Apa yang dimaksud dengan Pola Asuh Authoritarian?

pola asuh

Setiap orang tua memiliki pola asuh terhadap anak. Diana Baumrind (1991, 1993) meyakini bahwa orang tua memiliki salah satu dari empat pola asuh yaitu, authoritarian, authoritative, neglectful dan indulgent.

Apa yang dimaksud dengan pola asuh authoritarian?

1 Like

Pola asuh autoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha.

Menurut Widyarini (2009), orangtua otoriter pada dasarnya bertindak berdasarkan asumsi bahwa apa yang dilakukannya terhadap anak adalah yang terbaik. Pengasuhan otoriter ini seringkali membuat anak remaja memberontak terlebih lagi bila orang tuanya keras, tidak adil dan tidak menunjukkan afeksi. Remaja akan bersikap bermusuhan (hostile) kepada orang tua serta sering kali menyimpan perasaan tidak puas terhadap kontrol dan didominasi dari orang tua mereka.

Menurut Widyarini (2009), dampak negatif dari pola asuh otoriter terhadap anak antara lain tidak mengembangkan empati, merasa tidak berharga, standar moral yang eksternal (hanya untuk menghindari hukuman, bukan karena kesadaran), terlalu menahan diri, agresif, kejam, sedih, menarik diri dari pergaulan, kurang dalam hal spontanitas, kemandirian, afeksi, dan rasa ingin tahu.

Klasifikasi pemeliharaan anak didasarkan pada hasil interaksi antara dua dimensi, yaitu:

  • Responsiveness (mengacu pada pengasuhan yang hangat atau pemberian support) adalah lingkup dimana orangtua secara intensional memupuk kepribadian, pengaturan diri dan penyataan diri dengan menjadi terbiasa, suportif, pengertian pada kepentingan spesial dan tuntutan orangtua.
  • Demandingness (mengacu pada pengontrolan tingkah laku) adalah tuntutan orangtua terhadap anak agar mau berintegrasi dengan seluruh keluarga, tuntutan kedewasaan mereka, pengawasan orangtua, usaha mendisiplinkan diri dan kemauan orangtua untuk menghukum anak yang tidak patuh.

Pola asuh authoritarian memiliki tingkat demandingness yang tinggi sedangkan tingkat responsiveness-nya rendah.

Menurut Santrock (2011) pola asuh otoriter (authoritarian) adalah gaya membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa anak-anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka.

Menurut Hurlock (1993) pola asuh dibagi menjadi tiga yaitu:

  • otoriter
  • demokratis
  • permisif.

Ciri-ciri pola asuh otoriter anak adalah:

  • harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua
  • pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak pernah memberi pujian
  • sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua

Hurlock (2005) menjelaskan bahwa dalam pola asuh otoriter, karena adanya sikap pengekangan orangtua, anak selalu menahan gejolak hati sehingga anak tampak tegang. Apabila anak ada kesempatan dan mendapat jalan keluar, gejolak hati ini muncul dan dapat menimbulkan perilaku maladaptif.

Menurut Agus (2013) pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan tersebut. Orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman.

Menurut Baumrind (1991 dalam Darling, 1999) :

Pola asuh pada dasarnya merupakan sikap dan kebiasaan orang tua yang diterapkan dalam mengasuh dan membesarkan anak di rumah. Sikap dan kebiasaan tersebut secara konsisten cenderung mengarah ke arah pola asuh tertentu.

Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)

Pola pengasuhan otoriter adalah pola pengasuhan yang menekankan pada orang tua sebagai pusat kontrol dan pengambilan keputusan. Respon orang tua yang menerapkan pola pengasuhan otoriter memiliki respon demanding yang tinggi tetapi dengan respon responsive yang rendah (Maccoby & Martin dalam Chiew, 2011). Dengan adanya respon demanding yang tinggi menunjukkan fokus orang tua terhadap penerapan kontrol yang tinggi pada anak. Kontrol terhadap anak ditunjukan untuk mendapatkan kepatuhan segera maupun jangka panjang (Maccoby & Martin dalam Chiew, 2011).

Kepatuhan sering ditegakkan dengan hukuman fisik atau kekerasan lain. Jarang diusahakan dengan adanya keterangan mengenai aturan-aturan maupun larangan. Orang tua menetapkan harapan dan standar yang tinggi atas perilaku anak, menekankan aturan perilaku tanpa memperhatikan kebutuhan anak, mengharapkan aturan yang akan dilaksanakan tanpa pertanyaan dan diskusi.

Sementara dengan adanya penerapan pola asuh otoriter, hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif pada diri anak, yaitu :

  • Anak selalu dihantui rasa ketakutan dan was-was
  • Tidak berani mengambil keputusan
  • Tidak berani berpendapat
  • Banyak bergantung pada orang lain
  • Pasif
  • Inisiatifnya cenderung tidak muncul tetapi di luar rumah anak cenderung agresif, rendah diri, tidak memiliki pendirian yang tetap dan mudah terpengaruh orang lain, tidak termotivasi, tidak bahagia, memiliki keterampilan sosial dan perilaku menolong yang rendah, suka memaksa dan berperilaku menyimpang (Baumrind,1991 dalam Darling, 1999).

Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturanaturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak.

Pola asuh yang bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan meskipun sudah menginjak usia dewasa. Anak yang dibesarkan dalam suasana semacam ini akan besar dengan sifat yang ragu-ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan tentang apa saja (Hourlock dalam Chabib Thoha, 1996).

Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, anak seolah-olah mejadi “robot”, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan tetapi disisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba.

Pada gaya pengasuhan otoriter ini, orang tua membatasi anak dan memberikan hukuman ketika anak melakukan kesalahan yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Orang tua yang otoriter biasanya tidak segan-segan memberikan hukuman yang menyakiti fisik anak, menunjukkan kemarahan kepada anaknya, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya. Anak yang diasuh oleh orang tua seperti ini sering kali terlihat kurang bahagia, ketakutan dalam melakukan sesuatu karena takut salah, minder, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah.

Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orang tua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu (Agus Dariyo, 2004).

Pada pola pengasuhan otoriter, orang tua menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua. Kebanyakan anak-anak dari pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan cukup bertanggung jawab, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri. (Tembong Prasetya, 2003).
Menurut Stewart dan Koch (1983) (dalam St. Aisyah, 2010), orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri antara lain: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik.

Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak.

Orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. Orang tua yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik. Orang tua yang otoriter amat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya.

Dengan berbagai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat. Sutari Imam Barnadib (1986) (dalam St. Aisyah, 2010) mengatakan bahwa orang tua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya.

Hasil yang ditemukan oleh Lewin dkk tersebut diteruskan oleh (Meuler dalam St. Aisyah, 2010) dalam penelitiannya dengan menemukan hasil bahwa anak anak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segala-galanya pada pengasuhnya. Di samping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan dan mudah putus asa.

Pola asuh otoriter adalah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menerapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak.

Hurlock (1980) menjelaskan bahwa penerapan pola asuh otoriter sebagai disiplin orang tua secara otoriter yang bersifat disiplin tradisional. Dalam disiplin yang otoriter orang tua menetapkan peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa ia harus mematuhi peraturan tersebut. Anak tidak diberikan penjelasan mengapa harus patuh dan tidak diberi kesempatan mengemukakan pendapat meskipun peraturan yang ditetapkan tidak masuk akal.

Menurut Santrock (2011) pola asuh otoriter adalah gaya membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa anak-anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka. Menurut Hurlock (1993) pola asuh dibagi menjadi tiga yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Ciri-ciri pola asuh otoriter anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua, pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak pernah memberi pujian, sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua, Pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal.

Hurlock (2005) menjelaskan bahwa dalam pola asuh otoriter, karena adanya sikap pengekangan orangtua, anak selalu menahan gejolak hati sehingga anak tampak tegang. Apabila anak ada kesempatan dan mendapat jalan keluar, gejolak hati ini muncul dan dapat menimbulkan perilaku maladaptif.

Menurut Agus (2013) pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan tersebut. Orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman.

Aspek-aspek Pola Asuh Otoriter

Aspek pola asuh otoriter menurut Robinson (1995), yaitu:

  1. Verbal Hostility
    Sikap orangtua memarahi, berteriak atau membentak kepada anak, dan tindakan-tindakan yang menuduhkan tidak adanya persetujuan dengan anaknya seperti beradu mulut dengan anaknya.

  2. Corporal Punishment
    Menggunakan hukuman fisik yang dilakukan orangutan terhadap anak untuk mendisiplinkan anak, seperti memukul, menampar, menghukum anak tanpa alasan yang jelas, memaksa anak ketika anak tidak patuh.

  3. Nonreasoning Punitive Strategis
    Memberi anak hukuman tanpa memberi alasan yang jelas, memberikan hukuman seperti meninggalkan anak di suatu tempat sendirian, dan ketika ada perkelahian antar anak-anak orangtua memberikan hukuman tanpa bertanya alasan mereka terlebih dahulu.

  4. Directiveness
    Mengatur anak dengan cara memberi tahu anak apa yang harus dilakukan sesuai dengan kehendak orangtua. Orangtua selalu menyela, mengkritik, dan memarahi anak jika perilaku anak tidak sesuai dengan kehendak orangtua dan aturan yang diterapkan orangtua.

Hal tersebut sesuai dengan aspek pola asuh otoriter menurut Hurlock (2005) adalah sebagai berikut :

  1. Sikap orangtua yang kaku dan keras
    Orangtua menuntut anak untuk patuh kepada semua perintah dan kehendak orang tua. Semua aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa adanya kesepakatan antara orang tua dan anak dalam keluarga.

  2. Pengontrolan tingkah laku anak katat
    Orang tua kurang memberi kepercayaan kepada anak, sehingga orang tua memberikan pengawasan setiap tindakan anak. Sikap orang tua tersebut membuat anak terbatas dalam melakukan aktifitasnya

  3. Pemberian hukuman
    Orang tua tidak segan-segan memberikan hukuman kepada anak, ketika anak tidak berhasil dalam suatu pencapaian tertentu. Hukuman yang diberikan cenderung berupa hukuman fisik seperti memukul, mencubit dan menampar

  4. Kurang adanya komunikasi yang baik terhadap anak
    Kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua dalam menentukan suatu keputusan. Semua atauran dibuat orang tua tanpa andanya pertimbangan.

A post was merged into an existing topic: Apa yang dimaksud dengan Pola Asuh Anak?