Apa yang dimaksud dengan Politik Etis atau Politik Balas Budi?

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.

Apa yang dimaksud dengan Politik Etis atau Politik Balas Budi?

Pengertian Politik Etis


Politik etis sebagai sebuah polltik balas budi atau politik kehormanatan, namun juga tak lepas dari intirk-intrik politik dan tujuan di dalamnya, hal yang awalnya balas budi atau politik kehormatan ternyata tidak sejalan dengan apa yang di buat pada tujuan awal politik tersebut. Terbukti dengan masih adanya suatu keinginan dan kepentingan implisit dalam realisasinya, sebagai contoh adalah emigrasi (transmigrasi) yang di buat sebagai pemerataan penduduk Jawa dan Madura untuk di pindahkan ke daerah Sumatra Utara dan Selatan ternyata masih ada keinginan untuk mencari keuntungan besar dari kebijakan tersebut seperti di bukanya perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengelolanya dan pengurangan jumlah kemiskinan di Jawa dan Madura, ini adalah sebagai contoh dari realisasi politk etis tersebut.

Meskipun ada hal sifatnya keuntungan nemun tetap saja poltik etis tersebut adalah fajar budi atau dalam bahasa Jerman adalah Aufklarung (penceraahan) bagi bangsa Indonesia dimana fajar budi itu muncul terlihat sinar-sinarnya dengan di buatnya sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi, meskipun sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan saja namun untuk penduduk kelas bawah pun terdapat pendidik meskipun sistem dan fasilitasnya kelas II. Namun bukan masalah yang begitu pelik dalam hal ini karena dampak yang di timbulkan do kemudian hari adalah politik boomerang bagi pemerintahan Belanda, karena membuka pendidikan adalah mempersenjatai para penduduk pribumi yang lebih berbahaya dan lebih mematika dari pistol ataupun meriam. Munculnya golongan terdidik dan terpelajar di kemudian hari menjadi ancaman bagi pemerintahan Belanda,

Lahirnya Budi Utomo, Sarikat Islam hingga penbentukan Volkskraad adalah respon dari stimulus yang diberikan oleh poltik etis ini dengan memajukan pendidikan (Edukasi). Selain juga dua ranah lain yang di perbaharui yaitu pengairan dan infrastruktur (Irigasi) dan transmigrasi (Emigrasi).

  • Era politik konservatif (1800-1848): era dimana sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana eksploitasi negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi SDA alam merupkan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk tidak perduli apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting adalah keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.
  • Era culturstelsel (1830-1870): era dimana penjajahan dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya terjadi perubahan dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun di ganti dengan pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di pasaran internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk yang laku di pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu. Keuntungan yang berlipat-lipat adalah hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan tahun 1831 dan 1877 pemerintahan Belanda menerima keuntungan sebesar 825 gulden. Van Den Bosch adalah orang yang berada di balik politik tanam paksa ini yang melakukan eksploitasi cara baru untuk keuntungan negeri Belanda.

  • Era politik liberal (1850-1870): era dimana paham mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi Belanda berawal dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin memantapkan paham tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan meruntuhkan politik merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar bebas, pendirian pabrik-pabrik, jalan-jala raya dan kereta api, bank-bank dan kebun-kebun di Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.

  • Era transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870-1900): era dimana Belanda sebagai Negara yang awalnya penganut paham perekonomian merkantilisme beralih dan mengkristal menjadi politik liberal dan kapitalisme modern dengan penggunaan teknologi-teknologi yang gaungi oleh revolusi industri di Inggris dan membolehkan padagang dan saham swasta masuk ke Indonesia dan di berlakukanya politik pintu terbuka, hal ini terlihat semakin kuat dengan di bukanya Terusan Suez (1870) sebagai awal imperialisme modern masuk ke kawasan Asia dengan perekonomian kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknoilogi mesin kapa uap yang sebagai hasil dari revolusi Industri di Inggris.

  • Era politik etis itu berlangsung kurang lebih 1900 : dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai seudah berkembang dimana tiga bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan (Irigasi, Edukasi dan Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia.

Hakekat Politik Etis


Suatu istilah dan konsep yang dipakai untuk mensejahterakan Bangsa jajahan adalah politik etis, istilah ini awalnya hanya sebuah kritikan-kritikan dari para kalangan liberal dan Sosial Demokrat terhadap politik kolonial yang di rasa tidak adil dan menghilangkan unsur-unsur humanistik, golongan Sosial Demokrat yang saat di wakili oleh van Kol, van Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang yang ingin memberadabkan bangsa Indonesia.

Yang menjadi stimulus dari politik etis adalah kritikan yang di buat oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang intinya mengkritik pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh bangsa Indonesia terhadap negera Belanda yang keuntungan menjadi lima kali lipat dari hutang yang mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia yang kemudian di respon oleh Ratu Wilhemina dalam pengangkatanya sebagai Ratu baru Belanda pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bhawa Bangsa Belanda mempunyai hutang moril dan perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa Indoensia.

Selain dua faktor ini juga terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan politik etis semakin genjar dilakukan yaitu perubahan politik di Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan liberal yang menginginkan dilakukanya sistem ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan agar pendidikan mulai di tingkatkan di Indonesia. Adanya doktrin dari dua golongan yang berbeda semakin membuat kebijakan politik etis ini agar segera dilaksanakan.

  • Golongan Misionaris : 3 partai kristen yang mulai mengadakan pembagunan dalam bidang pendidikan yaitu patrai Katolik, Partai Anti-Revolusioner dan Partai Kristen yang programnya adalah kewajiban bagi Belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh agama.

  • Golongan Konservatif : menjadi kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberdabkan orang-orang yang terbelakang.

Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan terakhir politik kolonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggujawaban moral.

Politik etis itu sendiri memiliki arti politik balas jasa, politik balas budi, politik kehormatan ataupun hutang kekayaan mungkin intinya sama secara harfiah, setelah tadi dijelaskan bahwa politik etis ini di kumandangkan oleh golongan Sosial Demokrat yang didalangi oleh van Deventer yang menginginkan adanya balas budi untuk bangsa Indonesia.

Politik etis bertendensi pada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat dan efisiensi. Karena pada saat diberlakukanya politik etis tahun 1900 keadaan politik, sosial dan ekonomi kacau balau, bidang ekonomi di guncang oleh berjangkitnya hama pada tanaman terutama tebu, penyakit yang berkembang kolera dan pes maka tak mengherankan Bangsa Eropa enggan datang ke Jawa karena berkembangnya penyakit menular itu, sanitasi yang begitu buruk.

Dalam bidang sosial adalah jumlah masyarakat yang melek huruf hanya 1% dari 99% penduduk yang ada di Indonesia dan adalah masalah, karena kekurangan tenaga kerja yang perofesional dalam berbagai bidang dan birokrasi karena para pegawai yang didatangkan dari Belanda enggan datang karena isu penyakit menular yang ada di jawa, selain itu juga masalah kepadatan penduduk yang yang menjadi masalah di Jawa dan Madura, dan ini perlu dilakukan penyelesaianya secara segera.

Bidang politik masalah yang berkembang saat itu adalah sentralisasi politik yang kuat sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan dan keungan antara pemerintahan kolonial dan Bangsa Indonesia yang berdampak pada ketidaksejahteraan pribumi.

Pengertian Politik Etis


Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

  • Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
  • Imigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
  • Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.

Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap bumiputera yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum bumiputera agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Politik Etis


Van Deventeer adalah orang yang pertama kali menyampaikan gagasan tentang “hutang budi negeri Belanda kepada rakyat Bumiputera”. Di depan parlemen Belanda dia mengusulkan cara untuk membalas jasa kepada bangsa Indonesia yang banyak mengeluarkan tenaga demi bangsa Belanda. Van Deventeer menegaskan bahwa negeri Belanda telah berhutang budi kepada bangsa Indonesia dan hutang budi itu harus dibayar. Gagasan tersebut menjadi benih bagi lahirnya politik etis yang juga disebut sebagai politik balas budi dengan tujuan utama untuk mengangkat taraf kehidupan rakyat bumiputera di Hindia Belanda.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis yang terangkum dalam tiga program utama, yaitu:

  • Irigasi, yaitu program untuk memperbaiki pengairian pada lahan-lahan pertanian rakyat bumiputera dengan membangun bendungan dan jalur jalur pengairan.
  • Imigrasi, yaitu program untuk pemerataan penduduk darip pulau jawa yang padat menuju daerah-daerah luar Jawa yang masih jarang penduduknya
  • Edukasi yakni program untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyat bumiputera dengan pemerataan kesempatan belajar dan pendirian sekolah-sekolah rakyat.

Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi bukan untuk mengairi lahan-lahan persawahan milik rakyat, melainkan untuk perkebunan-perkebunan Belanda sendiri. Sedangkan politik imigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan yang berada diluar Jawa untuk dijadikan pekerja rodi melalui sistem tanam paksa (cultuurstelseel). Hanya program pendidikan yang memiliki manfaat penting bagi rakyat bumiputera kendatipun dalam pelaksanaannya, politik pendidikan ini dibarengi dengan sejumlah kebijakan non populis yang menimbulkan reaksi keras dari kalangan pendidikan Islam.

Pada aspek politik etis di bidang edukasi itu Belanda telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan dan intelektual rakyat bumiputera. Pengaruhnya begitu penting dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah di Jawa. Dalam hal ini, keuntungan yang dirasakan oleh bangsa bumiputera adalah mereka mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk bersekolah.

Tercatat sampai pada tahun 1940 anak anak bumiputera yang bersekolah di sekolah-sekolah rendah yang berbahasa daerah telah berjumlah 2 juta lebih dan disekolah-sekolah Belanda tercatat sebanyak 88 ribu lebih. Ini menunjukkan antusiasme yang luar biasa dari masyarakat yang selama ini hanya mengandalkan pendidikan tradisional semacam pesantren untuk beralih pada pendidikan modern yang ditawarkan oleh pemerintah penjajahnya. Pada saatnya nanti kecenderungan untuk menikmati pendidikan ala Barat di sekolah Belanda itu telah membawa kemajuan bagi bangsa bumiputera terutama terkait dengan lahirnya kelas intelektual baru yang memiliki cara berpikir modern namun dengan semangat nasionalisme yang tertanam kuat.

Di sisi lain, pelaksanaan politik etis juga telah menimbulkan reaksi antagonik terhadap keberadaan pendidikan tradisional nusantara. Ia telah memancing banyak reaksi keras terutama dari kalangan pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan pelaksanaan politik etis juga dibarengi dengan berbagai kebijakan yang kurang populis. Muatan kebijakan-kebijakan itu dinilai lebih banyak berpihak kepada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat bumiputera.

Dalam prakteknya, politik etis telah memunculkan banyak tafsir yang menunjukkan berbagai penyimpangan dari tujuannya semula ketika ia pertama kali dicanangkan. Bahkan menurut Elsbels Locher Shoclten, Politik Etis telah menjadi “kebijakan yang bertujuan memperluas kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Hindia Belanda menuju pemerintahan sendiri dibawah belanda menurut model Barat (Scholten, 1996).

Kebijakan-Kebijakan Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda


Tatkala program pendidikan dalam kerangka politik etis dilaksanakan, pemerintah kolonial Hindia Belanda sempat mempertimbangkan untuk memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang sudah ada sebagai dasar dalam pengembangan pendidikan mereka dalam kerangka politik etisnya. Akan tetapi, gagasan ini secara teknis sulit dipenuhi karena tradisi pendidikan Islam waktu itu dipandang memiliki dasar ideologi Islam yang yang berbeda dari apa yang selama ini dibawa oleh Belanda sendiri bersama misi imperialismenya, yaitu misi Kristenisasi. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi pemerintah Hindia Belanda, karena menyangkut persoalan ajaran Islam yang memang menjadi dasar pijakan pendidikan Islam; dan mustahil untuk dihilangkan dari kurikulumnya (Steenbrink, 1994).

Sejak awal pemerintah Hindia-Belanda memang sangat waspada terhadap gerakan islam. Kekhawatiran mereka tentu bisa dipahami mengingat sejumlah pemberontakan pernah berlangsung di bawah bendera islam. Sejak perang diponegoro (1825-1830) dan seterusnya, kebijakan-kebijakan Belanda yang lebih ketat terhadap komunitas muslim diberlakukan. Itulah mengapa pemerintah Hindia-Belanda mewaspadai kelompok islam termasuk pendidikan islamnya.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda memilih bentuk persekolahan yang dikelolanya sendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan pribumi, khususnya pesantren, baik secara administrasi maupun sistemnya. Sekolah ala Belanda itu berbentuk sekolah modern dengan sistem klasikal yang bisa kita lihat hingga sekarang. Tetapi berbeda dengan sekolah Belanda sebelumnya, sekolah Belanda era Politik Etis didirikan lebih merata dan diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat sesuai dengan gagasan awalnya untuk membalas budi terhadap rakyat bumiputera.