Rule of reason merupakan standar yang membolehkan pengadilan untuk menilai ketidakjelasan atau tingkatan-tingkatan dari pengaruh persaingan. Dalam menerapkan suatu standart of reason untuk menilai suatu kesepakatan terlarang dinyatakan sebagai hambatan dalam perdagangan, dapat dikaji antara lain melalui tujuan dari kesepakatan tersebut, karakter (misalnya kekuatan) dari para pihak, dan akibat penting yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Menurut Arie Siswanto, pendekatan rule of reason diterapkan terhadap tindakan-tindakan yang tidak bisa secara mudah dilihat ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu terhadap kondisi persaingan. Jadi jika dalam rule of reason pengadilan disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang dilakukannya tindakan, alasan bisnis dibalik tindakan itu, serta posisi si pelaku tindakan dalam indistri tertentu.
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau tidak.
Penerapan pendekatan rule of reason harus melalui prosedur pembuktian yang diawali dengan menentukan defenisi relevant market. Semua perhitungan, penilaian dan keputusan tentang implikasi persaingan akibat perilaku ataupun tergantung pada ukuran (pangsa) pasar dan bentuk pasar terkait (the relevant market). Dalam suatu kasus yang menyangkut misalnya penyalahgunaan posisi dominan, jika pasar yang didefenisikan adalah kecil dan perusahaan yang berada dalam pengawasan memiliki pangsa (pasar) yang lebih besar pada pasar tersebut, maka perusahaan tersebut dianggap sebagai dominan.
Penerapan rule of reason merupakan pilihan yang tepat dalam melakukan suatu tindakan penyelidikan. Analisis diperlukan untuk menentukan praktek tertentu yang menghambat atau mendorong persaingan atau apabila terdapat tendensi keduanya, maka pengadilan akan mengambil langkah yang pengaruhnya paling menguntungkan (efisien) bagi masyarakat luas.
Menurut Syamsul Maarif dan BC Rikrik Rizkiyana didalam konsep “rule of reason” mengatakan bahwa beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain atau perekonomian nasional secara umum.
Dalam pendekatan rule of reason mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha yang meskipun anti persaingan, tetapi menghasilkan suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau perekonomian nasional pada umumnya. Sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan pelaku usaha, konsumen dan perekonomian nasional umumnya, seperti pada tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan tindakan restriktif (menghasilkan barries to entry). Oleh karennya pendekatan dengan rule of reason adalah unsur material dari perbuatan.
Pada rule of reason, tindakan restriktif tidak rasional yang menjadi sasaran pengendaliannya dan penentuan salah tidaknya digantungkan kepada akibat tindakan usaha (persaingan) terkait terhadap pelaku usaha lain. Maka dari itu untuk tindakan-tindakan tersebut dalam substansi pengaturannya dibutuhkan kalusul kausalitas seperti diatas.
Untuk mengetahui ketentuan suatu pasal dalam UU antimonopoli menganut salah satu metode baik Per se Illegal ataupun dengan pendekatan Rule of Reason, pada umumnya norma rule of reason dalam UU anti monopoli biasanya akan diakhiri atau mengandung frase :
(i) yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak sehat
(ii) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, atau
(iii) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.
Konsep ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal kartel (Pasal 11) dan Praktek Monopoli (Pasal 17)