Psikologi positif mulai muncul dan berkembang pasca perang dunia kedua. Pada saat itu, psikologi positif lebih memfokuskan pada penyakit mental korban perang dan membantu para korban untuk mengembalikan kesejahteraan hidupnya yang lebih bermakna dan ke arah yang lebih posistif.
Sebelum perang dunia kedua, menurut Seligman terdapat tiga pokok tujuan psikologi, yaitu menyembuhkan penyakit mental, mengembangkan potensi individu, dan membuat kehidupan normal yang bermakna.
Setelah perang dunia kedua, terjadi pergeseran paradigma dan prioritas tujuan di mana psikologi lebih memfokuskan terhadap penyembuhan penyakit mental karena akibat perang tersebut banyak sekali korban yang meninggal ataupun yang mengalami trauma. Dengan latar belakang inilah menyebabkan munculnya psikologi positif untuk mengembalikan tiga tujuan utama yang tidak sematamata hanya untuk penyembuhan penyakit mental saja. Tetapi juga mengembangkan potensi dan membuat kehidupan manusia lebih bermakna, terutama pasca perang kedua. Psikologi positif juga fokus pada upaya mengembangkan, menciptakan, dan menemukan suatu situasi yang positif ke arah lingkungan yang dapat menciptakan kekuatan bagi individu itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan setiap manusia berbeda-beda, mulai dari kebutuhan individual atau kelompok.
Sebagai contoh untuk saat ini psikologi positif dapat diwujudkan dengan konseling untuk membantu mengarahkan individu ke arah yang positif dari lingkungannya maupun dari dalam diri individu itu sendiri. Sebab dengan berpikir positif dan memiliki emosi yang positif, maka manusia dapat terhindar dari emosi negatif yang membawa dampak tidak baik bagi fisik maupun psikologis. Mungkin dulu konseling hanya pada setting klinis dan sosial yaitu membantu korban yang mengalami trauma pasca perang kedua, tapi kini hal tersebut bisa terlibat dalam setting klinis, sosial, pendidikan, dan industri organisasi.
Pada tahun 1988, Martin Seligman yang juga merupakan Presiden APA (American Psychological Association), seorang psikolog pakar studi optimisme, mempelopori revolusi dalam bidang psikologi melalui gerakan psikologi positif. Berlawanan dengan psikologi negatif, ilmu pengetahuan baru ini mengarahkan perhatiannya pada sisi positif manusia, mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan, sehingga membuahkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Psikologi positif mengkaji tentang kekuatan dan kebajikan yang bisa membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi berhasil dalam hidup atau meraih tujuan hidupnya, sehingga ia menjadi bahagia. Salah satu pusat perhatian utama dari cabang psikologi ini adalah pencarian, pengembangan kemampuan, bakat individu atau kelompok masyarakat, dan kemudian membantunya untuk mencapai peningkatan kualitas hidup (dari normal menjadi lebih baik, lebih berarti, lebih bahagia).
Bila dilihat dari rumpun ilmu psikologi positif berakar pada aliran psikologi humanistik. Abraham Maslow, Carl Rogers dan Erich Fromm adalah para tokoh psikologi humanis yang telah dengan gemilang mengembangkan penelitian, praktik dan teori tentang kebahagiaan atau kehidupan individu yang positif. Upaya ini kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh para ahli dan praktisi psikologi positif untuk terus mencari fakta empirik dan fenomena baru untuk mengukuhkan hasil kerja para psikolog humanis. Salah satu teori yang dikemukakan oleh psikologi positif adalah self-determination theory.
Jika ditelusuri lebih jauh ke belakang, pengaruh-pengaruh yang ikut andil dalam lahirnya cabang psikologi positif ini berasal dari ilmu filsafat dan agama. Jauh sebelum psikologi moderen muncul di akhir abad ke XIX. Socrates, misalnya, berpendapat bahwa pengetahuan diri (self knowledge) adalah jalan menuju kebahagiaan. Selanjutnya, Aristoteles percaya bahwa kebahagiaan atau eudaimonia terjadi jika kegiatan-kegiatan rasional selaras dengan tata nilai (individu atau masyarakat).
Munculnya era renaissance telah menempatkan manusia sebagai fokus dan sesuatu yang sangat bernilai. Akibatnya, orangorang kreatif memiliki prestise atau nilai lebih di mata masyarakat. Para pemahat, pelukis, musisi, tidak lagi dianggap hanya sebagai pekerja seni, melainkan sebagai artis. Ahli filsafat seperti John Stuart Mill percaya bahwa bagi kebanyakan orang, tindakan moral akan bisa menimbulkan atau meningkatkan kebahagiaan hidup. Oleh karenanya ilmu pengetahuan tentang kebahagiaan harus dimanfaatkan untuk menentukan perbuatan-perbuatan apakah yang termasuk dalam tindakan (ber) moral.
Referensi
http://eprints.umpo.ac.id/4615/1/4.%20Psikologi%20positif_lengkap.pdf