Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, 2002). Chambers English Dictionary (dalam Brown, 2005) mengartikan prasangka sebagai penilaian atau pendapat yang diberikan oleh seseorang tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal senada juga diberikan oleh Hogg (2002), yang menyatakan bahwa prasangka merupakan sikap sosial atau keyakinan kognitif yang merendahkan, ekspresi dari perasaan yang negatif, rasa bermusuhan atau perilaku diskriminatif kepada anggota dari suatu kelompok sosial tertentu sebagai akibat dari keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Karakteristik dan perilaku aktual dari individu hanya sedikit berperan.
Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, Baron dan Graziano (1991) menyatakan bahwa prasangka merupakan aspek yang penting dari hubungan antar kelompok. Burchell dan Fraser (2001) juga mendefinisikan prasangka sebagai sikap negatif atau sikap tidak suka terhadap suatu kelompok dan anggotanya.
Senada dengan Baron dan Grazino (1991), Burchell dan Fraser (2001) juga menyatakan bahwa prasangka merupakan studi tentang relasi antar kelompok. Definisi yang dikemukakan oleh Baron dan Graziano (1991) serta Burchell dan Fraser (2001) telah mengkhususkan prasangka sebagai bagian dari kajian ilmu-ilmu sosial yang membahas tentang dinamika kelompok, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek prasangka adalah kelompok sosial tertentu.
Prasangka adalah suatu bentuk sikap negatif terhadap anggota suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan perilaku diskriminasi hingga kekerasan. Penilaian ini didasarkan hanya pada keanggotaan seseorang (individu) dalam suatu kelompok bukan karena karakteristik individu maupun perilaku aktualnya.
Komponen-komponen prasangka
Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Sebagai suatu sikap, prasangka mempunyai tiga komponen dasar yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Mann dalam Azwar 2003) :
-
Komponen kognitif
Komponen ini melibatkan apa yang dipikirkan dan diyakini oleh subjek mengenai objek prasangka. Stereotip adalah salah satu contoh bentuk dari komponen kognitif.
-
Komponen afektif
Komponen ini melibatkan perasaan atau emosi (negatif) individu yang berprasangka ketika berhadapan atau berpikir tentang anggota kelompok yang tidak mereka sukai. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam dan bertahan sebagai komponen sikap. Komponen ini sering disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun, perasaan pribadi seringkali dapat berbeda perwujudannya dengan perilaku aktual individu. Azwar (2003) menambahkan bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan (apa yang dipercayai) sebagai sesuatu yang benar dan berlaku bagi objek tertentu.
-
Komponen konatif
Komponen ini melibatkan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu (negatif) atau bermaksud untuk melakukan tindakan (negatif) tersebut terhadap kelompok yang menjadi target prasangka.
Sumber prasangka
Baron dan Byrne (2000) mengemukakan beberapa pandangan yang menjadi sumber dari prasangka, diantaranya yaitu :
-
Efek “kita” versus “mereka” (kategori sosial sebagai dasar dari prasangka)
Prasangka dapat timbul karena adanya pemisahan dunia sosial di sekitar individu menjadi “kita” (individu dalam kelompok yang sama) dan ”mereka” (individu dalam kelompok yang berbeda). Pandangan ini terbatas apakah individu merupakan anggota kelompok lain (diistilahkan dengan out group) atau anggota di dalam kelompok yang sama dengan diri individu (diistilahkan dengan in group). Perbedaan tersebut didasarkan pada beberapa dimensi yang mencakup ras, agama, jenis kelamin, usia, suku bangsa dan bahkan pekerjaan (Baron dan Byrne, 2000).
Linville dkk (dalam Baron dan Byrne, 2000) menambahkan bahwa individu dalam kategori kita (us) dipandang sebagai seseorang yang disukai, sedangkan individu dalam kategori mereka (them) akan dipandang secara negatif. Orang-orang dalam kategori mereka (them) akan diasumsikan memiliki sifat-sifat yang negatif, dan dipandang lebih sama (lebih homogen) daripada anggota in group.
-
Pengalaman masa lalu (peran dari belajar sosial)
Menurut pandangan Social Learning, anak mempunyai sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena mereka mendengar dan meniru pandangan yang di ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan significant other lainnya. Anak-anak tersebut akan diberi reward (dengan pujian dan persetujuan) oleh orang tua, guru, dan significant other lainnya (oleh lingkungan) karena meniru pandangan tersebut (Baron dan Byrne 2000). Theory Social Learning menyatakan bahwa berbagai tindakan adalah dipelajari dan merupakan proses dari belajar.
Fazio dan Towles-Schwen (dalam Baron dan Byrne, 2004) menambahkan bahwa pengalaman berinteraksi secara langsung dengan orang yang termasuk dalam kelompok lain juga membentuk sikap rasial. Terdapat dua aspek dari prasangka yaitu mempertahankan perilaku berdasarkan prasangka dan menahan diri ketika berinteraksi dengan orang yang berasal dari luar kelompok kita (terutama untuk menghindari pertengkaran dan kejadian yang tidak menyenangkan dengan mereka).
Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2004) juga menyatakan bahwa norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas juga berperan dalam pembentukan prasangka. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma dalam kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan untuk konform dengan norma.
-
Sumber kognitif dari prasangka (stereotip dan illusory correlation)
Baron dan Byrne (1991) mengatakan bahwa stereotip dan illusory correlation adalah sumber dari prasangka. Menurut Baron dan Byrne (1991), stereotip adalah kepercayaan bahwa anggota kelompok tertentu memiliki karakteristik atau sifat tertentu, sedangkan Illusory correlation adalah kecenderungan individu untuk menghubungkan (korelasi) beberapa variabel yang sebenarnya tidak ada (Hamillton dan Gillford dalam Baron dan Byrne, 1991).
Illusory correlation diartikan Baron dan Byrne (2000) sebagai penerimaan hubungan antara variabel yang dikuatkan (yang sebenarnya tidak berhubungan) daripada yang terjadi sebenarnya. Hal tersebut terjadi ketika masing-masing variabel berbeda, terjadi dalam waktu yang bersamaan. Khususnya hubungan akan terjadi dari kombinasi yang tidak biasa sehingga lebih mudah untuk dipanggil daripada kejadian-kejadian lain.
Seperti kerangka kognitif lainnya stereotip memiliki pengaruh yang kuat terhadap proses penerimaan informasi. Illusory correlation berkontribusi terhadap terjadinya stereotip negatif. Sedangkan stereotip dan prasangka menurut Baron dan Byrne (1997) mempunyai hubungan yang sangat kuat. Prasangka dapat menimbulkan stereotip, sebaliknya stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka
Menurut Brigham (1986) prasangka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda. Pola interaksi antar kelompok dapat membuat anggota kelompok berprasangka. Pada level kognitif, membuat perbandingan antara in group dan out group dapat meningkatkan prasangka.
Perbedaan juga dapat menimbulkan prasangka. Tajfel dan Turner (dalam Brigham, 1986) menyatakan bahwa perbedaan status dapat menimbulkan etnosentrisme dan dan hal ini dapat memicu timbulnya prasangka. Rokeach (dalam Brigham 1986) juga menambahkan bahwa orang cenderung tidak suka terhadap orang lain yang tidak memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai dengan mereka.
Faktor sosial dan perbedaan norma sosial juga berperan. Pettigrew (dalam Brigham, 1986) mengatakan bahwa tekanan konformitas dan norma dapat berhubungan dengan prasangka. Menurut Pettigrew, Peran norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas merupakan hal yang penting. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma sosial kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan ini (dalam Baron dan Byrne, 2000).
Prasangka bisa berhubungan dengan karakteristik kepribadian individu seperti authoritarianism dan dogmatism (Brigham, 1986). Namun, ada penelitian yang menemukan bahwa faktor demografik seperti usia, tingkat pendidikan dan wilayah di mana seseorang tinggal merupakan predikator yang sangat kuat dari prasangka daripada faktor-faktor kepribadian (Maykovich dalam Brigham, 1986).
Faktor keluarga dan pengalaman masa lalu juga dapat menimbulkan adanya prasangka. Abu Ahmadi (1999), bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Lebih lanjut Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa prasangka dapat dipelajari anak dari orangtua mereka.
Tipe-tipe prasangka
Geartner, Jones, kovel (dalam Soeboer, 1990) mengemukakan tiga tipe prasangka yaitu dominative, ambivalent, dan aversive.
-
Tipe Dominative
Individu dalam tipe ini mengekspresikan sikap negatifnya (prasangka) secara terbuka terhadap target prasangka. Individu dapat melakukan tindakan berupa penyerangan atau perilaku-perilaku agresif pada target prasangka. Individu dalam tipe ini berusaha untuk memelihara posisi superior/ eksklusivitas kelompoknya.
-
Tipe Ambivalent
Individu dalam tipe ini merasa bersimpati pada target prasangka dan di waktu bersamaan juga merasa khawatir target prasangka dapat merugikan mereka. Pada tipe ini, individu dapat mengekspresikan perasaan negatif mereka pada target prasangka.
-
Tipe aversive
Individu dalam tipe ini dapat berinteraksi dan mengadakan kontak dengan ramah dan sopan terhadap objek prasangka. Individu tipe ini akan menunjukkan sikap positif dan bersedia membantu anggota kelompok target prasangka. Namun, sesungguhnya Individu dalam tipe ini berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan interaksi dengan target prasangka.
Referensi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/23488/Chapter%20II.pdf;sequence=3