Apa yang dimaksud dengan Positivisme ?

Positivisme

Positivisme, yang dominan pada awal abad 20-an, menetapkan kriteria2 yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam. Kriteria tersebut adalah eksplanatoris dan prediktif. Pandangan positivism tersebut adalah:

  • Objektif, teori ttg semesta harus bebas nilai
  • Fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya berbicara pada semesta yang diamati, metafisis diabaikan
  • Reduksionisme, semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati
  • Naturalisme, alam semesta adalah objek2 yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam

Apa yang dimaksud dengan Positivisme ?

Positivisme adalah filsafat awal dan dasar munculnya ilmu pengetahuan serta hadir sebagai kritik atas pemahaman yang menjamur pada abad pertengahan yaitu metafisik. Positivisme mendasarkan pembuktian kebenaran menurut metodologi ilmiah yang dapat diamati dan diukur selanjutnya menjadi hukum-hukum yang menjadi acuan pokok dalam mencari kebenaran yang dirangkum menjadi hukum alam. Berbeda dengan metafisik yang tidak dapat diamati dan diukur karena pencarian kebenaran berdasarkan akal budi manusia. Perbedaan pengalaman manusia akan menjadi perbedaan dalam menentukan kebenaran, sehingga pada metafisik kebenaran bersifat abstrak.

Positivisme muncul pada abad ke-19 dipromotori oleh seorang sosiolog asal prancis yaitu Auguste Comte. Paradigma ini terbukti ampuh dan digunakna banyak ilmuan untuk mengungkap kebenaran realitas dalam kurun waktu yang cukup lama (+ 400 tahun) walau terdapat berapa kelemahan dalam teori ini diantaranya adalah tidak dapat menjangkau kajian metafisika.

Positivisme sendiri berasal dari “positif”. Istilah “filsafat positif” mulai digunakan Comte pada karyanya “Cours de Philosophie Positive” dan terus mengunakan istilah itu di seluruh karyanya. Filsafat digunakan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep umum mengenai manusia” dan positif digunakan sebagai “teori yang bertujuan untuk menyusun fakta-fakta yang teramati”. Dalam hal ini Comte menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa melampaui fakta sehingga positivisme benar-benar menolak metafisika dan menerima adanya “das Ding an Sich” (Objek yang tidak bisa diselidiki oleh pengetahuan ilmiyah).

Comte menerangkan dalam karyanya yang berjudul Discour sur lèsprit positif (1984), sebagaimana yang dikutip oleh Koento Wibisono bahwa pengertian “positif” menurut Comte ialah sebagai berikut;

  1. “Positif” merupakan lawan dari “khayal” (chimérique), artinya positif adalah hal hal yang bersifat nyata (réel). Pengertian ini melanjutkan bahwa objek filsafat positivisme adalah hal yang dapat dijangkau akal, sedangkan hal hal yang diluar nalar/akal bukan/tidak dapat menjadi kajian dari filsafat positivisme,

  2. “Positif” adalah lawan dari sesuatu yang “tidak bermanfaat” (oiseux) artinya positif adalah hal yang bermanfaat (utile). Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa tujuan dari pemikiran filsafat positivisme tidak berhenti pada pemenuhan rasa keingintahuan manusia, namun lebih dari itu segala pemikiran yang dilandasi positivisme harus diarahkana kepada kemajuan ilmu pengetahuan untuk manusia.

  3. “Positif” sebagai lawan dari “keraguan” (indécision), berarti positif sendiri adalah keyakinan (certitude). Positif diartikan pada hal hal yang sudah pasti.

  4. “Positif” sebagai lawan dari “kabur” (vague), maka positif disifati sebagai suatu hal yang jelas atau tepat (précis). Hal tersebut sesuai dengan ajaran filsafat comte yang menyatakan bahwa pemikiran filsafati harus dapat memberikan pemikiran yang jelas dan tepat, baik mengenai hal hal yang nampak atau hal hal yang tak nampak yang sebenarnya dibutuhkan. Hal ini menjadi “antitesa” dari cara berfilsafat lama yang memberikan pedoman yang tidak jelas.

  5. “Positif” sebagai lawan “negatif” hal ini digunakan unutk menunjukkan sifat filsafata positivisme yang mengarah pada penataan dan penertiban pola pikir.

Filsafat positivisme yang diungkapkan Comte melontarkan kritik yang keras terhadap metodologi pengetahuan sistematis yang berkembang subur pada abad pertengahan yaitu metafisika. Berbeda dengan meatafisika, positivisme mendasari pengetahuan dengan fakta objektif (nyata, pasti, tepat, berguna dan mutlak) sedangkan metafisika tidak dapat membuktikan kebenaran perntaan pernyataanya secara indrawi (pengamatan dan percobaan).

Hukum Tiga Tahap (Law of three stages)

Hukum tiga tahap merupakan ciri khas filsafat positivisme Auguste Comte, karena keselurahan pemahannya tercermin dalam hukum tersebut. Dalam karya utamanya dengan judul “Cours de Philosophie Positive” yang ditulis pada tahun 1830-1842 yang terdiri dari enam jilid.

Menurut Acton yang dikutip Koento Wibisono dalam bukunya bahwa hukum tiga tahap ini, Comte menjadikannya dasar dan titik tolak dalam menerangkan ajaran filsafat positivismenya berkenaan dengan sejarah, ilmu pengetahuan, masyarakat dan agama.

Ditambahkan oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Niettzsche” bahwa menurut Comte perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat terlepas dari perkembangan manusia dan pemikirannya selama berabad-abad.

Hukum tiga tahap yang diparkan Auguste Comte membagi tahap perkembangan pemikiran manusia dari masa ke masa menjadi tiga tahap, yaitu; tahap teologis, tahap metafisis dan tahap positif. Ketiga tahap ini dipahami Comte sebagai satu kesatuan tahap perkembangan pola pokir manusia sebagaimana perkembangan tahap kehidupan umat manusia dari masa kanak-kanak menjadi masa remaja kemudian menjadi masa dewasa.

Berikut uraian perkembangan hukum tiga tahap comte;

1. Tahap Teologis atau Fiktif (the theological or fictitious)

Tahap ini merupakan awal perkembangan jiwa manusia. Gejala-gejala atau fenomena yang menarik sealu dikaitkan dengan konteknya. Dalam frase ini manusia selalu mempertanyakan hal hal yang paling sukar dan menurut pendapatnya bahwa hal yang sukarpun harus diketahui dan dikenanlnya. Comte menyatakan bahwa tahapan ini tidak terjadi begitu saja, namun ada sebab musababnya. Berikut tahapan pada frase ini;

  • Fetisysme (fetishism), adalah suatu bentuk kehidupan masyarakat yang beranggapan bahwa segala sesuatau yang berada di sekitar mansuia memiliki kehidupan sendiri yang berbeda dengan kehidupan manusia. Anggapan ini berkembang bahkan segala sesuatu yang berada di sekitar manusia berpengaruh terhadap kehidupan manusia, sehingga mau tidak mau manusia harus menyesuakan diri dengan sesuatu tersebut. Sesuatu itu meliputi benda-benda alam (gunung, pohon, sungai) dan benda benda yang diciptakan sendiri oleh manusia. Diperkirakana masa ini adalah masa yang paling lama yang terjadi sebelum tahun 1300-an. Bnetuk pemikiran seperti ini dalam pandangan kepercayaan disebut juga sebagai animisme.

  • Politeisme (polytheism), pemahaman ini lebih berkembang dari pada fetisysme. Yaitu bahwa segala sesuatu tidak lagi benda benda disekeliling manusia, namun adanya kekuatan yang mnegatur itu dan berada di sekeliling manusia. Hal tersebut mewajibkan segala tingkah laku/perbuatan serat pikiran manusia harus mengikuti aturan dari kekuatan tersebut. Dalam hal inilah kepercayaan terbangun bahwa segala sesuatau ada dewanya. Sehingga manusia harus tunduk dan takluk pada dewa-dewa tersebut dan mengadakan upacara ritual untuk menghormatinya.

  • Monotheisme (monotheism), merupakan pemahaman masyarakat segala seuatu tidak lagi diatur oleh dewa yang menguasai benda-benda ata gejala-gejala alam. Mereka percaya akan adanya yang mengatur segala benda dan fenomena yang terjadi, kekuatan itu berasal dari suatu kekuatan yang mutlak yaitu tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini atas sebabnya, sehingg tingkah laku manusia dan segala fikirannya diorentasikan untuk tuhan yang menjadi dogma dogma ajaran agama untuk manusia.

2. Tahap Metafisis (the metaphysical or abstract)

Berakhirnya masa monotheis merupakan awal dari tahap Metafisis. Manusia mulai merubah pola pikir guna menemukan jawaban jaban atas pertanyaan berkaitan dengan gejala alam yang terjadi. Manusia mulai meninggalkan dogma-dogma agama dan beralih dari adanya adikodrati (kuasa tunggal) dalam hal ini adalah tuhan menjadi adanya kemampuan yang abstrak. Dalam hal ini Comte menerangkan bahwa masa ini adalah masa peralihan atau transisi dari masa kanak-kanak menjadi masa dewasa. Karena ketidakpercayaan manusia akan adanya adikodrati akhir mereka mau tidak mau menggunakan akal budi sebagai sumber mancari kebenaran.

Pada masa ini manusia sudah bsa mendeskripsikan secara filosofis (jiwa,ekstensi) berdasarakan kepercayaaan serta hukum alam. Menurut Comte terjadinya frase ini karena dominasi sosial para ahli hukum yang mneraik doktrin doktrin sosial dan politik dari pemahamana ilmu alam. Masas ini diperkirakan terjadi antara tahun 1300 hingga 1800 M.

3. Tahap Positif (the positive or scientific)

Pada masa ini manusia lebih berkembang dari masa sebelumnya. Jika pada masa metafisik manusia merasa cukup dengan pengetahuna yang abstrak, pada masa ini yang dibutuhkan adalah pengetahuan yang ril. Pengatahuan yang dicapai harus melalui pengamatan, percobaan dana perbandingan di atas hukum hukum yang umum (abtrak). Pengeahuan yang dicapai tidak lagi abstrack, akan tetapi jelas, pasti dan bermanfaat. Masa ini adalaha masa yang berusaha comte wujudkan, diamna kehidupana masyarakat akan diatur oleh cendikiawan dan industrialis dengn dasar rasa perikemanusiaan. Apabila dalam keteologi keluarga adalah dasar dan dalam metafisik negara merupakan dasar maka dalam tahap positif ini seluruh umat manusia merupakan dasar itu sendiri. Tahap ini adalah tahap indusrialis yang dterjadi pada setelah tahun 1800.

Pandangan Auguste Comte mengenai hukum tiga tahap ini tidak terlepas dengan situasi di Prancis saat yang dilanda kekacauan sosial, pemberontakan rakyat, peromabakan kekuasaan politik yang disebabkan revolusi yang memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat. Semula Comte berharap bahwa revolusi memberi perbaikan terhadapa masalah maslaah yang ada justru malah merusak tatanan sosial dantidak seperti yang ia cita-citakan. Ahirnya dengan keadaan yang sedemikian itu, Comte dihadapkan dengan masalah masalah seperti;

  1. Bagaimana masyarakat dapat diatur kembali denagn adanya sistemindusti yang akan membawa perombakan-perombakan?

  2. Bagaimana kesatua fikir dan pendapat dicapai sebagai bekal unuk kehidupan masyarakat selanjutnya?

  3. Bagaimana ketertiban dan kemajuan dapat diwujudkan sebagai jamiann kelestarian kehidupan masyarakat di masa mendatang?

Dengan beberapa latar belakang tersebut, Comte dengan filsafat positivismenya berharap dapat mengantarkan masyarakat ke depan pada kemajuan. Semboyan yang ia gunakan untuk mewujudkan hal itu adalah “savoir pour prevoir” (mengetahui untuk meramalkan). Dari moto tersebut dapat dipahami bahwa nilai yang terkandung dalam hkum tiga tahap comte secara terseirat bersifat “positif’ dalam arti ‘kemajuan”. Comte ingin mewujudkan masyarakat yang positif yaitu masayarakat yang baik. Masyarakat tersebut dipimpin oleh kaum elit cendikiawan dan industrialis dengan sikap rasional dan ilmiyah dengan dasar cinta kasih untuk untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Sumber : Priyo Sudibyo, Filsafat positivisme Auguste Comte

Referensi
  • Upe, Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistik.
  • Hardiman, Filsafat Modern Dari Machievelli Sampai Niestzsche.
  • Wibisono Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983).
  • F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003).
  • Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte.

Positivisme memandang ilmu pengetahuan harus berdasarkan nalar (reason) dan pengamatan (observation) (Bryant, 1985). Nalar dan pengamatan pada positivisme berperan sangat penting ketika hendak mengkaji suatu fenomena. Asumsi ini sekaligus menggambarkan tentang positivisme yang selalu menjunjung tinggi fakta-fakta yang bersifat empiris. Hal ini kemudian berdampak pada gejala-gejala yang sifatnya tidak empiris (ghaib) cenderung diabaikan oleh positivisme. Alasannya adalah fenomena yang bersifat ghoib acapkali sulit dinalar dan dilakukan pengamatan.

Cara berpikir dengan memakai positivisme nampak tatkala seorang ahli kimia menguji sebuah zat di dalam makanan. Supaya mengetahui bahwa zat tersebut beracun, ia memberikannya ke seekor hewan. Ketika hewan itu memperlihatkan reaksi abnormal atau malah mati, maka secara empiris zat itu diduga mengandung racun. Pengamatan akan hal itu rupanya tidaklah cukup, si peneliti selanjutnya menguji kandungan zat di laboratorium. Tentunya demi mendapatkan alasan mengapa zat itu beracun. Disinilah nalar peneliti memiliki peranan yang sangat penting.

Model Positivisme

Komponen yang amat penting bagi sebuah epistemologi adalah model. Model menurut Ahimsa-Putra (2016) merupakan perumpamaan,analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari. Sebuah model juga dapat dimaknai sebagai gambaran umum dari suatu gejala yang mengandung gagasan mengenai fenomena tersebut (Inkeles, 1965).

Secara sederhana, model adalah bentuk penyederhanaan atas suatu realitas. Disamping itu, model acapkali bertujuan mengarahkan seorang peneliti ketika hendak mempelajari suatu fenomena sosial budaya. Alhasil, secara implisit model selalu berkaitan erat dengan asumsi dasar yang dipegang oleh seorang peneliti.

Mengacu pada asumsi dasar yang dianut oleh para kaum positivis, maka kita akan menemukan sebuah model yang mencerminkan pemikiran mereka di dalam ilmu sosial.

Salah satu model yang dapat digunakan untuk menggambarkan pemikiran kaum positivis yakni kebudayaan seperti halnya organisme yang memiliki fungsi pada setiap unsurnya- unsurnya. Model ini mengacu pada asumsi dasar yang mengungkapkan bahwa dunia ini memiliki unsur-unsur yang bergerak dinamis mengikuti hukum-hukum tertentu. Seperti halnya organisme, unsur-unsur yang terdapat dalam suatu kebudayaan memiliki fungsinya masing- masing. Misalnya saja, unsur bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi diantara individu yang satu dengan lainnya.

Model lain yang dapat dirumuskan melalui asumsi dasar ini adalah kebudayaan itu seperti halnya alam semesta. Artinya ia mengandung hukum-hukum umum (general law) dalam setiap dinamika suatu kebudayaan. Dengan adanya hukum-hukum tersebut, maka perkembangan kebudayaan dapat dipelajari. Model inilah yang digunakan sebagai pembimbing supaya para ilmuwan sosial mampu memprediksi masa depan serta memahami masa lalu. Hal ini berkaitan pula dengan semboyan positivisme “savoir pour prevoir” (mengetahui untuk meramalkan) yang terkandung intensi untuk menciptakan rekayasa masyarakat (social-engineering) dalam sosiologi (Hardiman, 2003).

Nilai dalam Positivisme

Epistemologi positivisme sebagai alat pencari suatu kebenaran rupanya memiliki serangkaian nilai yang dianutnya. Konsep nilai dalam konteks epistemologi dimaksudkan sebagai sejumlah kriteria atau patokan yang digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, bermanfaat atau tidak (Ahimsa- Putra, 2016). Jika kita pahami secara seksama berdasarkan konsep itu, maka akan ditemukan sejumlah nilai yang dianut oleh para kaum positivis.

Terkandung dua nilai dalam positivisme yang menjadi pedoman dalam mengkaji suatu fenomena.

  • Pertama, objektivitas demi memperoleh ilmu pengetahuan diperoleh melalui sesuatu yang empiris. Secara sederhana dapat dipahami bahwa segala fenomena yang mampu dipelajari oleh seluruh panca indera manusia maka kebenarannya tidak diragukan lagi. Maka dari itu, salah satu asumsi dasar pada positivisme mengedepankan pengamatan dan nalar yang membimbing seorang peneliti demi mencapai suatu kebenaran.

  • Kedua, yang tertanam pada asumsi dasar positivisme yaitu ilmu pengetahuan yang baik mampu menemukan hukum-hukum umum (general law). Nilai tersebut terkait dengan upaya positivisme dalam melakukan perbandingan demi mencari hukum-hukum umum sehingga generalisasi pun dapat dilakukan. Selain itu, perumusan hukum pada sebuah fenomena bertujuan pula supaya ilmuwan positivis mampu menjelaskan masa lampau, memahami masa kini, dan memprediksi masa depan.

Keunggulan dan Kelemahan

Sebagai sebuah “alat” yang bertujuan memahami berbagai fenomena sosial, sebuah epistemologi sulit dilepaskan dari fakta adanya keunggulan serta kelemahan. Adapun beberapa keunggulan dalam epistemologi positivisme.

  • Keobjektifan dalam positivisme dapat terukur dan teruji secara empirik.

  • Positivisme mengakui adanya relativisme ilmu pengetahuan. Implikasinya adalah ia lebih toleran dengan adanya perbedaan hasil suatu penelitian.

  • Penelitian dengan memakai positivisme mampu diterapkan untuk memahami masa lalu, masa kini dan memprediksi masa depan. Keunggulan tersebut berkaitan dengan asumsi dasar positivisme yang bertujuan mencari hukum-hukum umum.

Positivisme selain memiliki keunggulan rupanya menyimpan kelemahan di dalam memahami gejala sosial-budaya. Dengan menggunakan positivisme, seorang peneliti hanya terbatas pada kajian fenomena sosial budaya yang bersifat empiris. Itu artinya, mereka hanya terpaku pada realitas empiris dan menafikkan realitas imajiner (wacana) ketika melakukan penelitian. Padahal, suatu masyarakat memiliki kedua realitas tersebut dalam kesehariannya.

Kelemahan ini juga turut serta diamini oleh Jonathan Turner yang berargumen bahwa dunia sosial kondisinya berbeda dengan dunia alam. Maka dari itu, bagi Turner, dunia sosial (social world) atau fenomena sosial tidak bisa dipelajari dengan metode yang sama ketika mempelajari dunia alam (natural world) (Heidtman, Wysienska, & Szmatka, 2000).

Implikasinya adalah positivisme sulit dipakai untuk menangkap dan memahami gejala sosial yang sifatnya non-empiris serta hal-hal yang terkandung di alam bawah sadar manusia. Artinya, pemaknaan terhadap pengetahuan suatu masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya sulit dipahami dengan memakai epistemologi positivisme. Perihal yang sifatnya non-empiris itu misalnya saja pengetahuan sekelompok masyarakat mengenai klasifikasi tanaman obat yang tersebar di hutan. Contoh kasus lainnya yaitu positivisme tidak mampu menggali secara mendalam mengenai makna dibalik fenomena ritual pada suatu masyarakat.

Disamping itu, kelemahan lain terletak pada upaya positivisme guna mencapai generalisasi justru berimplikasi mereduksi keaneka-ragaman serta keunikan yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Hal ini merupakan dampak dari usaha untuk membandingkan supaya memperoleh generalisasi.

Sumber : Galeh Prabowo, Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi dalam Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada