Apa yang dimaksud dengan politik pendidikan?

politik pendidikan

Pendidikan dan politik merupakan dua elemen yang penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik Negara maju maupun berkembang. Pada umumnya kedua elemen ini selalu dipisahkan, sehingga seakan-akan tidak berhubungan satu dengan lain. Padahal keduanya sangatlah berkaitan.

Apa yang dimaksud dengan politik pendidikan?

Pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan partai politik tersebut kepada massanya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai manusia atau warga negara.

Pemahaman masyarakat hingga saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa sistem politik itu bukan urusan mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga masyarakat masih ada yang dibodoh-bodohi atau diberikan janji–janji manis. Dalam realitanya atau penerapannya tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan ketika sudah berhasil duduk.

Untuk mencegah hal–hal yang tidak diinginkan kembali terulang, sehingga diberikanlah pendidikan politik kepada masyarakat oleh parpol di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Sudah saatnya pendidikan politik bagi masyarakat dalam segala kalangan usia diwujudkan dalam kegiatan yang nyata. Bukan hanya tertera pada UU partai politik ataupun menjadi program-program di atas kertas tanpa realisasi bagi partai politik.
Pengembangan pendidikan politik masyarakat sebagai bagian pendidikan politik yang merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan, guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga merupakan konsep bagian dari proses perubahan kehidupan politik yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, efektif dan efisien.

Oleh karena itu, memilih bukan kesadaran sendiri, tetapi mengikuti pilihan tokohnya.Pendidikan politik ini berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian kepada proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung. Dalam filosofi pendidikan, belajar merupakan sebuah proses panjang seumur hidup artinya pendidikan politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami perkembangan.

Menurut pandangan saya , pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks dan dinamis. Pendidikan politik bagi generasi muda sejak dini amatlah vital dalam mendukung perbaikan sistem politik di Indonesia.

Pengetahuan sejak dini terhadap komponen-komponen kenegaraan, arti nasionalisme, hak dan kewajiban, sistem pemerintahan, pemilu, dan segala seluk-beluk politik akan melahirkan orang-orang yang berkapasitas dan memiliki arah dalam perbaikan bangsa dan negara. Ketimbang orang orang yang beranjak dari perut lapar dan modal awal, yang ujung-ujungnya adalah makan sebanyak-banyaknya ketika menjabat.

Konsepsi Politik Pendidikan

Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Dalam kamus berarti acting or judgeing wisely, well- judged prudent. Kata politik diambil dari kata latin politicus atau bahasa Yunani (Greek) politicos yang bermakna relating to a citizen. Kata itu berasal juga dari kata polis yang searti dengan city “kota”. Politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu Negara atau terhadap Negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.

Menurut Deliar Noer, politik adalah segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat. Sedikit berbeda dengan Deliar Noer, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa, pada umumnya dikatakan bahwa politik (politices) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu system politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.

Dari keterangan-keterangan yang diberikan Deliar Noer, dapat diketahui bahwa politik menurut pendapatnya tidak terbatas pada kegiatan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan (decision making) dan kebijakan umum (public policies) seperti pendapat Miriam Budiardjo, tetapi juga mencakup pula kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan struktur masyarakat seperti pergeseran kekuasaan politik dari satu rezim ke rezim lain.

Dalam istilah, kata politik, pertama kali dikenal dari buku Plato yang berjudul politeia , yang dikenal juga dengan Republik. Berikutnya muncul karya Aristoteles yang berjudul Politeia. Kedua karya itu dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian.

Dari sekian definisi yang ada paling tidak dapat ditemukan dua kecenderungan pendefinisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan Negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah. Kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik (Isaac, 1981).

Sedangkan kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan pen- dan akhiran –an, dan berarti perbuatan, hal, dan cara (Abuddin, 2003). Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Zurinal, 2006).

Maka, politik pendidikan adalah segala kebijakan pemerintah suatu Negara dalam bidang pendidikan yang berupa perturan perundangan atau lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan demi tercapainya tujuan negara.

Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan perumahan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyâsah) yang diartikan sebagai ri‘âyah asy-syu’ûn al- ummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban negara.

Berdasarkan pemahaman mendasar ini, politik pendidikan (siyâsah at- ta‘lîm) suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, politik pendidikan dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.

Kebijakan Politik Pendidikan Pemerintahan Indonesia


Kebijakan politik pendidikan Indonesia secara umum dapat dibagi ke dalam empat periode. Pertama kebijakan politik pemerintahan pada masa Pra-kemerdekaan; Kedua, kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa Orde Lama; Ketiga kebijakan politik pemerintahan Indonesia masa Orde Baru; dan keempat kebijakan poltik pemerintahan Indonesia pada Orde Reformasi.

1. Kebijakan Politik Pendidikan Pemerintahan Masa Pra-kemerdekaan
Pada masa pra-kemerdekaan kebijakan politik pemerintahan berada di tangan penjajah Belanda. Pada masa itu Belanda menerapkan politik Diskriminatif terhadap rakyat jajahannya, terutama terhadap ummat Islam. Hal ini baru berubah, setelah Belanda mendapatkan tekanan dari dunia internasional. Belanda mulai memberikan kesempatan secara terbatas kepada bangsa Indnesia untuk mendapatkan pendidikan. Tujuan dari pendidikan tersebut adalah untuk tenaga kerja yang akan diperkerjakan di pemerintahan Belanda. Belanda sangat mencurigai dan tidak suka akan keberadaan pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dsb.

Dalam keadaan demikian, maka politik pendidikan yang diterapkan ummat Islam adalah bersikap non-kooperatif dengan Belanda. Ummat Islam menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan sistem sekolah , yang diselenggarakan oleh oraganisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, dll. Di lembaga tersebut diajarkan pengetahuan agama, pengetahuan umum, nasionalisme, patriotisme, dll.

2. Kebijakan Politik Pendidikan Pemerintahan Masa Orde Lama
Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang sekuler dengan agamis. Implikasi dari kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya berupaya menjadi ”win-win solution” dengan mengakomodasi semua kepentingan.

Di sini terjadi pengakuan terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut. Pada masa ini politik pendidikan Islam lebih diarahkan pada upaya memperbaharui dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu sejalan dengan tuntutan zaman. Namun, kegiatan ini belum terlaksana sepenuhnya, mengingat Indonesia yang baru saja merdeka masih berada dalam keadaan labil dan mencari bentuk sesungguhnya. Selain itu adanya kekuatan ideologis yang mempengaruhi situasi politik dan kebijakan pemerintah juga ikut mempengaruhi politik pendidikan Islam pada masa itu. Pemerintah berada dalam tiga tekanan ideologi yaitu ideologi nasionalis, komunis, dan islamis. Jadi, politik pendidikan Islam pada masa ini difokuskan pada upaya membendung paham komunis

3. Kebijakan Politik Pemerintahan Masa Orde Baru
Dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada sentralisasi dan birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’ , selalu patuh buta terhadap kepentingan pusat. Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho dhawuh” . Bahkan sistem pada masa ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi. Disadari bahwa sistem pendidikan nasional pada masa itu sebab kuatnya intervensi kekuasaan sangat mewarnai di setiap aspek pendidikan.

Dalam sistem pendidikan nasional pada masa orba, muatan kurikulumnya sempat dimanfaatkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Beberapa pelatihan di sekolah-sekolah atau instusi-institusi pendidikan pada umumnya lebih mengenalkan indoktrinasi ideologi penguasa. Praktek penataran P4 merupakan salah satu bukti riil dari indoktrinasi ideologi penguasa pada waktu itu. Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam.

Politik pendidikan pada masa Orde Baru dimulai pada tahun 1966. Ada beberapa karakteristik pemerintahan Orde Baru yang kurang kondusif bagi pengembangan pendidikan Islam, karakter tersebut antara lain:

  • Pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang kuat dan dominan
  • Pemerintahan Orde Baru melengkapi dirinya dengan aparat keamanan represif serta aparat politik-ideologis untuk melestarikan dan mereproduksi kekuasaannya
  • Pemerintahan Orde Baru sejak awal mendapatkan dukungan dari Kapitalisme internasional.

Politik Pendidikan Orde Baru mengacu kepada GBHN yang mulai diberlakukan sejak tahun 1973-1998. Kebijakan-kebijakan pemerintahan dalam bidang pendidikan adalah:

  • Melanjutkan program pemberantasan buta huruf

  • Melaksanakan pendidikan masyarakat agar memilki kemampuan, mental, spiritual, dan keterampilan

  • Mengenalkan pendidikan luar sekolah

  • Pembinaan generasi muda

  • Dilaksankannya proram orang tua asuh mulai tahun 1984.

4. Kebijakan Politik Pemerintahan Masa Reformasi
Pemerintahan Reformasi ditandai oleh semakin berkembangnya wacana demokrasi. Mahasiswa sudah memiliki kebebasan yang luar biasa. Mereka dapat merangcang berbagai program sesuai dengan aspirasi yang berkembang. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional N0 20 tahun 2003. Di era reformasi ini penekanannya terletak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan secara top-down diubah dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga pola yang berjalan adalah bottom-up. Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini ternyata belum memberi angin segar bagi dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi.

Demokrasi telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah. Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit mengakses pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi yang masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini. Kebijakan politik yang paling di sorot pada masa ini adalah kebijakan- kebijakan tentang otonomi daerah dalam bidang pendidikan, penerapan kurikulum yang berganti-ganti, hingga yang diterapkan saat ini yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan pro dan kontra yang terjadi pada pelaksanaan Ujian Nasional.

Usaha mempertahankan sistem yang sedang berlangsung sekaligus upaya pelestarian sistem nilai politik (politik, budaya, ideologi, pola keyakinan) sebagai proses mengaktifkan unsur-unsur dinamis yang ada pada diri manusia, yaitu sikap, perilaku, sistem berpikir, pandangan, unsur indriatif, dan unsur-unsur instingtif yang diarahkan pada suatu objek tertentu (kondisi pelestarian) agar objek tersebut dapat didekati.

Proses mengaktifkan unsur-unsur dinamis tersebut, yaitu melalui proses pendidikan. Dalam skup kajian ilmu komunikasi, pendidikan merupakan salah satu bentuk spesialisasi lainnya, seperti propaganda, jurnalistik, public relations, dan sebagainya. Pendidikan sebagai aktivitas memengaruhi, mengubah, dan membentuk sikap dan perilaku berdasarkan nilai-nilai yang telah dianggap benar dan telah memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia.

Pola pendidikan berikut tujuannya sangat bergantung pada sistem nilai yang mendasarinya. Pola pendidikan pada negaranegara penganut sistem totaliter berbeda dengan pola pendidikan pada negara-negara penganut sistem demokrasi. Demikian pula, tujuannya merupakan perbedaan berbanding terbalik antara kedua pola tersebut. Pendidikan politik seperti dikatakan dalam Rochayat Harun dan Sumarno adalah sebagai berikut.

Pendidikan Politik Nasional (Civic)


Pada umumnya, pendidikan politik yang dilaksanakan suatu negara dalam sistem apa pun bentuknya bertujuan untuk:

  1. mempersiapkan generasi penerus sebagai penerima dan pelanjut sistem nilai (sistem politik, pola keyakinan, sistem budaya);

  2. menyamakan sistem berpikir tentang nilai-nilai yang dapat memedomani aktivitas kehidupan bernegara;

  3. memantapkan sikap jiwa dalam melaksanakan sistem nilai sekaligus membangun hasrat melestarikannya.

Dalam proses pendidikan politik, fokus perhatian bukan hanya peserta didik (sebagai calon komunikator politik), melainkan juga para pendidik yang bertugas mentransformasikan simbol-simbol politik. Apa yang diungkap di atas sebagai salah satu sistem pendidikan yang berlaku di dalam wilayah sistem terlentu, yaitu Indonesia, di luar itu masih banyak sistem pendidikan lainnya yang pada prinsipnya adalah membentuk karakter bangsa yang mampu melestarikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama. Selain pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah, terdapat pula pendidikan yang diselenggarakan oleh kelompok atau partai.

Pendidikan Politik Kelompok atau Partai


Kegiatan pendidikan politik oleh kelompok politik atau partai politik ditujukan untuk:

  1. pendidikan politik kader;
  2. pengembangan organisasi partai.

Pendidikan politik kader bertujuan meningkatkan kualitas kader sebagai calon pelanjut kepemimpinan partai dan kehidupan organisasi. Pendidikan politik lebih berorientasi pada pemantapan dan pengembangan program partai. Pendidikan ini lebih bersifat memelihara mekanisme demokrasi yang diklasifikasikan ke dalam tiga jenjang, yaitu:

  • Jenjang pertama pendidikan diarahkan untuk:
  1. pemahaman arti berorganisasi;
  2. penanaman loyalitas terhadap organisasi;
  3. pemantapan dedikasi. Jenjang ini biasanya diperuntukkan bagi kader pemula.
  • Jenjang kedua pendidikan diarahkan untuk:
  1. membuka wawasan berpikir yang berdasar ideologi partai;
  2. menumbuhkan dinamika dan kreativitas dalam pengembangan organisasi;
  3. meningkatkan kualitas pengelolaan organisasi. Jenjang ini diperuntukkan bagi kader madya.
  • Jenjang ketiga pendidikan diarahkan untuk:
  1. membentuk sumber insani organisasi yang memiliki kemampuan konseptual;
  2. mendidik cara berpikir sistematis dan strategis;
  3. mendidik agar memiliki kemampuan menganalisis peristiwa-peristiwa politik dan cara mengantisipasinya;
  4. mendidik berpikir futuristik. Jenjang ini diperuntukkan bagi calon-calon politisi.

Pendidikan lebih lanjut bersifat strategis dan konseptual, yaitu diperuntukkan bagi para politisi. Pendidikan politik partai berkaitan erat dengan konfigurasi kepartaian atau sistem partai yang dianut. Apabila sistem kepartaian bersifat jamak, akan terjadi bursa pengaruh dalam usaha menduduki lembaga-lembaga kekuasaan yang akan mengendalikan kekuasaan negara.

Kontribusi pendidikan politik yang diselenggarakan partai politik cukup memberi makna apabila orientasi kepentingan memicu pada kepentingan nasional. Dalam kondisi seperti ini, partai politik berfungsi sebagai sarana dan mekanisme dalam mencapai fungsi primer negara, yaitu tujuan negara. Sifat-sifat dan komitmen moral seluruh unsur ke dalam totalitas sistem menandai bahwa pendidikan politik dapat mendekati terhadap upaya melestarikan sistem politik sekaligus sistem lainnya.

Menginterpretasi Simbol-simbol Kekuasaan


Pendidikan politik merupakan proses penguasaan simbolsimbol pribadi. Proses penguasaan simbol dimulai dari pengenalan, pemahaman, dan pengaktualisasiannya. Proses pengenalan simbolsimbol kekuasaan merupa kan suatu proses penginterpretasian ke dalam struktur rujukan atau kapasitas pribadi peserta pendidik.

Simbol-simbol kekuasaan terdiri atas seperangkat simbol yang digunakan dalam proses mengoperasikan kekuasaan, seperti presiden atau eksekutif (pemerintah), perdana menteri, menteri, departemen. Kemudian, simbol-simbol aspirasi seperti lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat.

Proses berikutnya proses pemahaman fungsi dari masing-masing simbol kekuasaan berikut bekerjanya fungsi-fungsi tersebut. Pemahaman terhadap proses bekerjanya fungsi-fungsi berkait erat dengan simbol-simbol sikap dan perilaku penguasa (elite politik).

Proses pemahaman ini membuka pandangan tentang perilaku dan sikap yang berorientasi subjektif dengan bobot kepentingan pada posisi penguasa. Sebaliknya, sikap perilaku penguasa lebih cenderung pada kepentingan umum. Orientasi berpikir tercurah untuk meningkatkan kualitas penghuni seluruh wilayah kekuasaan (wilayah sistem nilai, sistem politik).

Pemahaman cara bekerja fungsi kekuasaan, sikap perilaku penguasa berdasarkan informasi abstraksi sejarah dapat dilakukan melalui simbol-simbol yang dioperasikan pada masa lampau, seperti bentuk monarki absolut, fasis Itali, Nazi Jerman, dan komunis Uni Soviet.

Pada tahap pemahaman ini terjadi kecenderungan ke arah alternatif pilihan pola keyakinan, pola kepercayaan atau sistem politik yang diminati. Pengenalan dan pemahaman simbol politik yang telah diinterpretasikan dalam simbol-simbol kelompok, asosiasi, institusi lembaga negara sehingga mendorong pribadi-pribadi untuk mengaktualisasikan diri dalam interaksi politik, yaitu mengaitkan diri dalam alokasi otoritatif.

Kemampuan menginterpretasikan seluruh simbol kekuasaan ke dalam simbol-simbol pribadi memberi makna bahwa pilihan terhadap yang diminati merupakan cerminan sikap, perilaku politik yang sudah terbentuk. Pada tahap ini, individu memiliki kepribadian politik (political personality) dari sistem politik sehingga kepribadian tersebut akan menjadi faktor pembeda atau identitas pembeda terhadap sistem politik lainnya.

Hasrat untuk mempertahankan sistem politik berikut sistem nilai yang melandasinya mulai tumbuh. Bahkan, lebih dari itu hasrat ingin mengalihkan atau transformasi nilai-nilai kepada generasi berikutnya mulai mewarnai sikap jiwa. Pengalamanpengalaman berdasar abstraksi sejarah (experience background) dan data empiris ditabulasikan sebagai data informasi ke ambang masa akan datang.

Sifat-sifat abstraktif masa depan sekaligus diasumsikan berdasar pada sikap perilaku pada saat sekarang. Kemungkinan-kemungkinan (lebih dari probabilitasi) yang akan terjadi, baik berupa dukungan maupun hambatan-hambatan telah diminimalkan sejak dini.

Kondisi itu mengandung makna bahwa interpretasi simbol kekuasaan telah bergeser ke proses mengonstruksi simbol-simbol komunikasi melalui proses “encoding” (proses formulasi) dan proses “decoding” (proses formulasi ulang) secara silih berganti dan saling memengaruhi. Pada tangga ini, pendidikan politik berhasil dan upaya pelestarian sistem dapat didekati.

Menginterpretasikan Simbol-simbol Kebenaran dan Keadilan


Pendidikan politik pada hakikatnya menemukan dan merumuskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang akan ditransparansikan dalam kehidupan sehari-hari. Kebenaran dan keadilan mempunyai dua sifat abstrak dan nisbi (relatif). Sejak zaman Yunani kuno sampai saat ini, usaha-usaha menemukan dan merumuskan ke benaran dan keadilan belum pernah selesai.

Para ahli pikir, filsuf, para pakar telah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat ukuran-ukuran yang dapat memedomani sikap, perilaku manusia dalam aktivitas sehari-hari, baik dalam posisi sebagai penguasa maupun sebagai masyarakat. Ukuran kebenaran yang diformulasi ke dalam seperangkat norma yang dibentuk penguasa (norma hukum) dalam wujud peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan berakibat sanksi langsung atau ukuran kebenaran itu berdasar norma-norma (adat, kesopanan, kesusilaan, agama) yang berkembang dalam masyarakat.

Norma-norma (kaidah-kaidah) sebagai ukuran dalam menentukan kebenaran sama halnya dengan ukuran untuk menentukan keadilan. Letak perbedaannya, yaitu pada fungsi untuk kebenaran maka norma berfungsi memedomani aktivitas manusia. Adapun dalam keadilan, norma memedomani cara memberi penilaian terhadap produk aktivitas manusia.

Aktualisasi simbol-simbol kebenaran dan keadilan dijumpai dalam aktivitas penguasa (elite penguasa, komunikator politik suprastruktur) dari perlakuannya terhadap yang dikuasai. Simbolsimbol kebenaran selalu berorientasi pada kepentingan yang dikuasai dan berorientasi pada keutuhan seluruh lingkup yang berada dalam kekuasaan penguasa (negara).

Adapun simbol-simbol keadilan dijumpai pada sikap perilaku penguasa dalam memberi penghargaan atas prestasi masyarakat (yang dikuasai) yang diabdikan pada kepentingan negara. Produk pendidikan politik dalam menemukan simbol-simbol keadilan dan kebenaran merupakan tolok ukur untuk memahami sikap perilaku politik ingkar atau tidaknya terhadap nilai-nilai yang berlaku.

Transformasi nilai-nilai dan sikap perilaku akan berlangsung apabila norma-norma yang berlaku tidak diingkari. Kondisi seperti ini sebagai daya dukung untuk mendekatkan ke arah pelestarian sistem politik sekaligus nilai-nilai yang melandasinya.

Secara umum, masyarakat masih menganggap bahwa dunia pendidikan harus terpisah/ harus dipisahkan dari dunia politik. Keduanya tidak bisa dicampur menjadi satu karena dunia pendidikan membutuhkan pelayanan profesional yang harus berlangsung secara terus-menerus dan tidak memihak kepada kelompok-kelompok kepentingan tertentu, melainkan untuk semuanya (Wirt & Kirst, 1982). Sementara itu, Politik Pendidikan Indonesia dalam Abad ke-21 dunia politik lebih menekankan pada kepentingan-kepentingan jangka pendek dan lebih mementingkan konstituan (kelompoknya). Platform politik bisa berubah-ubah jika rezim juga berubah. Padahal, dunia pendidikan membutuhkan layanan profesional yang berkelanjutan dalam jangka panjang dan jika dunia pendidikan dicampur dengan dunia politik, dikawatirkan akan terjadi distorsi penyelenggaraan pendidikan.

Kehadiran politik pendidikan sangat diperlukan agar keadilan, kebenaran, kemanfaatan, dan kepastian penyelenggaraan pendidikan dapat dijamin dan dikendalikan. Lasswels (1958) menyatakan bahwa politics is who gets what, when, and how (politik itu adalah siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana). Definisi klasik ini masih berlaku untuk situasi Indonesia. Pembuatan peraturan perundang-undangan, kebijakan, perencanaan, dan penganggaran pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan, semuanya melibatkan berbagai pihak yang jelas-jelas kepentingannya berbeda. Mereka saling adu argumen untuk memengaruhi unit-unit kekuasaan dengan maksud agar nilai-nilai dan alokasi sumber daya yang terbatas diputuskan sesuai dengan keinginannya. Jika sumber daya terbatas yang dialokasikan tidak sesuai dengan keinginan mereka, konflik akan memanas sepanjang waktu dan di semua tempat. Apalagi dalam era desentralisasi pendidikan seperti sekarang ini, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan sangat kompleks, yang mencakup kelompok-kelompok eksekutif, legislatif, yudikatif, asosiasi profesi, pakar, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan masyarakat atentif, yang semuanya memiliki kepentingan untuk memengaruhi penguasa dalam pengambilan keputusan pendidikan. Di sinilah dibutuhkan teori untuk mengatasi konflik kepentingan pendidikan yang disebut ilmu politik pendidikan.

Jadi, politik pendidikan adalah suatu proses pemilihan nilai-nilai dan pengalokasian sumber daya terbatas dalam proses pembuatan keputusan yang melibatkan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan berbeda dalam rangka memengaruhi pengambilan keputusan sehingga nilai-nilai dan alokasi sumber daya terbatas yang diinginkan oleh kelompok-kelompok tertentu masuk dalam pengambilan keputusan. Misalnya, eksekutif memiliki kepentingan melaksanakan mandat/amanat peraturan perundang-undangan. Legislatif memiliki kepentingan yang bersumber dari konstituansnya, yudikatif berkepentingan bahwa pendidikan dilaksanakan secara adil, benar, bermanfaat, dan berkepastian.