Apa yang dimaksud dengan Politik Lokal?

Politik Lokal

Apa yang dimaksud dengan Politik Lokal ?

Politik lokal secara harfiah adalah bagian dari suatu sistem politik yang dijalankan oleh suatu Negara. Konteks lokal dalam hal ini menyiratkan pada pemaknaan heterogenitas masyarakat lokal (daerah) yang memiliki kesejarahan, situasi batin dan psikologis yang berbeda. Kondisi tersebut tentu memberikan kontribusi pada praktek politik di daerah sebagai cara memanifestasikan atau praktek dari paradigma yang terbangun.

Politik lokal secara sederhana adalah praktek politik di tingkat lokal. Praktek politik secara faktual terkait dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan dan dinamika peran masyarakat secara keseluruhan dalam mewujudkan pencapaian cita-cita. Secara umum politik lokal tidak dapat dilepaskan dari konteks politik nasional atau sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Menurut CSIS (2001) politik lokal adalah dinamika institusi-institusi politik di daerah dalam mengaktualisasikan interaksi dalam penyelenggaran pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat dan memfungsikan peran-peran yang di laksanakan oleh asing-masing institusi tersebut.

Dalam konteks ini maka institusi-institusi politik lokal adalah dapat dikategorikan menjadi supra struktur politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik yang dimaksud adalah pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD). Infra struktur politik dalam hal ini meliputi partai politik, kelompok kepentingan dan media massa. Dalam konteks pengertian ini maka potikal adalah berkerjanya pemerintah daerah, DPRD, partai politik, kelompok kepentingan, dan media massa dalam melaksanakan pembangunan melalui interaksi dan dinamika peran. Dalam proses penyelenggaraan pembangunan maka keseluruhan institusi politik atau komponen politik tersebut akan mempengaruhi mutu pembangunan.

Institusi politik dalam menjalankan perannya dituntut untuk memiliki berbagai kemampuan dan kapabilitas. Kapabilitas yang dimaksud adalah extractivecapability,
regulativecapability, distributivecapability, symboliccapability dan responsivecapability. Menurut Amin Ibrahim (2013) bahwa konteks Politik lokal terkait dengan konsepsi sistem potikal (SPL) dan dinamika Potikal (DPL). Dalam pemaknaan politik lokal seperti ini, konsep sistem politik menjadi kerangka dalam analisisnya.

Namun demikian kekhasan heterogenitas lokal dan kasus-kasus yang terjadi dewasa ini dalam praktek politik di daerah akan mewarnai pemahaman terhadap potikal. Politik lokal harus dicermatisecara sistemik, artinya sebagai suatu tatanan yang utuh, maka DPL akan sangat ditentukan oleh tingkat dan kualitas sinergi antara Subsistem Infra Struktur Politik Lokal (ISPL) dengan Subsistem Supra Struktur Politik Lokal yang bersangkutan.

Dalam setiap subsistem tersebut, tingkat peran atau kinerjanya juga ditentukan oleh baik tidaknya kerjasama antara sub-subsistem Elit Politik Lokal, Kelas Menengah Politik Lokal dan Kelas Bawah Politik Lokal nya, serta juga dipengaruhi oleh keberadaan Kelas Cuek Politik Lokalnya. Artinya eksistensi dari kelompokkelompok tersebut akan mewarnai Po;itik lokal dan memberikan kekhasan bagi praktek potikal. Dalam pemaknaan politik local keseluruhan komponen tersebut secara dinamis akan berinteraksi dalam konteks peran, kapasitas dan kapabilitas, serta interaksi antar komponen itu sendiri.

Dinamika interaksi, peran, dan kapasitas atau kapabilitas akan berkontribusi secara spesifik dalam proses pemerintahan. Pemerintahan daerah sebagai organisasi pelayanan kepada masyarakat berusaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan bernegara atau tujuan politik bernegara.Dengan demikian interrelasi politik local memberikan pengaruh kepada bagaimana pemda menjalankan fungsinya.

Politik lokal disebutkan Halim dalam bukunya berakar dari terminologi politik yang dimaknai sebagai seni mengatur kolektivitas, yang terdiri atas beragam individu berbeda melalui serangkaian undang-undang yang disepakati bersama. Terminologi ini kemudian berkembang dan bertolak atas aspek realitas bahwa politik berisi orang-orang yang mempunyai latar belakang berbeda. Namun, kondisi di dalam individu mempunyai tujuan-tujuan yang sama, seperti ingin hidup aman, makmur, dan sejahtera. Aturan-aturan yang diciptakan merupakan wujud ikatan politik yang menyatukan berbagai individu dalam mencapai tujuan yang sama (Halim, 2014).

Tidak mudah mengatur dan mengidentifikasi setiap aspirasi masyarakat yang berada sangat jauh dengan pemerintahan di Ibu Kota, belum lagi keberagaman dan pola nalar psikologisnya yang unpredictable (tidak dapat diprediksi). Sehingga pemerintahan sentralistik tidak mampu menghadirkan narasi yang tidak terlihat tersebut. Politik lokal di sini kemudian menjadi formula yang tepat untuk mengatur rakyat pada aspek pemerintahan Daerah. Barulah politik lokal terwujud sebagaimana halnya demokrasi yang bisa memahami latar belakang historis dan psikologis pada setiap rakyat suatu Negara. Politik lokal yang dimaksud adalah aktivitas politik pada skala atau ruang terkecil dalam Negara sebagai pemerintah daerah. Pergulatan politik lokal jarang sekali mendapatkan perhatian pada era orde baru. Pemerintahan yang sentralistik banyak digugat dan memunculkan gerakan- gerakan separatis yang mengecam Jakarta. Sehingga Soeharto pun lengser dari kekuasaannya, dan naiklah era reformasi. Konfigurasi politik demikian melahirkan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.25/1999 tentang perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, dan kemudian lebih dipertegas pada UU No.34/2004 tentang Otonomi Daerah.

Konsepsi kekuasaan di daerah selanjutnya yang menjadi perantara politik lokal tidak terlepas dari desentralisasi yang sudah diulas di atas. Maksud desentralisasi dalam konteks politik otonomi daerah, menurut Dormiere Freire dan Maurer seperti tercantum dalam tulisan Halim adalah bahwa desentralisasi bisa diinterpretasikan ke dalam tiga konsep. Baik konsep delegasi, dekonsentrasi dan tentunya devolusi.

Euforia dari kebijaksanaan otonomi daerah semakin dinikmati oeh rakyat, dan kontestasi pemilu menjadi lebih bermakna. Tidak heran jika setiap pelaksanaan pesta demokrasi di daerah mana pun akan terdapat partisipasi aktif yang luar biasa dari konstituennya karena melihat sangat pentingnya menentukan arah kepemimpinan dan pemimpin yang bisa merepresentasikan suara dan kehendak rakyat. Maka, dalam hal ini Pemilu Kepala Daerah (PILKADA) sangat tepat dikategorikan sebagai instrumen dari politik lokal. Sehingga, setiap tahun Komisi Pemilihan Umum (KPU) selalu berbenah diri dalam aturan sistem Pemilu. Pada tahun 2015 pembaharuan aturan sistem Pemilu dimaksud adalah pelaksanaan Pemilu secara serentak dengan salah satu maksud dan tujuannya sebagai efektifitas dan efisiensi anggaran. Pemilihan kepala daerah serentak ini dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015 berdasarkan pada Peraturan KPU RI No. 2 Tahun 2015.