Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan salah satu gangguan mental emosional yang termasuk pada kelompok gangguan ansietas, yang terjadi biasanya karena ada peristiwa traumatik yang dialami.
Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (APA, 2000).
Menurut Smith dan Segal (2008) Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak berdaya.
NIMH (2008) mendefenisikan PTSD sebagai suatu jenis gangguan kecemasan yang terjadi pasca trauma atau terkena semacam kejadian traumatik.
Menurut NICE (2005), PTSD adalah suatu kondisi dimana terjadi masalah/gangguan pada fisik dan psikologis seseorang sebagai akibat dari kejadian yang menekan atau mengancam kehidupan, yaitu bencana alam, perang, kekerasan fisik, seksual dan emosional, kecelakaan dan semua kejadian yang membuat seseorang merasa tertekan, putus asa dan merasa dirinya dalam bahaya.
Penyebab Terjadinya PTSD
Biologis
Ditinjau dari aspek biologis, PTSD terjadi karena ada proses yang terjadi di otak. Individu yang mengalami PTSD akan merasakan berbagai perubahan pada fisiknya. System saraf pusat dan sistem saraf otonom akan terpengaruh oleh kondisi ini. Selain itu juga terjadi penurunan ukuran dari hipokampus dan amigdala yang over reaktif. Komponen yang paling penting adalah memori, karena kejadian traumatis akan berulang terus menerus melalui memori. Hipokampus dan amigdala adalah kunci dari memori manusia (Schiraldi, 2009).
Diyakini bahwa amigdala adalah fear center dari otak. Sehingga bisa kita pahami bahwa penderita PTSD akan mengalami amigdala yang over reaktif. Amigdala membantu otak dalam membuat hubungan antara situasi yang menimbulkan ketakutan di masa lalu dan karena kondisi ini berpasangan dengan situasi saat ini yang bisa saja netral. Individu akan mempertahankan kondisi waspada yang konstan pada saat situasi yang tidak tepat, karena pada saat itu otak memerintahkan individu bahwa situasi ―aman‖ sedang menghadapi ancaman (Yulle, 1999).
Hipokampus juga memainkan peranan yang penting pada fungsi belajar dan memori. Beberapa ahli menyebutkan bahwa hipokampus adalah bagian yang menciptakan harapan-harapan terhadap situasi yang akan memberikan reward atau situasi yang akan menimbulkan punishment berdasarkan pada memori dan pengalaman belajar dari masa lalu. Pada penderita PTSD dengan kerusakan hipokampus, ditemukan bahwa otak akan mengalami kesulitan untuk belajar harapan-harapan baru untuk berbagai situasi yang terjadi setelah kejadian traumatis (PTSD Support Service , 2009; Yulle, 1999).
Pada penderita PTSD juga mengalami derajat hormon stress yang tidak normal. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan PTSD memiliki hormon kortisol yang rendah jika dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami PTSD dan hormon epinefrin dan norepinefrin dalam jumlah yang lebih dari rata-rata. Ketiga hormon tersebut berperan penting dalam menciptakan respon ― flight or fight ‖ terhadap situasi stress. Ini berarti bahwa individu dengan PTSD akan selalu berada dalam kondisi ― flight or fight ‖. Individu dengan PTSD juga memiliki kadar natural opiate yang tinggi. Kondisi ini akan membuat individu untuk mengalami kembali trauma dalam hal untuk mencapai respon dari opiate (PTSD Support Service , 2009)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormon-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala ( Mayo Clinic , 2009).
Penyebab lain dari segi biologi seseorang akan menderita PTSD adalah adanya riwayat keluarga yang menderita gangguan jiwa seperti depresi dan kecemasan menurut PAHO (2009). Adanya faktor genetik juga berpengaruh dalam kemungkinan seseorang menderita PTSD atau tidak. Walaupun begitu, faktor genetik tidak merupakan penyebab utama terjadinya masalah PTSD.
Aspek biologis PTSD terjadi karena adanya gangguan pada fungsi otak, terutama amigdala dan bagian-bagian lainnya, gangguan regulasi mekanisme kecemasan dan terakhir adanya faktor genetik.
Psikososial
Pengalaman hidup yang dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya juga merupakan salah satu penyebab terjadinya PTSD. Pengalaman hidup ini mencakup pengalaman yang dialami dari masa kecil sampai dengan dewasa. Selain pengalaman hidup yang dialami, jumlah dan tingkat keparahan peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut juga memberikan pengaruh ( Mayo Clinic , 2009). Smith dan Segal (2005 dalam Adesla, 2009) menyebutkan peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD termasuk : perang (war), pemerkosaan (rape), bencana alam (natural disasters), kecelakaan mobil / pesawat (a car or plane crash), penculikan (kidnapping) , penyerangan fisik (violent assault), penyiksaan seksual / fisik (sexual or physical abuse) , prosedur medikal - terutama pada anak-anak (medical procedures - especially in kids) .
Faktor psikologis lain yang ikut berkontribusi adalah faktor yang dibawa oleh individu dari lahir, yaitu sifat bawaan atau yang sering disebut dengan kepribadian seseorang juga merupakan penyebab terjadinya PTSD ( Mayo Clinic , 2009).
Pengalaman pada masa lalu bisa menyebabkan seseorang menderita PTSD. Pengalaman masa lalu terkait pengalaman pada masa anak-anak, seperti menjadi korban kekerasan seksual, perpisahan dengan orang tua pada usia dini, perceraian, bahkan kemiskinan (Connor & Butterfield, 2003). Kurangnnya support sosial juga salah satu faktor yang bisa menimbulkan PTSD, disfungsi keluarga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya PTSD (PAHO, 2009).
Aspek psikososial PTSD adalah pengalaman hidup yang terkait dengan trauma, sifat bawaan atau kepribadian individu tersebut, dan kurangnya support sosial. Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab timbulnya PTSD jika dilihat dari faktor psikososial dari individu yang mengalami trauma.
Faktor Risiko pada PTSD
NIMH (2008) menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang berperan penting apakah seseorang akan menderita PTSD atau tidak. Ada beberapa faktor resiko yang akan membuat individu lebih berkesempatan menderita PTSD dan ada faktor resilience yang mampu mengurangi resiko untuk menderita PTSD. Faktor resiko dan faktor resilience ini sudah ada sebelum individu mengalami trauma dan menjadi penting selama dan sesudah terjadinya trauma.
Faktor resiko meliputi tetap hidup setelah melalui kejadian berbahaya dan traumatis, memiliki riwayat penyakit mental, mengalami kecelakaan, melihat orang lain terluka atau meninggal, perasaan tertekan, tidak berdaya dan ketakutan yang amat sangat, menghadapi banyak stressor setelah kejadian traumatis, seperti kehilangan anggota keluarga, kehilangan rumah atau pekerjaan (NIMH, 2008). Faktor resiko lain yang akan memperberat seseorang untuk menderita PTSD adalah jenis kelamin. Perempuan memiliki resiko yang lebih besar dari laki-laki untuk menderita PTSD. Hal ini disebabkan karena rendahnya sintesa serotonin, tingginya prevalensi perempuan untuk menjadi korban dalam peristiwa traumatis (perkosaan, kekerasan). Memiliki masalah kesehatan, penggunaan alkohol, minimnya pendapatan, tingkat pendidikan yang rendah, status sebagai minoritas, perasaan yang tidak aman, dan banyaknya jumlah tanda dan gejala PTSD yang dimiliki akan memperberat PTSD yang diderita oleh individu tersebut. (Connor & Butterfield, 2003).
Resiliensi adalah suatu proses yang dinamis dalam diri individu dalam mengembangkan kemampuannya untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat, dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang dialaminya pada situasi sulit agar dapat beradaptasi secara positif (Herlina, 2009).
Faktor resilience untuk PTSD adalah mencari dukungan dari orang lain, memiliki support group setelah kejadian traumatis, perasaan yang lebih baik terhadap reaksi yang timbul untuk menghadapi bahaya, memiliki strategi koping yang efektif, dan mampu untuk bertindak dan berespon secara efektif dari pada merasakan ketakutan. Makin banyak faktor-faktor resilience ini dimiliki oleh individu, maka resiko untuk menderita PTSD akan berkurang (NIMH, 2008; Connor & Butterfield, 2003).
Tanda dan Gejala PTSD
Selama bertahun-tahun penelitian, ditemukan sebanyak 3 kelompok tanda dan gejala PTSD. Simptom-simptom tersebut ditulis dalam APA (2000). Ketiga kelompok tersebut, dan simptom-simptom spesifik yang ada di dalamnya dijelaskan di bawah ini:
-
Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut ( Re- Experiencing Symptoms )
Tanda dan gejala PTSD adalah merasakan kembali kejadian traumatis dalam berbagai cara dan hal ini terjadi terus menerus dan menetap. Dengan munculnya tanda dan gejala tersebut, trauma akan dirasakan kembali oleh individu yang menderita PTSD melalui mimpi, memori atau masalah yang merupakan respon karena teringat tenatng trauma yang dialami ( National Center of PTSD , 2009). Menurut Yehuda (2002), bahwa tanda dan gejala pada kelompok ini merupakan perwujudan dari kenangan tentang insiden yang tidak diinginkan, muncul dalam bentuk bayangan atau imajinasi yang mengganggu, mimpi buruk dan kilas balik. Tanda dan gejala yang timbul adalah :
-
Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik tersebut (Frequently having upsetting thoughts or memories about a traumatic event).
-
Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang (Having recurrent nightmares).
-
Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai "flashback" (Acting or feeling as though the traumatic event were happening again, sometimes called a "flashback ").
-
Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatik tersebut (Having very strong feelings of distress when reminded of the traumatic event).
-
Terjadi respon fisikal, seperti jantung berdetak kencang atau berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut (Being physically responsive, such as experiencing a surge in your heart rate or sweating, to reminders of the traumatic event).
-
Menghindar ( Avoidance Symptoms )
Tanda dan gejala PTSD menurut kelompok ini meliputi penurunan respon individu secara umum dan perilaku menghindar yang menetap terhadap segala hal yang mengingatkan klien terhadap trauma. Hal-hal yang bisa mengingatkan klien terhadap trauma bisa bersumber dari diri klien sendiri, seperti pikiran atau perasaan tentang trauma yang dialami, atau bisa juga karena adanya stimulus dari luar atau lingkungan yang mampu membangkitkan memori atau perasaan yang tidak menyenangkan. Selain itu, tanda dan gejala PTSD pada kelompok ini meliputi penurunan kemampuan emosional, merasa jauh dari orang lain dan tidak memiliki cita-cita atau harapan yang akan dipenuhi untuk masa depannya ( National Center of PTSD , 2009). Tanda dan gejala pada kelompok ini adalah :
-
Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan mengenai peristiwa traumatik tersebut (Making an effort to avoid thoughts, feelings, or conversations about the traumatic event).
-
Berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik tersebut (Making an effort to avoid places or people that remind you of the traumatic event).
-
Sulit untuk mengingat kembali bagian penting dari peristiwa traumatik tersebut (Having a difficult time remembering important parts of the traumatic event).
-
Kehilangan ketertarikan atas aktifitas positif yang penting (A loss of interest in important, once positive, activities).
-
Merasa "jauh" atau seperti ada jarak dengan orang lain (Feeling distant from others).
-
Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan / kebahagiaan atau cinta / kasih sayang (Experiencing difficulties having positive feelings, such as happiness or love).
-
Merasakan seakan-akan hidup anda seperti terputus ditengah- tengah - anda tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal, menikah dan memiliki karir (Feeling as though your life may be cut short - you don’t expect to live a normal life span, get married, have a career).
-
Waspada (Hyperarousal Symptoms)
Individu yang menderita PTSD akan mengalami peningkatan pada mekanisme fisiologis tubuh, yang akan timbul pada saat tubuh sedang istirahat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari reaksi yang berlebihan terhadap stressor baik secara langsung atau tidak yang merupakan lanjutan atau sisa-sisa dari trauma yang dirasakan. Tanda dan gejala pada kelompok ini biasanya merupakan salah satu cara untuk mengatasi trauma yang dirasakan, contohnya adalah gangguan tidur merupakan akibat dari mimpi buruk yang dialami klien ( National Center of PTSD , 2009). Tanda dan gejala pada kelompok ini adalah :
-
Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah (Having a difficult time falling or staying asleep).
-
Mudah / lekas marah atau meledak-ledak (Feeling more irritable or having outbursts of anger).
-
Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi (Having difficulty concentrating).
-
Selalu merasa seperti sedang diawasi atau merasa seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut ("Feeling constantly "on guard" or like danger is lurking around every corner ");.
-
Menjadi gelisah, tidak tenang, atau mudah "terpicu" / sangat "waspada" (Being "jumpy" or easily startled).
Seseorang dikatakan menderita PTSD jika memenuhi kriteria berikut ini dalam waktu minimal 1 bulan (NIMH, 2009; APA, 2000) :
-
Mengalami kejadian atau peristiwa traumatis
-
Minimal memiliki 1 tanda re-experiencing symptoms
-
Minimal memiliki 3 tanda avoding symptoms
-
Minimal memiliki 2 tanda hyper-arousal symptoms
Tanda dan gejala yang menyebabkan individu kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sekolah atau bekerja, berinteraksi dengan teman, menyelesaikan tugas-tugas penting lainnya.
Selain tanda dan gejala di atas, ada beberapa reaksi yang sering muncul akibat peristiwa traumatic yang dialami oleh seseorang menurut National Center of PTSD (2009), yaitu :
-
Emotional effects , antara lain shock, perasaan ngeri, cepat marah, menyalahkan, marah, perasaan bersalah, berduka atau sedih, emosional yang menurun, ketidakberdayaan, kehilangan kesenangan dari aktivitas yang sering dilakukan, kesulitan untuk merasa bahagia, kesulitan dalam hal merasakan perasaan menyayangi.
-
Cognitive effects , antara lain gangguan konsentrasi, gangguan dalam kemampuan mengambil keputusan, gangguan memori, ketidakpercayaan, kebingungan, mimpi buruk, penurunan percaya diri, penurunan self-efficacy , menyalahkan diri sendiri, pikiran atau memori yang mengganggu, khawatir, dissociation .
-
Physical effects , antara lain kelelahan, insomnia, cardiovascular strain , respon kaget, waspada, peningkatan nyeri fisik, penurunan respon imun, sakit kepala, gangguan gastrointestinal, penurunan napsu makan, penurunan libido, beresiko untuk menderita penyakit.
-
Interpersonal effects , peningkatan konflik dalam berhubungan, menarik diri secara sosial, penurunan keakraban dalam berhubungan, mengasingkan diri, gangguan pada performa kerja, gangguan pada performa di sekolah, penurunan kepuasan, tidak percaya, menyalahkan orang lain, merasa diabaikan, over protektif.
Jenis-Jenis PTSD
Menurut APA (2000) dan Ross (1999) jenis-jenis PTSD terbagi atas tiga, yaitu :
-
PTSD akut; PTSD dikatakan akut tanda dan gejala PTSD berakhir dalam kurun waktu satu bulan, sangat mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam menjalankan fungsinya. Jadi rentang waktunya adalah 1 – 3 bulan dan jika dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut masih merasakan tanda dan gejala PTSD dalam skala berat, itu tandanya dia harus segera menghubungi pelayanan kesehatan terdekat.
-
PTSD kronik; PTSD kronik timbul jika tanda dan gejalanya berlangung lebih dari tiga bulan. Jika sudah terdiagnosa dengan PTSD ada baiknya segera menghubungi pelayanan kesehatan, karena jika tidak ada treatment yang dilakukan maka tidak ada perubahan kearah yang lebih baik.
-
PTSD With Delayed Onset ; walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatic itu terjadi. Hal ini timbul pada saat memperingati hari kejadian traumatis tersebut atau bisa juga karena individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan dia terhadap peristiwa traumatis masa lalunya
Kemampuan klien dengan PTSD
Sebagian individu yang mengalami trauma mengalami sedikit kesulitan atau masalah dalam kehidupannya. Mereka hanya butuh waktu yang sedikit untuk mengatasi kesulitan yang timbul akibat trauma. Sedangkan bagi sebagian individu lainnya butuh waktu sampai bertahun-tahun untuk mengatasi kesulitan yang timbul akibat mengalami trauma. Individu dengan PTSD dan telah mendapatkan penanganan akan memiliki kemampuan untuk mengenali tanda dan gejala PTSD, mengenali pikiran-pikiran yang mengganggu, mengatasi pikiran tersebut dan menggunakan pikiran-pikiran yang realistis sehingga tercipta keseimbangan emosi (Ross, 1999). Selain itu Mills, Reiss dan Dombeck (2008) menyebutkan bahwa dengan latihan mekanisme koping yang terus menerus, diharapkan klien yang mengalami masalah trauma akan terbiasa atau resistant terhadap trauma yang dialaminya dan memiliki strategi yang efektif untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam kehidupannya.
Individu yang menderita PTSD yang telah ditangani dengan baik akan memiliki kemampuan untuk mengenali tanda jika dia mengalami PTSD dan mengatasi tanda dan gejala PTSD, pikiran yang mengganggu, serta memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang timbul baik berupa perasaan atau perilaku negatif, dan juga memiliki mekanisme koping yang efektif dalam mengatasi masalah yang muncul. Individu dengan PTSD mampu mengidentifikasi, mencara jalan keluar dari segala masalah yang timbul, apakah itu terkait pikiran yang membuat individu tersebut tertekan, atau perilaku negative yang timbul akibat pikiran-pikiran yang menakutkan yang berkaitan atau yang muncul akibat mengalami trauma. Sehingga pada akhirnya individu dengan PTSD akan mampu mengatasi semua masalahnya dan bisa menjalankan kehidupannya seperti sebelum mengalami peristiwa traumatis.
Penanganan untuk PTSD
PTSD merupakan salah satu dari gangguan kecemasan, oleh karena itu tindakan untuk mengatasi PTSD hampir sama dengan cara untuk mengatasi kecemasan, yaitu :
-
Tindakan Medis
Berdasarkan DSM-IV, PTSD masuk pada kelompok anxiety disorder , dengan diagnose medis adalah Post-traumatic stress disorder (APA, 2000). Untuk pengobatan atau yang lebih dikenal dengan psikofarmaka menurut Ross (1999) ada beberapa jenis pengobatan yang bisa digunakan pada pengobatan PTSD, yaitu :
-
SSRI antidepressant
Para ahli mengungkapkan bahwa SSRI antidepresan merupakan pilihan pertama terbaik dalam menangani PTSD. Ada lima SSRI yang bisa digunakan : Zoloft (sertraline), Paxil (paroxetine), Prozac (fluoxetine), Luvox (fluvoxamine), Celexa (citalopram). Antidepresan lain yang bisa digunakan jika SSRI antidepresan tidak efektif mengatasi PTSD atau malah menimbulkan efek samping, yaitu Serzone (nefazone), dan Effexor (venlafazine).
-
Antidepresant Trisiklik
Ada beberapa antidepressant trisiklik yang bisa digunakan yaitu imipramine, amitriptyline (Evavil). Walaupun begitu antidepressant trisiklik ini tidak merupakan pilihan utama karena memiliki banyak efek samping jika dibandingkan dengan antidepressant yang lain.
-
Antiansietas
Benzodiazepine adalah obat yang digunakan untuk mengurangi ansietas, biasanya digunakan untuk jangka pendek, yaitu valium (Diazepam), Xanax (alprazolam), Klonopoin (Clonazepam), dan Ativan (Lorazepam).
Terdapat beberapa intervensi lanjut yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah PTSD. Menurut pendapat beberapa ahli, praktik intervensi lanjut untuk mengatasi PTSD diantaranya, dengan menggunakan Terapi Psikososial, antara lain :
-
Exposure therapy , menurut Yulle (1999) bahwa terapi ini memiliki efektivitas yang tinggi untuk mengatasi berbagai gangguan ansietas. Ada beberapa variasi dalam terapi ini, yaitu systematic dezensititation, flooding, image habituating training, dan prolonged exposure, yang terakhir adalah terapi yang direkomendasikan oleh para ahli. Prolonged exposure mencakup konfrontasi terapeutik yang terencana terhadap situasi yang menciptakan ketakutam, memori atau object yang meningkatkan kewaspadaan tapi bisa dikelola. Terapi ini berlangsung lama dan dilakukan berulang-ulang sampai derajat kewaspadaan menurun sampai pada tingkat yang bisa diterima, minimal 50% dibawah level puncak.
-
Trauma-focused cognitive-behavioral therapy, menurut Hudenko dan Crenshaw (2010) terapi untuk mengatasi PTSD dan trauma meliputi cognitive-behavioral therapy yang akan membuka diri klien terhadap pikiran, perasaan, dan situasi yang mengingatkan klien terhada trauma. Terapi ini juga meliputi kegiatan mengidentifikasi pikiran yang membingungkan terkait peristiwa trauma dimana pikiran tersebut tidak rasional dan menyimpang, dan menggantinya dengan gambaran yang lebih baik.
-
EMDR (Eye Movement Desentisitation and Reprocessing) , dalam EMDR klien menggunakan teknik imaginal exposure terhadap trauma yang dirasakan dan sementara itu pada saat yang sama melakukan gerakan mata yang saccadic . Walaupun beberapa riset membuktikan terapi ini efektif untuk PTSD, tetapi beberapa riset lain masih mempertanyakan mekanisme dari terapi ini (Hamblen, Scunurr, Rosenberg, & Eftekhari, 2009). EMDR bertujuan untuk mengubah perasaan klien terhadap memori yang berkaitan dengan trauma dan membantu klien untuk memiliki emosi, pikiran dan perilaku yang positif (NICE, 2005).
-
Family therapy, PTSD tidak hanya akan mempengaruhi klien secara individual, tapi juga akan membawa pengaruh pada orang-orang yang dekat dengan klien. Oleh karena itu terapi keluarga dianggap efektif untuk mengatasi masalah PTSD. Terapi keluarga akan membantu orang terdekat klien untuk memahami apa yang sedang dialami klien, dan juga membantu setiap individu di keluarga tersebut agar berkomunikasi dengan lebih baik sehingga bisa mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan interpersonal (Hudenko & Crenshaw, 2010).
-
Couples therapy juga bisa dilakukan pada klien dengan PTSD. Metode konseling ini melibatkan pelayanan terhadap anggota keluarga. Terapis akan membantu setiap anggota keluarga untuk ikut aktif dalam komunikasi yang terjaln, mempertahankan hubungan yang baik, dan mengatasi tantangan masalah emosional. PTSD kadang kala membawa dampak negatif yang signifikan dalam hubungan interpersonal, sehingga terapi ini akan membantu dalam beberapa kasus PTSD (Benedek., dkk, 2009).
-
Anxiety management, dalam anxiety management terapis akan mengajarkan klien beberapa kemampuan untuk mengatasi tanda dan gejala PTSD, antara lain relaxation training, klien akan belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan dengan cara melakukan relaksasi terhadap otot-otot secara sistematis, breathing retraining, dimana klien belajar bagaimana pernapasan abdomen secara relaks dan menghindari hiperventilasi yang bisa menyebabkan berbagai sensasi fisik yang tidak menyenangkan (palpitasi, pusing), selanjutnya positive thinking and self-talk , dimana klien belajar untuk mengganti pikiran negatif dengan pikiran positif pada saat menghadapi stressor yang mengingatkan klien terhadap trauma, assertiveness training , yaitu klien belajar untuk mengungkapkan harapan, pendapat, dan emosi tanpa menyakiti orang lain, dan terakhir adalah thought stopping, dimana klien belajar untuk menggunakan distraksi untuk mengatasi pikiran yang menakutkan dan mengancam (Ross, 1999). Teknik thought stopping , dimana klien mungkin mengatakan stop keluar dari ide-ide yang muncul. Pengalihan pikiran yang tidak diinginkan secara diubah dan klien memilih alternatif ide positif. Literatur menjelaskan bahwa terapi thought stopping atau disebut juga dengan istilah menghentikan pikiran merupakan teknik efektif dan cepat membantu menghadapi pikiran yang membuat stres dimana seringkali menyertai serangan panik, ansietas dan agrofobia.
Mengenai manajemen kecemasan juga diungkapkan oleh Stuart dan Laraia (2005), bahwa latihan relaksasi dilakukan melalui teknik pernapasan atau peregangan otot. Seseorang yang mengalami perasaan tidak tentram, ansietas dan stres psikologis, jika diberikan suatu latihan relaksasi yang terprogram secara baik maka akan menurunkan denyut nadi, tekanan darah tinggi, mengurangi keringat dan frekuensi pernafasan sehingga sangat efektif sebagai anti ansietas.
-
Cognitive Behavioral Therapy (CBT). NACBT (2007) menyebutkan bahwa CBT merupakan salah satu terapi yang efektif untuk mengatasi PTSD. Pemberian CBT dan medikasi (anti ansietas dan anti depresan) dalam waktu 6-8 minggu akan membantu mengatasi PTSD sebanyak 70-90% ( Mayo Clinic , 2009). Center for CBT (2006) menyebutkan bahwa CBT merupakan intervensi yang efektif dan yang lebih banyak digunakan untuk mengatasi PTSD.
CBT adalah terapi yang membantu klien bagaimana berpikir dan bertindak sehingga klien merasa lebih baik. CBT fokus pada masalah yang ada pada saat ini, dan membantu klien untuk memahami masalah yang terlibat begitu besar dan dipecah menjadi bagian-bagian kecil sehingga memudahkan klien melihat bagaimana mereka berkaitan satu sama lain dan bagaimana masalah tersebut mempengaruhi klien ( Royal College of Psychiatris , 2005).
Banyaknya penelitian yang menyebutkan bahwa CBT ternyata efektif untuk mengatasi masalah gangguan ansietas, bahkan untuk mengatasi masalah PTSD. Klien dengan PTSD memiliki masalah baik dalam masalah pikiran dan juga masalah perilaku, yang nantinya akan mengarah pada masalah kesehatan mental. Untuk itulah CBT bisa digunakan untuk mengatasi klien dengan PTSD agar cara berpikir dan berperilaku klien kembali normal dan bisa menjalankan fungsinya seperti biasa lagi walaupun dia telah mengalami kejadian yang traumatis.
Banyak terapi yang bisa dimanfaatkan dan diterapkan untuk mengatasi masalah individu yang mengalami PTSD pasca bencana. Untuk penelitian yang akan dilakukan kali ini maka peneliti memilih untuk melaksanakan CBT pada individu yang mengalami PTSD pasca bencana. Karena banyak hasil-hasil penelitian yang menyebutkan bahwa CBT terbukti efektif dalam mengatasi masalah PTSD.
-
Cognitive therapy, menurut Mayo Clinic (2009) bahwa jenis terapi bicara ini akan membantu klien untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pemikiran yang destruktif. Sejalan dengan hal ini, Ross (1999) bahwa terapi ini akan mengubah keyakinan irrasional yang akan mempengaruhi emosi dan fungsi individu. Tujuan dari terapi kognitif ini adalah bagaimana mengidentifikasi pikiran yang mengganggu, mempertimbangkan akibatnya dan mengadopsi pikiran yang lebih realistis agar terciptanya kondisi emosional yang seimbang.
Varcarolis, dkk., (2006) menjelaskan bahwa terapi kognitif merupakan terapi yang didasarkan pada keyakinan klien dalam kesalahan berfikir, mendorong pada penilaian negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain. Selama proses restrukturisasi pikiran, terapis membantu klien untuk mengidentifikasi pikiran otomatis negatif yang menyebabkan ansietas, menggali pikiran tersebut, mengevaluasi kembali situasi yang realistis dan mengganti hal negatif yang telah diungkapkan dengan ide-ide membangun.
-
Complementary and Alternative Medicine (CAM), salah satu pendekatan yang digunakan adalah akupuntur , merupakan pengobatan tradisional dari Cina. Walaupun studi awal sudah menunjukkan hasil yang memuaskan, tapi masih diperlukan berbagai studi untuk memperkuat justifikasi manfaat terapi ini. Selain akupuntur ada Yoga Nidra, yaitu metode relaksasi dan meditasi. Sama halnya dengan akupuntur, perlu banyak riset untuk menyatakan terapi ini efektif untuk penanganan PTSD (Benedek., dkk, 2009).