Apa yang dimaksud dengan Psikologi Evolusioner?

Psikologi evolusioner

Psikologi evolusioner (evolutionary psychology) adalah cabang ilmu psikologi yang mencoba mempelajari potensi peran dari faktor genetis dalam beragam aspek dari perilaku manusia. Psikologi evolusioner menyatakan bahwa manusia, seperti makhluk hidup lainnya di planet bumi ini, telah mengalami proses evolusi biologis selama sejarah keberadaannya, dan dari hasil proses ini manusia sekarang memiliki sejumlah besar mekanisme psikologis yang merupakan hasil evolusi yang membantu manusia untuk tetap hidup atau mempertahankan keberadaannya

Psikologi evolusioner adalah satu pendekatan terhadap psikologi yang menerapkan pengetahuan-pengetahuan dan prinsip-prinsip biologi evolusioner untuk meneliti struktur pikiran manusia (Cosmides & Tooby, 1997). Menurut Cosmides dan Tooby (1997) psikologi adalah cabang biologi yang mempelajari (a) otak, dan (b) bagaimana program-program pemrosesan informasi otak memunculkan perilaku. Oleh karena psikologi adalah cabang biologi, maka teori-teori, prinsip-prinsip serta observasi-observasi dalam biologi evolusioner dapat dipergunakan untuk mempelajari psikologi. Evans & Zarate (1999) merumuskan psikologi evolusioner sebagai kombinasi dua ilmu, yakni biologi evolusioner dan psikologi kognitif.

Psikologi evolusioner mulai ditempatkan sebagai salah satu pendekatan atau perspektif yang penting dalam psikologi secara umum (Baron, 1996), psikologi sosial (Archer, 1996), psikologi perkembangan (Bjorklund & Pellegrini, 2000), psikologi kepribadian (Buss, 1995) psikologi belajar (Hergenhahn & Olson, 2001), psikologi kognitif (Solso, 1998), dan psikologi perbedaan antara pria dan wanita (Buss, 1995).

  • Baron (1996) memasukkan psikologi evolusioner sebagai salah satu perspektif dalam mempelajari perilaku disamping perspektif behavioral, kognitif, psikodinamik, humanistik, biopsikologis, dan sosiokultural.

  • Hergenhahn dan Olson (2001) menambahkan paradigma evolusioner ke dalam teori-teori belajar masa kini selain paradigma fungsionalistik, asosiasionistik, kognitif, dan neurofisiologis.

  • Solso (1998) menamai pendekatan psikologi evolusioner dalam psikologi kognitif sebagai bionomik kognitif. Bionomik kognitif menyatakan bahwa kognisi manusia seperti persepsi, memori, bahasa, berfikir itu harus dipahami dalam konteks evolusi fisik dan sosial manusia.

  • Bjorklund & Pellegrini, (2000) menyimpulkan bahwa perspektif evolusioner sangat penting untuk ilmu psikologi perkembangan baru.

Kemunculan psikologi evolusioner didorong oleh keprihatinan bahwa perkembangan teori-teori psikologi sedang dalam situasi morat-marit (Buss, 1995). Secara lebih khusus, Buss menjelaskan bahwa cabang-cabang psikologi seperti psikologi kognitif, psikologi sosial, psikologi perkembangan, psikologi kepribadian, dan psikologi budaya berkembang terpisah satu sama lain. Para pakar psikologi dari satu cabang psikologi saja bahkan tidak mampu mencapai konsensus. Teori-teori skala mini makin menjamur namun teori-teori tadi tak berkaitan satu sama lain. Masing- masing teori hanya mampu menjelaskan serangkaian gejala tertentu. Meskipun pakar psikologi memiliki asumsi bahwa pikiran manusia merupakan suatu kesatuan yang bersifat menyeluruh dan terpadu, namun belum ada satu metateori yang memadukan, menyatukan atau menghubungkan berbagai gejala yang berbeda yang diteliti oleh ahli psikologi. Psikologi evolusioner akan menjadi satu paradigma teoretis baru yang menawarkan satu metateori bagi psikologi ( Buss, 1995).

Psikologi evolusioner juga merupakan kritikan terhadap Model Ilmu Sosial Standar (Standard Social Science Model, SSSM) yang dianggap ortodoks (Archer, 1996; Cosmides & Tooby, 1997). SSSM mengibaratkan pikiran manusia sebagai tabula rasa, satu kotak kosong yang tidak berisi apa-apa sampai pengalaman akan mengisinya. Metafora mengenai pikiran manusia telah berubah dari kotak kosong ke switchboard dan kini sebuah komputer, namun isi pikiran tetaplah ditentukan oleh sesuatu dari luar, yakni dari lingkungan dan dunia sosial. SSSM juga berpandangan bahwa arsitektur pikiran manusia didominasi oleh sejumlah mekanisme yang bersifat general-purpose dan content-independent atau domain-general. Mekanisme yang bersifat general-purpose itu diantaranya adalah belajar, induksi, inteligensi, imitasi, rasionalitas, dan budaya. Psikologi evolusioner mencoba mengganti SSSM dengan menunjukkan bahwa pikiran manusia terdiri dari sejumlah besar mekanisme yang secara fungsional bersifat khusus dan domain specific.

Prinsip-Prinsip Utama Psikologi Evolusioner


Psikologi evolusioner memiliki sejumlah prinsip yang penting. Prinsip-prinsip utama tersebut akan dijelaskan dibawah ini dengan mengambil sumber utama dari tulisan Buss (1995), Buss, Haselton, Shackelford, Bleske, & Wakefield (1998) dan Cosmides & Tooby (1997).

Seleksi alamiah (natural selection)

Proses evolusi adalah perubahan-perubahan struktur organisme sepanjang waktu. Perubahan-perubahan tersebut dilandasi oleh sebuah mekanisme yang bersifat kausal, yakni seleksi alamiah. Seleksi alamiah mempunyai tiga unsur, yaitu :

  • Variasi ( variation ). Hewan dalam satu spesies yang sama dapat bervariasi dalam berbagai cara, misalnya dalam hal panjang sayap, struktur sel, kemampuan berkelahi dan sebagainya,

  • Warisan ( inheritance ), hanya sejumlah variasi yang akan diwariskan secara ajeg dari orangtua kepada keturunannya. Variasi-variasi lain tidak akan diwariskan kepada keturunan. Hanya variasi yang diwariskan saja yang akan berperan dalam proses evolusi.

  • Seleksi ( selection ). Organisme yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang dapat diwariskan akan memproduksi lebih banyak keturunan dibandingkan dengan organisme yang kurang memiliki sifat-sifat yang dapat diwariskan oleh karena sifat-sifat tersebut membantu memecahkan problem khusus dan dengan demikian memberi sumbangan kepada reproduksi dalam satu lingkungan tertentu (Buss et al ., 1998).

Sirkuit syaraf didesain oleh seleksi alamiah untuk memecahkan problem yang dihadapi nenek moyang selama sejarah evolusioner spesies (Cosmides & Tooby, 1997). Satu problem yang harus dipecahkan berkaitan dengan kelangsungan hidup ( survival), misalnya problem “Makanan apa yang harus dimakan?”. Orang memiliki banyak pilihan makanan: ada padi, buah-buahan, kacang, dan daging tetapi ada juga daun-daunan, batu, tanaman beracun, bangkai busuk, dan kotoran.

Cosmides & Tooby (1997) memberikan ilustrasi mengenai perilaku lalat dan manusia terhadap kotoran. Perilaku lalat dan manusia akan berbeda saat menghadapi seonggok kotoran bau. Seonggok kotoran akan menjadi tempat bagi lalat betina untuk menempatkan telur. Lalat jantan akan suka terbang mengitari onggokan kotoran oleh karena mereka dapat memperoleh pasangan di tempat itu. Sebaliknya, seonggok kotoran bau akan menimbulkan rasa jijik serta dihindari oleh manusia karena kotoran itu dapat merupakan sumber penyakit. Seleksi alamiah dalam kasus ini dapat digambarkan sebagai prinsip “jika makan kotoran, maka akan mati”.

Sejumlah orang yang memiliki sirkuit syaraf yang membuat kotoran terasa manis akan suka memakan kotoran. Akibatnya, mereka akan terkena penyakit dan kemudian meninggal. Orang-orang yang memiliki sirkuit syaraf yang menyebabkan mereka menghindari makan kotoran, akan lebih sedikit peluangnya untuk sakit dan akan hidup lebih panjang.

Jumlah pemakan kotoran akan tinggal sedikit pada generasi selanjutnya dan lama kelamaan akan hilang dari populasi. Tidak ada lagi orang-orang yang memiliki sirkuit syaraf yang membuat kotoran terasa lezat. Populasi akan diisi oleh orang yang menghindari kotoran dan menyukai makanan yang kaya gula dan lemak. Preferensi orang terhadap makanan yang mengandung banyak gula dan lemak itulah disebut sebagai mekanisme psikologis. Dengan kata lain, mengapa manusia memiliki sekumpulan sirkuit syaraf tertentu adalah karena sirkit yang dimiliki lebih baik dalam memecahkan problem adaptif yang dihadapi nenek-moyang kita dulu selama sejarah evolusioner spesies dibandingkan dengan sirkuit syaraf lain.

Manusia juga menghadapi problem adaptif yang berkaitan dengan reproduksi. Salah satu problem adaptif itu menyangkut memilih seorang wanita yang subur. Orang-orang jaman dulu yang menikahi wanita tidak subur akan gagal bereproduksi. Sebaliknya, orang-orang yang menikahi wanita subur akan berhasil dalam bereproduksi. Selama beribu-ribu generasi kemudian akan muncullah secara evolusioner preferensi pria terhadap wanita yang subur. Lebih tepatnya, preferensi dan ketertarikan pria terhadap tanda-tanda pada diri wanita yang berkorelasi secara reliabel dengan fertilitas (Buss & Schmitt, 1993).

Proses seleksi alamiah diibaratkan bekerja seperti sebuah penyaring (Buss et al. , 1998). Variasi-variasi yang menghambat solusi yang sukses terhadap problem adaptif akan dibuang; sementara itu variasi-variasi yang memberi sumbangan pada solusi sukses terhadap problem adaptif akan berhasil masuk lewat saringan selektif. Selama beberapa generasi, proses penyaringan akan cenderung memproduksi dan mempertahankan karakteristik-karakteristik yang berinteraksi dengan lingkungan fisik, sosial dan internal yang mempromosikan reproduksi individu yang memiliki karakteristik-karakterisitik tersebut. Karakteristik-karakteristik inilah yang dinamakan adaptasi.

Adaptasi (adaptation)

Adaptasi adalah produk proses evolusioner. Adaptasi adalah satu karakteristik yang berkembang secara reliabel dan dapat diwariskan yang muncul menjadi satu ciri satu spesies melalui seleksi alamiah oleh karena karakteristik tersebut membantu secara langsung atau tidak langsung untuk memfasilitasi reproduksi selama periode evolusinya (Buss et al., 1998). Fungsi adaptasi adalah untuk memecahkan satu problem adaptif. Pengertian adaptasi dalam psikologi evolusioner ini berbeda dengan pengertian adaptasi yang umum dipakai oleh psikologi. Pengertian umum adaptasi biasanya menunjuk pada pengertian yang menyangkut kebahagiaan pribadi, kesesuaian sosial, kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah atau kesejahteraan hidup.

Adaptasi merupakan karakteristik yang bersifat dapat diwariskan. Adaptasi diturunkan oleh orang tua kepada anak keturunan. Agar supaya adaptasi dapat diwariskan kepada keturunan maka perlu ada gen adaptasi. Meskipun adaptasi merupakan karakteristik yang diwariskan, faktor lingkungan mungkin memainkan peranan penting dalam perkembangan ontogenetiknya (Buss et al, 1998).

Satu karakteristik dinilai sebagai adaptasi jika memenuhi dua kriteria (Buss et al ., 1998), yakni (a) karakteristik tersebut harus secara ajeg muncul dalam bentuk yang lengkap pada saat yang tepat dalam kehidupan organisme, (b) karakteristik itu merupakan karakteristik yang tipikal dari semua atau kebanyakan anggota spesies.

Adaptasi tidak selalu harus ada pada saat kelahiran. Misalnya, gerakan dengan dua kaki merupakan satu karakteristik yang berkembang secara ajeg dari manusia, namun kebanyakan manusia baru mampu berjalan dengan dua kaki pada usia setahun.

Mekanisme psikologis hasil evolusi (evolved psychological mechanism)

Semua perilaku yang kasat-mata akan dilandasi oleh mekanisme psikologis selain oleh input (Buss, 1995). Misalnya, jika seorang anak dan seorang dewasa merespons secara berbeda stimulus yang sama, maka hal ini disebabkan karena mereka memiliki mekanisme psikologis yang berbeda. Contoh lain, jika seorang pria dan wanita mempunyai respons yang berbeda terhadap stimulus yang sama, hal itu disebabkan karena pria dan wanita memiliki mekanisme psikologis yang berbeda. Mekanisme fisiologis dan juga psikologis merupakan hasil proses evolusi dengan cara seleksi alami.

Buss (1995) merumuskan mekanisme psikologis sebagai sekumpulan proses didalam diri organisme yang :

  • ada dalam bentuk yang sekarang ini oleh karena mekanisme ini memecahkan satu problem khusus dari keberlangsungan hidup atau reproduksi individu secara berulang kali sepanjang sejarah evolusioner manusia,

  • hanya mengambil informasi atau input tertentu yang dapat bersifat internal atau eksternal, dapat disarikan secara aktif atau diterima secara pasif dari lingkungan, dan menetapkan bagi individu problem adaptif tertentu yang dihadapinya, dan

*mengubah informasi menjadi output melalui satu prosedur dimana output nya akan mengatur aktivitas fisiologis, memberikan informasi pada mekanisme psikologis lain atau menghasilkan tindakan, dan memecahkan satu problem adaptif tertentu.

Salah satu tugas utama psikologi evolusioner adalah mengidentifikasikan, menggambarkan dan memahami mekanisme psikologis. Fungsi mekanisme psikologis adalah memecahkan problem adaptif khusus yang telah didesain oleh proses seleksi alami (Buss, 1995). Tabel berikut ini merupakan contoh beberapa kandidat mekanisme psikologis dengan kemungkinan fungsinya.

Tabel Mekanisme psikologis yang berevolusi: ilustrasi Mekanisme psikologis Fungsi Pengarang
image
Sumber : Buss, D. M. 1995. Evolutionary Psychology: A New Paradigm for Psychological Science. Psychological Inquiry , vol 6, No. 1, p. 6).

Sebagai contoh, dari tabel di atas terdapat kecenderungan manusia untuk merasa takut terhadap ular. Kecenderungan rasa takut terhadap ular ada dalam bentuk seperti yang sekarang ini oleh karena kecenderungan itu memecahkan problem khusus bagi kelangsungan hidup dalam lingkungan manusia jaman dahulu. Rasa takut itu akan dipicu hanya oleh input-input yang cakupannya sempit, seperti sesuatu yang panjang, melata, dan oleh individu dipersepsikan dalam jarak menyerang. Jika seekor ular dipersepsikan berbahaya dan berada dalam jarak serangan, maka informasi ini akan ditransformasi melalui aturan-aturan keputusan yang mengaktifkan aktivitas-aktivitas fisiologis seperti misalnya gerakan syaraf otonom. Output terakhir adalah perilaku yang muncul seperti melarikan diri atau diam tak berdaya. Perilaku tersebut dalam lingkungan masa lalu telah memecahkan problem kelangsungan hidup adaptif dengan mengurangi risiko gigitan ular yang bisa mematikan.

Mekanisme psikologis berjumlah banyak, bersifat kompleks, serta domain- spesific (Buss, 1995a, h. 7; Cosmides & Tooby, 1997). Problem adaptif yang dihadapi manusia di masa lalu akan bersifat kompleks, berjumlah banyak dan akan berbeda satu sama lain. Misalnya, rasa takut terhadap ular akan memecahkan problem adaptif dalam menghindari risiko lingkungan yang berbahaya dan bukan untuk memecahkan problem adaptif dalam memilih makanan yang harus dikonsumsi. Problem adaptif yang berbeda akan memiliki solusi adapatif yang berbeda pula.

Secara prinsip, tidak ada mekanisme psikologis yang bersifat domain-general , yaitu satu mekanisme yang dapat digunakan dalam semua domain adaptif (bisa digunakan untuk menghindari ular vs mencari pasangan hidup), oleh semua umur (pada masa anak vs remaja), oleh semua jenis kelamin (pria vs wanita) dan di bawah semua kondisi individual (dalam kondisi tekanan sosial vs tidak ada tekanan sosial). Buss (1995) memberi ilustrasi bahwa keahlian seorang tukang kayu tidak terbentuk karena ia memiliki satu kemampuan yang bersifat domain-general atau kemampuan serba-guna untuk memotong, menggergaji, memasang sekrup, memukul dengan palu, namun karena ia mempunyai banyak ketrampilan khusus. Cosmides dan Tobby (1997) memberikan analogi tentang jantung dan hati. Memompa darah dan mendetoksifikasi racun dalam tubuh adalah dua problem yang berbeda. Desain jantung mempunyai tugas khusus untuk memompa darah, sedangkan desain hati dikhususkan untuk mendetoksifikasi racun. Jantung tidak bisa dipakai untuk mendetoksifikasi racun, dan sebaliknya hati tidak bisa digunakan sebagai pemompa darah. Dengan alasan yang sama, pikiran manusia terdiri dari sejumlah besar sirkuit syaraf yang fungsinya terspesialisasi. Pikiran manusia terdiri dari modul-modul khusus. Secara empiris mekanisme yang bersifat domain-general telah sering dilanggar.

Misalnya dalam bidang psikologi belajar, Breland dan Breland (1968) menemukan bahwa beberapa binatang sulit dilatih untuk melakukan kondisioning operan. Misalnya, seekor raccoon sulit dilatih untuk memasukkan uang koin kedalam celengan (tempat menabung) meskipun setiapkali dia memasukkan koin itu dia mendapat makanan sebagai hadiah. Biasanya, raccoon akan menggosok-gosok koin itu dan tidak akan memasukkannya kedalam celengan (1968).

Sebagai kesimpulan, psikologi evolusioner berasumsi bahwa karena (a) problem adaptif itu banyak dan berbeda, (b) solusi yang sukses untuk satu problem adaptif berbeda dari solusi yang sukses untuk problem adaptif lainnya, dan © kesuksesan akan tergantung pada spesies, usia, jenis kelamin, konteks, dan kondisi individual, maka mekanisme psikologis untuk memecahkan problem akan sangat bervariasi dan kompleks (Buss, 1995).

Banyak problem adaptif yang penting pada manusia bersifat sosial. Problem untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dan bereproduksi yang dihadapi manusia banyak yang secara inheren bersifat sosial (Buss, 1998, h. 9). Misalnya, kompetisi intraseksual yang sukses, pemilihan pasangan, cara menarik pasangan, hubungan seksual, membentuk persahabatan antara dua orang yang bersifat timbal- balik, membentuk dan mempertahankan koalisi, mempertahankan reputasi dan prestise, pengasuhan anak dan sosialisasi. Masing-masing problem adaptasi sosial tersebut akan mengandung sejumlah subproblem. Misalnya, untuk membentuk persahabatan antara dua orang yang bersifat timbal balik, maka seseorang harus mengidentifikasi sumberdaya penting yang dimiliki calon-calon sahabat itu, mengukur pribadi mana yang memiliki sumber daya penting tersebut, menjadikan nilai-nilai sahabat itu sebagai model bagi diri kita, memprakarsai rangkaian hubungan timbal- balik, mendeteksi tanda-tanda hubungan yang tak timbal-balik. Oleh karena problem adaptif yang bersifat sosial berperan penting bagi kelangsungan hidup dan reproduksi manusia, maka banyak pula mekanisme psikologis yang bersifat sosial yang dihasilkan oleh proses evolusi.

Peran sentral konteks dalam psikologi evolusioner


Psikologi evolusioner memberikan peran penting bagi faktor lingkungan, situasional dan kontekstual (Buss, 1995). Salah satu peran itu disebut sebagai konteks selektif kesejarahan (historical selective context) yang menunjukkan adanya tekanan- tekanan seleksi yang dihadapi manusia dan nenek moyangnya selama beribu-ribu generasi. Di satu pihak, manusia dan simpanse mempunyai nenek moyang yang sama, maka ada sejumlah kesamaan mekanisme antara manusia dan simpanse. Misalnya, mekanisme penglihatan antara manusia dan simpanse adalah sama. Di lain pihak, sejarah evolusi manusia berbeda dengan spesies lain, tekanan seleksi yang dialami manusia juga unik, maka mekanisme psikologis manusia juga unik dan tidak dimiliki oleh spesies lain.

Peran lingkungan juga tergambar dalam konsep konteks ontogenetik (ontogenetic context). Konteks ontogenetik menggambarkan bahwa pengalaman-pengalaman selama perkembangan dapat “melangsir” orang untuk memiliki strategi yang berbeda. Misalnya, ketiadaan figur ayah pada masa kanak-kanak mendorong orang mengembangkan strategi mencari pasangan dengan cara yang lebih permisif. Sebaliknya, kehadiran seorang ayah selama masa kanak-kanak mendorong orang untuk mengembangkan strategi monogami dalam mencari pasangan. Bentuk ketiga dari peran konteks terdapat dalam input situasional yang dekat ( immediate situational inputs) yang mempengaruhi bekerjanya satu mekanisme psikologis tertentu. Misalnya, mekanisme psikologis seperti rasa cemburu akan diaktifkan hanya oleh input kontekstual tertentu seperti adanya tanda-tanda ketidaksetiaan. Satu tugas penting psikologi evolusioner adalah menjelaskan ketiga bentuk input kontekstual tersebut (Buss, 1995).

Sumber : Dicky Hastjarjo, Mengenal sepintas psikologi evolusioner

Referensi
  • Archer, J. 1996. Evolutionary Social Psychology, In Miles Hewstone, Wolgang Strobe, & Geoffrey M. Stephenson (Eds.), Introduction to Social Psychology : A European Perspective , p 24-45. Oxford, UK: Blackwell Publisher Ltd.
  • Baron, R. A. 1996. Essential of Psychology . Needham Heights, MA: Allyn & Bacon. Bjorklund, D. F., & Pelegrini, A. D. 2000. Child Development and Evolutionary Psychology. Child Development , 71, 6 , 1687-1708.
  • Boyer, P., & Heckhausen, J. 2000. Introductory Note. American Behavioral Scientist , 43, 6 , 917-925.
  • Breland, K., & Breland, M. 1968. The Misbehavior of Organism. Dalam A. Charles Catania (Ed.), Contemporary Research In Operant Behavior . Glenview, Ill.: Scott, Foreman and Company.
  • Buss, D. M. 1995a. Evolutionary Psychology: A New Paradigm for Psychological Science. Psychological Inquiry , 6, 1 , 1-30.
  • Buss, D. M.1995b. Psychological Sex Differences: Origins through Sexual Selection. American Psychologist , 30, 3 , 164-168.
  • Buss, D. M., & Schmitt, D. P. 1993. Sexual Strategies Theory: An Evolutionary Perspective on Human Mating. Psychological Review , 100, 2 , 204-232.
  • Buss, D. M., Haselton, M. G., Shakhelford, T. K., Bleske, A. L., & Wakefield, J. C. 1998. Adaptations, Exaptatations, and Spandrels. American Psychologist , 53, 5, 533-548.
  • Caporael, L. R. 2001. Evolutionary Psychology: Toward a Unifying Theory and a Hybrid Science. Annual Review of Psychology , 52 , 607-628.
  • Cosmides, L., & Tooby, J. 1997. Evolutionary Psychology: A Primer .
  • Evans, D., & Zarate, O. 1999. Introducing Evolutionary Psychology . Duxford, Cambridge: Icon Books, Ltd.
  • Gould, J. S. 1997. Evolution The Pleasure of Pluralism . New York Review of Books, June 26. on line version.
  • Hergenhahn, B. R., & Olson, M H. 2001. An Introduction to Theories of Learning . Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall, Inc.
  • Solso, R. 1998. Cognitive Psychology , 5th edition. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.
1 Like

Psikologi evolusioner mengusulkan bahwa pikiran manusia sebagian besar terdiri dari mekanisme yang sangat terspesialisasi yang dirancang untuk memecahkan masalah tertentu. Masalah spesifik yang dirancang untuk dipecahkan oleh pikiran manusia adalah masalah yang berulang kali dihadapi nenek moyang kita selama waktu evolusi.

Lingkungan leluhur tempat manusia berevolusi disebut lingkungan adaptasi evolusioner (EEA). Lingkungan ini terdiri dari serangkaian masalah yang harus diselesaikan jika hewan tersebut ingin menghindari kepunahan. Misalnya, seiring waktu evolusi, manusia dan nenek moyang primata mereka harus dapat menemukan pasangan dan membesarkan anak, dan mereka harus membentuk aliansi dengan orang lain. Mereka harus bisa menemukan makanan, dan mereka harus menghindari predator berbahaya serta tumbuhan dan hewan beracun. Masalah yang dihadapi manusia selama evolusinya sangat berbeda dengan masalah yang dihadapi organisme hidup lainnya. Misalnya, mamalia yang tinggal di laut seperti paus harus memecahkan berbagai masalah yang berasal dari kebutuhannya untuk beradaptasi dengan kehidupan di laut, dan parasit harus sering beradaptasi dengan lingkungan internal berbagai inang.

Bagi manusia, EEA dianggap sebagai era geologi Pleistosen, yang berlangsung dari 1,8 juta tahun lalu hingga 12.000 tahun lalu. Selama periode ini, manusia hidup sebagai pemburu-pengumpul, sehingga diharapkan adaptasi psikologis manusia beradaptasi dengan kehidupan pada periode tersebut. Karena budaya manusia telah berubah secara dramatis, mungkin ada ketidaksesuaian antara adaptasi psikologis dan dunia modern. Contohnya adalah bahwa makanan relatif langka dan tidak dapat diprediksi di EEA dibandingkan dengan dunia modern yang menyediakan makanan berkalori tinggi dan berlemak tinggi. Hasilnya adalah manusia modern rentan terhadap obesitas karena mekanisme psikologis kita diarahkan pada kelangkaan yang tidak lagi didapatkan di banyak bagian dunia.

Psikologi evolusioner menekankan bahwa semua masalah ini muncul berulang kali selama waktu evolusioner sehingga akan ada cukup kesempatan bagi seleksi alam untuk merancang mekanisme yang akan memecahkan masalah. Menurut psikologi evolusioner, masalah-masalah ini diselesaikan dengan mengembangkan serangkaian mekanisme psikologis khusus yang dirancang untuk menangani masalah-masalah khusus ini. Mekanisme ini adalah adaptasi yang dirancang oleh seleksi alam untuk memecahkan masalah tertentu.

Sumber
  • The Cambridge Dictionary of Psychology (2009)