Apa yang dimaksud dengan prasangka?

Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut.

Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional

John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori.

  • Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
  • Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
  • Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.

Apa yang dimaksud dengan prasangka secara lebih detail ?

Prasangka merupakan suatu evaluasi negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain, semata-mata karena orang itu merupakan anggota kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya sendiri. (Nelson dalam Sarwono 2006)

Sarwono (1999)mengatakan bahwa prasangka merupakan salah satu bentuk sikap. Definisi sikap itu sendiri menurut Ajze dalam Sarwono (2006), adalah reaksi penilaian favorable atau unfavorable dari individu terhadap benda, individu lain, institusi atau kejadian.

Berdasarkan pengertian sikap maka prasangka dapat dikatakan merupakan penilaian individu terhadap suatu obyek yang dapat berupa kelompok tertentu atau berupa individu lain yang berasal dari kelompok tertentu. Hanya saja dalam hal ini sikap yang ditunjukan bersifat negatif atau unfavorable.

Menurut Baron dan Byrne (1994): prasangka (prejudice) adalah sikap yang biasanya negatif terhadap anggota-anggota suatu kelompok yang hanya didasari keanggotaan mereka pada kelompok tersebut.

Gradasi prasangka menunjukan adanya distansi sosial antara in group dan out group. Dengan kata lain, tingkat prasangka itu menumbuhkan jarak sosial diantara anggota kelompok sendiri dengan anggota-anggota kelompok luar.

Prasangka bisa didefinisikan sebagai opini yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlalu cepat, sifatnya berat sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap suatu realitas.

Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati emosi-emosi atau unsur afektif yang kuat. Karena sifatnya sering kaku atau fixed dan menetap cukup lama, lebih cocok kalau disebut sebagai prasangka yang stereotip.

Prasangka sedemikian ini khususnya ditujukan pada kelompok luar. Beberapa aliran dalam Psikologi mendefinisikan sebagai berikut (David O. Sears, et all, 1991 ):

  1. Teori konflik realistik (realistic group conflict theories) beranggapan bahwa prasangka timbul dari kenyataan adanya persaingan antar kelompok. Menurut teori ini, prasangka dapat timbul dari adanya kompetisi antar kelompok sosial. Adanya kompetisi ini melibatkan antar kelompok akan saling melihat secara negatif yang semakin meningkat.

  2. Teori kognitif (cognitive theories) beranggapan bahwa prasangka timbul dari faktor sosial yang sederhana seperti kategorisasi dan penonjolan. Teori psikodinamika (psychidinamic theories) beranggapan bahwa prasangka timbul dari dinamika kepribadian individu yang khas. •

Berdasarkan teori yang dikemukakan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa prasangka merupakan sikap yang bersifat apriori yang belum tentu benar adanya.

Prasangka berasal dari bahasa Latin. Pracjudicium yang berarti preseden atau suatu penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman terdahulu. Richard W. Brislin mengartikan prasangka sosial sebagai suatu sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Prasangka itu sendiri bremacam-macam. Dan yang paling populer adalah prasangka sosial kesukuan, agama dan gender.

Gerungan mengartikan prasangka sosial sebagai sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu. Golongan ras atau golongan kebudayaan yang berlainan dengan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial itu terdiri atas sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah laku golongan manusia tadi.

Tindakan diskriminatif dalam prasangka sosial dapat saja berupa tindakan-tindakan bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangan orang yang diprasangkai, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang –orang yang hanya karena kebetulan mereka berasal dari golongan orang yang diprasangkai.

Faktor-faktor yang menumbuhkan prasangka :

  • Kepentingan. Jika terjadi benturan kepentingan antara satu orang dengan orang lain terlebih orang yang berbenturan kepentingan itu berasal dari kelompok atau golongan yang berbeda.

  • Faktor Kepribadian dari Orang yang Berprasangka. Orang yang berprasangka biasanya memiliki kepribadian yang tidak toleran, kurang mengenal diri sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, memupuk hayalan dan lain-lain.

  • Faktor Frustasi dan Agresi. Prasangka sosial dapat menjelma ke dalam tindakan-tindakan diskriminatif, agresif terhadap orang yang diprasangkai. Teori frustasi yang menimbulkan agresi, di mana orang- orang akan mengalami frustasi apabila maksd-maksud dan keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami kegagalan atau hambatan, akibatnya timbul perasaan jengkel atau perasaan-perasaan agresif yang akan ditumpahkan kepada orang lain. Hal ini yang dinamakan denagn teori Seapegatisme atau teori kambing hitam.

Referensi :

  • W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung. PT. ERESCO, 1996).

Menurut Worchel dan kawan-kawan (2000) pengertian prasangka dibatasi sebagai sifat negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya. Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif yang mengarahkan kelompok pada individualis berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial.

Menurut Mar’at (1981), prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai positif atau negatif, tetapi biasanya lebih bersifat negatif. Sedangkan menurut Brehm dan Kassin (1993), prasangka sosial adalah perasaan negatif terhadap seseorang semata-mata berdasar pada keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu.

Allport, (dalam Zanden, 1984) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci kelompok tersebut. Selanjutnya Kossen, (1986) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan gejala yang interen yang meminta tindakan prahukum, atau membuat keputusan-keputusan berdasarkan bukti yang tidak cukup. Dengan demikian bila seseorang berupaya memahami orang lain dengan baik maka tindakan prasangka sosial tidak perlu terjadi.

Ciri-Ciri Prasangka


  • Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain.
    Menurut Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seorang individu dari kelompok luar berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jika ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan negaitf tersebut tidak akan digeneralisasikan pada anggota kelompok sendiri lainnya.

  • Kompetisi sosial
    Kompetisi sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh anggota kelompok untuk meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri lebih baik daripada kelompok lain.

  • Penilaian ekstrim terhadap anggota kelompok lain.
    Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.

  • Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu
    Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe. Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciriciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi, stereotipe adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku, dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi. Sehingga apabila ada seorang individu memiliki stereotipe yang relevan dengan individu yang mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.

  • Perasaan frustasi (scope goating)
    Menurut Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atau ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu dan kelompok menjadikan seseorang mencari pengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain. Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya sehingga membuat individu mudah berprasangka.

  • Agresi antar kelompok
    Agresi biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis, sehingga menyebabkan seseorang cenderung berperilaku agresif.

  • Dogmatisme
    Dogmatisme adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat berupa etnosentrisme dan favoritisme. Etnosentrisme adalah paham atau kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai pusat segala-galanya. Sedangkan, favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling bermoral.

Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, 2002). Chambers English Dictionary (dalam Brown, 2005) mengartikan prasangka sebagai penilaian atau pendapat yang diberikan oleh seseorang tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal senada juga diberikan oleh Hogg (2002), yang menyatakan bahwa prasangka merupakan sikap sosial atau keyakinan kognitif yang merendahkan, ekspresi dari perasaan yang negatif, rasa bermusuhan atau perilaku diskriminatif kepada anggota dari suatu kelompok sosial tertentu sebagai akibat dari keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Karakteristik dan perilaku aktual dari individu hanya sedikit berperan.

Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, Baron dan Graziano (1991) menyatakan bahwa prasangka merupakan aspek yang penting dari hubungan antar kelompok. Burchell dan Fraser (2001) juga mendefinisikan prasangka sebagai sikap negatif atau sikap tidak suka terhadap suatu kelompok dan anggotanya.

Senada dengan Baron dan Grazino (1991), Burchell dan Fraser (2001) juga menyatakan bahwa prasangka merupakan studi tentang relasi antar kelompok. Definisi yang dikemukakan oleh Baron dan Graziano (1991) serta Burchell dan Fraser (2001) telah mengkhususkan prasangka sebagai bagian dari kajian ilmu-ilmu sosial yang membahas tentang dinamika kelompok, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek prasangka adalah kelompok sosial tertentu.

Prasangka adalah suatu bentuk sikap negatif terhadap anggota suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan perilaku diskriminasi hingga kekerasan. Penilaian ini didasarkan hanya pada keanggotaan seseorang (individu) dalam suatu kelompok bukan karena karakteristik individu maupun perilaku aktualnya.

Komponen-komponen prasangka


Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Sebagai suatu sikap, prasangka mempunyai tiga komponen dasar yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Mann dalam Azwar 2003) :

  1. Komponen kognitif
    Komponen ini melibatkan apa yang dipikirkan dan diyakini oleh subjek mengenai objek prasangka. Stereotip adalah salah satu contoh bentuk dari komponen kognitif.

  2. Komponen afektif
    Komponen ini melibatkan perasaan atau emosi (negatif) individu yang berprasangka ketika berhadapan atau berpikir tentang anggota kelompok yang tidak mereka sukai. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam dan bertahan sebagai komponen sikap. Komponen ini sering disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun, perasaan pribadi seringkali dapat berbeda perwujudannya dengan perilaku aktual individu. Azwar (2003) menambahkan bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan (apa yang dipercayai) sebagai sesuatu yang benar dan berlaku bagi objek tertentu.

  3. Komponen konatif
    Komponen ini melibatkan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu (negatif) atau bermaksud untuk melakukan tindakan (negatif) tersebut terhadap kelompok yang menjadi target prasangka.

Sumber prasangka


Baron dan Byrne (2000) mengemukakan beberapa pandangan yang menjadi sumber dari prasangka, diantaranya yaitu :

  1. Efek “kita” versus “mereka” (kategori sosial sebagai dasar dari prasangka)
    Prasangka dapat timbul karena adanya pemisahan dunia sosial di sekitar individu menjadi “kita” (individu dalam kelompok yang sama) dan ”mereka” (individu dalam kelompok yang berbeda). Pandangan ini terbatas apakah individu merupakan anggota kelompok lain (diistilahkan dengan out group) atau anggota di dalam kelompok yang sama dengan diri individu (diistilahkan dengan in group). Perbedaan tersebut didasarkan pada beberapa dimensi yang mencakup ras, agama, jenis kelamin, usia, suku bangsa dan bahkan pekerjaan (Baron dan Byrne, 2000).

    Linville dkk (dalam Baron dan Byrne, 2000) menambahkan bahwa individu dalam kategori kita (us) dipandang sebagai seseorang yang disukai, sedangkan individu dalam kategori mereka (them) akan dipandang secara negatif. Orang-orang dalam kategori mereka (them) akan diasumsikan memiliki sifat-sifat yang negatif, dan dipandang lebih sama (lebih homogen) daripada anggota in group.

  2. Pengalaman masa lalu (peran dari belajar sosial)
    Menurut pandangan Social Learning, anak mempunyai sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena mereka mendengar dan meniru pandangan yang di ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan significant other lainnya. Anak-anak tersebut akan diberi reward (dengan pujian dan persetujuan) oleh orang tua, guru, dan significant other lainnya (oleh lingkungan) karena meniru pandangan tersebut (Baron dan Byrne 2000). Theory Social Learning menyatakan bahwa berbagai tindakan adalah dipelajari dan merupakan proses dari belajar.

    Fazio dan Towles-Schwen (dalam Baron dan Byrne, 2004) menambahkan bahwa pengalaman berinteraksi secara langsung dengan orang yang termasuk dalam kelompok lain juga membentuk sikap rasial. Terdapat dua aspek dari prasangka yaitu mempertahankan perilaku berdasarkan prasangka dan menahan diri ketika berinteraksi dengan orang yang berasal dari luar kelompok kita (terutama untuk menghindari pertengkaran dan kejadian yang tidak menyenangkan dengan mereka).

    Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2004) juga menyatakan bahwa norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas juga berperan dalam pembentukan prasangka. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma dalam kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan untuk konform dengan norma.

  3. Sumber kognitif dari prasangka (stereotip dan illusory correlation)
    Baron dan Byrne (1991) mengatakan bahwa stereotip dan illusory correlation adalah sumber dari prasangka. Menurut Baron dan Byrne (1991), stereotip adalah kepercayaan bahwa anggota kelompok tertentu memiliki karakteristik atau sifat tertentu, sedangkan Illusory correlation adalah kecenderungan individu untuk menghubungkan (korelasi) beberapa variabel yang sebenarnya tidak ada (Hamillton dan Gillford dalam Baron dan Byrne, 1991).

    Illusory correlation diartikan Baron dan Byrne (2000) sebagai penerimaan hubungan antara variabel yang dikuatkan (yang sebenarnya tidak berhubungan) daripada yang terjadi sebenarnya. Hal tersebut terjadi ketika masing-masing variabel berbeda, terjadi dalam waktu yang bersamaan. Khususnya hubungan akan terjadi dari kombinasi yang tidak biasa sehingga lebih mudah untuk dipanggil daripada kejadian-kejadian lain.

    Seperti kerangka kognitif lainnya stereotip memiliki pengaruh yang kuat terhadap proses penerimaan informasi. Illusory correlation berkontribusi terhadap terjadinya stereotip negatif. Sedangkan stereotip dan prasangka menurut Baron dan Byrne (1997) mempunyai hubungan yang sangat kuat. Prasangka dapat menimbulkan stereotip, sebaliknya stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka


Menurut Brigham (1986) prasangka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda. Pola interaksi antar kelompok dapat membuat anggota kelompok berprasangka. Pada level kognitif, membuat perbandingan antara in group dan out group dapat meningkatkan prasangka.

Perbedaan juga dapat menimbulkan prasangka. Tajfel dan Turner (dalam Brigham, 1986) menyatakan bahwa perbedaan status dapat menimbulkan etnosentrisme dan dan hal ini dapat memicu timbulnya prasangka. Rokeach (dalam Brigham 1986) juga menambahkan bahwa orang cenderung tidak suka terhadap orang lain yang tidak memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai dengan mereka.

Faktor sosial dan perbedaan norma sosial juga berperan. Pettigrew (dalam Brigham, 1986) mengatakan bahwa tekanan konformitas dan norma dapat berhubungan dengan prasangka. Menurut Pettigrew, Peran norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas merupakan hal yang penting. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma sosial kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan ini (dalam Baron dan Byrne, 2000).

Prasangka bisa berhubungan dengan karakteristik kepribadian individu seperti authoritarianism dan dogmatism (Brigham, 1986). Namun, ada penelitian yang menemukan bahwa faktor demografik seperti usia, tingkat pendidikan dan wilayah di mana seseorang tinggal merupakan predikator yang sangat kuat dari prasangka daripada faktor-faktor kepribadian (Maykovich dalam Brigham, 1986).

Faktor keluarga dan pengalaman masa lalu juga dapat menimbulkan adanya prasangka. Abu Ahmadi (1999), bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Lebih lanjut Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa prasangka dapat dipelajari anak dari orangtua mereka.

Tipe-tipe prasangka


Geartner, Jones, kovel (dalam Soeboer, 1990) mengemukakan tiga tipe prasangka yaitu dominative, ambivalent, dan aversive.

  1. Tipe Dominative
    Individu dalam tipe ini mengekspresikan sikap negatifnya (prasangka) secara terbuka terhadap target prasangka. Individu dapat melakukan tindakan berupa penyerangan atau perilaku-perilaku agresif pada target prasangka. Individu dalam tipe ini berusaha untuk memelihara posisi superior/ eksklusivitas kelompoknya.

  2. Tipe Ambivalent
    Individu dalam tipe ini merasa bersimpati pada target prasangka dan di waktu bersamaan juga merasa khawatir target prasangka dapat merugikan mereka. Pada tipe ini, individu dapat mengekspresikan perasaan negatif mereka pada target prasangka.

  3. Tipe aversive
    Individu dalam tipe ini dapat berinteraksi dan mengadakan kontak dengan ramah dan sopan terhadap objek prasangka. Individu tipe ini akan menunjukkan sikap positif dan bersedia membantu anggota kelompok target prasangka. Namun, sesungguhnya Individu dalam tipe ini berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan interaksi dengan target prasangka.

Referensi

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/23488/Chapter%20II.pdf;sequence=3

A post was merged into an existing topic: Apa yang dimaksud dengan prasangka sosial?