Usaha mempertahankan sistem yang sedang berlangsung sekaligus upaya pelestarian sistem nilai politik (politik, budaya, ideologi, pola keyakinan) sebagai proses mengaktifkan unsur-unsur dinamis yang ada pada diri manusia, yaitu sikap, perilaku, sistem berpikir, pandangan, unsur indriatif, dan unsur-unsur instingtif yang diarahkan pada suatu objek tertentu (kondisi pelestarian) agar objek tersebut dapat didekati.
Proses mengaktifkan unsur-unsur dinamis tersebut, yaitu melalui proses pendidikan. Dalam skup kajian ilmu komunikasi, pendidikan merupakan salah satu bentuk spesialisasi lainnya, seperti propaganda, jurnalistik, public relations, dan sebagainya. Pendidikan sebagai aktivitas memengaruhi, mengubah, dan membentuk sikap dan perilaku berdasarkan nilai-nilai yang telah dianggap benar dan telah memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia.
Pola pendidikan berikut tujuannya sangat bergantung pada sistem nilai yang mendasarinya. Pola pendidikan pada negaranegara penganut sistem totaliter berbeda dengan pola pendidikan pada negara-negara penganut sistem demokrasi. Demikian pula, tujuannya merupakan perbedaan berbanding terbalik antara kedua pola tersebut. Pendidikan politik seperti dikatakan dalam Rochayat Harun dan Sumarno adalah sebagai berikut.
Pendidikan Politik Nasional (Civic)
Pada umumnya, pendidikan politik yang dilaksanakan suatu negara dalam sistem apa pun bentuknya bertujuan untuk:
-
mempersiapkan generasi penerus sebagai penerima dan pelanjut sistem nilai (sistem politik, pola keyakinan, sistem budaya);
-
menyamakan sistem berpikir tentang nilai-nilai yang dapat memedomani aktivitas kehidupan bernegara;
-
memantapkan sikap jiwa dalam melaksanakan sistem nilai sekaligus membangun hasrat melestarikannya.
Dalam proses pendidikan politik, fokus perhatian bukan hanya peserta didik (sebagai calon komunikator politik), melainkan juga para pendidik yang bertugas mentransformasikan simbol-simbol politik. Apa yang diungkap di atas sebagai salah satu sistem pendidikan yang berlaku di dalam wilayah sistem terlentu, yaitu Indonesia, di luar itu masih banyak sistem pendidikan lainnya yang pada prinsipnya adalah membentuk karakter bangsa yang mampu melestarikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama. Selain pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah, terdapat pula pendidikan yang diselenggarakan oleh kelompok atau partai.
Pendidikan Politik Kelompok atau Partai
Kegiatan pendidikan politik oleh kelompok politik atau partai politik ditujukan untuk:
-
pendidikan politik kader;
-
pengembangan organisasi partai.
Pendidikan politik kader bertujuan meningkatkan kualitas kader sebagai calon pelanjut kepemimpinan partai dan kehidupan organisasi. Pendidikan politik lebih berorientasi pada pemantapan dan pengembangan program partai. Pendidikan ini lebih bersifat memelihara mekanisme demokrasi yang diklasifikasikan ke dalam tiga jenjang, yaitu:
- Jenjang pertama pendidikan diarahkan untuk:
- pemahaman arti berorganisasi;
- penanaman loyalitas terhadap organisasi;
- pemantapan dedikasi. Jenjang ini biasanya diperuntukkan bagi kader pemula.
- Jenjang kedua pendidikan diarahkan untuk:
- membuka wawasan berpikir yang berdasar ideologi partai;
- menumbuhkan dinamika dan kreativitas dalam pengembangan organisasi;
- meningkatkan kualitas pengelolaan organisasi. Jenjang ini diperuntukkan bagi kader madya.
- Jenjang ketiga pendidikan diarahkan untuk:
- membentuk sumber insani organisasi yang memiliki kemampuan konseptual;
- mendidik cara berpikir sistematis dan strategis;
- mendidik agar memiliki kemampuan menganalisis peristiwa-peristiwa politik dan cara mengantisipasinya;
- mendidik berpikir futuristik. Jenjang ini diperuntukkan bagi calon-calon politisi.
Pendidikan lebih lanjut bersifat strategis dan konseptual, yaitu diperuntukkan bagi para politisi. Pendidikan politik partai berkaitan erat dengan konfigurasi kepartaian atau sistem partai yang dianut. Apabila sistem kepartaian bersifat jamak, akan terjadi bursa pengaruh dalam usaha menduduki lembaga-lembaga kekuasaan yang akan mengendalikan kekuasaan negara.
Kontribusi pendidikan politik yang diselenggarakan partai politik cukup memberi makna apabila orientasi kepentingan memicu pada kepentingan nasional. Dalam kondisi seperti ini, partai politik berfungsi sebagai sarana dan mekanisme dalam mencapai fungsi primer negara, yaitu tujuan negara. Sifat-sifat dan komitmen moral seluruh unsur ke dalam totalitas sistem menandai bahwa pendidikan politik dapat mendekati terhadap upaya melestarikan sistem politik sekaligus sistem lainnya.
Menginterpretasi Simbol-simbol Kekuasaan
Pendidikan politik merupakan proses penguasaan simbolsimbol pribadi. Proses penguasaan simbol dimulai dari pengenalan, pemahaman, dan pengaktualisasiannya. Proses pengenalan simbolsimbol kekuasaan merupa kan suatu proses penginterpretasian ke dalam struktur rujukan atau kapasitas pribadi peserta pendidik.
Simbol-simbol kekuasaan terdiri atas seperangkat simbol yang digunakan dalam proses mengoperasikan kekuasaan, seperti presiden atau eksekutif (pemerintah), perdana menteri, menteri, departemen. Kemudian, simbol-simbol aspirasi seperti lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Proses berikutnya proses pemahaman fungsi dari masing-masing simbol kekuasaan berikut bekerjanya fungsi-fungsi tersebut. Pemahaman terhadap proses bekerjanya fungsi-fungsi berkait erat dengan simbol-simbol sikap dan perilaku penguasa (elite politik).
Proses pemahaman ini membuka pandangan tentang perilaku dan sikap yang berorientasi subjektif dengan bobot kepentingan pada posisi penguasa. Sebaliknya, sikap perilaku penguasa lebih cenderung pada kepentingan umum. Orientasi berpikir tercurah untuk meningkatkan kualitas penghuni seluruh wilayah kekuasaan (wilayah sistem nilai, sistem politik).
Pemahaman cara bekerja fungsi kekuasaan, sikap perilaku penguasa berdasarkan informasi abstraksi sejarah dapat dilakukan melalui simbol-simbol yang dioperasikan pada masa lampau, seperti bentuk monarki absolut, fasis Itali, Nazi Jerman, dan komunis Uni Soviet.
Pada tahap pemahaman ini terjadi kecenderungan ke arah alternatif pilihan pola keyakinan, pola kepercayaan atau sistem politik yang diminati. Pengenalan dan pemahaman simbol politik yang telah diinterpretasikan dalam simbol-simbol kelompok, asosiasi, institusi lembaga negara sehingga mendorong pribadi-pribadi untuk mengaktualisasikan diri dalam interaksi politik, yaitu mengaitkan diri dalam alokasi otoritatif.
Kemampuan menginterpretasikan seluruh simbol kekuasaan ke dalam simbol-simbol pribadi memberi makna bahwa pilihan terhadap yang diminati merupakan cerminan sikap, perilaku politik yang sudah terbentuk. Pada tahap ini, individu memiliki kepribadian politik (political personality) dari sistem politik sehingga kepribadian tersebut akan menjadi faktor pembeda atau identitas pembeda terhadap sistem politik lainnya.
Hasrat untuk mempertahankan sistem politik berikut sistem nilai yang melandasinya mulai tumbuh. Bahkan, lebih dari itu hasrat ingin mengalihkan atau transformasi nilai-nilai kepada generasi berikutnya mulai mewarnai sikap jiwa. Pengalamanpengalaman berdasar abstraksi sejarah (experience background) dan data empiris ditabulasikan sebagai data informasi ke ambang masa akan datang.
Sifat-sifat abstraktif masa depan sekaligus diasumsikan berdasar pada sikap perilaku pada saat sekarang. Kemungkinan-kemungkinan (lebih dari probabilitasi) yang akan terjadi, baik berupa dukungan maupun hambatan-hambatan telah diminimalkan sejak dini.
Kondisi itu mengandung makna bahwa interpretasi simbol kekuasaan telah bergeser ke proses mengonstruksi simbol-simbol komunikasi melalui proses “encoding” (proses formulasi) dan proses “decoding” (proses formulasi ulang) secara silih berganti dan saling memengaruhi. Pada tangga ini, pendidikan politik berhasil dan upaya pelestarian sistem dapat didekati.
Menginterpretasikan Simbol-simbol Kebenaran dan Keadilan
Pendidikan politik pada hakikatnya menemukan dan merumuskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang akan ditransparansikan dalam kehidupan sehari-hari. Kebenaran dan keadilan mempunyai dua sifat abstrak dan nisbi (relatif). Sejak zaman Yunani kuno sampai saat ini, usaha-usaha menemukan dan merumuskan ke benaran dan keadilan belum pernah selesai.
Para ahli pikir, filsuf, para pakar telah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat ukuran-ukuran yang dapat memedomani sikap, perilaku manusia dalam aktivitas sehari-hari, baik dalam posisi sebagai penguasa maupun sebagai masyarakat. Ukuran kebenaran yang diformulasi ke dalam seperangkat norma yang dibentuk penguasa (norma hukum) dalam wujud peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan berakibat sanksi langsung atau ukuran kebenaran itu berdasar norma-norma (adat, kesopanan, kesusilaan, agama) yang berkembang dalam masyarakat.
Norma-norma (kaidah-kaidah) sebagai ukuran dalam menentukan kebenaran sama halnya dengan ukuran untuk menentukan keadilan. Letak perbedaannya, yaitu pada fungsi untuk kebenaran maka norma berfungsi memedomani aktivitas manusia. Adapun dalam keadilan, norma memedomani cara memberi penilaian terhadap produk aktivitas manusia.
Aktualisasi simbol-simbol kebenaran dan keadilan dijumpai dalam aktivitas penguasa (elite penguasa, komunikator politik suprastruktur) dari perlakuannya terhadap yang dikuasai. Simbolsimbol kebenaran selalu berorientasi pada kepentingan yang dikuasai dan berorientasi pada keutuhan seluruh lingkup yang berada dalam kekuasaan penguasa (negara).
Adapun simbol-simbol keadilan dijumpai pada sikap perilaku penguasa dalam memberi penghargaan atas prestasi masyarakat (yang dikuasai) yang diabdikan pada kepentingan negara. Produk pendidikan politik dalam menemukan simbol-simbol keadilan dan kebenaran merupakan tolok ukur untuk memahami sikap perilaku politik ingkar atau tidaknya terhadap nilai-nilai yang berlaku.
Transformasi nilai-nilai dan sikap perilaku akan berlangsung apabila norma-norma yang berlaku tidak diingkari. Kondisi seperti ini sebagai daya dukung untuk mendekatkan ke arah pelestarian sistem politik sekaligus nilai-nilai yang melandasinya.