Apa yang dimaksud dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?

Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi kesehatan mental yang dipicu oleh peristiwa mengerikan. Gejala yang mungkin muncul termasuk kilas balik, mimpi buruk dan kecemasan yang parah, serta pikiran tak terkendali tentang kejadian tersebut.

Apa yang dimaksud dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ?

Pengertian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat dipahami dari definisi yang ditetapkan oleh National Center for Post Traumatic Stress Disorder (NCPTSD), yaitu suatu gangguan psikiatris yang terjadi setelah dialaminya peristiwa yang mengancam seperti menyaksikan kejadian-kejadian serangan militer, bencana alam, serangan teroris, kecelakaan serius, atau serangan kekerasan lainnya seperti pemerkosaan.

Orang yang terkena gangguan PTSD sering mengalami kembali kejadian-kejadian melalui mimpi buruk atau bayangan kilas balik, sulit tidur, dan merasa terpisah atau terasing. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lama serta bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut (Sulistyaningsih, 2009).

Menurut Zlonick dkk. (2001 dalam Chandra, 2009), Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. PTSD kemungkinan bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah pengalaman traumatis dan mungkin tidak muncul sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Nevid J dkk., 2002 dalam Chandra, 2009).

Hal serupa diungkapkan oleh Darmono S dkk. (2008 dalam Chandra, 2009) bahwa PTSD merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat yang sangat mengganggu kualitas hidup dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan berkembang menjadi stres pasca trauma yang kompleks. Sadock & Sadock (2007), menyebutkan bahwa PTSD dapat berlangsung sampai dengan jangka waktu 30 tahun.

Post Traumatic Stress Disorder

Penyebab


Stresor atau peristiwa traumatik adalah penyebab utama dalam perkembangan Post Traumatic Stress Disorder (Schiraldi, 2000; Sadock & Sadock, 2007). Stresor ini dapat bersumber dari bencana alam atau peristiwa yang melibatkan peran manusia.

  • Peristiwa yang bersumber dari bencana alam dapat berupa gempa bumi, banjir, badai, tanah longsor dan berbagai macam bencana alam lainnya.
  • Peristiwa kekerasan yang melibatkan peran manusia dan dapat menimbulkan trauma, yaitu perang, kejahatan politik, penculikan, kejahatan kriminal, pemerkosaan, kekejaman dalam rumah tangga dan berbagai bentuk kekejaman lainnya (Sulystyaningsih, 2009).

Menurut Sadock & Sadock (2007), tidak semua orang akan mengalami PTSD setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Respon terhadap peristiwa traumatik harus melibatkan rasa takut intens atau horor. Selain itu, perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yang sudah ada sebelumnya pada diri individu seperti, faktor biologis, faktor psikososial dan peristiwa yang dialami individu sebelum dan sesudah trauma.

Menurut Sadock & Sadock (2007), faktor psikodinamika PTSD diantaranya, yaitu:

  1. Peristiwa traumatik tersebut mengingatkan individu terhadap peristiwa traumatis masa lalunya;
  2. Ketidakmampuan untuk meregulasi pengaruh yang disebabkan oleh trauma;
  3. Somatisasi dan alexithymia mungkin menjadi salah satu efek samping dari trauma;
  4. Kurangnya kemampuan mekanisme pertahanan (penolakan, kurangnya pemecahan masalah, pengingkaran, disosiasi, dan rasa bersalah);
  5. Keterhubungan/seberapa dekat hubungan antara pelaku kejadian trauma seperti penolong, pelaku dan korban.

Cognitive-Behavioral factors.

Dari segi kognitif, orang-orang yang terkena dampak PTSD tidak dapat memproses atau merasionalisasikan kejadian trauma yang dialami. Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk menghindari sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Dari segi model perilaku (behavioral), PTSD menekankan dua fase dalam perkembangannya.

  • Pertama, melalui classic conditioning dimana trauma/peristiwa traumatis menimbulkan respons ketakutan yang berpasangan dengan stimulus (pemandangan, bau, suara, tempat) yang berkaitan dengan peristiwa tersebut sehingga dapat memicu reaksi-reaksi fisiologis ataupun psikologis.

  • Kedua, terjadi sebagai hasil pembelajaran dari kejadian trauma yang dialaminya dimana individu mengembangkan pola perilaku menghindar terhadap stimulus yang berkaitan dengan trauma (Sadock & Sadock, 2007).

Biological factors.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada beberapa penderita PTSD terjadi hiperaktivitas dari noradrenergic, endogenous opiate systems serta hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Selain itu, ditemukan adanya peningkatan aktivitas dan respons dari sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan gangguan tidur (Sadock & Sadock, 2007).

Faktor Resiko


Ketika dihadapkan dengan trauma yang luar biasa, kebanyakan orang bisa saja tidak mengalami gejala PTSD. Namun sebaliknya peristiwa atau kejadian biasa dapat menimbulkan gejala PTSD pada sebagian besar orang. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor resiko yang berperan apakah seseorang akan mendapatkan PTSD atau tidak.

Faktor-faktor resiko tersebut, yaitu: adanya trauma masa kecil, seseorang yang memiliki gangguan kepribadian (seperti: borderline, paranoid, ketergantungan atau anti-sosial), sistem dukungan dari keluarga atau teman sebaya yang tidak memadai, jenis kelamin: perempuan, kerentanan genetik terhadap penyakit jiwa, perubahan kehidupan yang penuh dengan stres/tekanan, persepsi locus of control eksternal dan asupan alkohol yang berlebihan (Sadock & Sadock, 2007).

Post Traumatic Stress Disorder

Diagnosik PTSD


Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder, 4th edition Text Revision (DSM-IV-TR) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association, menjelaskan tanda dan gejala PTSD yang mencakup:

A. Individu harus pernah terpapar pada suatu stresor/peristiwa traumatik dimana kedua hal berikut dialami:

  1. Seseorang yang mengalami, menyaksikan, atau menghadapi bahaya yang mengancam hidupnya, kematian, luka parah, atau ancaman serius bagi diri sendiri atau orang lain.
  2. Respon individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan: pada anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah).

B. Mengalami kembali peristiwa traumatis (re-experiencing symptoms) melalui satu atau lebih gejala di bawah ini:

  1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya yang bersifat mengganggu, berupa gambaran, pikiran, persepsi (catatan: pada anak-anak hal ini dimunculkan kembali pada permainan).

  2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (catatan: pada anak-anak terdapat mimpi yang menakutkan tanpa adanya isi yang dapat diketahui maksudnya).

  3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi kembali, ilusi, halusinasi) (catatan: pada anak-anak kejadian traumatis secara spesifik dapat terlihat).

  4. Tekanan psikologis yang kuat jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.

  5. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.

C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon (avoidance symptoms). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:

  1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma.

  2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.

  3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang dialaminya.

  4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang.

  5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya.

  6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan cinta)

  7. Perasaan bahwa masa depannya suram (misalnya, berkurangnya harapan untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki karir, memiliki anak).

D. Gejala hiperarousal yang persisten (tidak ada sebelum trauma) meliputi dua atau lebih gejala di bawah ini:

  1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahankannya.

  2. Mudah marah dan meledak-ledak emosinya.

  3. Sulit berkonsentrasi.

  4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).

  5. Reaksi kaget yang berlebihan.

E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan.

F. Gangguan/gejala diatas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.

Jenis-Jenis PTSD


Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) terbagi atas tiga jenis, yaitu:

  1. PTSD akut, yaitu dimana tanda dan gejalanya terjadi pada rentang waktu 1-3 bulan. Namun, biasanya berakhir dalam kurun waktu satu bulan. Jika dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut harus segera menghubungi pelayanan kesehatan terdekat;

  2. PTSD kronik, yaitu dimana tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari tiga bulan dan jika tidak ada treatment yang dilakukan maka dapat bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut;

  3. PTSD with delayed onset, walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatik itu terjadi. Hal ini timbul pada saat memperingati hari kejadian traumatis tersebut atau bisa juga karena individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan dia terhadap peristiwa traumatis masa lalunya (APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007; Ross, 1999 dalam Erwina, 2010).

Post Traumatic Stress Disorder

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan salah satu gangguan mental emosional yang termasuk pada kelompok gangguan ansietas, yang terjadi biasanya karena ada peristiwa traumatik yang dialami.

Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (APA, 2000).

Menurut Smith dan Segal (2008) Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak berdaya.

NIMH (2008) mendefenisikan PTSD sebagai suatu jenis gangguan kecemasan yang terjadi pasca trauma atau terkena semacam kejadian traumatik.

Menurut NICE (2005), PTSD adalah suatu kondisi dimana terjadi masalah/gangguan pada fisik dan psikologis seseorang sebagai akibat dari kejadian yang menekan atau mengancam kehidupan, yaitu bencana alam, perang, kekerasan fisik, seksual dan emosional, kecelakaan dan semua kejadian yang membuat seseorang merasa tertekan, putus asa dan merasa dirinya dalam bahaya.

Penyebab Terjadinya PTSD


Biologis

Ditinjau dari aspek biologis, PTSD terjadi karena ada proses yang terjadi di otak. Individu yang mengalami PTSD akan merasakan berbagai perubahan pada fisiknya. System saraf pusat dan sistem saraf otonom akan terpengaruh oleh kondisi ini. Selain itu juga terjadi penurunan ukuran dari hipokampus dan amigdala yang over reaktif. Komponen yang paling penting adalah memori, karena kejadian traumatis akan berulang terus menerus melalui memori. Hipokampus dan amigdala adalah kunci dari memori manusia (Schiraldi, 2009).

Diyakini bahwa amigdala adalah fear center dari otak. Sehingga bisa kita pahami bahwa penderita PTSD akan mengalami amigdala yang over reaktif. Amigdala membantu otak dalam membuat hubungan antara situasi yang menimbulkan ketakutan di masa lalu dan karena kondisi ini berpasangan dengan situasi saat ini yang bisa saja netral. Individu akan mempertahankan kondisi waspada yang konstan pada saat situasi yang tidak tepat, karena pada saat itu otak memerintahkan individu bahwa situasi ―aman‖ sedang menghadapi ancaman (Yulle, 1999).

Hipokampus juga memainkan peranan yang penting pada fungsi belajar dan memori. Beberapa ahli menyebutkan bahwa hipokampus adalah bagian yang menciptakan harapan-harapan terhadap situasi yang akan memberikan reward atau situasi yang akan menimbulkan punishment berdasarkan pada memori dan pengalaman belajar dari masa lalu. Pada penderita PTSD dengan kerusakan hipokampus, ditemukan bahwa otak akan mengalami kesulitan untuk belajar harapan-harapan baru untuk berbagai situasi yang terjadi setelah kejadian traumatis (PTSD Support Service , 2009; Yulle, 1999).

Pada penderita PTSD juga mengalami derajat hormon stress yang tidak normal. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan PTSD memiliki hormon kortisol yang rendah jika dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami PTSD dan hormon epinefrin dan norepinefrin dalam jumlah yang lebih dari rata-rata. Ketiga hormon tersebut berperan penting dalam menciptakan respon ― flight or fight ‖ terhadap situasi stress. Ini berarti bahwa individu dengan PTSD akan selalu berada dalam kondisi ― flight or fight ‖. Individu dengan PTSD juga memiliki kadar natural opiate yang tinggi. Kondisi ini akan membuat individu untuk mengalami kembali trauma dalam hal untuk mencapai respon dari opiate (PTSD Support Service , 2009)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormon-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala ( Mayo Clinic , 2009).

Penyebab lain dari segi biologi seseorang akan menderita PTSD adalah adanya riwayat keluarga yang menderita gangguan jiwa seperti depresi dan kecemasan menurut PAHO (2009). Adanya faktor genetik juga berpengaruh dalam kemungkinan seseorang menderita PTSD atau tidak. Walaupun begitu, faktor genetik tidak merupakan penyebab utama terjadinya masalah PTSD.

Aspek biologis PTSD terjadi karena adanya gangguan pada fungsi otak, terutama amigdala dan bagian-bagian lainnya, gangguan regulasi mekanisme kecemasan dan terakhir adanya faktor genetik.

Psikososial

Pengalaman hidup yang dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya juga merupakan salah satu penyebab terjadinya PTSD. Pengalaman hidup ini mencakup pengalaman yang dialami dari masa kecil sampai dengan dewasa. Selain pengalaman hidup yang dialami, jumlah dan tingkat keparahan peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut juga memberikan pengaruh ( Mayo Clinic , 2009). Smith dan Segal (2005 dalam Adesla, 2009) menyebutkan peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD termasuk : perang (war), pemerkosaan (rape), bencana alam (natural disasters), kecelakaan mobil / pesawat (a car or plane crash), penculikan (kidnapping) , penyerangan fisik (violent assault), penyiksaan seksual / fisik (sexual or physical abuse) , prosedur medikal - terutama pada anak-anak (medical procedures - especially in kids) .

Faktor psikologis lain yang ikut berkontribusi adalah faktor yang dibawa oleh individu dari lahir, yaitu sifat bawaan atau yang sering disebut dengan kepribadian seseorang juga merupakan penyebab terjadinya PTSD ( Mayo Clinic , 2009).

Pengalaman pada masa lalu bisa menyebabkan seseorang menderita PTSD. Pengalaman masa lalu terkait pengalaman pada masa anak-anak, seperti menjadi korban kekerasan seksual, perpisahan dengan orang tua pada usia dini, perceraian, bahkan kemiskinan (Connor & Butterfield, 2003). Kurangnnya support sosial juga salah satu faktor yang bisa menimbulkan PTSD, disfungsi keluarga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya PTSD (PAHO, 2009).

Aspek psikososial PTSD adalah pengalaman hidup yang terkait dengan trauma, sifat bawaan atau kepribadian individu tersebut, dan kurangnya support sosial. Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab timbulnya PTSD jika dilihat dari faktor psikososial dari individu yang mengalami trauma.

Faktor Risiko pada PTSD


NIMH (2008) menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang berperan penting apakah seseorang akan menderita PTSD atau tidak. Ada beberapa faktor resiko yang akan membuat individu lebih berkesempatan menderita PTSD dan ada faktor resilience yang mampu mengurangi resiko untuk menderita PTSD. Faktor resiko dan faktor resilience ini sudah ada sebelum individu mengalami trauma dan menjadi penting selama dan sesudah terjadinya trauma.

Faktor resiko meliputi tetap hidup setelah melalui kejadian berbahaya dan traumatis, memiliki riwayat penyakit mental, mengalami kecelakaan, melihat orang lain terluka atau meninggal, perasaan tertekan, tidak berdaya dan ketakutan yang amat sangat, menghadapi banyak stressor setelah kejadian traumatis, seperti kehilangan anggota keluarga, kehilangan rumah atau pekerjaan (NIMH, 2008). Faktor resiko lain yang akan memperberat seseorang untuk menderita PTSD adalah jenis kelamin. Perempuan memiliki resiko yang lebih besar dari laki-laki untuk menderita PTSD. Hal ini disebabkan karena rendahnya sintesa serotonin, tingginya prevalensi perempuan untuk menjadi korban dalam peristiwa traumatis (perkosaan, kekerasan). Memiliki masalah kesehatan, penggunaan alkohol, minimnya pendapatan, tingkat pendidikan yang rendah, status sebagai minoritas, perasaan yang tidak aman, dan banyaknya jumlah tanda dan gejala PTSD yang dimiliki akan memperberat PTSD yang diderita oleh individu tersebut. (Connor & Butterfield, 2003).

Resiliensi adalah suatu proses yang dinamis dalam diri individu dalam mengembangkan kemampuannya untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat, dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang dialaminya pada situasi sulit agar dapat beradaptasi secara positif (Herlina, 2009).

Faktor resilience untuk PTSD adalah mencari dukungan dari orang lain, memiliki support group setelah kejadian traumatis, perasaan yang lebih baik terhadap reaksi yang timbul untuk menghadapi bahaya, memiliki strategi koping yang efektif, dan mampu untuk bertindak dan berespon secara efektif dari pada merasakan ketakutan. Makin banyak faktor-faktor resilience ini dimiliki oleh individu, maka resiko untuk menderita PTSD akan berkurang (NIMH, 2008; Connor & Butterfield, 2003).

Tanda dan Gejala PTSD


Selama bertahun-tahun penelitian, ditemukan sebanyak 3 kelompok tanda dan gejala PTSD. Simptom-simptom tersebut ditulis dalam APA (2000). Ketiga kelompok tersebut, dan simptom-simptom spesifik yang ada di dalamnya dijelaskan di bawah ini:

  • Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut ( Re- Experiencing Symptoms )

    Tanda dan gejala PTSD adalah merasakan kembali kejadian traumatis dalam berbagai cara dan hal ini terjadi terus menerus dan menetap. Dengan munculnya tanda dan gejala tersebut, trauma akan dirasakan kembali oleh individu yang menderita PTSD melalui mimpi, memori atau masalah yang merupakan respon karena teringat tenatng trauma yang dialami ( National Center of PTSD , 2009). Menurut Yehuda (2002), bahwa tanda dan gejala pada kelompok ini merupakan perwujudan dari kenangan tentang insiden yang tidak diinginkan, muncul dalam bentuk bayangan atau imajinasi yang mengganggu, mimpi buruk dan kilas balik. Tanda dan gejala yang timbul adalah :

    • Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik tersebut (Frequently having upsetting thoughts or memories about a traumatic event).

    • Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang (Having recurrent nightmares).

    • Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai "flashback" (Acting or feeling as though the traumatic event were happening again, sometimes called a "flashback ").

    • Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatik tersebut (Having very strong feelings of distress when reminded of the traumatic event).

    • Terjadi respon fisikal, seperti jantung berdetak kencang atau berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut (Being physically responsive, such as experiencing a surge in your heart rate or sweating, to reminders of the traumatic event).

  • Menghindar ( Avoidance Symptoms )

    Tanda dan gejala PTSD menurut kelompok ini meliputi penurunan respon individu secara umum dan perilaku menghindar yang menetap terhadap segala hal yang mengingatkan klien terhadap trauma. Hal-hal yang bisa mengingatkan klien terhadap trauma bisa bersumber dari diri klien sendiri, seperti pikiran atau perasaan tentang trauma yang dialami, atau bisa juga karena adanya stimulus dari luar atau lingkungan yang mampu membangkitkan memori atau perasaan yang tidak menyenangkan. Selain itu, tanda dan gejala PTSD pada kelompok ini meliputi penurunan kemampuan emosional, merasa jauh dari orang lain dan tidak memiliki cita-cita atau harapan yang akan dipenuhi untuk masa depannya ( National Center of PTSD , 2009). Tanda dan gejala pada kelompok ini adalah :

    • Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan mengenai peristiwa traumatik tersebut (Making an effort to avoid thoughts, feelings, or conversations about the traumatic event).

    • Berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik tersebut (Making an effort to avoid places or people that remind you of the traumatic event).

    • Sulit untuk mengingat kembali bagian penting dari peristiwa traumatik tersebut (Having a difficult time remembering important parts of the traumatic event).

    • Kehilangan ketertarikan atas aktifitas positif yang penting (A loss of interest in important, once positive, activities).

    • Merasa "jauh" atau seperti ada jarak dengan orang lain (Feeling distant from others).

    • Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan / kebahagiaan atau cinta / kasih sayang (Experiencing difficulties having positive feelings, such as happiness or love).

    • Merasakan seakan-akan hidup anda seperti terputus ditengah- tengah - anda tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal, menikah dan memiliki karir (Feeling as though your life may be cut short - you don’t expect to live a normal life span, get married, have a career).

  • Waspada (Hyperarousal Symptoms)

    Individu yang menderita PTSD akan mengalami peningkatan pada mekanisme fisiologis tubuh, yang akan timbul pada saat tubuh sedang istirahat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari reaksi yang berlebihan terhadap stressor baik secara langsung atau tidak yang merupakan lanjutan atau sisa-sisa dari trauma yang dirasakan. Tanda dan gejala pada kelompok ini biasanya merupakan salah satu cara untuk mengatasi trauma yang dirasakan, contohnya adalah gangguan tidur merupakan akibat dari mimpi buruk yang dialami klien ( National Center of PTSD , 2009). Tanda dan gejala pada kelompok ini adalah :

    • Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah (Having a difficult time falling or staying asleep).

    • Mudah / lekas marah atau meledak-ledak (Feeling more irritable or having outbursts of anger).

    • Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi (Having difficulty concentrating).

    • Selalu merasa seperti sedang diawasi atau merasa seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut ("Feeling constantly "on guard" or like danger is lurking around every corner &quot);.

    • Menjadi gelisah, tidak tenang, atau mudah "terpicu" / sangat "waspada" (Being "jumpy" or easily startled).

Seseorang dikatakan menderita PTSD jika memenuhi kriteria berikut ini dalam waktu minimal 1 bulan (NIMH, 2009; APA, 2000) :

  • Mengalami kejadian atau peristiwa traumatis

  • Minimal memiliki 1 tanda re-experiencing symptoms

  • Minimal memiliki 3 tanda avoding symptoms

  • Minimal memiliki 2 tanda hyper-arousal symptoms

Tanda dan gejala yang menyebabkan individu kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sekolah atau bekerja, berinteraksi dengan teman, menyelesaikan tugas-tugas penting lainnya.

Selain tanda dan gejala di atas, ada beberapa reaksi yang sering muncul akibat peristiwa traumatic yang dialami oleh seseorang menurut National Center of PTSD (2009), yaitu :

  • Emotional effects , antara lain shock, perasaan ngeri, cepat marah, menyalahkan, marah, perasaan bersalah, berduka atau sedih, emosional yang menurun, ketidakberdayaan, kehilangan kesenangan dari aktivitas yang sering dilakukan, kesulitan untuk merasa bahagia, kesulitan dalam hal merasakan perasaan menyayangi.

  • Cognitive effects , antara lain gangguan konsentrasi, gangguan dalam kemampuan mengambil keputusan, gangguan memori, ketidakpercayaan, kebingungan, mimpi buruk, penurunan percaya diri, penurunan self-efficacy , menyalahkan diri sendiri, pikiran atau memori yang mengganggu, khawatir, dissociation .

  • Physical effects , antara lain kelelahan, insomnia, cardiovascular strain , respon kaget, waspada, peningkatan nyeri fisik, penurunan respon imun, sakit kepala, gangguan gastrointestinal, penurunan napsu makan, penurunan libido, beresiko untuk menderita penyakit.

  • Interpersonal effects , peningkatan konflik dalam berhubungan, menarik diri secara sosial, penurunan keakraban dalam berhubungan, mengasingkan diri, gangguan pada performa kerja, gangguan pada performa di sekolah, penurunan kepuasan, tidak percaya, menyalahkan orang lain, merasa diabaikan, over protektif.

Jenis-Jenis PTSD


Menurut APA (2000) dan Ross (1999) jenis-jenis PTSD terbagi atas tiga, yaitu :

  1. PTSD akut; PTSD dikatakan akut tanda dan gejala PTSD berakhir dalam kurun waktu satu bulan, sangat mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam menjalankan fungsinya. Jadi rentang waktunya adalah 1 – 3 bulan dan jika dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut masih merasakan tanda dan gejala PTSD dalam skala berat, itu tandanya dia harus segera menghubungi pelayanan kesehatan terdekat.

  2. PTSD kronik; PTSD kronik timbul jika tanda dan gejalanya berlangung lebih dari tiga bulan. Jika sudah terdiagnosa dengan PTSD ada baiknya segera menghubungi pelayanan kesehatan, karena jika tidak ada treatment yang dilakukan maka tidak ada perubahan kearah yang lebih baik.

  3. PTSD With Delayed Onset ; walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatic itu terjadi. Hal ini timbul pada saat memperingati hari kejadian traumatis tersebut atau bisa juga karena individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan dia terhadap peristiwa traumatis masa lalunya

Kemampuan klien dengan PTSD


Sebagian individu yang mengalami trauma mengalami sedikit kesulitan atau masalah dalam kehidupannya. Mereka hanya butuh waktu yang sedikit untuk mengatasi kesulitan yang timbul akibat trauma. Sedangkan bagi sebagian individu lainnya butuh waktu sampai bertahun-tahun untuk mengatasi kesulitan yang timbul akibat mengalami trauma. Individu dengan PTSD dan telah mendapatkan penanganan akan memiliki kemampuan untuk mengenali tanda dan gejala PTSD, mengenali pikiran-pikiran yang mengganggu, mengatasi pikiran tersebut dan menggunakan pikiran-pikiran yang realistis sehingga tercipta keseimbangan emosi (Ross, 1999). Selain itu Mills, Reiss dan Dombeck (2008) menyebutkan bahwa dengan latihan mekanisme koping yang terus menerus, diharapkan klien yang mengalami masalah trauma akan terbiasa atau resistant terhadap trauma yang dialaminya dan memiliki strategi yang efektif untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam kehidupannya.

Individu yang menderita PTSD yang telah ditangani dengan baik akan memiliki kemampuan untuk mengenali tanda jika dia mengalami PTSD dan mengatasi tanda dan gejala PTSD, pikiran yang mengganggu, serta memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang timbul baik berupa perasaan atau perilaku negatif, dan juga memiliki mekanisme koping yang efektif dalam mengatasi masalah yang muncul. Individu dengan PTSD mampu mengidentifikasi, mencara jalan keluar dari segala masalah yang timbul, apakah itu terkait pikiran yang membuat individu tersebut tertekan, atau perilaku negative yang timbul akibat pikiran-pikiran yang menakutkan yang berkaitan atau yang muncul akibat mengalami trauma. Sehingga pada akhirnya individu dengan PTSD akan mampu mengatasi semua masalahnya dan bisa menjalankan kehidupannya seperti sebelum mengalami peristiwa traumatis.

Penanganan untuk PTSD


PTSD merupakan salah satu dari gangguan kecemasan, oleh karena itu tindakan untuk mengatasi PTSD hampir sama dengan cara untuk mengatasi kecemasan, yaitu :

  • Tindakan Medis
    Berdasarkan DSM-IV, PTSD masuk pada kelompok anxiety disorder , dengan diagnose medis adalah Post-traumatic stress disorder (APA, 2000). Untuk pengobatan atau yang lebih dikenal dengan psikofarmaka menurut Ross (1999) ada beberapa jenis pengobatan yang bisa digunakan pada pengobatan PTSD, yaitu :

  • SSRI antidepressant
    Para ahli mengungkapkan bahwa SSRI antidepresan merupakan pilihan pertama terbaik dalam menangani PTSD. Ada lima SSRI yang bisa digunakan : Zoloft (sertraline), Paxil (paroxetine), Prozac (fluoxetine), Luvox (fluvoxamine), Celexa (citalopram). Antidepresan lain yang bisa digunakan jika SSRI antidepresan tidak efektif mengatasi PTSD atau malah menimbulkan efek samping, yaitu Serzone (nefazone), dan Effexor (venlafazine).

  • Antidepresant Trisiklik

    Ada beberapa antidepressant trisiklik yang bisa digunakan yaitu imipramine, amitriptyline (Evavil). Walaupun begitu antidepressant trisiklik ini tidak merupakan pilihan utama karena memiliki banyak efek samping jika dibandingkan dengan antidepressant yang lain.

  • Antiansietas

    Benzodiazepine adalah obat yang digunakan untuk mengurangi ansietas, biasanya digunakan untuk jangka pendek, yaitu valium (Diazepam), Xanax (alprazolam), Klonopoin (Clonazepam), dan Ativan (Lorazepam).

Terdapat beberapa intervensi lanjut yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah PTSD. Menurut pendapat beberapa ahli, praktik intervensi lanjut untuk mengatasi PTSD diantaranya, dengan menggunakan Terapi Psikososial, antara lain :

  • Exposure therapy , menurut Yulle (1999) bahwa terapi ini memiliki efektivitas yang tinggi untuk mengatasi berbagai gangguan ansietas. Ada beberapa variasi dalam terapi ini, yaitu systematic dezensititation, flooding, image habituating training, dan prolonged exposure, yang terakhir adalah terapi yang direkomendasikan oleh para ahli. Prolonged exposure mencakup konfrontasi terapeutik yang terencana terhadap situasi yang menciptakan ketakutam, memori atau object yang meningkatkan kewaspadaan tapi bisa dikelola. Terapi ini berlangsung lama dan dilakukan berulang-ulang sampai derajat kewaspadaan menurun sampai pada tingkat yang bisa diterima, minimal 50% dibawah level puncak.

  • Trauma-focused cognitive-behavioral therapy, menurut Hudenko dan Crenshaw (2010) terapi untuk mengatasi PTSD dan trauma meliputi cognitive-behavioral therapy yang akan membuka diri klien terhadap pikiran, perasaan, dan situasi yang mengingatkan klien terhada trauma. Terapi ini juga meliputi kegiatan mengidentifikasi pikiran yang membingungkan terkait peristiwa trauma dimana pikiran tersebut tidak rasional dan menyimpang, dan menggantinya dengan gambaran yang lebih baik.

  • EMDR (Eye Movement Desentisitation and Reprocessing) , dalam EMDR klien menggunakan teknik imaginal exposure terhadap trauma yang dirasakan dan sementara itu pada saat yang sama melakukan gerakan mata yang saccadic . Walaupun beberapa riset membuktikan terapi ini efektif untuk PTSD, tetapi beberapa riset lain masih mempertanyakan mekanisme dari terapi ini (Hamblen, Scunurr, Rosenberg, & Eftekhari, 2009). EMDR bertujuan untuk mengubah perasaan klien terhadap memori yang berkaitan dengan trauma dan membantu klien untuk memiliki emosi, pikiran dan perilaku yang positif (NICE, 2005).

  • Family therapy, PTSD tidak hanya akan mempengaruhi klien secara individual, tapi juga akan membawa pengaruh pada orang-orang yang dekat dengan klien. Oleh karena itu terapi keluarga dianggap efektif untuk mengatasi masalah PTSD. Terapi keluarga akan membantu orang terdekat klien untuk memahami apa yang sedang dialami klien, dan juga membantu setiap individu di keluarga tersebut agar berkomunikasi dengan lebih baik sehingga bisa mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan interpersonal (Hudenko & Crenshaw, 2010).

  • Couples therapy juga bisa dilakukan pada klien dengan PTSD. Metode konseling ini melibatkan pelayanan terhadap anggota keluarga. Terapis akan membantu setiap anggota keluarga untuk ikut aktif dalam komunikasi yang terjaln, mempertahankan hubungan yang baik, dan mengatasi tantangan masalah emosional. PTSD kadang kala membawa dampak negatif yang signifikan dalam hubungan interpersonal, sehingga terapi ini akan membantu dalam beberapa kasus PTSD (Benedek., dkk, 2009).

  • Anxiety management, dalam anxiety management terapis akan mengajarkan klien beberapa kemampuan untuk mengatasi tanda dan gejala PTSD, antara lain relaxation training, klien akan belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan dengan cara melakukan relaksasi terhadap otot-otot secara sistematis, breathing retraining, dimana klien belajar bagaimana pernapasan abdomen secara relaks dan menghindari hiperventilasi yang bisa menyebabkan berbagai sensasi fisik yang tidak menyenangkan (palpitasi, pusing), selanjutnya positive thinking and self-talk , dimana klien belajar untuk mengganti pikiran negatif dengan pikiran positif pada saat menghadapi stressor yang mengingatkan klien terhadap trauma, assertiveness training , yaitu klien belajar untuk mengungkapkan harapan, pendapat, dan emosi tanpa menyakiti orang lain, dan terakhir adalah thought stopping, dimana klien belajar untuk menggunakan distraksi untuk mengatasi pikiran yang menakutkan dan mengancam (Ross, 1999). Teknik thought stopping , dimana klien mungkin mengatakan stop keluar dari ide-ide yang muncul. Pengalihan pikiran yang tidak diinginkan secara diubah dan klien memilih alternatif ide positif. Literatur menjelaskan bahwa terapi thought stopping atau disebut juga dengan istilah menghentikan pikiran merupakan teknik efektif dan cepat membantu menghadapi pikiran yang membuat stres dimana seringkali menyertai serangan panik, ansietas dan agrofobia.

    Mengenai manajemen kecemasan juga diungkapkan oleh Stuart dan Laraia (2005), bahwa latihan relaksasi dilakukan melalui teknik pernapasan atau peregangan otot. Seseorang yang mengalami perasaan tidak tentram, ansietas dan stres psikologis, jika diberikan suatu latihan relaksasi yang terprogram secara baik maka akan menurunkan denyut nadi, tekanan darah tinggi, mengurangi keringat dan frekuensi pernafasan sehingga sangat efektif sebagai anti ansietas.

  • Cognitive Behavioral Therapy (CBT). NACBT (2007) menyebutkan bahwa CBT merupakan salah satu terapi yang efektif untuk mengatasi PTSD. Pemberian CBT dan medikasi (anti ansietas dan anti depresan) dalam waktu 6-8 minggu akan membantu mengatasi PTSD sebanyak 70-90% ( Mayo Clinic , 2009). Center for CBT (2006) menyebutkan bahwa CBT merupakan intervensi yang efektif dan yang lebih banyak digunakan untuk mengatasi PTSD.

    CBT adalah terapi yang membantu klien bagaimana berpikir dan bertindak sehingga klien merasa lebih baik. CBT fokus pada masalah yang ada pada saat ini, dan membantu klien untuk memahami masalah yang terlibat begitu besar dan dipecah menjadi bagian-bagian kecil sehingga memudahkan klien melihat bagaimana mereka berkaitan satu sama lain dan bagaimana masalah tersebut mempengaruhi klien ( Royal College of Psychiatris , 2005).

    Banyaknya penelitian yang menyebutkan bahwa CBT ternyata efektif untuk mengatasi masalah gangguan ansietas, bahkan untuk mengatasi masalah PTSD. Klien dengan PTSD memiliki masalah baik dalam masalah pikiran dan juga masalah perilaku, yang nantinya akan mengarah pada masalah kesehatan mental. Untuk itulah CBT bisa digunakan untuk mengatasi klien dengan PTSD agar cara berpikir dan berperilaku klien kembali normal dan bisa menjalankan fungsinya seperti biasa lagi walaupun dia telah mengalami kejadian yang traumatis.

    Banyak terapi yang bisa dimanfaatkan dan diterapkan untuk mengatasi masalah individu yang mengalami PTSD pasca bencana. Untuk penelitian yang akan dilakukan kali ini maka peneliti memilih untuk melaksanakan CBT pada individu yang mengalami PTSD pasca bencana. Karena banyak hasil-hasil penelitian yang menyebutkan bahwa CBT terbukti efektif dalam mengatasi masalah PTSD.

  • Cognitive therapy, menurut Mayo Clinic (2009) bahwa jenis terapi bicara ini akan membantu klien untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pemikiran yang destruktif. Sejalan dengan hal ini, Ross (1999) bahwa terapi ini akan mengubah keyakinan irrasional yang akan mempengaruhi emosi dan fungsi individu. Tujuan dari terapi kognitif ini adalah bagaimana mengidentifikasi pikiran yang mengganggu, mempertimbangkan akibatnya dan mengadopsi pikiran yang lebih realistis agar terciptanya kondisi emosional yang seimbang.

    Varcarolis, dkk., (2006) menjelaskan bahwa terapi kognitif merupakan terapi yang didasarkan pada keyakinan klien dalam kesalahan berfikir, mendorong pada penilaian negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain. Selama proses restrukturisasi pikiran, terapis membantu klien untuk mengidentifikasi pikiran otomatis negatif yang menyebabkan ansietas, menggali pikiran tersebut, mengevaluasi kembali situasi yang realistis dan mengganti hal negatif yang telah diungkapkan dengan ide-ide membangun.

  • Complementary and Alternative Medicine (CAM), salah satu pendekatan yang digunakan adalah akupuntur , merupakan pengobatan tradisional dari Cina. Walaupun studi awal sudah menunjukkan hasil yang memuaskan, tapi masih diperlukan berbagai studi untuk memperkuat justifikasi manfaat terapi ini. Selain akupuntur ada Yoga Nidra, yaitu metode relaksasi dan meditasi. Sama halnya dengan akupuntur, perlu banyak riset untuk menyatakan terapi ini efektif untuk penanganan PTSD (Benedek., dkk, 2009).


Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma yaitu gangguan psikologis yang disebabkan oleh pengalaman ikut menyaksikan atau mengalami langsung peristiwa yang yang mengerikan (Benseller, 2005). Reaksi gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dimulai saat remaja mengalami tekanan-tekanan psikologis secara hebat dari sumber tekanan yang berada di luar jangkauan pengalaman yang biasa dialaminya atau adanya extreme stressor (Ranimpi, 2003).

National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan, atau perang (Nevid, 2005). PTSD diakibatkan dari beberapa faktor baik faktor dari dalam diri korban, maupun faktor lingkungan. Kepribadian juga dianggap sebagai faktor pencetus terjadinya PTSD, seperti pesimisme dan introvet, menyalahkan diri sendiri, penyangkalan (Schiraldi, 2000).

Poerwandari (2006) mengungkapkan ciri-ciri orang yang mengalami PTSD diantaranya adalah:

  • kesulitan mengendalikan emosi/perasaan (mudah marah, mudah tersinggung, sedih yang berlarut larut),
  • kesulitan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih (melamun),
  • ketakutan,
  • mimpi buruk,
  • gangguan tidur,
  • ingatan peristiwa masa lalu yang mencengkeram,
  • gangguan makan,
  • merasa terganggu bila diingatkan

Pengertian PTSD


Kondisi trauma pasca bencana atau musibah ini dalam terminologi psikologi disebut dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ini sering ditemukan muncul pada diri korban yang kemudian memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi fisik, mental maupun sosial mereka.

Pengertian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) menurut APA (2000) merupakan suatu pengalaman individu yang mengalami peristiwa traumatik yang menyebabkan gangguan pada integritas diri individu dan sehingga individu mengalami ketakutan, ketidakberdayaan dan trauma tersendiri (Townsend, 2009; Varcarolis, 2010).

Menurut seorang ahli psikologi Peter Hodgkinson Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat berupa akibat dari adanya suatu bencana atau musibah, kecelakaan lalu lintas, peristiwa perang, bencana alam seperti gempa bumi, meletusnya gunung berapi maupun Tsunami serta diagnosis penyakit terminal, kekerasan yang terjadi mendadak yang kejadiannya berlangsung cepat dan menimbulkan efek traumatik yang mendalam. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat terjadi pada semua usia termasuk pada masa kanak-kanak dan remaja (Videbeck, 2008; Depsos, 2012).

Prevalensi terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada laki-laki 20% dan perempuan 36% yang disebabkan oleh pertempuran, letusan gunung berapi, banjir dan korban kekerasan (Valente, 2010). Hasil studi yang lain menjelaskan bahwa prevalensi terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada kelompok remaja mencapai 8-9 persen, sedangkan menurut studi lain menjelaskan bahwa 13-45 persen kelompok remaja berisiko mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Ziegler, Greenwald, DeGuzman & Simon, 2005). Sedangkan hasil studi yang lain menunjukkan bahwa remaja perempuan merupakan kelompok remaja yang paling berisiko mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dari pada remaja laki-laki (Najavits, Gallop & Weiss, 2006).

Remaja perempuan berisiko lebih besar dikarenakan keberadaan mereka masih dibawah risiko dan ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya, tingkat ketergantungan hidup yang tinggi terhadap orang dewasa, belum memiliki banyak pengalaman hidup serta kemampuan untuk melindungi diri sendiri masih terbatas dan mereka tidak dalam posisi yang dapat mengambil keputusan atas dirinya sendiri (Lubis, 2012).

Tipologi Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Seorang psikiater di Jakarta yang bernama Roan (2003, dalam Wardhani & Lestari, 2011) menyatakan trauma berarti cidera, kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis dalam psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa di lingkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar. Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah:

  1. Pengulangan pengalaman trauma ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa menyedihkan yang telah dialaminya itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.

  2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.

  3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/ tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.

Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) menurut sumber yang lain gejala ini terjadi 3 bulan atau lebih setelah trauma dan akan pulih seutuhnya dalam beberapa bulan. Beberapa individu menggambarkan bahwa peristiwa traumatik berjalan dengan lambat, merupakan peristiwa yang tidak nyata, seperti mimpi. Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sering menyebabkan peningkatan keadaan siaga yang berlebihan, seperti insomnia, waspada berlebihan dan iritabilitas terhadap lingkungan yang berbahaya. Peningkatan ansietas dapat menyebabkan perilaku agresif atau perilaku menciderai diri (Fontaine, 2009).

Penatalaksanaan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Pengobatan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat dilakukan dengan dua macam tindakan yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat seperti obat antipsikotik, anxiolitik, obat anti depresan. Sedangkan pengobatan psikoterapi yang dapat dilakukan yaitu dengan terapi individu maupun kelompok. Menurut beberapa terapis untuk terapi yang tepat untuk Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ada tiga yaitu anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy (Videbeck, 2008; Wardhani & Lestari, 2011).

Menurut Kartono dan Gulo mendefinisikan trauma sebagai luka berat, yaitu pengalaman yang menyebabkan organisme menderita kerusakan fisik maupun psikologis. Jadi, pengalaman individu yang mengakibatkan disfungsi, baik itu secara fisik maupun psikologis dapat dikategorikan sebagai trauma. Ahli lainnya, yaitu Kaplan dan Sadlock memaparkan post-traumatic stress disorder sebagai suatu stres emosional yang besar yang dapat terjadi pada hampir setiap orang yang mengalami kejadian traumatik. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan dan kecelakaan yang serius, seperti kecelakaan mobil dan kebakaran gedung.

National Institute Mental Health menyebutkan posttraumatic stress disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu kejadian yang mengerikan, atau siksaan dengan kejahatan fisik yang gawat, atau kejadian yang mengancam. Individu yang mempunyai kecenderungan post-traumatic stress disosder adalah individu yang mempunyai sebuah pengalaman terhadap peristiwa atau kejadian traumatik sehingga pengalaman traumatik tersebut menimbulkan stres dalam dirinya. Stres yang berkelanjutan inilah yang dikenal dengan post-traumatic stress disorder.

Post traumatic stres disorder (PTSD) (Gangguan stres pasca-trauma). Gangguan emosional yang menyebabkan distres, yang bersifat menetap, yang terjadi setelah menghadapi ancaman keadaan yang membuat individu merasa benar-benar tidak berdaya atau ketakutan. Korban merasa mengalami kembali trauma itu, menghindari stimuli yang terkait dengannya, dan mengembangkan sikap mematirasakan responsivitasnya dan memiliki tingkat kewaspadaan dan arousal yang meningkat.

Reaksi yang berkepanjangan biasanya menyusul peristiwa traumatik yang ekstrem, yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang menimbulkan distres pada hampir setiap orang. Termasuk disini adalah bencana alam misalnya gempa bumi, bencana akibat ulah manusia seperti kebakaran, kecelakaan, dan peperangan serta penyerangan fisik atau perkosaan. Tidak semua yang terlibat dalam peristiwa itu mengalami reaksi yang berkepanjangan, sebagian besar pulih dalam waktu satu bulan.

Reaksi jangka panjang yang paling sering terjadi adalah gangguan stres pasca trauma (GSPT) atau post traumatic stress disorder (PTSD), gangguan fobik dan gangguan depresif. GSPT biasanya timbul dalam waktu enam bulan setelah terjadinya suatu peristiwa traumatik atau merupakan kelanjutan dari gangguan stres akut yang per definisi berlangsung maksimal satu bulan.

PTSD terjadi menjadi PTSD akut dan kronis. PTSD akut dapat didiagnosis dalam waktu satu sampai tiga bulan setelah kejadian. Bila PTSD berlanjut selama lebih dari tiga bulan, maka di anggap kronis. PTSD kronis biasanya berhubungan dengan perilaku menghindar yang lebih menonjol (Davidson, Hughres, Blazer, dan George, 1991), dan lebih disertai oleh diagnosis-diagnosis lain, seperti fobia sosial.

Dalam PTSD yang onsetnya tertunda, individu tidak menunjukkan, atau kalaupun ada hanya sedikit, gejala-gejala segera setelah kejadian traumatik itu terjadi. Tetapi, kelak, bertahun-tahun yang akan datang, mereka mengembangkan PTSD secara penuh. Belum tentu jelas, mengapa onsetnya tertunda kepada sebagian individu.

Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Gejala utama GSPT adalah mengalami kembali secara involunter peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau “bayangan” yang intrunsif, yang menerobos masuk ke dalam kesadaran secara tiba-tiba (kilas balik atau flashback). Hal ini sering dipicu oleh hal-hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang pernah dialami. Kelompok gejala yang lain adalah tanda-tanda meningkatnya keterjagaan (arousal) berupa anxietas yang hebat, iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi yang buruk. Anxietas akan berdampak parah pada saat terjadi kilas balik.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV, 1994), terdapat tiga kelompok symptom post-traumatic stress disorder, yaitu sebagai berikut:

  • Instrusive Re-experiencing , yaitu selalu kembalinya peristiwa traumatik dalam ingatan. Gejala-gejalanya antara lain:
  1. Berulang-ulang muncul dan mengganggu perasaan mengenai peristiwa, termasuk pikiran, perasaan, atau persepsi-persepsi;

  2. Muncul kembali dalam mimpi mengenai peristiwa;

  3. Pikiran-pikiran mengenai peristiwa traumatik selalu muncul, termasuk perasaan hidup kembali pengalaman traumatik, ilusi, halusinasi, dan mengalami flashback mengenai peristiwa;

  4. Gangguan psikologis yang sangat kuat ketika menyaksikan sesuatu yang mengingatkan tentang peristiwa traumatik;

  5. Terjadi reaktivitas fisik, seperti menggigil, jantung berdebar keras atau panic ketika bertemu dengan sesuatu yang mengingatkan peristiwa.

  • Avoidance , yaitu selalu menghindari sesuatu yang berhubungan dengan trauma dan terasa terpecah. Gejala-gejalanya antara lain:
  1. Berusaha menghindari situasi, pikiran-pikiran atau aktivitas yang berhubungan dengan peristiwa traumatik;

  2. Kurangnya perhatian atau partisipasi dalam berbagai kegiatan sehari-hari;

  3. Merasa terpisah atau perasaan terasing dari orang lain;

  4. Membatasi perasaan-perasaan, termasuk untuk memiliki perasaan kasih sayang;

  5. Perasaan menyerah dan takut pada masa depan, termasuk tidak memiliki harapan terhadap karir, pernikahan, anak-anak, atau hidup normal.

  • Arousal , kesadaran secara berlebihan. Gejala lainnya antara lain:
  1. Mengalami gangguan tidur atau bertahan untuk selalu tidur;

  2. Mudah marah dan meledak-ledak;

  3. Kesulitan memusatkan konsentrasi;

  4. Kesadaran berlebih ( hyper-arousal );

  5. Gugup dan mudah terkejut.

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Penggunaan istilah PTSD ini dapat digolongkan dari gejala: (1) sifat yang terlalu berlebihan dan mudah terkejut, (2) penghindaran dan menarik diri, (3) pengalaman berulang, atau memori yang mengganggu menyangkut peristiwa trauma atau yang berhubungan dengan trauma, (4) jangka waktu paling sedikit satu bulan, dan (5) menyebabkan rasa bersalah yang signifikan.

Harvey& Bryant menyatakan dalam bulan pertama setelah pengalaman traumatik, orang dapat memenuhi kriteria diagnostik gangguan tekanan trauma akut. walau puntekanan gangguan akut tidak sentiasa diikuti oleh PTSD, Ia dikaitkan dengan risiko peningkatan PTSD

National Institute of Mental Health menyatakan PTSD adalah gangguan kebimbangan setelah orang-orang melihat atau hidup dalam keadan yang membahaya. Lise (2007) menyatakan PTSD adalah gangguan tekanan setelah trauma yang membangun gejala dan ciri-ciri yang bertahan selama lebih dari 1 bulan, beserta kasus ukaran berfungsi setelah pendedahan kepada pengalaman yang mengancam nyawa.

Atkinson et al. menyatakan PTSD disebabkan oleh trauma fisik atau trauma psikologi atau trauma karena keduanya, karena manusia mengalami peritiwa seperti perkosaan, perang atau serangan pengganas, atau bencana alam. Pada kanak-kanak kemungkinan mengalami trauma di karenakan menyaksikan penderaan fisik, emosi dan seksual atau menyaksikan peristiwa yang dianggap sebagai mengancam nyawa seperti serangan fisik, serangan seksual, kemalangan, kecanduan narkoba, penyakit, komplikasi perobatan, atau pekerjaan dalam pekerjaan yang dihadapkan kepada peperangan (seperti militer) atau bencana.

Holland menyatakan bahawa seseorang dikatakan mengalami PTSD bila ia masih mengalami reaksi pasca peristiwa traumatis setelah lebih dari 6 minggu dengan intensitas dan jangka waktu yang lama, serta menyebabkan adanya gangguan dalam kehidupannya sehari-hari.

Tinjauan terakhir dari beberapa pakar yaitu: Everly & Lating, 1995; Southwick, Brenner, Krystal, & Charney, 1994; Van der Kolk, 1996; Yehuda, 1998 mereka telah menetapkan bahwa fisiologi trauma dan PTSD adalah suatu respon tubuh yang terpisah yang berbeda dari bagian wilayah depresi berat dan fisiologis tubuh secara umum terhadap stresor respon kehidupan rutin.

NIMH (tt) menyatakan siapa saja yang mendapatkan PTSD pada sebarang usia. Ini termasuk veteran perang selamat dari serangan fisik dan seksual, penderaan, kemalangan, bencana, dan banyak lain-lain peristiwa yang serius. Tidak semua orang dengan PTSD telah melalui peristiwa berbahaya. Setengah orang mendapatkan PTSD setelah rakan atau ahli keluarga mengalami pengalaman berbahaya atau menganiaya atau kematian orang yang tersayang secara tiba-tiba tidak disangka, ini dapat menyebabkan PTSD.

Sementara itu, Lise menyatakan orang-orang yang beresiko terkena PTSD adalah:

(1) Orang yang mempunyai pengalaman tempur tentera atau orang awam yang telah dirusak karena perang

(2) Orang yang telah diperkosa, didera secara seksual, atau didera secara fisik

(3) Orang yang telah terlibat dalam atau yang telah menyaksikan peristiwa yang mengancam nyawa

(4) Orang-orang yang telah terlibat dalam bencana alam, seperti puting beliung atau gempa bumi.

Kriteria diagnosis PTSD mengikut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual edisi-IV), (dalam Holland, 2001) ada tiga kriteria yaitu:

  1. Exposure (pendedahan) adalah mengalami sendiri peristiwa traumatik, menyaksikan orang lain terluka parah atau kematian, mengalami kehidupan yang terancam bahaya, mengalami ketakutan terus-menerus sehingga mengalami ketidakupayaan.

2. Re-experiencing (mengalami kembali) adalah flashback, mimpi buruk, hal-hal kecil dengan mencetuskan ingatan akan peristiwa traumatik yang dialami.

3 . Persistent Avoidance (menghindar), adalah upaya menghindar yang dilakukan oleh korban

Jarnawi menyatakan PTSD adalah suatu gangguan emosional yang tidak wajar, yang berbeda dengan gangguan lain seperti depresi dan gangguan panic. PTSD tidak mudah untuk disimpulkan, apabila hanya dari gejala-gejala yang ditimbulkan.

Referensi

https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/2381/1/Trauma%20dan%20Pemulihannya.pdf

Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang terjadi pada seseorang setelah mengalami atau menyaksikan kejadian mengerikan, mengejutkan atau berbahaya. PTSD tidak seperti ketakutan biasa yang dialami seseorang ketika mengalami atau menyaksikan kejadian traumatis. Akan tetapi, orang yang mengalami PTSD akan merasakan reaksi negatif yang dapat bertahan hingga 1 bulan lamanya setelah mengalami atau menyaksikan kejadian traumatis tersebut. Mengetahui kerabat dekat mengalami kekerasan atau meninggal secara tiba-tiba atau terpapar berulang-ulang pada rincian kejadian traumatis juga dapat mengalami PTSD.

FAKTA

  1. Veteran tentara yang bertugas di medan perang memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami PTSD. Hal tersebut karena veteran perang banyak menyaksikan pembunuhan dan kematian.
  2. Seseorang yang pernah mengalami PTSD memiliki kemungkinan 80% lebih tinggi untuk memiliki gejala gangguan mental lainnya, seperti depresi, bipolar atau gangguan kecemasan.
  3. PTSD lebih banyak terjadi pada wanita, tapi pria juga bisa mengalami PTSD.
    GEJALA PTSD
    Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuatnya trauma. Waktu kemunculannya bisa beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kejadian traumatis tersebut. Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap penderita. Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah:
  4. Ingatan pada peristiwa traumatis
    Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya trauma. Bahkan, penderita merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut. Ingatan terhadap peristiwa traumatis tersebut juga sering kali hadir dalam mimpi buruk, sehingga penderita tertekan secara emosional.
  5. Kecenderungan untuk mengelak
    Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang membuatnya trauma. Hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas, dan seseorang yang terkait dengan kejadian traumatis tersebut.
  6. Pemikiran dan perasaan negatif
    Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain itu, penderita juga kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan merasa putus asa. Penderita juga lebih menyendiri dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.
  7. Perubahan perilaku dan emosi
    Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski tidak dipicu oleh ingatan pada peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini juga sering membahayakan dirinya atau orang lain. Penderita juga sulit tidur dan berkonsentrasi.
    PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Namun, pada anak-anak, terdapat gejala khusus, yaitu sering melakukan reka ulang peristiwa traumatis melalui permainan. Anak dengan PTSD juga sering mengalami mimpi buruk yang bisa terkait secara langsung maupun tidak dengan kejadian traumatis yang dialaminya.
    Untuk Anak-Anak Berusia 6 Tahun Ke Bawah:
    Gejala PTSD pada anak berusia 6 tahun atau kurang pada dasarnya sama dengan gejala orang dewasa, remaja, atau anak di atas 6 tahun. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang membedakan gejala tersebut, di antaranya:
  8. Penyaksian atau pengetahuan mengenai kejadian traumatis yang terjadi pada orang lain akan lebih berpengaruh jika terjadi pada orang tua atau pengasuh utama. Misalnya menyaksikan kecelakaan pada ayah atau mengetahui ibu mengalami kekerasan.
  9. Ingatan negatif dan mimpi buruk yang muncul terkait kejadian traumatis dapat diperagakan oleh anak saat bermain. Begitu pula dengan reaksi seolah mengalami kejadian traumatis juga dapat diperagakan.
  10. Perubahan dalam perilaku berupa kehilangan minat atau partisipasi pada kegiatan tertentu juga terlihat dari perilaku membatasi permainan yang dilakukan.
  11. Menarik diri.
  12. Jarang mengekspresikan emosi positif.
  13. Gangguan yang dialami mengakibatkan terganggunya hubungan dengan orang tua, saudara, teman sebaya, pengasuh, atau perubahan pada perilaku di sekolah.
    PENYEBAB
    Faktor Sebelum Mengalami Trauma
    Emosional:
    • Pernah mengalami masalah emosional di masa kanak-kanak sebelum usia 6 tahun. Masalah emosional tersebut termasuk pernah mengalami kejadian traumatis sebelumnya yang menimbulkan gangguan emosional.
    • Pernah mengalami gangguan mental.
    Lingkungan:
    • Tingkat ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah atau pernah mengalami trauma sebelumnya terutama saat kecil.
    • Kesulitan yang dialami saat kecil, termasuk keluarga yang tidak berfungsi dengan baik atau perceraian orang tua.
    • Karakteristik budaya, misalnya budaya yang mengajarkan untuk menyalahkan diri sendiri atau orang lain.
    • Tingkat kecerdasan rendah.
    • Status ras/etnis minoritas.
    • Riwayat gangguan mental yang pernah dialami anggota keluarga.
    Fisiologis dan genetis:
    • Jenis kelamin, usia yang masih muda saat terpapar kejadian traumatis, dan jenis gen tertentu.
    Faktor Saat Mengalami Trauma
    Lingkungan:
    • Tingkat keterpaparan pada kejadian traumatis. Semakin ekstrem keterpaparan yang dirasakan, semakin besar kemungkinan untuk mengalami PTSD.
    • Merasa hidup terancam.
    • Cedera personal, misalnya patah kaki.
    • Kekerasan yang dilakukan orang lain terutama yang dilakukan oleh pengasuh, atau menyaksikan pengasuh mengalami ancaman.
    • Bagi anggota militer termasuk di antaranya menjadi eksekutor, menyaksikan kekejaman atau membunuh musuh.
    • Respon yang muncul saat trauma dan tetap bertahan setelah trauma berakhir.
    Faktor Setelah Mengalami Trauma
    Emosional
    • Penilaian negatif yang diterima, seperti dianggap sebagai penyebab kejadian traumatis terjadi.
    • Strategi mengatasi stres (coping) yang tidak tepat, seperti menghindari hal-hal yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
    • Pengembangan gangguan mental lainnya seperti gangguan stres akut.
    Lingkungan
    • Kembali terpapar secara berulang-ulang pada sesuatu yang mengingatkan kejadian tidak menyenangkan yang pernah dialami.
    • Pengalaman hidup merugikan yang terjadi setelah mengalami kejadian traumatis.
    • Kerugian finansial atau kerugian lainnya yang berkaitan dengan kejadian traumatis yang dialami.
    TERAPI
  14. Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT)
    CBT merupakan metode terapi yang digunakan untuk mengenali pemikiran, perasaan dan perilaku yang kurang tepat tentang suatu hal. Pengenalan tersebut akan digunakan untuk memahami bagaimana ketiga hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam CBT yang berfokus pada trauma, seseorang akan dilatih untuk mengenali pemikiran, perasaan, dan perilaku terkait trauma yang terjadi. Sehingga orang tersebut akan dapat mengelola reaksinya terhadap trauma tersebut dengan lebih baik.
  15. Cognitive Processing Therapy (CPT)
    CPT dilakukan untuk mengubah cara berpikir seseorang mengenai trauma yang dialami. Pada CPT, seseorang akan diminta menuliskan rincian mengenai trauma yang dialami untuk membantu mengidentifikasi pola pemikirannya. Kemudian orang tersebut akan diarahkan untuk mengubah pola pemikiran tersebut agar dapat memandang trauma dari sisi yang lebih positif.
  16. Prolonged Exposure Therapy (PE)
    Pada PE, seseorang akan diminta untuk menuliskan hal-hal apa saja yang selama ini dihindari sejak mengalami trauma. Selanjutnya orang tersebut akan diajarkan teknik bernapas untuk meringankan kecemasan yang hadir saat menghadapi apa yang ia hindari selama ini. Lalu satu persatu hal-hal yang dihindari akan dimunculkan dan orang tersebut akan dibantu menghadapi hal-hal tersebut.
  17. Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)
    Pada EMDR, seseorang akan diminta untuk mengikuti gerakan sesuatu secara bolak-balik dengan matanya saat membicarakan trauma yang dialami. Terapi ini bertujuan untuk membantu seseorang fokus pada hal lain selain trauma yang dialami. EMDR akan terus dilakukan sampai orang tersebut terbiasa membicarakan trauma yang dialami.
  18. Farmakoterapi
    Terdapat beberapa obat antidepresan yang dapat dikonsumsi oleh orang dengan PTSD untuk membantu meringankan gejala-gejalanya
    Direktori Psikologi: Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) — Pijar Psikologi #UnderstandingHuman
    PTSD - Gejala, penyebab dan mengobati - Alodokter

Post-traumatic stress disorder atau biasa disebut PTSD adalah gangguan mental yang dipicu oleh peristiwa yang menakutkan—bisa dialami sendiri atau hanya menyaksikan saja. Banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis ini mengalami kesulitan untuk mengatasi masalah dan menyesuaikan diri.

National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan, atau perang (Nevid, 2005). Dengan demikian PTSD dapat meliputi kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse, atau perang.

Meskipun kebanyakan individu atau korban yang mempunyai pengalaman traumatis sampai taraf tertentu mengalami distres psikologis, tidak semua korban trauma mengembangkan ciri-ciri post traumatic syndromes disorders (PTSD). Tetapi, banyak yang menderita hal itu. Kerentanan terhadap PTSD kemungkinan tergantung pada faktor-faktor seperti resiliensi dan kerentanan terhadap efek trauma, keparahan trauma, derajat pemaparan, ketersediaan dukungan sosial, penggunaan respons coping aktif dalam menghadapi stres traumatis, dan perasaan malu. Para korban yang mengalami PTSD cenderung mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita gangguan psikologis tertentu, seperti depresi mayor, gangguan panik, dan fobia sosial. Pada kasus traumatis yang disebabkan oleh tindak kekerasan dan mengalami pelecehan seksual, penderita cenderung menunjukkan keinginan bunuh diri yang tinggi. Dengan demikian dapat dipahami akan kerugian emosional yang luar biasa tinggi yang sangat tidak diharapkan diderita oleh para korban. Diperlukan upaya penanganan terhadap korban yang masih terus-menerus dilakukan (Nawangsih, 2014).

Pada dasarnya PTSD adalah suatu kondisi yang bisa dialami oleh semua orang. Namun, beberapa faktor dapat membuat Anda lebih mungkin mengembangkan PTSD, seperti:

  • Mengalami trauma yang intens atau bertahan lama.
  • Pernah mengalami trauma di masa anak-anak.
  • Pekerjaan yang berisiko meningkatkan risiko terkena peristiwa traumatis.
  • Memiliki masalah dengan penyalahgunaan zat, seperti konsumsi alkohol berlebihan atau penggunaan narkoba.
  • Tidak memiliki pendukung yang baik, bisa dari keluarga atau teman.
  • Memiliki saudara kandung dengan masalah kesehatan mental.

Peristiwa paling umum yang mengarah pada pengembangan PTSD adalah:

  • Pelecehan fisik masa kecil.
  • Kekerasan seksual.
  • Serangan fisik.
  • Diancam dengan senjata.
  • Kecelakaan.

Selain beberapa hal di atas, peristiwa lain yang dapat menyebabkan PTSD adalah kebakaran, bencana alam, atau diagnosis medis yang mengancam jiwa.

Gejala PTSD

Secara umum gejala-gejala yang sering dialami korban PTSD adalah sebagai berikut:

  1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, ada flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.

  2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan pengalaman traumatik atau mati rasa dalam responsivitas. Seseorang yang mengalami trauma menghindari untuk berpikir tentang trauma atau tentang stimulus yang mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif.

  3. Ketegangan yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur atau mempertahankan tidur, mudah marah atau tidak dapat mengendalikan marah, sulit berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon kejut yang berlebihan atas segala sesuatu (Nawangsih, 2014).

Pengobatan PTSD

Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi anti depresiva pada gangguan stres pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin contoh, estazolam 0,5-1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5-10 mg per os, Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os atau IM– juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansie tas yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut.

Pengobatan psikoterapi. Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan e fektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy. Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:

  1. relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,

  2. breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan - lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa - gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala,

  3. positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal – hal yang membuat stress (stresor),

  4. assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,

  5. thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal - hal yang membuat kita stress

Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b). Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu meng-hadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang meng - ingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam ke -hidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita ber -usaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya.

Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebel um kejadian trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode -metode yang benar sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.

Sumber:
Nawangsih, Endah. 2014. Play therapy untuk anak-anak korban bencana alam yang mengalami trauma (Post traumatic stress disorder/PTSD). Jurnal Ilmiah Psikologi . 1:(2):164-178.

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau Gangguan Stress Pasca Trauma merupakan sebuah gangguan mental yang muncul setelah seseorang menyaksikan ataupun mengalami suatu hal yang tidak menyenangkan. Hal yang tidak menyenangkan tersebut dapat berupa bencana alam, kecelakaan yang cukup serius, perang ataupun berbagai keadaan lain dimana seseorang tengah terancam keamanan jiwa dan raganya.

Gejala PTSD dapat muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuat dirinya trauma. Untuk lama waktu kemunculannya sendiri bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan setelah kejadian traumatik tersebut terjadi. Selain lama kemunculan yang dapat bervariasi pada tiap-tiap penderita, tingkat keparahannya pun juga dapat berbeda dari satu penderita ke penderita PTSD lainnya.

Berikut merupakan beberapa gejala yang muncul kepada seseorang yang tengah mengalami PTSD:

  • Intrusion: Pikiran mengganggu yang datang secara tiba-tiba, berulang, dan dapat timbul sebagai mimpi buruk ataupun flashback akan kejadian traumatik yang telah menimpa orang tersebut. Bahkan bagi beberapa penderita PTSD, pikiran ini dapat muncul dan nampak begitu nyatanya yang tentunya hal tersebut akan membuat penderita seakan tengah mengulang kembali kejadian tersebut.

  • Avoidance: Menghindari berbagai tempat, aktivitas, ataupun objek serta situasi yang dapat menjadi sebuah pengingat akan peristiwa traumatis. Dengan begitu, penderita PTSD mungkin akan mencoba untuk menolak membicarakan perasaan mereka ataupun kejadian yang telah terjadi.

  • Alterations in cognition and mood: Ketidakmampuan untuk mengingat beberapa aspek penting akan peristiwa traumatis cenderung membuat penderita PTSD memiliki pikiran serta perasaan negatif yang mengarahkan penderita pada suatu keyakinan terus-menerus yang menyimpang. Keyakinan ini dapat termanifestasi pada diri sendiri maupun orang lain, seperti misalnya penderita dapat secara berulang berpendapat bahwa dirinya seseorang yang buruk, dan pantas untuk disalahkan atas kejadian yang telah terjadi, ataupun penderita merasa bahwa semua orang tidaklah dapat dipercaya. Selain itu, penderita juga dapat kehilangan minat akan berbagai aktivitas yang dahulu mereka sukai

  • Alterations in reactivity and emotion: Seseorang yang menderita PTSD bisa menjadi seorang pribadi yang mudah tersinggung dan mudah marah. Sehingga ia pun juga dapat berperilaku sembrono, dan terkesan reckless. Bahkan penderita PTSD dapat menjadi seorang pribadi yang terlalu waspada akan lingkungan, mudah terkejut, sulit berkonsentrasi ataupun tidur.

Penderita Post Traumatic Stress Disorders (PTSD) dapat datang dari berbagai kalangan. Berdasarkan data dari “the National Center for PTSD America” sekitar 7 sampai dengan 8 dari setiap 100 orang akan mengalami PTSD pada suatu saat di dalam hidup mereka. Tak hanya itu, wanita pun cenderung akan lebih mungkin untuk mengidap PTSD daripada pria.

Perlu diingat bahwa tidak semua orang yang mengidap PTSD telah melewati suatu kejadian yang berbahaya. PTSD bisa diidap oleh seseorang setelah ada teman ataupun anggota keluarga yang telah mengalami bahaya. Suatu kematian mendadak dan tidak terduga dari seseorang yang dicintai dapat menyebabkan timbulnya PTSD pada seseorang.

Lalu bagaimana treatment serta therapy yang dapat diberikan bagi penderita PTSD? Perawatan utama bagi penderita PTSD dapat diberikan dengan cara medikasi, psikoterapi (“talk therapy”), ataupun keduanya. Treatment yang dapat diberikan kepada penderita tentunya akan berbeda-beda. Karena efektivitas dari suatu treatment akan berbeda-beda pula pada tiap-tiap penderita. Dengan demikian, penting halnya bagi siapapun dengan PTSD untuk dirawat oleh penyedia kesehatan mental yang telah berpengalaman dengan PTSD dan untuk tidak melakukan self-diagnosed.

Referensi

https://www.psychiatry.org/patients-families/ptsd/what-is-ptsd
PTSD - Gejala, penyebab dan mengobati - Alodokter
Post-traumatic stress disorder (PTSD) - Symptoms and causes - Mayo Clinic