Apa yang dimaksud dengan putusan hakim?

Putusan Hakim adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).

Apa yang dimaksud dengan putusan hakim ?

Putusan hakim adalah putusan akhir dari suatu pemeriksaan persidangan di pengadilan dalam suatu perkara. Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya mengandung sangsi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan.

Sangsi hukuman ini dapat dipaksakan kepada pihak yang melanggar hak berupa pemenuhan prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang dimenangkan.

Akibat Hukum Putusan

Putusan hakim bersifat memaksa (dwingend), artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya hakim dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya mematuhinya dengan kesadaran sendiri. Putusan hakim menimbulkan akibat hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.

Akibat hukum ialah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan ini dinamakan tindakan hukum. Jadi dengan kata lain, akibat hukum adalah akibat dari suatu tindakan hukum.

Akibat hukum dapat berwujud:

  • Lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu keadaan hukum.

  • Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau lebih subyek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

  • Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.

Referensi :

  • R. Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, 2011, Jakarta: Sinar Grafika.

Putusan Hakim dalam Perspektif

447

  • Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam persidangan, menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan:
    “Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara"

  • Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan Disidang pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

  • Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

  1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus menuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan- peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
  2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim yang Memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang.
  3. Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera.
    Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut pandang yang kita lihat.
  • Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut :
  1. Putusan Akhir
    Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan.
  • Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :
  1. putusan gugur
  2. putusan verstek yang tidak diajukan verzet
  3. putusan tidak menerima
  4. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang undang menentukan lain
    .
  5. Putusan Sela
  • Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.Putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja.

  • Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang.Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir.

  • Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya. Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan biaya sendiri.

  • Kemudian putusan Hakim dalam acara pidana terbagi menjadi tiga macam putusan yaitu:

  1. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP
  • Putusan Bebas merupakan Putusan Pengadilan yang di jatuhkan kepada terdakwa karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang di dakwakan kepadanya dinyatakan tidak terbukti sacara sah dan meyakinkan.

  • Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan ” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

  • Dari ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

  1. Putusan Lepas dari segala Tuntutan Hukum
  • Merupakan Putusan yang di jatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan satu tindak pidana.(Pasal 191 ayat (2) KUHAP)

  • Jenis putusan ini dasar hukumnya dapat di temukan dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan:
    “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti,tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari segala tuntutan”.

  1. Putusan yang mengandung pemidanaan
  • Merupakan putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu.(Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

  • Dasar putusan ini adalah Pasal 193 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
    “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Referensi

Lilik Mulyadi. Kompilasi hukum pidana dalam perspektif teoritis dan prakter pradilan . Mandar Maju. 2007.

M Yahya Harahap. Pembahasan dan Peenrapan KUHAP . Sinar Grafika. 2005.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Hadari Djenawi Tahir, Pokok – Pokok Pikiran dalam KUHAP, Alumni, Bandung, 1981

Pengertian Putusan Hakim


Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim (Mertokusumo, 2006).

Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya mengandung sangsi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sanksi hukuman ini baik dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu, hanya saja bedanya dalam Hukum Acara Perdata hukumannya berupa pemenuhan prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang dimenangkan dalam persidangan pengadilan dalam suatu sengketa, sedangkan dalam Hukum Acara Pidana umumnya hukumannya penjara dan atau denda (Sarwono, 2011).

Asas-Asas Putusan


Asas yang mesti ditegakkan agar suatu putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat, diatur dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 Rbg dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Harahap, 2004), antara lain:

  • Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci;
    Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni;

    • Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan,
    • Hukum kebiasaan,
    • Yurisprudensi, atau
    • Doktrin hukum.
  • Wajib mengadili seluruh bagian gugatan;
    Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG dan Pasal 50 Rv. Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutuskan sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya.

  • Tidak boleh mengabulkan melebih tuntutan;
    Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG, dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang diajukan dalam gugatan. Jika hakim mengabulkan lebih dari tuntutan dalam gugatan maka hakim dianggap telah melampaui batas wewenang dan harus dinyatakan cacat meskipun hal ini dilakukan hakim dengan itikad baik maupun sesuai dengan kepentingan umum.

  • Diucapkan di muka umum

  1. Prinsip keterbukaan untuk umum bersifat Imperatif (memaksa).
    Prinsip ini didasarkan oleh asas fair trial, menurut asas ini pemeriksaan persidangan harus didasarkan pada proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Prinsip ini bertolak belakang dengan peradilan yang bersifat rahasia (secrecy) atau confidence sebagaimana dalam proses pemeriksaan mediasi atau arbitrase, dengan maksud untuk menjaga kredibilitas para pihak yang bersengketa.

  2. Akibat hukum atas pelanggaran asas keterbukaan
    Prinsip pemeriksaan dan putusan diucapkan secara terbuka, ditegaskan dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Dalam Hukum Acara Pidana, prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 64 KUHAP: “Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”. Pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) jo Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengakibatkan;

    • Tidak sah, atau
    • Tidak mempunyai kekuatan hukum.
  3. Dalam hal pemeriksaan secara tertutup, putusan tetap diucapkan dalam sidang terbuka. Dalam kasus-kasus tertentu, peraturan perundang- undangan membenarkan pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup. Akan tetapi, pengecualian ini sangat terbatas, yang terutama dalam bidang hukum kekeluargaan, khususnya perkara perceraian. Prinsip pemeriksaan tertutup dalam persidangan perceraian bersifat imperatif, namun sepanjang mengenai proses pengucapan putusan, tetap tunduk pada ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 20 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  4. Diucapkan di dalam sidang pengadilan
    Selain persidangan harus terbuka untuk umum, pemeriksaan dan pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan dalam sidang pengadilan. Menyimpang dari ketentuan itu, mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan.

  5. Radio dan televisi dapat menyiarkan langsung pemeriksaan dari ruang sidang.
    Sesuai dengan perkembangan jaman, penyiaran dan penayangan radio dan televisi, dapat dilakukan langsung dari ruang sidang, dan hal ini sudah banyak diterapkan di berbagai negara.

Jenis-Jenis Putusan Hakim


Dalam Pasal 196 ayat (1) HIR/Pasal 185 ayat (1) RBG dinyatakan bahwa keputusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan juga, tidak dibuat secara terpisah melainkan hanya dituliskan dalam berita acara persidangan saja. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan ada 2 (dua) macam putusan yaitu putusan sela dan putusan akhir.

1. Putusan Sela
Menurut H.Ridwan Syahrani (Zainuddin Mappong 2010 : 105), putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir, diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.

Mengenai Putusan sela disinggung dalam pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 48 RV. Menurut pasal tersebut, hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir ( eind vonnis ), yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan berlangsung. Namun, putusan ini tidak berdiri sendiri, tapi merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai pokok perkara. Jadi, hakim sebelum menjatuhkan putusan akhir dapat mengambil putusan sela baik yang berbentuk putusan preparatoir atau interlocutoir.

2. Putusan akhir

Menurut H.Ridwan Syahrani, putusan akhir ( eindvonnis ) adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu. Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkat pemeriksaan, yaitu pemeriksaan tingkat pertama di pengadilan negeri, pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi, dan pemeriksaan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Putusan akhir ditinjau dari segi sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas tiga macam (Sarwono 2011 : 212-213), yaitu:

  • Putusan Declaratoir
    Putusan declaratoir adalah putusan yang hanya menegaskan atau menyatakan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya: putusan tentang keabsahan anak angkat menurut hukum, putusan ahli waris yang yang sah, putusan pemilik atas suatu benda yang sah.

  • Putusan Constitutief (Pengaturan)
    Putusan Constitutief adalah putusan yang dapat meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya: putusan tentang perceraian, putusan yang menyatakan bahwa seseorang jatuh pailit, putusan tidak berwenangnya pengadilan menangani suatu perkara.

  • Putusan Condemnatoir (Menghukum)
    Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasi. Pada umumnya putusan condemnatoir ini terjadi disebabkan oleh karena dalam hubungan perikatan antara penggugat dan tergugat yang bersumber pada perjanjian atau undang-undang telah terjadi wanprestasi dan perkaranya diselesaikan di pengadilan.

Seperti yang kita semua ketahui, putusan hakim merupakan salah satu unsur terpenting yang terdapat di dalam proses berperkara ataupun bersengketa di Pengadilan. Sejatinya pihak-pihak yang memutuskan untuk berperkara dengan mengadakan proses penyelesaian sengketa di muka pengadilanm merupakan pihak-pihak yang memiliki tujuan untuk memperoleh suatu putusan hakim atas berbagai permasalahan yang dihadapinya. Artinya, dapat dilihat bahwa salah satu tujuan dari diadakannya proses di pengadilan adalah untuk mendapatkan suatu putusan dari hakim [1].

Putusan pengadilan atau putusan hakim dapat dikatakan sebagi hal yang dinantikan oleh pihak-pihak yang sedang bersengketa, karena putusan ini dapat menyelesaikan sengketa diantara keduanya dengan sebaik-baiknya. Karena putusan hakim merupakan kepastian hukum dan hasilnya merupakan keadilan dari keadaan yang mereka hadapi [2].

Menurut pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli maka putusan hakim memiliki pengertian yang beragam, pengertian tersebut akan dipaparkan dibawah ini:

  • Apabila kita menilik pendapat dari Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, maka putusan hakim adalah suatu pernyataan yang dinyatakan oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang yang diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara sengketa para pihak [3].
  • Meninjau arti putusan oleh Soeparmo, maka ia berpendapat bahwa putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang diberikan wewenang untuk itu yang dicapkan di persidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan perkara [4].
  • Menurut Mukti Arto maka ia berpendapat bahwa putusan adalah suatu pernyataan hakim yang dituangkan kedalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan (kontentius) [5].
  • Menilik dari pandangan Moh. Taufik maka ia memberi arti putusan hakim sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaiakan suatu perkara atau sengketa para pihak[6].
  • Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Rubini dan Chaidir, maka keduanya merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut sebagai vonis yang memuat kesimpulan-kesimpulan akhir serta memuat berbagai akibat yang timbul dari vonis itu sendiri.
  • Sedangkan apabila kita menilik pada penjelasan pasal dari UU No. 7 Tahun 1989 maka putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.

Agar hakim dapat memutuskan suatu putusan yang benar-benar dapat menciptakan kepastian hukum dan adil, maka sebagai hakim ia haruslah benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum mengatur yang akan diterapkan ke dalam kasus tersebut. Hal ini diperkuat dengan landasan hukum yang terdapat di dalam UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi sebagai berikut: “Bahwa hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1)).”

Referensi

[1] M. Nur Rasyid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2003, hlm 48.

[2] Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta, 2004, hlm 124.

[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm 174.

[4] Soeparmo, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm 146.

[5] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm 168.

[6] Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm 124.