman kepada Qadar Allah memiliki 4 rukun atau disebut juga tingkatan taqdir dan rukun-rukunnya. Dari ke empat rukun tersebut lah untuk dapa memahami taqdir Allah jika salah satu tidak ada maka imannya tidak sempurna:

  1. Al-‘Ilmu (Ilmu) : Mengimani bahwa Allah dengan ilmu-Nya yang merupakan Sifat-Nya yang azali dan abadi, maha mengetahui semua yang ada dilangit dengan seluruh isinya, juga semua yang ada di bumi dengan seluruh isinya, serta apa yang ada diantara keduanya, baik secara global maupun secara terperinci, baik yang udah terjadi maupun yang akan terjadi. Allah Maha mengetahui segala yang gaib dan Maha mengetahui segala yang ihwal. Sebagaimana firman-Nya:

    Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh mahfuzd). (Q.S. Al-An’am : 59)

  2. Al-Kitabah (Penulisan): Mengimani bahwa Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk di al-Lauhul Mahfuzh. Sebagaimana firman-Nya:

    Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Layh al-Mahfuz) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (Q.S. Al-Hajj : 70)

  3. Al-Masyi’ah (Kehendak): Bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Semua gerak gerik yang terjadi dilangit dan dibumi hanyalah kehendak Allah, tidak ada sesuatu yang terjadi dalam kerajaan-Nya apa yang tidak diinginnkan-Nya. Sebagaimana Firman-Nya:

    Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Ali 'Imran : 26)

  4. Al-Khalq (Penciptaan): Bahwa Allah Maha Pencipta atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Dengan demikian tidak ada satu makhluk pun dibumi atau dilangit melainkan Allah yang menciptakannya. Sebagaimana firman-Nya:

    Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (Az-Zumar : 62)

Pandangan Ilmu Kalam terhadap Qadha dan Qadar

Didalam Islam ada beberapa teologi yang memperbincangkan permasalahan Qadar yang telah ditetapkan Allah yaitu :

  • Jabariyah
    Jabariyah berasal dari bahasa ‘Arab, jabr memiliki dua arti ‘alzama dan akraha bermakna terpaksa. Jabriyah secara istilah difahami dengan patuh dan tunduk kepada takdir Allah SWT yang telah ditetapkan kepada-Nya. Pemikiran kaum jabariyah sesungguhnya juga tidak terlepas dari pemahaman mereka tehadap beberapa ayat didalam al-Qur`an yang mengarah kepada kekuasaan mutlak tuhan dan kelemahan serta keterbatasan manusia, seperti :

    Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. al-Hadid : 22)

    Ayat yang difahami kaum Jabariyah hanya secara zahir saja, sehingga benar-benar menyokong pemahaman mereka dengan manusia berada pada posisi yang tidak memiliki apa-apa kekuatan sebab semuanya telah ditetapkan Allah SWT. Dalam kaitannya dengan masalah takdir, Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai sedikitpun kemampuan yang mempengaruhi takdirnya. Bahkan kelompok ekstrim dari Jabariyah menjadikan takdir sebagai hujjah untuk meniadakan perintah dan larangan Allah. Sebab jika Allah menghendaki seseorang berlaku maksiat tentu dia tidak dapat lari dari takdir itu. Bahkan jika seseorang mencuri, maka itu bukan kehendaknya akan tetapi ketetapan Tuhan atas dirinya.

  • Al-Mu’tazilah
    Al-Mu’tazilah merupakan kaum yang sangat penting dalam sejarah ilmu kalam, bahkan dianggap sebagai pencetus ilmu tersebut mereka berusaha memadukan dalil naql dan dalil ‘aql. Bahkan ada sebahagian kelompok Mu’tazilah yang lebih mendahulukan akal daripada wahyu. Sehingga terjadi perbedaan diantara keduanya, maka kebenaran akal harus diikuti oleh wahyu.

    Dalam berbagai aspek kelompok ini secara utuh mengambil pemikiran kelompok Qadariyah yang dipelopori oleh Ma’bad al- Juhani, tokoh pertama yang menolak kewujudan takdir sebagaimana dikatakan al-Muslim. Dengan demikian inti dari pemahaman Qadariyah tentang takdir adalah kebebasan manusia mewujudkan perbuatan-perbuatannya dengan kemahuan dan tenaganya sendiri. Ini mereka lakukan untuk menghindarkan penisbatan perbuatan manusia kepada Allah SWT, yang menentukan perbuatan manusia, maka perbuatan manusia yang zalim dan sesat adalah atas kehendak Allah SWT. Artinya jika Allah menciptakan perbuatan zalim, bermakna Allah berbuat zalim, sebagaimana ia menciptakan keadilan bermakna Allah Maha Adil.

  • Al-Asy’ariyyah
    Golongan al-Asy’ariyyah didirikan oleh ‘Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Dia dilahirkan di Basrah dan meninggal di Baghdad. al-Asy’ariyyah dianggap sebagai golonngan yang merintis jalan tengah diantara agama dan akal. pada sisi lain juga mencoba memadukan diantara Mu’tazilah yang terlampau memberikan kebebasan kepada akal dengan Jabariyah yang larut dalam dunia kepasrahan yang tidak bertepi.

    Berkenaan dengan masalah takdir, Al-Asy’ariyyah berpendapat bahwa beriman kepada Qadha dan Qadar itu adalah rukun iman didalam ajaran Islam. permasalahan ini berkaitan dengan perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan. Al-Asy’ariyyah berpendapat bahwa Tuhan adalah pencipta mutlak. tidak ada yang memaksanya melakukan atau meniadakan sesuatu. dia berbuat sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. ini merupakan bantahan terhadap pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah SWT wajib melakukan sesuatu yang baik dan itu merupakan bentuk keadilan Allah.

    Dalam hal ini Al-Asy’ariyyah menggunakan firman Allah SWT didalam al-Qur’an:

    Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus : 99)

  • Al-Maturidiyyah
    Golongan ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi. Dalam permasalahan Al-Qadha dan Al- Qadr, al-Maturidi terlebih dahulu menjelaskan makna keduanya secara terperinci, Baginya al-Qadha memiliki beberapa makna:

    1. Al-Qadha bermakna bermakna al-Hukm (menghukum) wa al-Qath’u (memutuskan). Inti semua itu adalah al-khalaqa (menciptakan)

    2. Al-Qadha bermakna al-i’lan (berita) dan al-akhbar (informasi)

    3. Al-Qadha bermakna al-‘Amr (perintah)

    4. Al-Qadha bermkna al-Farq (selesai/sempurna)

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa al- Qadha pada dasarnya adalah hukum, ketetapan dan informasi Tuhan tentang segala sesuatu yang bersifat azali.

Referensi
  • H.A.R. Gibb, et. al, The Encyclopedia of Islam, (Leiden : E.J. Brill, 1991).
  • Taaqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah, terj. Zakia Ahmad,Lc (Jakarta Selatan: HTI, 2008).
  • Muhammad Ibrahim, Al-Iman bi al-Qodha wa al-Qadar, (Riyadh,Jami’ah Muhammad ibn Su’ud, 1419 H).
  • Dar al-Masyriq, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘A’lam, ( Beirut : al-Maktabah as- Syarqiyah, 2007).
  • Harun nasution, Teologi Islam, (Jakarta : UI Press 1986).
  • Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, (Kaherah : Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1952).
  • ‘Umar Farruh, Abqariyah al-‘Arab fi al-‘Ilm wa al-Falsafah, (Damaskus : Matba’ah Dar- al-Yaqzah al-‘Arabiyah, tt).
  • Al-Nawawi, al-Minhaj: Syarh shahih Muslim, ( Beirut : Dar al-Ma’rifah, 2005).
  • Al-Sahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut : Dar al-Fikri, 2002).
  • ‘Ali Abd Fatah al-Maghribi, al-Firaq al-Kalamiyah al-Islamiyah, (Kaherah : Maktabah Wahbah, 1995).
  • M.R.K. Afridi dan Arif Ali Khan, History of Islamic Philosophy, ( New Delhi : Pantagon Press, 2007).

Menurut Mazhab Al-Asy’ary atau Al-Asy’ariyah, Al-Qadha’ dan Al-Qadar adalah sebagai berikut :

  • Al-Qadha’ adalah kehendak Allah s.w.t. pada zaman azal (zaman yang tidak diketahui permulaannya) pada segala sesuatu menurut keadaannya pada waktu adanya. Dan dia termasuk sifat-sifat Dzat di sisi mereka.

    Misalnya Allah berkehendak pada masa azal akan menjadikan hambaNya Fuad misalnya menurut apa yang kita lihat pada waktu adanya. Bentuknya begitu, jadi seorang dokter, isterinya dua dan lain-lain misalnya. Oleh sebab itu maka qadha’ menurut ini adalah sifat Dzat Allah s.w.t.

    Qadha’ menurut mazhab ini adalah “Qadim” dan bukan “Hadis” (baharu).

  • adalah penciptaan Allah s.w.t. akan segala sesuatu menurut ukuran yang telah ditentukan dan rupa yang telah ditentukan pula sebagaimana yang telah dikehendaki olehNya.”

    Maksudnya, Tuhan menjadikan sesuatu menurut apa yang telah dikehendaki olehNya pada saat sebelum menjadikan itu. Al-Qadar adalah sifat perbuatan Allah (Min Shifaatil Afaal). Karena itu maka Al-Qadar adalah baharu (hadis).

Menurut mazhab Al-Maturidy,

  • Al-Qadha’ ialah Allah menjadikan segala sesuatu serta menambah kekokohan dan kebagusan — pada apa yang dijadikan —. Al-Qadha’ merupakan sifat perbuatan Allah menurut para Ulama Mazhab ini.

    Contohnya ialah, Allah Ta’ala menjadikan langit, bumi dan lain-lain dengan begitu indah, bagus, kokoh, teratur dan lain -lain dan sifat-sifat yang menunjukkan atas keagungan segala sesuatu yang dijadikan olehNya. Karena itu Al-Qadha’ menurut mazhab ini adalah baharu, sebab ia sifat perbuatan Allah s.w.t.

  • Al-Qadar ialah Allah menentukan pada azal tiap-tiap makhuk menurut ketentuanNya yang didapat makhluk pada waktu diadakannya, misalnya berupa kebaikan, kejelekan, manfaat, mudharat, dan lain-lain. Artinya ilmu Allah pada masa azal tentang sifat-sifat semua makh1uk, maka berkaitanlah Al-Qadar menurut mereka pada Ulama mazhab ini kepada sifat ilmu, sedangkan sifat ilmu adalah sebahagian dari sifat-sifat dzat.

Maksudnya ialah, bahwa Al-Qadar menurut mazhab ini, ialah ilmu Allah, artinya pengetahuan Tuhan yang tidak ada permulaan tentang sifat-sifat makhluk berupa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada makhluk-makhluk itu, di mana akan diciptakan oleh Allah s.w.t. Umpamanya, keadaan kita sekarang baik dalamkehidupan ataupun mati, sudah merupakan ketentuan dan ketetapan Allah yang telah diketahui olehNya pada masa azal, yakni pada masa yang tidak ada permulaan padanya.

Oleh sebab itu maka Al-Qadar menurut mazhab ini bertalian dengan ilmu Allah yang merupakan salah satu sifat dari sifat-sifatNya, sedangkan ilmu Allah merupakan sebahagian dari sifat-sifat Dzat Allah yang wajib ke atas Allah, yakni sifat-sifatnya yang tidak diterima oleh akal atas tidak adanya sifat-sifat itu.

Perbedaan antara Mazhab Asy’ari atau Al-’Asya’riyah dengan Mazhab Al-Maturidy atau Al-Maturidiyah, adalah pada istilah semata-mata, karena pada hakikatnya Al-Qadha’ menurut Mazhab Asy’ari adalah Al-Qadar menurut Al-Maturidy. Karena itu maka Al-Qadha’ menurut Mazhab Asy’ari adalah qadim, karena merupakan sebahagian dari sifat-sifat Dzat Allah. Tetapi menurut Mazhab Al-Maturidy adalah baharu (hadis), karena Al-Qadha menurut mereka merupakan sifat perbuatan Allah.

Demikian pula pada istilah Al-Qadar, di mana menurut mazhab Asy’ari adalah baharu, karena merupakan sifat perbuatan Allah dan menurut mazhab Al-Maturidy Al-Qadar itu ialah Al-Qadha’, karena itu Al-Qadar merupakan keadaan yang berhubungan dengan ilmu Allah, sedangkan ilmu Allah merupakan sebahagian dari sifat DzatNya. Karena itu maka Al-Qadar menurut mazhab ini adalah Qadim.

image

Di dalam Kitab Jauharatut- Tauhid diterangkan bahwa kita wajib beriman dengan qadar dan qadha’ seperti telah datang keterangan di dalam Hadis Nabi.

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Hai Rasulullah apakah itu Iman? Menjawab Nabi: Yaitu bahwa engkau beriman dengan Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya dan hari kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar, baiknya, buruknya, manisnya dan pahitnya adalah dari Allah s.w.t.”

Dalam Al-Quran:

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan sesuatu menurut ketentuannya.” (Al-Qamar: 49)

Banyak Hadis-hadis dan ayat-ayat menerangkan tentang qadha’ dan qadar.
Meskipun di dalam ayat dan Hadis kita hanya menemui perkataan qadar saja,
sebab antara keduanya menurut ilmu Tauhid tidak dapat dipisahkan.

Meskipun kita wajib beriman kepada qadha’ dan qadar, tetapi kita tidak boleh menjadikan qadha’ dan qadar sebagai alasan sebelum mengerjakan sesuatu demi untuk sampai kepadaNya.

Misalnya seseorang bermaksud mencuri maka maka sebelum ia melakukan perbuatan itu ia mengatakan bahwa Allah mengqadha’ dan mentakdirkan ia untuk mencuri. Hal keadaan ini adalah suatu hal yang tidak pantas, di samping ia telah mendahului Allah Ta’ala apalagi mengerjakan perbuatan yang dilarang olehNya. Atau ketika kita telah melakukan perbuatan mesum, maka demi untuk menghindarkan dari hukum, kita katakan bahwa Allah melakukan qadha dan qadarNya atas hal itu.

Tetapi apabila seseorang mengatakan seperti itu sekedar untuk menolak celaan orang lain, maka tidak apa-apa. Hal keadaan ini berdasarkan kepada Hadis sahih, yaitu berkata Nabi Muhammad s.a.w.:

“Pada suatu kali di zaman dahulu bertemu roh Nabi Adam a.s. dengan roh Nabi Musa a.s. Berkata Musa kepada Adam: “Tuan adalah bapak manusia di mana karena tuanlah maka anak cucu tuan keluar dari syurga, karena disebabkan tuan memakan buah kayu terlarang.”

Berkata Adam: “Hai Musa engkau telah dipilih oleh Tuhan untukbercakap-cakap denganNya dan Tuhan telah berikan kepada engkau kitab Taurat. Kenapa engkau cela saya atas satu pekerjaan padahal Allah s.w.t. telah mentakdirkan hal itu atas saya sebelum Tuhan menjadikan saya, 40,000 tahun sebelumnya.”

Berkata Nabi Muhammad s.a.w.: “Maka dengan alasan Adam itulah Nabi Adam telah mengalahkan Nabi Musa tentang persoalan ini.”

Segala sesuatu dalam alam ini adalah menurut kehendak dan izin Allah s.w.t. Berfirman Allah s.w.t. dalam Al-Quran:

“Mereka tidak dapat menghilangkan bahaya dari siapa pun terkecuali dengan izin Allah s.w.t.” (Al-Baqarah: 102)

Referensi
  • Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing
  • Syaikh Ibrahim Al-Bayjuri, Kitab Tuhfatul Murid ‘Ala Jauharatit-Tauhid