Apa yang dimaksud dengan pornografi dan pornoaksi di dalam hukum?

Pornografi

Pornografi adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksualitas manusia secara terbuka dengan tujuan membangkitkan berahi.

Apakah yang dimaksud pornografi dan pornoaksi di dalam hukum?

Pornografi


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi pada Bab I Ketentuan Umum Pasal I Ayat I,

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Menurut Neng Djubaedah, dalam bukunya yang berjudul “Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Perspektif Negara Hukum Berdasarkan Pancasila)”, 2011, Ketentuan-ketentuan dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi masih diperdebatkan, terutama Penjelasan Pasal 4 ayat (1) mengenai batasan “membuat” pornografi yang merupakan pengecualian, bahwa “Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri”.

Penjelasan tersebut mengundang polemik, karena isinya bertentangan dengan ketentuan pasal yang dimuat dalam batang tubuh Undang-Undang Pornografi itu sendiri.

Undang-Undang Pornografi (UUP) tidak memberi batasan pegertian tindak pidana pornografi, tetapi UUP sekedar memuat batasan pornografi dan merumuskan bentuk-bentuk tindak pidana pornografi. Dengan demikian, tindak pidana dapat diberi batasan sebagai perbuatan yang dilarang oleh UU disertai ancaman pidana terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan tersebut.

Menurut UUP, pengertian objek pornografi lebih luas daripada objek pornografi menurut KUHP. KUHP menyebut 3 (tiga) objek, yaitu tulisan, gambar, dan benda. Adapun yang termasuk benda ialah alat untuk mencegah dan menggugurkan kehamilan.

Objek pornografi menurut UUP telah diperluas sedemikian rupa termasuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komuikasi.

Dalam objek pornografi mengandung 3 (tiga) sifat, yaitu (1) isinya mengandung kecabulan, (2) eksploitasi seksual, (3) melanggar norma kesusilaan. Sementara itu, KUHP (Pasal 283, 534, 535) menyebutnya dengan melanggar kesusilaan. Antara benda pornografi dengan sifat kecabulan dan melanggar norma kesusilaan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena memuat kecabulan, maka melanggar norma kesusilaan.

Kecabulan merupakan isi dari pornografi. Pornografi yang mengandung isi kecabulan tersebut harus terbentuk dalam suatu wujud, misalnya dalam bentuk gambar, sketsa ilustarsi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan. Pada wujud inilah terdapat isi kecabulan. Misalnya, dalam gambar terdapat kecabulan bila gambar tersebut memuat secara eksplisit persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak (Pasal 4 Ayat 1 UUP).

Wujud dari kecabulan yang melekat pada suatu benda disebut benda pornografi. Misalnya, surat kabar, majalah, tabloid, dan media cetak sejenisnya, film, dan/atau yang dipersamakan dengan film, video, video compact disc, digital video disc, compact disc, personal computer-compact disc read only memory, kaset dan rekaman hand phone dan/atau alat komunikasi lainnya.

Pornoaksi


Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang pada awalnya berjudul Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, memuat larangan pornoaksi, meskipun hanya dimuat secara tersirat (implisit) dalam Pasal 1 angka 1, dan secara tersurat (eksplisit) dalam Pasal 10, dan hukumannya dalam Pasal 36 Undang-Undang tersebut.

Rasio dimuatnya larangan dan hukuman terhadap pelaku pornoaksi dapat diumpamakan sebagai berikut.

Pornografi dan Pornoaksi sebagai unsur penting dalam pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pornoaksi diumpamakan sebagai unsur pokok dalam pembuatan suatu produk benda terlarang.

Misalnya opium, sebagai bahan utama pembuatan serbuk heroin. Jika pembuatan heroin dilarang, maka tentu opium sebagai bahan utama pembuatan heroin juga dilarang diproduksi, disebarluaskan, dan digunakan. Tetapi jika opium itu digunakan untuk obat penghilang nyeri dalam ukuran tertentu berdasarkan alasan ilmiah dalam ilmu kedokteran untuk menyelamatkan nyawa seorang, misal ketika seorang harus menjalankan operasi anggota tubuhnya, maka penggunaan opium untuk tujuan anestesi tentu diperbolehkan.

Asas-asas dan tujuan di undangkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi perlu dimuatkan dalam bagian ini, karena berdasarkan asas-asas dan tujuan-tujuan inilah yang seharusnya terjabar dalam Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 yang menentukan tindak pidana pornografi dan hukumannya serta peraturanperaturan lainnya, seperti peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, peran masyarakat, perlindungan anak. Pemusnahan produk pornografi, dan lain-lain.

Asas-asas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 ditentukan dalam Pasal 2 sebagai berikut:

“Pengaturan pornografi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara”.

Asas-asas Undang-Undang Pornografi terdiri dari enam asas, yaitu:

  1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa,
  2. Asas penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan,
  3. Asas kebhinnekaan,
  4. Asas kepastian hukum,
  5. Asas nondiskriminasi, dan
  6. Asas perlindungan terhadap warga negara.9

Larangan dan Pembatasan Pornografi


Adapun dasar Pornografi yang diatur dalam UU No. 44 tahun 2008 Bab II mengenai “LARANGAN DAN PEMBATASAN” Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, yaitu:

Pasal 4 yaitu;

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, mengandakan meyebarluaskan, menyiarkan mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. Kekerasan seksual;
c. Masturbasi atau onani;
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. Alat kelamin; atau
f. Pornografi anak.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5 yaitu;

Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Ayat (1).

Pasal 6 yaitu;

Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 7 yaitu;

Setiap orang dilarang menandai atau memfasilitasi perbuatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8 yaitu;

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9 yaitu;

Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10 yaitu;

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain, dalam pertunjukan atau di muka umum, yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11 yaitu;

Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

Pasal 12 yaitu;

Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13 yaitu;

(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14 yaitu;

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pencegahan Pornografi


Adapun yang dijelaskan dalam Bab IV yaitu mengenai “PENCEGAHAN” dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu:

Bagian Kesatu mengenai “Peran Pemerintah” dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19, yaitu;

Pasal 17 yaitu;

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 18 yaitu;

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:

a. Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan,. Dan penggunaan pornografi; dan
c. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19 yaitu;

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah daerah berwenang:

a. Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b. Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. Mengembangkan sistem komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua mengenai “Peran Serta Masyarakat” dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, yaitu;

Pasal 20 yaitu;

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21 yaitu;

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dapat dilakukan dengan cara:

a. Melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a dan huruf

b, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 22 yaitu;

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sanksi Pidana Pornogafi


Adapun Sanksi Pidana Pornografi yang diatur dalam UU No. 44 tahun 2008 Bab VII mengenai “KETENTUAN PIDANA” Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41, yaitu:

Pasal 29 yaitu;

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 30 yaitu;

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 31 yaitu;

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 32 yaitu;

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33 yaitu;

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 34 yaitu;

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 35 yaitu;

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 36 yaitu;

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 37 yaitu;

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 38 yaitu;

Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 39 yaitu;

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.

Pasal 40 yaitu;

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama satu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dilakukan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap Pasal dalam Bab ini.15

Pasal 41 yaitu;

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. Pembekuan izin usaha;
b. Pencabutan izin usaha;
c. Perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. Pencabutan status badan hukum.

Dokumen lengkap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dapat diunduh di bawah ini.

Undang-Undang-tahun-2008-44-08.pdf (49.3 KB)

Pornografi


Masyarakat secara umum menilai pornografi sebagai bentuk penyimpangan/kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang hidup di masyarakat. Perkataan, tulisan, gambar dan perilaku serta produk atau media-media yang bermuatan pornografi dipandang bertentangan dengan nilai moral dan rasa kesusilaan masyarakat. Sifat pornografi yang hanya menampilkan sensualitas, seks dan eksploitasi tubuh manusia ini dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai moral dan agama.

Permasalahan seks merupakan ruang yang sangat privasi dan bukan untuk dipertontonkan atau disebarluaskan pada semua orang. Masyarakat berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekedar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti pornografi), maupun yang dikuatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata hubungan sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada di masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya:

Delik kesusilaan dalam KUHP, pengaturannya dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, yang diatur dalam Pasal 281-303, dan Buku III tentang Pelanggaran Kesusilaan diatur dalam Bab VI Pasal 532-547. Kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Pasal 281-303 KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :

  • Melanggar kesusilaan di muka umum (Pasal 281);
  • Menyiarkan, mempertunjukkan, membuat, menawarkan dan sebagainya tulisan, gambar, benda yang melanggar kesusilaan/bersifatporno (Pasal 282-283);
  • Melakukan zina, perkosaan dan hal-hal lain yang berhubungan denganmelakukan atau menghubungkan/memudahkan perbuatan cabul danhubungan seksual (Pasal 284-296);
  • Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
  • Berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan(Pasal 299);
  • Berhubungan dengan minuman yang memabukkan (Pasal 300);
  • Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
  • Penganiayaan hewan (Pasal 302);
  • Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).

Sementara perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam “pelanggaran kesusilaan” yang diatur dalam Buku III KUHP (Pasal 532-547) adalah :

  • mengungkapkan/mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
  • berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
  • berhubungan dengan perlakuan tidak susila terhadap hewan (Pasal 540,541 dan 544);
  • meramal nasib/mimpi (Pasal 545);
  • menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib ataumemberi pelajaran ilmu kesaktian (Pasal 546);
  • memakai jimat sebagai saksi di persidangan (Pasal 547)

Apabila diamati perbuatan-perbuatan yang diatur dalam kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan, tidak hanya bersinggungan dengan masalah seksualitas saja, tetapi juga halhal lain yang berhubungan dengan penyimpangan kepatutan berperilaku di masyarakat, seperti mabuk, aborsi, trafficking, perjudian, penganiayaan terhadap hewan dan hal-hal mistik. Pornografi merupakan salah satu bentuk delik kesusilaan dalam KUHP yang diatur dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan(Pasal 282-283) dan Buku III Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan (Pasal 532-533).

Pornografi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran


Perkembangan teknologi dan informasi telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, peranannya makin sangat strategis, terutama dalam mengembangkan alam demokrasi. Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan pemerintah.

Sayangnya, dunia penyiaran tidak saja menginformasi kan berita yang positif tetapi juga negatif, salah satunya adalah pornografi. Bahkan, berbagai media saat ini sudah sampai pada taraf yang membahayakan. Medium pornografi ini berupa tabloid panas, internet, VCD atau DVD porno. Tanpa disadari, media-media lainya, baik cetak maupun elektronik juga turut memberi andil dalam penyebaranya. Media tersebut berupa surat kabar, majalah, televisi, bioskop, atau bahkan radio. Oleh karena itu, pemerintah membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang beranggotakan 9 orang sebagai pengamalan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pornografi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


Perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informasi telah berjalan sedemikian rupa, dan telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat. Oleh karena itu berbagai informasi telah dapat disajikan dengan canggih dan mudah diperoleh, meski melalui jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi. Dalam kenyataanya perkembangan teknologi informasi tersebut telah dibarengi pula hal-hal yang mengandung unsur yang melanggar kesusilaan. Bahasan tentang pornografi dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang transaksi elektronik, tersirat dalam bab VII pasal 27 ayat 1, bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”

Pornografi dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008


Larangan pornografi juga diatur pemerintah dengan lahirnya UU No. 44 Tahun 2008, yang berisi (Suparni, 2009).

  • Pelarangan dan pembatasan, pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
  • Perlindungan anak dari pengaruh pornografi.
  • Pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

Undang-undang No 44 tahun 2008 secara tegas juga menetapkan bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Sedangkan untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, undang-undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

Dalam bab I pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi dijelaskan bahwa:

  • Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, dan bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
  • Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi telesterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya. Peran pemerintah dalam pencegahan pornografi terdapat dalam bab IV pasal 17 yang berbunyi:

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi”.

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pasal 17 tersebut Pemerintah Daerah berwenang:

  • Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya.
  • Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya.
  • Melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan, pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya
  • Mengembangkan sistem komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka pencegahan di wilayahnya.

Sedangkan peran serta masyarakat dalam melakukan pencegahan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi terdapat dalam pasal 21 ayat 1, yaitu dapat dilakukan dengan cara:

  • Melaporkan pelanggaran undang-undang ini.
  • Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan
  • Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi
  • Melakukan pembinaan kepada masyarakat tehadap bahaya dan dampak pornograf