Apa yang dimaksud dengan Preeklampsia?

preeklampsia

Pre-eklampsia atau preeklampsia adalah sindrom yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, kenaikan kadar protein di dalam urin (proteinuria), dan pembengkakan pada tungkai (edema).

Apa yang dimaksud dengan Preeklampsia ?

Preeklampsia adalah suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu, pada wanita yang sebelumnya normotensi. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan tekanan darah (140/90 mmHg) yang disertai oleh proteinuria.

Kriteria gejala preeklampsia yang diadopsi dari The Working of the National High Blood Pressure Education Program 2000 dapat ditegakkan bila ditemukan tanda-tanda di bawah ini:

  • Tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan diastolik > 90 mmHg

  • Proteinuria > 0,3 g/24 jam atau +1 pada pemeriksaan kualitatif

  • Timbulnya hipertensi setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensi

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Proteinuria adalah penanda penting preeklampsia. Definisi proteinuria adalah terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24 jam atau 30 mg/dL (+1 pada dipstik) secara menetap pada sampel urin acak.

Proteinuria terjadi karena terdapat lesi pada glomerulus. Baik keadaan proteinuria maupun kelainan histologi glomerulus terjadi pada tahap lanjut

hipertensi dalam kehamilan. Pada kenyataannya, preeklampsia secara klinis mulai tampak hanya menjelang akhir suatu proses patofisiologi yang mungkin sudah dimulai pada 3 sampai 4 bulan sebelum timbulnya hipertensi.

Disebut dengan preeklampsia berat pada penderita preeklampsia bila didapatkan salah satu gejala berikut: Tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan darah diastolik > 110 mmHg; Proteinuria > 5 gr/jumlah urin selama 24 jam; Oliguria; Peningkatan kadar kreatinin serum (> 1,2 mg/dL); Edema paru dan sianosis; Gangguan visus dan serebral disertai sakit kepala yang menetap; Nyeri epigastrium yang menetap; Peningkatan enzim hepar (alanin aminotransferase [ALT] atau aspartate aminotransferase [AST]); Sindroma HELLP.

Suprimosed preeklampsia atau eklampsia adalah timbulnya proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya telah mengalami hipertensi. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu.

Penyakit hipertensi kronis adalah ditemukannya desakan darah > 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan.

Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklampsia yang terbukti tidak disebabkan oleh hal yang lain. Kejang bersifat grand mal dan timbul sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang dapat timbul lebih dari 48 jam pascasalin, terutama pada nulipara dan dapat dijumpai sampai 10 hari pascasalin.

Komplikasi yang dapat terjadi akibat hipertensi dalam kehamilan antara lain perubahan kardiovaskular, hematologi, endokrin, metabolik dan aliran darah regional disertai gangguan berbagai organ. Kebanyakan komplikasi tersebut diawali dengan munculnya berbagai penanda biokimiawi dan biofisik yang didudga dapat digunakan untuk meperkirakan timbulnya preeklampsia pada kehamilan tahap lanjut sehingga dapat dilakukan upaya prediksi dan pencegahan preeklampsia.

Epidemiologi


Menurut World Health Organization (WHO), hipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu dari lima penyebab utama kematian ibu di dunia, yaitu berkisar 12%. Prevalensi hipertensi dalam kehamilan bervariasi di berbagai tempat, yakni berkisar 2,6-7,3% dari seluruh kehamilan.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, angka kejadian preeklampsia pada tahun 1998 sebesar 3,7% dari seluruh persalinan, sedangkan kematian ibu akibat preeklampsia dan eklampsia sejak tahun 1987 sampai dengan 1990 sekitar 18%. Di Inggris pada tahun 1998 didapatkan kejadian hipertensi dalam kehamilan sekitar 5% dan merupakan penyebab utama kematian maternal serta menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas perinatal.

Di negara-negara berkembang insidensi preeklampsia sekitar 3-10% dan eklampsia 0,3-0,7% kehamilan. Di Indonesia, preeklampsia menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian ibu setelah perdarahan. Angka kejadian preeklampsia di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2010 adalah 11,86% dari 1973 persalinan dengan angka kematian maternal 2,1%.

Meskipun sampai sekarang belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:

  • Usia
    Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeclampsia hampir 2 kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih.

  • Nulipara
    Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hamper 3 kali lipat

  • Jarak antar kehamilan
    Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara

  • Riwayat preeklampsia sebelumnya
    Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama. Menurut Duckitt risiko meningkat 7 kali lipat. Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dan dampak perinatal yang buruk

  • Kehamilan multipel
    Sebuah studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat.

  • Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
    Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia adalah maladaptasi imun.

  • Obesitas
    Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar dengan semakin besarnya IMT (Indeks Massa Tubuh). Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia.

  • Hipertensi kronik
    Chappell meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden preeklampsia suprimosed sebesar 22% dan hampir setengahnya adalah preeklampsia onset dini (< 34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk. Chappell juga menyimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat dinilai secara dini sebagai prediktor terjadinya preeklampsia suprimosed pada wanita hamil dengan hipertensi kronik yaitu:

    • Riwayat preeklampsia sebelumnya
    • Penyakit ginjal kronis
    • Merokok
    • Obesitas
    • Diastolik > 80 mmHg
    • Sistolik > 130 mmHg

Etiologi


Zwifel tahun 1916 mengungkapkan istilah preeclampsia is a disease of theories dan hingga sampai saat ini belum dapat diperoleh suatu kesepakatan bersama tentang penyebab terjadinya preeklampsia. Para ahli mencoba membeberkan beberapa teori yang diduga menjadi penyebab preeklampsia, yaitu faktor imunologis, faktor inflamasi, faktor genetik, faktor nutrisi, komponen vasoaktif dan faktor endotel.

Redman et al melaporkan bahwa disfungsi endotel berhubungan dengan preeklampsia yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan umum keadaan normal dan adaptasi umum inflamasi intravaskular maternal terhadap kehamilan. Hipotesis ini menjelaskan bahwa preeklampsia dianggap merupakan suatu penyakit akibat status leukosit yang teraktivasi secara berlebihan pada darah ibu. Desidua mengandung sel yang berlebih jika teraktivasi dapat mengeluarkan agen yang berbahaya, kemudian agen ini sebagai mediator memulai terjadinya kerusakan sel. Sitokin, TNF-a (Tumor necrosis factor alpha) dan interleukin dapat berperan terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia.

Patogenesis


Patogenesis, patofisiologi serta perubahan-perubahan patologi fungsi organ-organ pada preeklampsia telah banyak dibicarakan, namun belum ada yang memuaskan. Terdapat beberapa patogenesis yang menerangkan terjadinya hipertensi dalam kehamilan antara lain:

1. Teori Iskemik Plasenta

Berbagai bukti eksperimental dari pemeriksaan histopatologis menunjukkan bahwa menurunnya perfusi tropoblastik merupakan perubahan patofisiologi yang paling dini terjadi dan konsisten pada preeklampsia. Bahkan timbulnya preeklampsia pada kehamilan abdominal dan mola menunjukkan bahwa faktor uterus dan janin tidak dibutuhkan dalam mekanisme tersebut. Sejak dini penderita memperlihatkan perubahan morfologis di uterus sebagai berikut:

  1. Arteri spiralis yang menjamin perfusi ruang intervillous di plasenta gagal mengalami perubahan morfologi yang layaknya terjadi dalam kehamilan normal seperti meningkatnya diameter vaskuler sekurang-kurangnya 4 kali serta menghilangnya komponen muskuler dan elastik vaskuler. Pada kehamilan normal morfologi vaskuler tersebut meluas melampaui jaringan desidua dan memasuki lapisan miometrium.

  2. Vaskuler mengalami oklusi fibrinoid dan invasi foal cell. Gambaran histopatologik ini amat mirip dengan yang nampak pada proses penolakan allograft yang disebut atherosis. Atherosis yang meliputi 1/10 daerah implantasi plasenta didapatkan pada akhir trimester I kehamilan nulipara. Perubahan di atas menyebabkan terjadinya penurunan perfusi tropoblastik. Pada preeklampsia proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh karena disebabkan 2 hal yaitu, tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas secara normal, tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetap mempunyai dinding muskuloelastik yang relaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler. Disamping itu juga terjadi atherosis akut pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi.

2. Teori Disfungsi Endotel

Teori mengenai patogenesis preeklampsia yang relatif baru yaitu teori mengenai disfungsi endotel. Disfungsi endotel diduga menjadi dasar dari timbulnya manifestasi klinis pada preeklampsia. Teori ini tidak lepas dari teori patogenesis preeklampsia yang lain, salah satunya yaitu teori iskemia plasenta. Pada saat plasenta mengalami iskemia, maka plasenta akan menghasilkan peroksida lipid yang selanjutnya akan masuk ke dalam dan terikat dengan lipoprotein, khususnya low density lipoprotein (LDL). Dalam kadar yang rendah peroksida lipid merupakan peristiwa normal dalam kehidupan sel atau jaringan.

Pada preeklampsia berat dijumpai perubahan ultrastruktur mitokondria pada pembuluh darah arteri uterina dan jaringan plasenta. Mitokondria adalah sumber oksigen radikal dan diperkaya oleh asam lemak tak jenuh. Maka plasenta dapat merupakan sumber terbesar dari produksi peroksida lipid pada kehamilan. Proses peroksidasi lipid meningkat sesuai dengan meningkatnya umur kehamilan,

bahkan pada akhir kehamilan aktivitasnya menjadi dua kali lipat. Dalam keadaan normal peroksida lipid selalu dijaga dalam keadaan seimbang melalui peran antioksidan. Bila kadar antioksidan rendah maka peroksidasi lipid menjadi tak terkendali dan timbulah keadaan yang disebut dengan stres oksidatif. Hal tersebut ditunjukkan oleh beberapa peneliti, dimana pada preeklampsia terjadi penurunan kadar antioksidan dan peningkatan produk hasil peroksidasi lipid.

Diagnosis


preeklampsia

Penegakan Diagnosis Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4 sampai 6 jam pada wanita yang sebelumnya normotensi. Derajat hipertensi berdasarkan tekanan darah diastolik pada saat datang, dibagi menjadi ringan (90-99 mmHg), sedang (100-109 mmHg) dan berat (> 110 mmHg). Definisi hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik.

Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan duduk tenang selama 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk atau telentang, posisi lateral kiri, kepala ditinggikan 30 derajat, posisi manset setingkat dengan jantung dan tekanan diastolik diukur dengan mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi).

Penentuan Proteinuria

Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1 dalam 2 kali pemeriksaan berjarak 4 sampai 6 jam. Proteinuri berat adalah adanya protein dalam urin 5 mg/24 jam.

Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Kuo melaporkan bahwa pemeriksaan kadar protein kuantitaif pada hasil dipstik positif 1 berkisar 0 sampai 2400 mg/24 jam dan positif 2 berkisar 700-4000 mg/24 jam. Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif palsu yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Brown, dengan tingkat positif palsu 67 sampai 83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina, cairan pembersih dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi dan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau rasio protein banding kreatinin.

Penegakan Diagnosis Preeklampsia Berat

Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan keadaan hipertensi berat (TD >160/100) dengan proteinuria berat (> 5g/hari atau tes urin dipstik : positif 2) atau disertai dengan keterlibatan organ lain. Kriteria lain preeklampsia berat yaitu bila ditemukan gejala dan tanda disfungsi organ, seperti kejang, edema paru, oliguria, trombositopeni, peningkatan enzim hati, nyeri perut epigastrik atau kuadaran kanan atas dengan mual dan muntah serta gejala serebral menetap seperti sakit kepala, pandangan kabur, penurunan visus atau kebutaan kortikal dan penurunan kesadaran.

Kriteria Diagnosis Preeklampsia

Kriteria Minimal Preeklampsia:

  • TD > 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
  • Ekskresi protein dalam urin > 300 mg/24 jam atau > +1 dipstik, rasio protein:kreatinin > 30 mg/mmol

Kriteria Preeklampsia Berat:

  • TD > 160/110 mmHg
  • Proteinuria > 5 g/24 jam atau > +2 dipstik
  • Ada keterlibatan organ lain
    • Hematologi: Trombositopeni (< 100.000/ul)
    • Hepar: Peningkatan SGOT dan SGPT dan nyeri epigastrik
    • Neurologis: Sakit kepala persisten
    • Janin: Oligohidramnion
    • Paru: Edema paru atau gagal jantung kongestif
    • Ginjal: Oliguria (< 500 ml/24 jam)

Pengelolaan


Preeklampsia pada usia kehamilan aterm kehamilan dapat diakhiri. Sangat penting untuk mengetahui bahwa semua modalitas terapi yang dilakukan hanyalah bersifat paliatif dan penyakit tersebut bersifat progesif hingga saat persalinan terjadi. Pengelolaan obstetrik tergantung dari umur kehamilan, berat ringannya penyakit, respon terhadap terapi dan kemampuan perinatologi. Pada preeklampsia berat, harus mempertimbangkan umur kehamilan, maturitas paru, respon terhadap pengobatan, kemampuan perimatologi, serta komplikasi maternal.

Penatalaksanaan preeklampsia bertujuan sebagai berikut:

  • Mencegah terjadinya kejang eklampsia
  • Persalinan pasien dalam waktu yang tepat
  • Mendeteksi dan menangani komplikasi yang menyertai preeklampsia
  • Menurunkan morbiditas dan mortalitas janin dan ibu

Keputusan untuk kapan mengkhiri kehamilan pada preeklampsia masih menjadi suatu dilema. Persalinan adalah satu-satunya tindakan definitif. Pengakhiran kehamilan dilakukan saat usia ibu atau janin berumur 34 minggu. Apabila persalinan pada usia persalinan yang lebih awal diperlukan, terdapat peningkatan risiko luaran neonatal yang buruk. Luaran neonatal bergantung pada penggunaan kortikosteroid untuk perbaikan maturitas paru janin. Dengan adanya perkembangan hasil luaran neonatal setelah profilaksis neonatus, persalinan ditunda hingga 48 jam untuk pemberian terapi kortikosteroid. Apabila kondisi maternal mencapai stabilisasi maka kehamilan dapat dilanjutkan.

Pengelolaan ekspektatif dapat memperbaiki hasil neonatal, tetapi dapat memperburuk kondisi maternal. Apabila terdapat pemburukan kondisi ibu dan janin merupakan indikasi untuk melakukan persalinan. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat < 34 minggu usia kehamilan dapat memperbaiki hasil bayi baru lahir tetapi memperlukan pengawasan ibu dan bayi di rumah sakit.

1. Manajemen Aktif

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif dan aktif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu. Perjalanan klinis preeklampsia berat sering ditandai dengan penurunan kondisi ibu dan janin yang progesif jika persalinan tidak disegerakan. Dalam kepentingan ibu hamil dan janinnya, persalinan direkomendasikan ketika usia kehamilan 34 minggu atau lebih. Selain itu, persalinan segera merupakan pilihan yang paling aman bagi ibu dan janinnya ketika terdapat bukti adanya edema paru, gagal ginjal, abruptio plasenta, trombositopenia berat, gejala serebral persisten, status kesejahteraan janin tidak terjamin atau kematian janin tanpa memandang usia kehamilan pada ibu hamil dengan preeklampsia berat yang usia kehamilannya kurang dari 34 minggu.

Bagi ibu hamil dengan preeklampsia berat pada usia kehamilan 34 minggu atau lebih, dan dengan kondisi ibu-janin yang tidak stabil tanpa memandang usia kehamilan, direkomendasikan untuk dilakukan persalinan segera setelah stabilisai ibu.

image
Gambar Penatalaksanaan preeklampsia berat dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu.

2. Manajemen Ekspektatif

Manajemen ekspektatif adalah semua usaha menunda persalinan untuk pemberian kortikosteroid antenatal bertujuan untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang kehamilan tanpa membahayakan ibu. Perawatan ekspektatif meliputu perawatan dalam rumah sakit dengan kortikosteroid untuk pematangan paru janin, MgSO4, obat antihipertensi serta pemantauan ketat ibu dan janin untuk mengidentifikasi indikasi persalinan.

Odendaal melakukan uji kontrol acak pada pasien dengan preeklampsia berat yang mendapat terapi ekspektatif. Dari uji tersebut didapatkan hasil tidak terdapat peningkatan komplikasi maternal, sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, mengurangi kebutuhan ventilator pada neonatus dan mengurangi komplikasi pada neonatus.

Uji kontrol acak yang dilakukan Sibai pada pasien preeklampsia berat pada usia kehamilan 28-32 minggu juga mendapatkan hasil yang kurang lebih sama. Pada uji tersebut tidak didapatkan peningkatan komplikasi maternal, sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, berkurangnya lama perawatan neonatus di perawatan intensif dang mengurangi insiden sindrom gawa nafas pada kelompok yang mendapat terapi ekspektatif.

Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus preeklampsia pada usia kehamilan 26-34 minggu yang bertujuan untuk meningkatkan usia kehamilan saat melahirkan dan berat lahir, serta mengurangi komplikasi neonatus.

Pemberian kortikosteroid berguna untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas perinatal.

Preeklampsia berat pada usia kehamilan 34 minggu dengan kondisi ibu dan janin yang stabil, direkomendasikan agar upaya mempertahankan kehamilan dilaksanakan hanya di fasilitas kesehatan yang memiliki sarana perawatan instensif maternal dan neonatal yang memadai.

Adanya proteinuria berat pada ibu hamil dengan preeklampsia berat yang menjalani penatalaksanaan ekspektatif tidak dikaitkan dengan luaran yang lebih buruk. Pada sebuah penelitian yang melibatkan 42 ibu hamil dengan proteinuria dengan proteinuria berat yang dikelola secara ekspektatif (didefinisikan 5gr/24 jam atau lebih), terjadi perpanjangan kehamilan yang signifikan dan terjadi perbaikan disfungsi ginjal pada semua ibu hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan.

Penelitian kedua mengelompokkan ibu hamil dengan preeklampsia menurut derajat keparahan proteinuria menjadi ringan (kurang dari 5 gr/24 jam), berat (5-9,9 gr/24 jam) atau masif (lebih dari 10 gr/24 jam). Tidak terdapat perbedaan pada angka kejadian eklampsia, abruptio plasenta, edema paru, sindrom HELLP, kematian neonatal atau morbiditas neonatal yang ditemukan pada kedua kelompok. Meskipun jumlah proteinuria meningkat seiring dengan waktu pelaksanaan ekspektatif, perubahan ini tidak memprediksikan perpanjangan kehamilan ataupun luaran perinatal. Bagi ibu hamil dengan preeklampsia, dianjurklan agar dalam memutuskan persalinan tidak berdasarkan jumlah proteinuria atau perubahan jumlah proteinuria.

Pengelolaan kehamilannya menurut HKFM (Himpunan Kedokteran Fetomaternal):
Sikap terhadap kehamilan dibagi 2, yaitu:

  1. Ekspektatif/konservatif
    Bila umur kehamilan < 37 minggu, kehamilan dipertahankan selama mungkin dengan memberikan terapi medikamentosa

  2. Aktif/agresif
    Bila umur kehamilan > 37 minggu, kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Indikasi:

  • Indikasi ibu:

    • Kegagalan terapi medikamentosa:

      • Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang persisten

      • Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan darah, desakan darah yang persisten.

    • Gangguan fungsi hepar

    • Gangguan fungsi ginjal

    • Timbulnya ketuban pecah dini dan perdarahan

  • Indikasi janin:

    • Umur kehamilan > 37 minggu

    • IUGR (intrauterine growth restriction) berat berdasarkan pemeriksaan USG

    • Timbulnya oligohidramnion

preeklampsia

Pencegahan


Pencegahan merupakan cara untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai risiko terjadinya preeklampsia. Pencegahan dapat dilakukan dengan non medikal dan medikal. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat dikatakan efektif dalam mencegah risiko preeklampsia. Hal ini disebabkan oleh karena etiologi dan patogenesis penyakit ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan.

Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit preeklampsia melalui 3 tahapan, yaitu:

  1. Pencegahan primer yaitu upaya untuk menghindari terjadinya penyakit dengan

  2. Pencegahan sekunder yaitu upaya mendeteksi adanya kelainan yang belum memberikan gejala klinik namun sudah terjadi proses patobiologis awal akibat penyakit ini sehingga dapat mencegah berkembang dan memberatnya penyakit.

  3. Pencegahan tersier yaitu upaya penanggulangan penyakit yang sudah disertai gejala klinis dengan tujuan mencegah terjadinya komplikasi yang berakibat semakin parahnya penyakit tersebut.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan cara yang terbaik namun hanya dilakukan bila penyebab telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut. Hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui sehingga pencegahan primer yang efektif sulit dilakukan pada tahap ini. Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang dapat digunakan untuk meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada tes yang memiliki sesitivitas dan spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian pemeriksaan yang kompleks agar dapat meramalkan suatu kejadian preeklampsia. Dengan dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya memungkinkan dilakukan pencegahan primer.

Paparan sperma, faktor paternal dan usia

Faktor-faktor ini menunjukkan potensi pencegahan primer karena hal tersebut dapat dimanipulasi. Salah satu hipotesis penyebab preeklampsia adalah maladaptasi sistem imun. Suatu studi epidemiologi menunjukkan efek protektif dari paparan sperma, dampak dari pengertian pasangan seksual dan peningkatan frekuensi preekalmpsia setelah inseminasi donor dan donasi oosit. Mekanisme dibalik efek protektif paparan sperma tidak diketahui. HLA (Human Leucocyte Antigen)terlarut dan transforming growth factor-b1 dalam cairan seminal dan disebut postimating inflammatory response sedang diteliti.

Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun lebih baik pada primipara, maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia secara bermakna. Robillad, dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia pada kehamilan kedua meningkat dengan usia ibu. Duckitt juga melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat.

Penelitian di Norwegia yang melibatkan 706.901 wanita, memperlihatkan bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. Robillar, dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meingkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama. Menurut Duckitt riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama, risiko meningkat hingga 7 kali lipat. Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali lipat. Sibai dkk menyimpulkan bahwa kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk menjadi preeklampsia dibandingkan kehamilan normal, meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat.

Obesitas dan resistensi insulin

Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar dengan semakin besarnya indeks massa tubuh. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin. Mekanisme pasti hubungan obesitas dan resistensi insulin dengan peningkatan risiko preeklampsia belum diketahui. Hal ini mungkin diakibatkan oleh peningkatan stress karena sirkulasi hiperdinamik yang terkait dengan obesitas, dislipidemia atau peningkatan stress oksidatif yang diperantarai sitokin dan efek hemodinamik langsung dari hiperinsulinemia (peningkatan aktivitas simpatis dan meningkatkan resorpsi tubular natrium).

Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2,47 kali lipat. Wanita dengan indeks massa tubuh sebelum hamil >35 memiliki risiko preeklampsia 4 kali lipat dibandingkan dengan indeks massa tubuh 19-27.

Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes terjadi sebelum kehamilan. Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal. Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat. Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% dan hampir setengahnya adalah preeklampsia awitan dini (< 34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain ialah mencapai berat badan ideal sebelum konsepsi, pada hipertensi kronis mengontrol tekanan darah sebelum konsepsi dan pengendalian diabetes melitus sebelum konsepsi dan selama kehamilan.

2 . Pencegahan Sekunder

  1. Istirahat
    Berdasarkan penelitian yang didapat dari Cochrane, istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menunrunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Dari 3 studi yang dilakukan, didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian preeklampsia, kematian perinatal, perawatan intensif pada kelompok yang melakukan tirah baring di rumah dibandingkan istirahat di rumah sakit pada pasien preeklampsia.

  2. Retriksi garam
    Pada wanita hamil harus mengandung tinggi protein dan mineral- mineral. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya preeklampsia pertama kali dengan pembatasan pemberian garam. Namun penelitian secara acak menunjukkan manipulasi ini kurang efektif dalam mencegah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

  3. Suplementasi kalsium
    Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian hipertensi dan preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang memiliki diet asupan rendah kalsium. Suplementasi kalsium yang adekuat. Tidak ada efek samping yang tercatat dari suplementasi ini.

3. Pencegahan Tersier

Asuhan antenatal yang baik merupakan bagian yang paling penting dalam pencegahan tersier. Diperlukan sistem asuhan antenatal yang terorganisir dengan baik, sehingga alur rujukan semua ibu hamil dengan risiko dapat berjalan dengan jelas dan lancar. Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini merupakan tata laksana penanganan preeklampsia.

Preeklamsia adalah suatu sindrom spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organ-organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20, atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada vili khorialis (Cunningham, 1995).

Menurut Manuaba (2007), hal tersebut disertai dengan tanda-tanda khas yaitu tekanan darah tinggi (hipertensi), ditemukannya protein dalam urin (proteinuria) yang timbul karena kehamilan dan pembengkakan jaringan (edema). Namun saat ini kejadian edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklamsia. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester ketiga kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan (Wiknyosastro, 1994).

Penyebaran kejadian preeklamsia di seluruh belahan dunia mencapai 7 – 10 % (Manuelpillai, 2001). Sedangkan menurut Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia (2005), angka kejadian preeklamsia di Indonesia sebesar 3,4 – 8,5 %. Dan berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta, berdasarkan persalinan dengan komplikasi tahun 2006, insiden preeklamsia di Kota Surakarta sebesar 13,42%.

Etiologi


Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory (Sudhabrata, 2001). Adapun teori-teori tersebut antara lain:

  1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
    Pada preeklamsia/eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi Prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

  2. Peran Faktor Imunologis
    Preeklamsia/eklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya.

  3. Peran Faktor Genetik/familial
    Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsia/eklamsia antara lain:

    • Preeklamsia/eklamsia hanya terjadi pada manusia.

    • Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklamsia/eklamsia.

    • Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklamsia/eklamsia dan bukan pada iparnya.

    • Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS).

Patofisiologi


Menurut Castro (2004), kelainan patofisiologi yang mendasari preklamsia pada umumnya karena vasospasme. Peningkatan tekanan darah dapat ditimbulkan oleh peningkatan cardiac output dan resistensi sistem pembuluh darah. Cardiac output pada pasien dengan preeklamsia tidak terlalu berbeda pada kehamilan normal di trimester terakhir kehamilan yang disesuaikan dari usia kehamilan.

Aliran darah renal dan angka filtrasi glomerulus (GFR) pada pasien preeklamsia lebih rendah dibandingkan pada pasien dengan kehamilan normal dengan usia kehamilan yang sama. Penurunan aliran darah renal diakibatkan oleh konstriksi di pembuluh darah afferen yang dapat mengakibatkan kerusakan membran glomerulus dan kemudian meningkatkan permeabilitas terhadap protein yang berakibat proteinuria. Oliguria yang diakibatkan karena vasokontriksi renal dan penurunan GFR. Resistensi vaskular cerebral selalu tinggi pada pasien preeklamsia.

Faktor Risiko


Berbagai faktor risiko preeklamsia (Pipkin, 2001):

  1. Faktor yang berhubungan dengan kehamilan: kelainan kromosom, mola hidatidosa, hydrops fetalis, kehamilan multifetus, inseminasi donor atau donor oosit, dan kelainan struktur kongenital.

  2. Faktor spesifik maternal: primigravida, usia > 35 tahun, usia < 20 tahun, ras kulit hitam, riwayat preeklamsia pada keluarga, nulipara, preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, kondisi medis khusus seperti diabetes gestational, diabetes tipe 1, obesitas, hipertensi kronis, penyakit ginjal, trombofilia, cemas.

  3. Faktor spesifik paternal: primipaternitas, partner pria yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan mengalami preeklamsia.
    Sedangkan menurut Rozikhan (2007), faktor risiko preeklamsia dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu determinan dekat (wanita hamil yang hanya dapat berisiko terkena preeklamsia, sedangkan wanita yang tidak mengalami kehamilan tidak berisiko). Kategori kedua yaitu, determinan intermediet. Berikut adalah yang berperan dalam determinan intermediet.

    • Status reproduksi
      Faktor usia, paritas, kehamilan ganda, faktor genetik.

    • Status kesehatan
      Riwayat preeklamsia, riwayat hipertensi, riwayat penderita Diabetes Melitus, status gizi, stres/cemas.

    • Perilaku sehat
      Pemeriksaan antenatal, penggunaan alat kontrasepsi.

Dan kategori ketiga determinan kontekstual, yaitu tingkat pendidikan, faktor sosial ekonomi, dan pekerjaan.

Klasifikasi preeklamsia


1) Preeklamsia Ringan

Diagnosis preeklamsia ringan dapat ditentukan dengan kriteria sebagai berikut ini (Prawirohardjo, 2009).

  • Tekanan darah sistolik 140 mmHg atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam.

  • Tekanan darah diastolik 90 mmHg atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam.

  • Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.

  • Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif plus 1 sampai 2 pada urin kateter atau urin aliran pertengahan.

2) Preeklamsia Berat

Preeklamsia berat didiagnosis apabila pada kehamilan > 20 minggu didapatkan satu atau lebih gejala atau tanda berikut ini (Prawirohardjo, 2009).

  • Tekanan darah > 160/110 mmHg dengan syarat diukur dalam keadaan relaksasi (pengukuran minimal setelah istirahat 10 menit) dan tidak dalam keadaan his.

  • Proteinuria > 5 g/24 jam atau 4+ pada pemeriksaan secara kuantitatif.

  • Oliguria, produksi urin < 500 cc/24 jam yang disertai kenaikan kreatinin plasma.

  • Gangguan visus dan serebral.

  • Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan.

  • Edema paru dan sianosis.

  • Gangguan pertumbuhan janin intrauteri.

  • Adanya HELLP Syndrome (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan hitung trombosit rendah).

Penatalaksanaan Preeklampsia Berat


1) Penanganan umum.

  • Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan diastolik di antara 90 - 100 mmHg.

  • Pasang infus RL (Ringer Laktat).

  • Ukur keseimbangan cairan, jangan sapai terjadi overload.

  • Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria.

  • Jika jumlah urin < 30 ml perjam:

    • Infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam
    • Pantau kemungkinan edema paru
  • Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.

  • Observasi tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam.

  • Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan dan berikan diuretik misalnya furosemid 40 mg intravena.

  • Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulapati.

2) Antikonvulsan

Pada kasus preeklampsia yang berat dan eklampsia, magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinyu atau intramuskular dengan injeksi intermiten. Dengan ketentuan sebagai berikut ini.

  • Berikan dosis bolus 4 – 6 gram MgSO4 yang diencerkan dalam 100 ml cairan dan diberikan dalam 15 - 20 menit.

  • Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan intravena.

  • Ukur kadar MgSO4 pada 4 - 6 jam setelah pemberian dan disesuaikan kecepatan infuse untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,8 – 8,4 mg/l).
    Jika terjadi henti napas, berikan bantuan dengan ventilator atau berikan kalsium glukonat 2 g (20 ml dalam larutan 10%) secara intravena perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi.

3) Antihipertensi

  • Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelan-pelan selama 5 menit sampai tekanan darah turun.

  • Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau

  • Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:

    1. Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.

    2. Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 20 mg intravena (Cunningham, 2005).

Komplikasi


Menurut Wibowo (2006), komplikasi terberat preeklamsia ialah kematian ibu dan janin. Komplikasi yang bisa terjadi pada preeklamsia dan eklamsia adalah sebagai berikut ini.

  1. Solusio plasenta. Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada preeklamsia.

  2. Hipofibrinogenemia. Biasanya terjadi pada preeklamsia berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.

  3. Hemolisis. Penderita dengan preeklamsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel hati atau destruksi sel darah merah.

  4. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia serebri.

  5. Edema paru-paru. Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena bronkospneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru.

  6. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada preeklamsia/eklamsia merupakan akibat vasospasme arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.

  7. Sindroma Haemolysis Elevated Liver enzymes and Low Platelet (HELLP). Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah, nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh.

  8. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.

  9. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi dan Disseminated Intravascular Cogulation (DIC).

  10. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.

Hipertensi pada preeklamsia dapat menimbulkan kegagalan sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk kelainan patologis sebagai berikut ini.

  • Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah.
  • Iskemia yang menimbulkan infark serebral.
  • Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis.
  • Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina.
  • Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula oblongata (Manuaba, 2007).

Preeklampsia adalah hipertensi yang terjadi pada ibu hamil dengan usia kehamilan 20 minggu atau setelah persalinan di tandai dengan meningkatnya tekanan darah menjadi 140/90 mmHg. (Sitomorang, dkk 2016).

Preeklamsia merupakan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan (Praworihadrjo, 2009). Preeklampsia adalah hipertensi pada kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam (Nugroho, 2012).

Etiologi

Sampai saat ini terjadinya preeklampsia belum diketahui penyebabnya, tetapi ada yang menyatakan bahwa preeklampsia dapat terjadi pada kelompok tertentu diantaranya yaitu ibu yang mempunyai faktor penyabab dari dalam diri seperti umur karena bertambahnya usia juga lebih rentan untuk terjadinya peningkatan hipertensi kronis dan menghadapi risiko lebih besar untuk menderita hipertensi karena kehamilan, riwayat melahirkan, keturunan, riwayat kehamilan, riwayat preeklampsia (Sitomorang dkk, 2016).

Menurut Angsar (2009) beberapa faktor risiko terjadinya preeklampsia meliputi riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia, riwayat preeklampsia sebelumnya, umur ibu yang ekstrim (35 tahun), riwayat preeklampsia dalam keluarga, kehamilan kembar, hipertensi kronik.

Manifestasi klinis

Preeklamsi merupakan kumpulan dari gejala-gejala kehamilan yang di tandai dengan hipertensi dan odem (Kusnarman, 2014). Gambaran klinik preeklampsia mulai dengan kenaikan berat badan diikuti edema kaki atau tangan, kenaikan tekanan darah, dan terakhir terjadi proteinuria (Saraswati, 2016 ).

Tanda gelaja yang biasa di temukan pada preeklamsi biasanya yaitu sakit kepala hebat. Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh perdarahan atau edema atau sakit karena perubahan pada lambung dan gangguan penglihatan, seperti penglihatan menjadi kabur bahkan kadang-kadang pasien buta. Gangguan ini disebabkan penyempitan pembuluh darah dan edema (Wibowo, dkk 2015).

Patofisiologi

Teori lain yang lebih masuk akal adalah bahwa preeklampsia merupakan akibat dari keadaan imun atau alergi pada ibu. Selain itu terdapat bukti bahwa preeklampsi diawali oleh insufisiensi suplai darah ke plasenta, yang mengakibatkan pelepasan substansi plasenta sehingga menyebabkan disfungsi endotel vascular ibu yang luas (Hutabarat dkk, 2016).

Klasifikasi

Preeklampsia dibedakan menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat dengan kriteria sebagai berikut:

Menurut Icemi dan Wahyu (2013) yang pertama Hipertensi gestasional, Hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan atau kehamilan dengam tanda-tanda preeklamsia namun tanpa proteinuria. TD sistolik ≥140 mmHg atau TD diastolik ≥90 mmHg ditemukan pertama kali sewaktu hamil dan memiliki gejala atau tanda lain preeklamsia seperti dispepsia atau trombositopenia.

Kedua, Sindrom preeklamsia dan eklamsia merupakan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria, sedangkan eklamsia merupakan preeklamsia yang disertai dengan kejangkejang dan/atau koma. TD sistolik ≥140 mmHg atau TD diastolik ≥90 mmHg dengan proteinuria ≥300 mg/24 jam.

Ketiga, hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia Preeklamsia yang terjadi pada ibu hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil. Keempat, Hipertensi kronik Hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg) yang telah didiagnosis sebelum kehamilan terjadi atau hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.