Apa yang dimaksud dengan Psikologi Forensik?

psikologi forensik

Psikologi forensik adalah salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari subyek dari segi kognitif, afektif dan perilaku dalam kaitannya dengan proses hukum. Dengan kata lain, psikologi forensik merupakan titik temu antara bidang psikologi dan bidang penegakan hukum.

Orientasi psikologi forensik yang bersifat klinis adalah faktor yang membedakannya dari psikologi hukum, yang lebih berfokus pada aspek-aspek eksperimental. Bersama-sama, kedua disiplin ilmu ini masuk dalam kategori bidang ilmu yang lebih besar, yang secara umum lebih dikenal sebagai “Psikologi dan Hukum”. Meskipun merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi forensik sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang.

Forensik dalam Tinjauan Psikologi

Psikologi secara umum dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku manusia. Psikologi berusaha memahami bagaimana manusia berpikir (think), merasa (feel) dan bertindak (act).

Psikologi modern pada saat sekarang ini juga mengalami kemajuan pesat dan berkembang ke dalam sub-sub disiplin dalam psikologi. Banyak cabang psikologi seperti; psikologi sosial, psikologi politik, psikologi lingkungan, psikologi pendidikan, psikologi klinis, dan sebagainya. Psikologi forensik seperti yang sudah disinggung di atas lahir sebagai sebagai respon psikologi dalam bidang hukum (psychology and law).

Ada dua bidang ilmu dalam bidang psikologi yang banyak mempunyai irisan dan kadang-kadang dipertukarkan satu sama lain. Pertama adalah criminology psychology atau psychology of crime, atau dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai Psikologi Kriminal.

Bidang ilmu ini mempelajari seluk-beluk mengapa orang melakukan kejahatan. Fokus psychology of crime adalah mencari tahu mengapa orang melakukan kejahatan dari perspektif ilmu perilku (psikologi). Bidang studi ini lebih dekat pada kriminologi daripada ilmu forensik.

Sementara itu, di sisi lain ada lagi yang disebut sebagai Psikologi Forensik. Psikologi Forensik bergerak ke arah lain, bukan lagi pada sekadar mencari sebab musabab orang melakukan perbuatan kriminal, melainkan membantu proses pengadilan dalam proses pembuktian. Psikologi akan menggunakan seluruh ilmu tentang perilaku manusia yang di punyai untuk memberikan bukti, misalnya apakah perkataan seseorang bohong atau tidak bohong.

Apakah terdapat bukti psikologik yang absah bahwa seseorang mengidap kelainan atau patologis mental tertentu?

Seorang psikolog forensik akan diminta bantuannya oleh aparat hukum untuk menyediakan bukti, data (bisa dari test, wawancara, observasi), dan analisis keilmuannya dalam bentuk testimoni keahlian (expert testimony) di depan pengadilan.

Peran psikologi dalam bidang peradilan dibandingkan kontribusi ilmu- ilmu lain seperti; kimia, fisika, teknologi, dan terutama kedokteran, boleh dikatakan relatif baru dan masih jarang. Di negara yang diangap perkembangan sainsnya sangat maju seperti di USA, bahkan psikolog pertama yang diizinkan bersaksi di pengadilan baru pada tahun 1921, pada kasus Negara Vs Driver (Johnson, Schopp, & Shigaki, 2000).

Pada era sebelum itu urusan penentuan status kesehatan mental hanya boleh dilakukan oleh seorang dokter atau psikiater. Superioritas ilmu “hard sciences” ini terhadap psikologi forensik kelihatan jelas bahkan sampai sekarang ini seperti dikatakan Dorsten (2004). Keraguan terhadap metode psikologi dilandaskan pada metodenya yang tidak memperlihatkan bukti fisik yang robust seperti halnya ilmu alam, yang masih memperbolehkan mazhab intepretif dalam metode analisisnya.

Sebenarnya psikologi boleh dikatakan sudah relatif lebih maju dibandingkan ilmu sosial lainnya dalam hal pengukuran (measurement) . Namun, karena yang diukur adalah konstrak yang tidak terlihat (intangible), masih banyak kalangan yang meragukan objektivitasnya. Persoalannya adalah hasil pengukuran psikologik masih terikat pada kelompok, waktu dan budaya tertentu yang dalam hal masih menjadi persoalan dalam soal universalitas dan objektivitas hasil penialaian psikologik tersebut.

Kontribusi psikologi dalam bidang forensik sebenarnya mencakup area kajian yang sangat luas, yakni :

  1. Membuat kajian tentang profil para pelaku kejahatan (offender profilling)
  2. Mengungkap dasar neuropsikologik, genetik, dan proses perkembangan pelaku, saksi mata (eyewitness),
  3. Mendeteksi kebohongan
  4. Menguji kewarasan mental(soal penyalahgunaan obat dan zat adiktif, kekerasan seksual, kekerasan domestik, soal perwalian anak, dan juga soal rehabilitasi psikologis di penjara).

Dengan begitu luasnya cakupan kontribusi psikologi dalam bidang forensik, subbidang ilmu ini sebenarnya sangat menjanjikan baik bagi karier akademis ataupun profesional praktisioner dalam bidang ini.

Psikologi forensik adalah penelitian dan teori psikologi yang berkaitan dengan efek-efek dari faktor kognitif, afektif, dan perilaku terhadap proses hukum.

Praktek psikologi forensik banyak dijumpai dalam proses pengusutan dan pengolahan kasus-kasus hukum dan tindak kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, money laundering, dan sebagainya.

Para praktisi psikologi forensik biasanya dilibatkan ke dalam tim detektif maupun kepolisian untuk membantu menyelidiki dan melakukan asasmen terhadap perilaku para tersangka, pelaku, dan juga perilaku korban (apabila masih hidup) dengan tujuan agar proses hukum dapat berjalan secara lancar dan menghasilkan sebuah keputusan peradilan yang seutuhnya.

Dalam praktek psikologi forensik, para pakar psikologi forensik melakukan pengkajian terhadap motif para pelaku dengan melakukan berbagai macam tes psikologi seperti tes-tes yang menggunakan prinsip neuropsikologi untuk mengetahui kerusakan otak, retardasi mental, fungsi intelektual, gangguan mental, atau trauma. Selain itu tes kepribadian juga merupakan tes dasar yang digunakan dalam psikologi forensik yang bertujuan untuk mengetahui karateristik dasar individu-individu yang terlibat dalam sebuah kasus hukum.

Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang dewasa. Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah, universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum.

Dalam psikologi forensik, bidang psikologi yang secara mendasar digunakan dalam prakteknya adalah psikologi klinis. Hal ini berkaitan dengan sejarah awal psikologi forensik pada tahun 1901. Pada tahun 1901, seorang ilmuwan psikologi klinis bernama William Stern meneliti ketepatan ingatan orang sebagai suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Sigmund Freud menguatkan praktek yang dilakukan oleh William Stern dengan mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan pada hukum.

Sejak saat itu, ilmu psikologi mulai secara konsisten diaplikasikan ke dalam berbagai proses atas kasus hukum. Dalam perjalanannya, masuknya praktek psikologi ke dalam bidang hukum menemui berbagai macam dinamika serta pro dan kontra. Beberapa tokoh hukum menganggap masuknya praktek psikologi ke dalam sebuah proses hukum dianggap tidak relevan, dan lebih cenderung menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam membantu menyelesaikan sebuah kasus hukum.

Seiring dengan dinamikan jaman dan segala tekanan sosial di dalamnya, semakin banyak kasus hukum yang terjadi berlatarkan oleh ketertekanan psikis dan mental. Hal ini membuat para psikolog kini selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di samping itu, para ahli di bidang psikologi forensik juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum.

Brigham (dalam Sundberg dkk) mendefinisikan psikologi forensik adalah sebagai aplikasi yang sangat beragam dari ilmu psikologi pada semua isu hukum atau sebagai aplikasi yang sempit dari psikologi klinis pada sistem hukum.

Dalam Webster’s New World Dictionary (1988) (dalam Sundberg dkk, 2007) mendefinisikan psikologi forensik adalah sesuatu yang khas atau yang pas, untuk peradilan hukum, perdebatan publik, atau argumentasi formal yang menspesialisasikan diri atau ada hubungannya dengan aplikasi pengetahuan ilmiah, terutama pengetahuan medis, pada masalah-masalah hukum, seperti pada investigasi terhadap suatu tindak kejahatan.

Sedangkan Rizky (2009) mendefinisikan psikologi forensik, semua pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional, forensik, dan badan-badan administratif, yudikatif, dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas yudisial.

Ruang Lingkup Bidang Psikologi Forensik

Kalangan para psikolog forensik (dalam Sunbreg dkk, 2007) mengatakan bahwa yang menjadi eksplorasi psikologi forensik dikelompokkan menjadi bagian antara lain:

  1. Psychology of criminal conduct (psikologi perbuatan kriminal), psychology of criminal behavior (psikologi perilaku kriminal), criminal psychology (psikologi kriminal), semua berhubungan dengan psychological study of crime (kajian psikologis tentang kriminalitas/ kejahatan).

  2. Forensic clinical psychology (psikologi klinis forensik), correctional psychology (psikologi koreksional), assesment dan penanganan atau rehabilitasi perilaku yang tidak diinginkan secara sosial.

  3. Mempelajari tentang metode atau teknik yang digunakan oleh badan kepolisian, antara lain police psychology (psikologi polisi), behavioral science (ilmu perilaku), dan investigative psychology (psikologi penyelidikan).

  4. Bidang psychology and law (psikologi dan hukum) terutama difokuskan pada proses persidangan hukum dan sikap serta keyakinan partisipannya.

Sirkulasi Fase-fase Psikologi Forensik

Sunbreg dkk (2007) menyatakan bahwa psikologi forensik dapat dilihat sebagai bidang yang terdiri atas tiga tipe dasar yang berkorespodensi dengan fase-fase sistem hukum kriminal (pidana), hukum sipil, atau hukum preventif. Fase-fase klasifi kasi psikologi forensik saling berhubungan secara sirkuler antara lain: kegiatan investigatif menghasilkan respons-respons ajudikatif, yang menghasilkan ukuran-ukuran untuk mencegah perilaku tak diinginkan yang lebih jauh, dan preferensi akan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang perlu diinvestigasi.

Sirkulasi yang saling berhubungan antara fase-fase klasifi kasi psikologi forensik dijelaskan oleh Sunbreg dkk (2007) pada gambar di bawah ini:

image