Apa yang dimaksud dengan Putusan Serta Merta ?

Putusan serta merta adalah suatu putusan pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum Banding, Kasasi atau Perlawanan oleh pihak Tergugat atau oleh pihak Ketiga yang dirugikan.

Apa yang dimaksud dengan Putusan Serta Merta ?

Eksekusi dari suatu putusan pada prinsipnya hanya bisa dilaksanakan apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Putusan yang berkekuatan hukum tetap sejatinya dibagi menjadi dua, yaitu dalam perkara pidana dan juga dalam perkara perdata. Dalam perkara pidana putusan dianggap sudah in kracht apabila putusan pengadilan tidak diajukan upaya hukum, baik upaya hukum banding ataupun upaya hukum kasasi. Pengajuan upaya hukum haruslah dilakukan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam perkara pidana, putusan juga dianggap telah in kracht atau berkekuatan hukum tetap apabila putusan tersebut merupakan putusan tingkat kasasi. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan berkekuatan hukum tetap dalam perkara perdata sejatinya dapat dilihat pada penjelasan Pasal 195 HIR, yang berbunyi:

“Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya . Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi . ”

Dari penjelasan Pasal 195 HIR tersebut dapat diartikan bahwa putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki makna yang serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.

Seperti yang telah dijelaskan secara singkat di atas, pada prinsipnya suatu putusan dapat dilaksanakan eksekusinya apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi pada kenyataannya terdapat suatu putusan yang dapat mengecualikan hal tersebut, yaitu putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). Putusan serta merta adalah suatu putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Upaya hukum yang dimaksud dapat berupa upaya hukum banding ataupun kasasi. Dengan demikian, putusan serta merta dapat dilaksanakan secara langsung atau secepat mungkin setelah keputusan tersebut diputuskan oleh pengadilan, walaupun putusan tersebut belumlah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Putusan serta merta sejatinya merupakan suatu perwujudan salah satu asas penting yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Putusan ini merupakan perwujudan asas “Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan” yang diatur didalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Mengutip dari pendapat Yahya Harahap, arti dari peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan adalah:

“… suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan jangka waktu lama s ampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang sudah memang sederhana, jangan sengaja dipersulit oleh hakim ke arah proses pemeriksaan yang berbelit-belit dan tersendat-sendat. Jangan sampai jalannya pemeriksaan mundur terus untuk sekian puluh kali atas berbagai alasan yang tidak sah menurut hukum.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud cepat merujuk kepada waktu berjalannya peradilan itu tersendiri. Jangan sampai suatu peradilan berjalan sampai berbelit-belit sehingga merugikan berbagai pihak yang terlibat. Sedangkan maksud biaya ringan memiliki arti bahwa agar proses persidangan dapatlah dijangkau oleh rakyat secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan biaya perkara yang tinggi tentunya juga akan menyebabkan pihak yang berkepentingan menjadi enggan untuk berperkara di pengadilan.

Lalu dapat dilihat dimana pengaturan mengenai putusan serta merta itu tersendiri? Putusan serta merta sejatinya diatur dalam Pasal 180 ayat 2 HIR (Pasal 191 ayat 1 RBg), pasal tersebut menyatakan bahwa:

“Biarpun orang membantah putusan hakim pengadilan negeri atau meminta apel, maka pengadilan negeri itu boleh memerintahkan supaya putusan hakim itu dijalankan lebih dahulu, jika ada surat yang sah, suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan putusan yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak milik .”

Prof. Subekti. SH, menyatakan bahwa pada praktiiknya penerapan putusan serta merta sejatinya banyak mendatangkan suatu permasalahan, permasalahan ini muncul terutama terhadap pengabulan serta pelaksanaan dari putusan serta merta itu sendiri yang selalu dihadapkan dengan ketidakpastian. Hal ini dikarenakan putusan serta merta memiiliki potensi yang cukup besar untuk dibatalkan pada tingkat banding ataupun kasasi. Dengan demikian terlihat betapa besarnya resiko yang terdapat di dalam putusan serta merta. Untuk mengurangi resiko ini, Mahkamah Agung RI mengeluarkan berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sebagai suatu guidelines yang harus diperhatikan ketika hakim hendak membuat putusan serta merta. Seperti dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta dan Putusan Provisionil dan juga Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001, yang di dalamnya menyatakan bahwa “ Setiap kali akan melaksanakan putusan serta merta harus disertai dengan penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No. 3 Tahun 2000 .”

Butir 7 SEMA No. 3 Tahun 2000 sendiri menyebutkan bahwa: “ Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama ”. Dengan demikian nampak bahwa apabila hakim hendak memutus suatu putusan serta merta, terdapat berbagai persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Selain itu M. Yahya Harahap juga berpendapat bahwa putusan serta merta baru dapat dijatuhkan apabila terdapat alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian sebagai berikut:

  • Yang cukup sempurna ( bewijskracht );
  • Yang bernilai kekuatan mengikat ( bindende bewijskracht ); dan
  • Yang bernilai kekuatan pembuktian yang menentukan ( beslissende bewijskracht )

Dapat dilihat bahwa putusan serta merta merupakan suatu putusan yang sejatinya mengandung banyak keuntungan bagi pihak yang sedang dirampas haknya. Akan tetapi di sisi lain putusan serta merta itu sendiri juga menimbulkan berbagai ketidakpastian di kemudian hari, yang berbagai ketidakpastian tersebut turut akan menimbulkan berbagai kesulitan ataupun permasalahan baru. Hal ini akan terjadi apabila suatu putusan serta merta yang diputus dalam tingkat pertama harus dibatalkan dikarenakan putusan tingkat banding ternyata bertentangan dengan putusan tingkat pertama tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka pengembalian ataupun pemulihan kembali keadaan sebelum putusan serta merta dilaksanakan haruslah dilakukan ( restitutio in integrum ).

Referensi

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini, 1993, hlm; 54.
Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap?
Dasar Hukum dan Pelaksanaan Putusan Serta Merta
https://media.neliti.com/media/publications/210028-tinjauan-yuridis-terhadap-putusan-serta.pdf

1 Like