Apa yang dimaksud dengan Psikologi Sastra?

PSIKOLOGI SASTRA

Menurut Ratna (240:350) psikologi sastra adalah analisa terhadap sebuah karya sastra dengan menggunakan pertimbangan dan relevansi ilmu psikologi. Ini berarti penggunaan ilmu psikologi dalam melakukan analisa terhadap karya sastra dari sisi kejiwaan pengarang, tokoh maupun para pembaca.

Wellek dan Austin (1989:90) menjelaskan bahwa psikologi sastra memiliki empat arti. Pertama, psikologi sastra adalah pemahaman kejiwaan sang penulis sebagai pribadi atau tipe. Kedua, pengkajian terhadap proses kreatif dari karya tulis tersebut. Ketiga, analisa terhadap hokum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Dan keempat, psikologi sastra juga diartikan sebagai studi atas dampak sastra terhadap kondisi kejiwaan daripada pembaca.

Pengertian Psikologi Sastra

Perkembangan kajian sastra yang bersifat interdisipliner telah mempertemukan ilmu sastra dengan berbagai ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antro- pologi, gender, dan sejarah. Pertemuan tersebut telah melahirkan berbagai macam pendekatan dalam kajian sastra, antara lain psikologi sastra, sosiologi sastra, antropologi sastra, kritik sastra feminis, dan new hystoricism.

Di samping itu, juga melahirkan berbagai kerangka teori yang dikembangkan dari hubungan antara sastra dengan berbagai disiplin tersebut, seperti psikoanalisis/psikologi sastra, psikologi pengarang, psikologi pembaca, sosiologi pengarang, sosiologi pembaca, sosiologi karya sastra, juga strukturalisme genetik, sosiologi sastra marxisme.

Dari uraian awal tersebut tampak bahwa psikologi sastra lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan menginterpretasikan karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologi.

Latar Belakang Muncul dan Berkembangnya Psikologi Sastra


Latar belakang munculnya pendekatan psikologi sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris, terutama The Inter- pretation of Dreaming (Penafsiran Mimpi) dan Three Contributions to a Theory of Sex (Tiga Karangan tentang Teori Seksualitas) dalam dekade menjelang perang dunia (Hardjana, 1984).

Pendekatan psikologi sastra antara lain dirintis oleh I.A. Richards, melalui bukunya yang berjudul Principles of Literary Criticism (1924). Dalam buku tersebut Richards mencoba menghubungkan kritik sastra dengan uraian psikologi sistematik. Dijelaskan olehnya pengertian hakikat pengalaman sastra yang terpadu, sebagaimana diajar- kan oleh psikologi Gestaltt dan pembaharuan bahasa kiritik sastra. Menurutnya, bahasa kritik sastra mendukung pandangan bahwa karya sastra sebagai suatu objek estetik tidak mempunyai pengaruh, sebab karya sastra tidak lain adalah sebuah pengalaman pribadi pembacanya (Hardjana, 1984).

Richards menentang idialisme estetik atau pendirian “seni untuk seni” dengan mementingkan daya komunikasi karya seni. Menurutnya, seni yang berarti hanyalah seni yang mampu berkomunikasi. Dalam hal ini nilai karya seni terletak pada kemampuannya menjalin sikap-sikap yang saling bertentangan secara efisien.

Oleh pandangannya tersebut, Richards disebut sebagai bapak poetika ketegangan oleh Wimsatt dan Brooks. Dalam hal ini karya seni (termasuk sastra) haruslah mendamaikan pertentangan atau nilai-nilai yang saling berlawanan, seperti baik >< buruk, jahat >< berbudi, dan sebagainya. Perdamaian nilai-nilai yang saling berlawanan itu jelas dalam ironi yang merupakan dasar utama bagi nilai poetik yang kemudian populer di kalangan kritikus sastra psikologi (Hardjana, 1984).

Kritikus lain yang mengikuti pendekatan psikologi sastra adalah Wordsworth, yang juga seorang penyair Romantik. Wordsworth menggunakan psikologi untuk menguraikan asal-usul (genetik) puisi. Bahkan dia berkeyakinan bahwa seni sastra hanya dapat didefinisikan lewat lewat pembeberan latar belakang psikologi (Hardjana, 1984). Dalam konteks sastra Indonesia apa yang dikemukakan oleh Wordsworth tersebut dapat ditemukan dalam puisi-puisi Chairil Anwar dan W.S. Rendra seperti telah dicontohkan sebelumnya.

Freud, sebagai seorang psikoanalis yang memiliki perhatian yang cukup besar terhadap karya sastra juga menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan diri penyairnya (Hardjana, 1984). Menurut Freud kreativitas seorang pengarang tidak lain adalah sebuah pelarian. Pendapat tersebut tampak pada kutipan berikut (Hardjana, 1984).

Seniman pada mulanya adalah seorang yang berpaling dari kenyataan hidup karena dia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri berhubungan adanya tuntutan akan kepuasan- kepuasan nalurinya yang tidak terpnuhi dan yang kemudian membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Dengan bakatnya yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.

Dalam catatan proses kreatifnya, sejumlah pengarang Indonesia (lihat Proses Kreatif , Eneste, ed., 2009) mengakui bahwa mereka menulis karya sastra karena memadukan realitas dengan imajinasinya. Pendapat Freud bahwa seorang pengarang menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru, yang bisa dipahami sebagai salah satu bentuk pelarian dari kenyataan yang sesungguhnya, ternyata secara nyata juga dialami oleh sejumlah pengarang Indonesia.

Kritikus lain yang menggunakan psikologi sastra adalah Carl G. Jung, dengan pendekatan mitos dan arketipe (keinsanan purba) (Hardjana, 1984). Dalam artikenya yang berjudul “On the Relation of Analytical Psychology to Poetics Art” (awal 1930-an), Jung beranggapan bahwa beberapa sajak mempunyai daya tarik khusus yang menggetarkan hati pembacanya. Rangsangan-rangsangan bawah sadar ini disebutnya “citra-citra dasar” ( primordial images ) atau “citra keinsanan purba” ( archetypal images ) yang terbentuk lewat pengalaman-pengalaman nenek moyang kita yang diwariskan sebagai bawah sadar kelompok ( collective unconscious ) yang menjiwai umat manusia dalam bentuk- bentuk mitos, agama, mimpi, angan-angan, dan sastra.

Seperti dikemukakan oleh Hardjana (1984) bahwa dalam kritik sastra istilah keinsanan purba di- maksudkan untuk menunjuk jenis atau tipe perwatakan, pola jalinan cerita, atau lukisan yang kerap berulang dalam sastra, cerita rakyat, yang dapat menggetarkan kegairahan hati pembaca karena menyentuh, memantul, dan bertepuk tangan dengan suatu citra yang sudah terdapat dan hidup dalam bawah sadar jiwa pembaca yang bersangkutan.

Untuk memberikan contoh hal tersebut dalam konteks pembaca Indonesia misalnya citra fisik dan perwatakan hantu misalnya digambarkan sebagai perempuan berambut panjang awut-awutan, berwajah cantik, tapi berpunggung bolong menganga (tokoh Kuntilanak) banyak ditemukan dalam teks-teks sastra dan film Indonesia.

Demikian juga citra tokoh hantu laki- laki (Genderuo) yang dibayangkan bertubuh besar seperti raksasa, dengan wajah jelek, mulutnya lebar, mata melotot, tubuhnya berbau tak sedap. Peringatan seperti, “Awas ada Genderuo!” atau “awas ada Kuntilanak!” langsung dapat dipahami oleh pendengar/pembacanya sebagai keadaan yang menakutkan karena di alam bawah sadarnya dia telah mengenal mitos hantu-hantu tersebut.

Hardjana (1984) mengemukakan bahwa pendekatan mitos dan arketipe dalam pembahasan sastra hanya sesuai dengan karya-karya sastra tertentu saja, seperti karya-karya yang bernafaskan keagamaan. Dalam konteks sastra Indonesia misalnya dapat ditemukan dalam puisi-puisi religius karya Amir Hamzah (“Padamu Jua”), Abdul Hadi W.M. (kumpulan puisi Meditasi ), dan Emha Ainun Nadjib (99 untuk Tuhanku ).

Amir Hamzah “PADAMU JUGA”

Habis kikis

Segera cintaku hilang terbang Pulang kembali aku padamu Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan Sabar, setia selalu

Satu kekasihku Aku manusia Rindu rasa Rindu rupa

Di mana engkau Rupa tiada Suara sayup

Hanya kata merangkai hati Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu Bertukar tangkap dengan lepas Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua Engkau pelik menarik ingin Serupa dara dibalik tirai Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu - bukan giliranku Matahari - bukan kawanku.

Diksi seperti kekasih, pelita, kandil kemerlap di malam sunyi, kerinduan yang mengarah pada kerinduan spiritual seorang makhluk kepada Tuhannya merupakan salah satu contoh citra keinsanan purba ( archetypal images ).

Wilayah Psikologi Satra


Wellek dan Warren (1990) mengemukakan bahwa psikokogi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian.

  1. Pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi.
  2. Kedua studi proses kreatif.
  3. Ketiga studi tipe dan hukum- hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
  4. Keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca.

Menurut Wellek dan Warren (1990) pengertian pertama dan kedua merupakan bagian dari psikologi seni, dengan fokus pada pengarang dan proses kreatifnya. Pengertian ketiga terfokus pada karya sastra yang dikaji dengan hukum-hukum psikologi. Pengertian keempat terfokus pada pembaca yang ketika membaca dan menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai situasi kejiawaan.

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam karyanya. Begitu pula dengan pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing.

Bahkan sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra juga mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah kedalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri imajiner kedalam teks sastra (Endrasswara, 2003).

Ratna (2013) mengutarakan jika psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis, akan tetapi lebih pada memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpanganpenyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psikis.

Sastra tidak mampu melepaskan diri dari aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra. Memasuki sastra akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah awal kehadiran psikologi sastra dalam penelitian sastra.

Psikologi Sastra

Psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis (Ratna, 2004: 344). Pada penelitian ini menggunakan cara yang kedua, yakni dengan menentukan sebuah karya sstra sebagai objek penelitian, kemudian menentukan teoriteori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.

Siswantoro (2004: 31), menyatakan sastra berbeda dengan psikologi sebab sebagaimana kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esay yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi merujuk pada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi jelas terlibat erat karena psikologi mempelajari perilakunya. Labih lanjut, Siswantoro (2004: 32) mengemukakan psikologi sastra mempelajari fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungannya, dengan demikian gejala kejiwaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh dalam sebuah karya sastra.

Sastra dan psikologi mempunyai hubungan fungsional yaitu sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, gejala dan diri manusia dalam sastra adalah imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil (nyata). Keduanya dapat saling melengkapi dan mengisi untuk memperoleh pemaknaan yang mendalam terhadap kejiwaan manusia (Nawang, 2007: 23).

Psikologi ditafsirkan sebagai lingkup gerak jiwa, konflik batin tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra secara tuntas. Dengan demikian, pengetahuan psikologi dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam menelusuri sebuah karya sastra secara tuntas (Darmanto, 1985: 164).

Sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan, yaitu

(1) pendekatan ekspresif, yaitu aspek psikologi kajian penulis dalam proses kreativitas yang terproyeksi lewat karya sastra

(2) pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra

(3) pendekatan reseptif pragmatik yang mengkaji aspek psikologi pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya yang dinikmatinya serta proses kreatif yang ditempuh dalam menghayati teks (Aminuddin, 1990: 89).

Referensi

http://eprints.ums.ac.id/2354/1/A310040035.pdf