Apa yang dimaksud dengan Plagiarisme?

Plagiarisme

Plagiarisme adalah tindakan mencuri pemikiran atau tulisan orang lain dan mengklaimnya sebagai milik orang lain. Dari bahasa Latin, ‘plagiarius’, yang berarti penculik.

Sumber

Watson, James dan Anne Hill. 2012. Dictionary of Media and Communication Studies . New York: Bloomsbury Academic.

Pengertian Plagiarisme

Plagiarisme atau plagiat adalah suatu perbuatan menjiplak ide, gagasan atau karya orang lain yang selanjutnya diakui sebagai karya sendiri atau menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya sehingga menimbulkan asumsi yang salah atau keliru mengenai asal muasal dari suatu ide, gagasan atau karya. Istilah plagiat berasal dari bahasa Inggris plagiarism atau plagiary serta dalam bahasa Latin plagiarius yang artinya penculik atau penjiplak. Jadi plagiarisme atau plagiat adalah tindakan mencuri (gagasan/karya intelektual) orang lain dan mengklaim atau mengumumkannya sebagai miliknya (Putra, 2011).

Tipe - tipe Plagiarisme

Menurut Soelistyo (2011) ada beberapa tipe plagiarisme:

1.Plagiarisme Kata demi Kata ( Word for word Plagiarism ). Penulis menggunakan kata-kata penulis lain (persis) tanpa menyebutkan sumbernya.
2. Plagiarisme atas sumber ( Plagiarism of Source ). Penulis menggunakan gagasan orang lain tanpa memberikan pengakuan yang cukup (tanpa menyebutkan sumbernya secara jelas).
3. Plagiarisme Kepengarangan ( Plagiarism of Authorship ). Penulis mengakui sebagai pengarang karya tulis karya orang lain.
4. Self Plagiarism. Termasuk dalam tipe ini adalah penulis mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi. Dan mendaur ulang karya tulis/ karya ilmiah. Yang penting dalam self plagiarism adalah bahwa ketika mengambil karya sendiri, maka ciptaan karya baru yang dihasilkan harus memiliki perubahan yang berarti. Artinya Karya lama merupakan bagian kecil dari karya baru yang dihasilkan. Sehingga pembaca akan memperoleh hal baru, yang benar-benar penulis tuangkan pada karya tulis yang menggunakan karya lama.

Penyebab terjadinya Plagiarisme

Beberapa tindakan plagiat terjadi di sekitar kita. Tentu saja hal ini cukup menjadi perhatian kita semua, sehingga menjadi sangat penting bagi kita untuk mengantisipasi tindakan ini. Tindakan plagiat akan mencoreng dan memburamkan dunia akademis kita dan tidak berlebihan jika plagiarisme dikatakan sebagai kejahatan intelektual. Ada beberapa alasan pemicu atau faktor pendorong terjadinya tindakan plagiat yaitu:

1.Terbatasnya waktu untuk menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang menjadi beban tanggungjawabnya. Sehingga terdorong untuk copy-paste atas karya orang lain.
2. Rendahnya minat baca dan minat melakukan analisis terhadap sumber referensi yang dimiliki.
3. Kurangnya pemahaman tentang kapan dan bagaimana harus melakukan kutipan.
4. Kurangnya perhatian dari guru ataupun dosen terhadap persoalan plagiarisme.

Apapun alasan seseorang melakukan tindakan plagiat, bukanlah satu pembenaran atas tindakan tersebut.

Sumber

Purwani Istiana & Purwoko. Panduan Anti Plagiarism. Library UGM

Secara umum pengertian plagiarisme adalah adalah suatu perbuatan menjiplak ide, gagasan atau karya orang lain yang selanjutnya diakui sebagai karya sendiri atau menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya sehingga menimbulkan asumsi yang salah atau keliru mengenai asal muasal dari suatu ide, gagasan atau karya. Terdapat banyak penegrtian plagiarisme menurut para ahli :

  • Menurut Lindsey, plagiat adalah tindakan menjiplak ide, gagasan atau karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri atau menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya sehingga menimbulkan asumsi yang salah atau keliru mengenai asal muasal dari suatu ide, gagasan atau karya (Soelistyo, 2011).
  • Menurut Suyanto dan Jihad (2011), plagiarisme adalah mencuri gagasan, kata-kata, kalimat, atau hasil penelitian orang lain dan menyajikannya seolah-olah sebagai karya sendiri.
  • Menurut Brotowidjoyo (1993), plagiarisme merupakan pembajakan berupa fakta, penjelasan ungkapan dan kalimat orang lain secara tidak sah.
  • Menurut Ridhatillah (2003), plagiarisme adalah tindakan penyalahgunaan, pencurian atau perampasan, penerbitan, pernyataan atau menyatakan sebagai milik sendiri sebuah pikiran, ide, tulisan, atau ciptaan yang sebenarnya milik orang lain.
Summary

Pengertian, Jenis dan Identifikasi Plagiarisme

Definisi Plagiarisme

Kata plagiarisme berasal dari bahasa lain yaitu plagiarius, yang berarti merampok, atau membajak. [1] Sedangkan menurut kamus Oxford yang dimaksud dengan plagiarisme adalah tindakan mengunakan, menjiplak atau menyalin karya, tulisan, ide dari orang lain dan mengakuinya sebagai miliknya sendiri.[2]

Plagiarisme harus dibedakan dengan tindakan menyalin secara sah. Dalam tindakan plagiarisme, seseorang melakukan tindakan menjiplak atau menyalin karya, tulisan, atau ciptaan orang lain secara tidak sah tanpa persetujuan dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta dan tanpa memberikan kompensasi kepada si pencipta atau pemegang Hak Cipta dengan tujuan untuk mengklaim bahwa karya, tulisan, atau ciptaan tersebut adalah miliknya sendiri.[3]

Plagiarisme secara umum dipandang sebagai suatu pelanggaran etika yang biasanya terjadi dalam bidang akademis, namun plagiarisme juga bisa dikategorikan sebagai suatu pelanggaran hukum Hak Cipta apabila tindakan plagiarisme tersebut dilakukan terhadap suatu ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta. [4] Oleh karena itu sanksi bagi pelaku tindakan plagiarisme (plagiator) dapat berupa sanksi akademis maupun sanksi hukum apabila terjadi pelanggaran Hak Cipta dalam tindakan plagiarisme tersebut.[5]

Sebagai bahan perbandingan, maka berikut ini diuraikan pula beberapa pengertian atau definisi dari plagiarisme dari berbagai sumber :

Menurut Black’s Law Dictionary:

“ The act of appropriating the literary composition of another, or parts or passages of his writing, or the ideas or languange of the same, and passing them off as the product of ones’s own mind.

To be liable for plagiarism it is not necessary to exactly duplicate another’s literary work, it being sufficient if unfair use of such work is made by lifting of substantial portion thereof, but even an exact counterpart of another’s work does not constitute plagiarism if such counterpart was arrived at independently.” [6] (tindakan menggunakan atau meniru secara tidak sah suatu karya orang lain, atau bagian dari tulisan orang lain, atau ide serta pemakaian bahasa yang sama dengan karya orang lain, dan mengakuinya sebagai ciptaannya sendiri. Untuk dapat dikatakan sebagai plagiarisme tidaklah harus benar-benar meniru karya orang lain tersebut, cukup dengan menggunakan secara tidak wajar atau meniru bagian yang substansial dari karya tersebut saja, tetapi terkadang peniruan suatu bagian pada karya orang lain tidak bisa disebut sebagai plagiarisme apabila bagian yang ditiru tersebut merupakan bagian yang bebas atau bisa disebut sebagai public domain)

Menurut The University of California at Berkeley :

“ Plagiarism is defined as the use of intellectual material produced by another person without acknowledging its source. This includes, but is not limited to:

  • Copying from the writings or works of others into one’s academic assignment without attribution, or submitting such work as if it were one’s own;

  • Using the views, opinions, or insights of another without acknowledgement;or

  • Paraphrasing the characteristic or original phraseology, metaphor, or other literary device of another without proper attribution.” [7]

(plagiarisme didefinisikan sebagai penggunaan suatu materi intelektual yang dibuat oleh seseorang tanpa menyebutkan sumbernya, yang diantara lain adalah sebagai berikut:

  • meniru atau menjiplak dari suatu tulisan atau karya orang lain untuk digunakan dalam suatu tugas akademis tanpa memberikan suatu kompensasi, dan mengakuinya sebagai tulisan atau karyanya sendiri;

  • menggunakan pandangan, opini orang lain tanpa menyebutkan sumber dari pandangan atau opini tersebut;

  • memparaprasekan suatu karakteristik penulisan karya tulis orang lain tanpa memberikan kompensasi yang layak.)

Menurut The College of William and Mary :

“ Plagiarism occurs when a student, with intent to deceive or with reckless disregard for proper scholarly procedures, presents any information, ideas or phrasing of another as if they were his or her own and does not give appropriate credit to the original source.” [8] (plagiarisme terjadi ketika siswa berupaya menipu untuk membuat suatu tugas akademis,yang berisi informasi, ide atau kalimat-kalimat milik orang lain namun diakuinya sebagai milik sendiri tanpa memberikan kompensasi yang layak pada pemilik yang sebenarnya)

Menurut Vanderbilt University:

“The failure to acknowledge the sources from which we borrow ideas, examples, words, and the progression of thought.”[9]( ditidakberitahukannya sumber suatu ide, contoh, kata, atau pemikiran ketika kita menggunakannya)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

Plagiat ialah pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah – olah karangan sendiri. Plagiarisme adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta.” [10]

Melihat dari definisi-definisi tersebut diatas maka tindakan plagiarisme merupakan suatu tindakan yang tidak bermoral, karena apabila seseorang melakukan tindakan plagiarisme maka mereka tidak menghargai akan karya cipta dari seseorang. Padahal si pencipta sudah bersusah payah untuk menghasilkan karya tersebut, namun karya mereka tidak diakui oleh para plagiator. Bahkan karya mereka malah diakui sebagai milik para plagiator.

Kriteria Terjadinya Plagiarisme

Mengidentifikasi terjadinya suatu tindakan plagiarisme merupakan suatu perbuatan yang sangat sulit. Hal ini dikarenakan masih belum jelasnya kerangka kerja mengenai etika dan aspek legal mengenai plagiarisme. Hal ini juga dikarenakan masih terbatasnya literature-literatur yang membahas mengenai plagiarisme.[11]

Pada dasarnya suatu tindakan dapat dituntut ke pengadilan sebagai suatu tindakan plagiarisme yang melanggar Hak Cipta, apabila memenuhi 3 (tiga) unsur berikut ini : [12]

  1. Tindakan plagiarisme tersebut dilakukan terhadap ciptaan yang dilindungi Hak Cipta

  2. Dapat dibuktikan adanya unsur menyalin atau meniru ciptaan tersebut;

  3. Dapat dibuktikan bahwa tindakan menyalin atau meniru ciptaan tersebut merupakan tindakan menyalin atau meniru secara tidak sah (illicit copying).

Penentuan bisa tidaknya suatu tindakan dituntut ke pengadilan sebagai suatu tindakan plagiarisme yang melanggar Hak Cipta dengan melihat ketiga unsur diatas menurut penulis adalah cara yang paling tepat. Hal ini dikarenakan dalam suatu tindakan plagiarisme yang melanggar Hak Cipta ketiga unsur inilah yang pasti akan selalu ada.

Ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta adalah ciptaan-ciptaan yang termasuk dalam ruang lingkup Hak Cipta dan yang memenuhi kriteria sebagai suatu ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Adanya unsur tindakan menyalin atau meniru suatu ciptaan dapat dibuktikan dengan substansial similarity test. Substansial similarity test adalah suatu test untuk membuktikan adanya persamaan secara substansial pada kedua ciptaan yang diduga diakibatkan oleh tindakan menyalin atau meniru.[13]

Ada dua metode dalam penerapan Substansial Similarity Test ini, yaitu metode Ordinary Observer Test dan metode ekstrinstik dan intristik. Metode Ordinary Observer Test digunakan untuk membuktikan adanya persamaan secara substansial pada kedua ciptaan, khusunya kesamaan pada ekspresi. Sedangkan Metode ekstrinstik dan intristik digunakan untuk membuktikan adanya persamaan secara substansial pada kedua ciptaan baik itu kesamaan pada ide maupun kesamaan pada ekpresi.[14]

Metode Ordinary Observer Test dan Metode ekstrinstik dan intristik adalah dua metode yang paling sering digunakan oleh pengadilan-pengadilan di luar negeri untuk menentukan adanya persamaan yang substansial pada dua ciptaan. Hal ini dikarenakan tingkat keakuratan dari kedua metode ini untuk menentukan adanya persamaan substansial pada dua ciptaan cukup tinggi.

Tahap pertama dalam Metode Ordinary Observer Test ini adalah menghilangkan elemen-elemen yang tidak dilindungi oleh Hak Cipta dalam ciptaan yang memiliki persamaan secara substansial. Kemudian membandingkan kedua ciptaan tersebut untuk melihat masihkah terdapat persamaan yang substansial atau tidak pada kedua ciptaaan tersebut. Apabila masih terdapat persamaan secara substansial maka dapat dilakukan tindakan kedua dalam Metode Ordinary Observer Test.[15]

Tahap kedua dalam Metode Ordinary Observer Test adalah menerapkan doktrin merger. Doktrin merger adalah suatu doktrin yang menyatakan bahwa dalam suatu ciptaan yang dimana ide dan ekspresi dari ciptaan tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, maka ide dan ekpresi tersebut dianggap sebagai suatu kesatuan. [16] Dengan demikian apabila terjadi pelanggaran terhadap ekpresi yang telah menjadi kesatuan dengan ide maka hal tersebut bukan merupakan suatu pelangaran Hak Cipta, karena ide tidak dilindungi oleh Hak Cipta. [17] Merger doktrin ini digunakan untuk mengetahui apakah persamaan secara subtansial yang terdapat pada suatu ciptaan tersebut merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta atau bukan. Apabila dilihat dari penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa metode Ordinary Observer Test ini menentukan adanya persamaan yang substansial dari kedua ciptaan dengan melihat dari ekspresi dari ciptaan tersebut, dan tidak melihat dari ide dari ciptaan tersebut.

Dalam metode ekstrinstik dan intristik test terdapat dua tahap test, yang pertama adalah ekstrinstik test yaitu suatu test untuk mengetahui apakah terdapat suatu persamaan yang substansial pada ide. Kriteria untuk melihat adanya kesamaan ide pada kedua ciptaan tersebut adalah dengan melihat pada materi yang dipakai, subjek, maupun latar belakang dari subjeknya. Apabila terdapat persamaan yang substansial pada ide kedua ciptaan tersebut, maka dapat dilanjutkan ke tahap kedua dalam test ini.[18]

Tahap kedua dalam ekstrinstik dan intristik test adalah intrisrik test, yaitu suatu test untuk mengetahui apakah terdapat suatu persamaan yang substansial pada ekspresi. Test ini akan menentukan apakah terdapat persamaan yang substansial pada kedua ciptaan tersebut yang diakibatkan oleh tindakan menyalin atau meniru.[19]

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa dalam metode ekstrinstik dan intristik test ini menentukan adanya persamaan yang substansial dari kedua ciptaan dengan melihat dari ekspresi dan ide dari ciptaan tersebut, tidak melihat hanya dari ekspresi atau ide dari ciptaan tersebut saja.

Satu hal lagi yang harus diperhatikan dalam pembuktian adanya unsur pembuktian tindakan menyalin atau meniru suatu ciptaan adalah pembuktian terhadap adanya akses si peniru atau plagiator atas ciptaan yang ditiru atau disalin.[20] Apabila tidak terbukti si peniru pernah melihat atau memiliki akses untuk melihat ciptaan yang ditiru tersebut maka tidak terbukti orang tersebut melakukan tindakan menyalin atau meniru suatu ciptaan.

Namun permasalahan yang muncul adalah adanya kesulitan untuk melakukan pembuktian terhadap ada atau tidaknya akses si peniru atau plagiator atas ciptaan yang ditiru atau disalin, bisa saja para peniru atau plagiator tersebut berdalih bahwa mereka tidak pernah sama sekali melihat atau mengakses ciptaan yang ditiru atau disalin.

Unsur terakhir yang harus dibuktikan untuk melihat apakah suatu tindakan dapat dituntut ke pengadilan sebagai suatu tindakan plagiarisme yang melanggar Hak Cipta adalah adanya tindakan menyalin atau meniru secara tidak sah (illicit copying). tindakan menyalin atau meniru secara tidak sah (illicit copying) adalah tindakan menyalin atau meniru suatu ciptaan tanpa izin atau tanpa pemberitahuan kepada si pencipta atau pemegang Hak Cipta dari ciptaan tersebut.[21]

Selain kriteria yang telah dijelaskan diatas, beberapa perbuatan juga dapat dikategorikan sebagai tindakan plagiarisme, antara lain:[22]

  1. Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri,

  2. Mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri,

  3. Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri, mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,

  4. Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya,

  5. Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya,dan

  6. Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.

Melihat dari beberapa kategori plagiarisme diatas, plagiarisme dalam tayangan televisi yang merupakan pembahasan dalam skripsi ini, dapat dikategorikan sebagai tindakan mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri dan menyajikan suatu ciptaan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya.

Plagiarisme Dalam Hak Cipta

Plagiarisme dan Hak Mengumumkan

Hak untuk mengumumkan adalah hak untuk melakukan pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan, dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat oleh orang lain.[23]

Berdasarkan penjelasan tersebut maka pengumuman ciptaan dapat dilakukan dalam berbagai cara, antara lain: [24]

  1. Pengumuman ciptaan melalui penyiaran radio sehingga ciptaan hanya dapat didengar saja oleh orang lain (biasanya dilakukan oleh para user, misalnya siaran radio, pub, karaoke, rumah makan, restoran, jasa penerbangan, dan hotel);

  2. Pengumuman ciptaan melalui media penyiaran televisi sehingga ciptaan dapat didengar dan dilihat orang lain;

  3. Pengumuman ciptaan melalui media cetak sehingga ciptaan bersangkutan bisa dibaca oleh orang lain (banyak dilakukan melalui media cetak, misalnya; koran, majalah, terbitan berkala, atau bahkan saat ini dikenal dengan media komputer melalui internet);

  4. Pengumuman ciptaan secara langsung atau live, yaitu pertunjukan langung kepada penonton yang dapat juga disertai dengan siaran langsung melalui media elektronik sperti misalnya siaran televisi atau siaran radio, sehingga ciptaan bersangkutan bisa didengar dan dilihat bahkan bisa dibaca jika ada teksnya: dan

  5. Pengumuman ciptaan dengan menempelkan pada tempat tertentu sehingga ciptaan bersangkutan bisa dilihat dan dibaca oleh orang lain (misalnya dilakukan dengan baliho atau tempat pengumuman lainnya).

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, disebutkan dalam pengertian mengumumkan atau memperbanyak termasuk kegiatan mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.

Tindakan plagiarisme merupakan pelanggaran terhadap hak mengumumkan suatu ciptaan yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta. Dimana dalam tindakan plagiarisme, plagiator melakukan tindakan menyiarkan, merekam, mempertunjukan suatu ciptaan kepada publik tanpa ijin dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta dan mengakui ciptaan tersebut sebagai ciptannya sendiri.[25]

Dalam tindakan plagiarisme, meskipun yang diumumkan adalah ciptaan tiruan atau ciptaan plagiat, namun dalam ciptaan tiruan tersebut terkandung bagian- bagaian yang substansial dari ciptaan asli yang haknya dimiliki oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta aslinya. Sehingga tetap saja tindakan plagiarisme dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak mengumumkan suatu ciptaan.

Pelanggaran terhadap hak mengumumkan ini diatur dalam Pasal 72 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, pelakunya diancam dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Selain itu dalam tindakan plagiarisme terdapat satu pelanggaran Hak Cipta lain yang berkaitan dengan hak mengumumkan. Dalam tindakan plagiarisme, plagiator melakukan tindakan menyiarkan, memamerkan, mengedarkan dan mengumumkan suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta, dalam hal ini yaitu ciptaan yang berasal dari hasil plagiat.

Perbuatan plagiator untuk menyiarkan, memamerkan, mengedarkan dan mengumumkan suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta merupakan salah satu perbuatan yang melanggar Hak Cipta, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 Ayat (2) Undang-Undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Plagiarisme dan Hak Memperbanyak

Hak untuk memperbanyak ciptaan atau perbanyakan adalah hak untuk melakukan penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.[26]

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, disebutkan dalam pengertian mengumumkan atau memperbanyak termasuk kegiatan mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.

Dalam tindakan plagiarisme telah terjadi pelanggaran terhadap hak memperbanyak. Dalam tindakan plagiarisme, plagiator melakukan tindakan memperbanyak suatu bagian yang substansial dari suatu ciptaan dengan cara menyalin suatu ciptaan tanpa izin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta dan mengakui ciptaan tersebut sebagai ciptaannya.[27]

Sebagaimana diketahui bahwa melakukan tindakan memperbanyak terhadap suatu ciptaan baik itu secara keseluruhan maupun hanya terhadap bagian yang substansial saja dengan cara apapun tanpa izin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta merupakan pelanggaran Hak Cipta. Hal ini diatur dalam Pasal 72 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yang disebutkan sebagai berikut:

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”

Selain itu, tindakan plagiarisme dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak memperbanyak karena dalam tindakan plagiarisme terjadi juga pelanggaran terhadap hak untuk mengadaptasi ciptaan dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta. Hak untuk mengadaptasi ciptaan merupakan bagian dari hak memperbanyak suatu ciptaan sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Pelanggaran hak untuk mengadaptasi suatu ciptaan dalam tindakan plagiarisme terjadi ketika plagiator melakukan tindakan mengadaptasi suatu ciptaan tanpa ijin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta.

Plagiarisme dan Hak Adaptasi

Adaptasi menurut Black’s Law Dictionary diartikan sebagai :

Capable of use, indicates that the object referred to has been made suitable; has been made to conform to; has been made fit by alteration.”[28] (suatu perbuatan penggunaan yang mengidikasikan bahwa objek tersebut dibuat dengan menyesuaikan berdasarkan objek lain dengan beberapa perubahan)

Jadi dapat diartikan bahwa adaptasi itu adalah suatu perbuatan menyesuaikan sesuatu berdasarkan sesuatu lainnya dengan beberapa perubahan, dan apabila dihubungkan dengan Hak Cipta, adaptasi dapat diartikan sebagai perbuatan untuk membuat suatu ciptaan berdasarkan penyesuaian dengan ciptaan lainnya baik sama bentuknya maupun berbeda bentuknya, [29] yang disertai dengan beberapa perubahan.

Hak untuk mengadaptasi merupakan hak dari pencipta atau pemegang Hak Cipta yang juga mencakup perbuatan-perbuatan seperti penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lain, aransemen musik, dramatisasi dari non-dramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan nonfiksi, atau sebaliknya, [30]

Hak untuk mengadaptasi ini diatur dalam Konvensi Berne. Dalam Konvensi Berne dijelaskan bahwa karya cetak berupa buku, misalnya novel mempunyai hak turunan, yaitu diantaranya hak film, hak dramatisasi, dan hak penyimpanan dalam media elektronik. Hak film dan hak drmatisasi yaitu hak yang timbul bila isi novel tersebut diubah menjadi isi skenario film, atau skenario drama yang bisa berupa opera, balet, maupun drama musikal.[31]

Dalam hak adaptasi ini termasuk juga perbuatan mengalihwujudkan, yaitu mentransformasikan sesuatu ciptaan ke dalam bentuk karya cipta lainnya, seperti patung dijadikan lukisan, cerita roman menjadi drama, drama bisa menjadi drama radio, dan sebagainya.[32] Dapat diartikan disini bahwa perbuatan mengalihwujudkan merupakan salah satu bentuk dari hak untuk mengadaptasi.

Plagiarisme khususnya dalam tayangan televisi, yang biasanya terjadi apabila suatu stasiun televisi membuat suatu acara yang meniru dan menjiplak suatu program acara lain yang serupa tanpa izin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta program acara tersebut, dapat disebut sebagai pelanggaran Hak Adaptasi. Hal ini mengingat pengertian dari adaptasi itu sendiri yaitu perbuatan untuk membuat suatu ciptaan berdasarkan penyesuaian dengan ciptaan lainnya baik sama bentuknya maupun berbeda bentuknya yang disertai dengan beberapa perubahan.

Ketika stasiun televisi membuat suatu acara yang meniru dan menjiplak suatu program acara lain yang serupa, berarti dalam tindakan tersebut terdapat suatu perbuatan menyesuaikan ciptaan yang akan dibuat dengan ciptaan lainnya yang telah ada disertai dengan beberapa perubahan, oleh karena itu tindakan stasiun televisi tersebut dapat disebut sebagai tindakan mengadaptasi. Namun karena biasanya dalam melakukan tindakan mengadaptasi itu stasiun televisi tidak memiliki izin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta program acara yang bersangkutan, maka tindakan stasiun televisi tersebut merupakan pelanggaran dari Hak Adaptasi.

Plagiarisme dan Hak Moral

Dalam tindakan plagiarisme selain terjadi pelanggaran hak ekonomi dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta, [33] terjadi juga pelanggaran hak moral dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta. [34]

Hak moral adalah suatu hak dalam hak cipta untuk mengklaim sebagai pencipta suatu ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud mengubah, mengurangi, atau menambah keaslian ciptaannya (any mutilation or deformation or other modification or other derogatory action), yang dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta (author’s honor or reputation). [35]

Sebagaimana kita ketahui bentuk-bentuk dari pelanggaran terhadap hak moral antara lain sebagai berikut: [36]

  1. Peniadaan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan

  2. Pencatuman nama pencipta pada ciptaan

  3. Penggantian atau pengubahan judul ciptaan

  4. Pengubahan isi ciptaan

  5. Peniadaan atau perubahan terhadap informasi elektronik tentang manajemen hak pencipta

  6. Pengrusakan, peniadaan atau membuat tidak berfungsi sarana control teknologi sebagai pengaman hak pencipta

Sedangkan dalam tindakan plagiarisme, pelanggaran hak moral terjadi karena pelaku seringkali melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak moral, seperti:

  1. Peniadaan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan

  2. Penggantian atau pengubahan judul ciptaan

  3. Pengubahan isi ciptaan

Hak moral dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta yang dilanggar oleh tindakan plagiarisme dalam hal peniadaan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan adalah hak paterniti dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta. Dengan dilanggarnya hak paterniti ini si pencipta atau pemegang Hak Cipta kehilangan haknya untuk diketahui sebagai pencipta atau pemegang Hak Cipta dari ciptaan yang di plagiat tersebut.[37]

Pelanggaran hak paterniti dalam tindakan plagiarisme terjadi karena dalam tindakan plagiarisme, plagiator tidak mencantumkan nama dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta pada ciptaannya tersebut. Melainkan mencantumkan nama dari si plagiator itu sendiri pada ciptaan tersebut, sehingga si plagiator tersebut lah yang teridentifikasi sebagai pencipta atau pemegang Hak Cipta dari ciptaan tersebut.

Sedangkan hak moral yang yang dilanggar oleh tindakan plagiarisme dalam hal Penggantian atau pengubahan judul ciptaan dan pengubahan isi ciptaan adalah hak integritas yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta. Dengan dilanggarnya hak integritas ini si pencipta atau pemegang Hak Cipta kehilangan haknya terhadap tidak terjadinya penyimpangan, pemenggalan atau perubahan terhadap ciptaan yang merusak integritas pencipta.[38]

Pelanggaran hak integritas dalam tindakan plagiarisme terjadi karena dalam tindakan plagiarisme, plagiator biasanya melakukan penggantian atau pengubahan judul ciptaan dan melakukan pengubahan isi ciptaan tersebut, sedangkan menurut peraturan yang berlaku hak untuk mengganti atau mengubah judul dan melakukan pengubahan isi ciptaan merupakan hak dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta.[39]

Apabila melihat dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu tindakan plagiarisme telah terjadi suatu pelanggaran terhadap hak moral dari si pencipta atau pemegang Hak Cipta. Pelanggaran terhadap hak moral tersebut sangat merugikan bagi reputasi atau kehormatan si pencipta dan integritas dari ciptaan tersebut.

Plagiarisme dan Prinsip Fiksasi (Pembahasan Doktrin Dikotomi Ide dan Ekpresi)

Tindakan plagiarisme yang dianggap sebagai suatu pelanggaran Hak Cipta adalah tindakan plagiarisme terhadap suatu ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta.[40]

Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu kriteria suatu ciptaan untuk dilindungi oleh Hak Cipta adalah ciptaan tersebut telah berbentuk ekspresi bukan berupa ciptaan yang masih berwujud ide.[41]

Salah satu cara untuk menentukan suatu ciptaan apakah sudah berupa ekpresi”atau masih berupa ide adalah dengan menerapkan doktrin dikotomi “ide” dan “ekpresi”, yang seringkali dipergunakan di pengadilan-pengadilan dalam sengketa pelanggaran Hak Cipta hingga sekarang.[42] Doktrin dikotomi “ide” dan “ekspresi” ini merupakan suatu doktrin yang berkembang karena dilatarbelakangi sulitnya memisahkan antara unsur “ide” dan “ekpresi” dalam suatu ciptaan, sehingga dibutuhkan doktrin dikotomi “ide” dan “ekpresi” untuk memecahkan masalah tersebut.

Hal yang paling mengemuka dalam menerapkan doktrin dikotomi “ide” dan “ekpresi” adalah menarik garis antara “ide” dan “ekspresi” itu sendiri. Menurut pendapat Profesor Nimmer bahwa dikotomi “ide” dan “ekpresi” sebagai aturan yang elastis terutama menjawab perbedaan antara “ide” dan “ekpresi”.[43]

Bagian yang patut diperhatikan dalam doktrin dikotomi “ide” dan “ekpresi” adalah definisi dari “ide” itu sendiri. Diperlukan ketelitian untuk menentukan perbedaan antara “ide” yang tidak dilindungi Hak Cipta dengan “ekspresi” yang dilindungi Hak Cipta. Perbedaan tersebut tidak dapat didefinisikan dalam suatu definisi yang tegas sehingga harus diselesaikan kasus demi kasus.[44]

Pada kasus antara Whelan Vs. Jaslow pengadilan mengusulkan suatu cara untuk menentukan pemisahan “ide” dan “ekpresi” dengan menyatakan:

“…the line between “idea” and “expression” may be drawn with reference to the end sought to be achieved by the work in question…the purpose or function of a utilitaran work would be the work’s idea, and everything that is not necessary to that purpose or function would be part of the expression of the “idea”…where there are various means of achieving the desired purpose, then the particular mean chosen is not necessary to the purpose; here there is expression, not idea…”[45] ( pemisahan antara ide dan ekspresi mungkin dapat digambarkan dengan perumpamaan sebagai berikut… kegunaan atau fungsi dari suatu ciptaan dapat disebut sebagai ide dari ciptaan, dan segala yang bukan termasuk dari kegunaan atau fungsi tersebut merupakan bagian dari ekspresi ciptaan tersebut…ketika ada banyak cara untuk mendapatkan kegunaan tersebut, dan cara tersebut tidak termasuk dari kegunaan, dan itulah yang disebut ekspresi bukan ide…)

Penentuan pemisahan “ide” dan “ekpresi” yang dikemukakan oleh pengadilan dalam kasus antara Whelan Vs. Jaslow ini belumlah tentu dapat digunakan pada setiap kasus yang terjadi Sebagaimana kita ketahui penentuan garis demarkasi “ide” dan “ekspresi” tersebut tidak dapat didefinisikan dalam suatu definisi yang tegas, sehingga terjadi kemungkinan perbedaan-perbedaan penentuan garis demarkasi “ide” dan “ekspresi” pada setiap kasus yang berbeda-beda.

Apabila perbedaan antara “ide” dan “ekpresi” telah dapat ditentukan, maka penentuan apakah suatu ciptaan sudah berupa ekpresi atau masih berupa ide juga dapat diketahui.

Doktrin dikotomi “ide” dan “ekspresi” ini apabila dihubungkan dengan plagiarisme berguna untuk menentukan apakah suatu tindakan plagiarisme terhadap suatu ciptaan, merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta atau tidak. Dengan melihat apakah ciptaan tersebut sudah merupakan ekspresi yang dilindungi oleh Hak Cipta, atau masih berupa ide yang tidak dilindungi oleh Hak Cipta.

Plagiarisme dan Hak Siar (Broadcasting Rights)

Tindakan plagiarisme dapat dilakukan terhadap berbagai macam ciptaan. Salah satu bentuk yang plagiarisme yang marak saat ini adalah plagiarisme dalam tayangan televisi. Tindakan plagiarisme dalam tayangan televisi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Cipta. Hal ini dikarenakan ada salah satu materi Hak Cipta yang dilanggar oleh tindakan plagiarisme dalam tayangan televisi yaitu adalah hak siar.

Hak siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik Hak Cipta atau penciptanya.[46] Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, hak siar adalah suatu hak untuk menyiarkan atau mengumumkan suatu karya ciptaan apapun bentuknya sebagai hasil karya dari pencipta.

Hak atas suatu acara lahir dari ciptaan, dimana suatu ciptaan menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dianggap telah ada pada saat ciptaan tersebut diciptakan. Oleh sebab itu dalam penggunaan suatu ciptaan khususnya mengenai ciptaan dari suatu bentuk acara yang pemanfaatan dan pendistribusiannya melalui mekanisme penyiaran, pengaturannya diatur dalam suatu hak yang disebut hak siar.

Hak siar sebagai Intangible Assets dapat dialihkan haknya kepada pihak lain. Pengalihan hak siar dilakukan melalui mekanisme pemberian lisensi hak siar, [47] pemegang Hak Cipta berhak memberikan ijin atau lisensi tersebut kepada siapa saja termasuk lembaga penyiaran berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian lisensi.

Dalam dunia penyiaran, praktik jual beli satuan acara sebagai ciptaan sering dilakukan oleh pelaku usaha penyiaran. Dalam hal ini pelaku usaha lembaga penyiaran membeli beberapa satuan acara dari pihak lain (seperti rumah produksi film atau distributor film asing), [48] yang berupa hak akan ciptaan yang dihasilkan oleh rumah produksi atau ciptaan yang kepemilikannya berada pada distributor.[49]

Lembaga penyiaran apabila ingin memperoleh hak siar suatu satuan acara, dapat melakukan pendekatan kepada pihak lain yang berkepentingan, baik pihak dalam negeri maupun luar negeri.[50]

Tindakan plagiarisme dalam tayangan televisi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak siar dalam hal lembaga penyiaran melakukan penayangan program-program acara televisi tanpa memiliki ijin atau lisensi dari pemegang Hak Cipta atas tayangan televisi tersebut untuk menayangkannya. Padahal seharusnya dalam menayangkan suatu tayangan televisi lembaga penyiaran haruslah memiliki ijin atau lisensi dari pemegang Hak Cipta, yang dalam hal ini berbentuk Hak Siar.

Plagiarisme dan Orisinalitas

Tindakan plagiarisme yang dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran Hak Cipta adalah tindakan plagiarisme yang dilakukan terhadap suatu ciptaan yang memiliki orisinalitas. Orisinalitas dalam suatu ciptaan artinya ciptaan tersebut menunjukan ciptaan seseorang yang bersifat pribadi dan menunjukan adanya kreatifitas dalam ciptaan tersebut.[51]

Maksud dari ciptaan seseorang yang bersifat pribadi adalah bahwa ciptaan tersebut bukanlah hasil dari menjiplak atau meniru ciptaan lain.[52] Sedangkan maksud dari menunjukan adanya kreatifitas dalam ciptaan tersebut adalah bahwa ciptaan tersebut dibuat oleh penciptanya dengan menggunakan materi-materi yang umum dan membuatnya menjadi suatu kombinasi atau aransemen yang baru sehingga ciptaan tersebut dilindungi oleh Hak Cipta.[53]

Suatu ciptaan dapat memiliki kemiripan yang persis dengan ciptaan yang lainnya, namun ciptaan tersebut tetap dapat dikatakan sebagai ciptaan yang orisinal. Hal ini dikarenakan pengertian ciptaan yang orisinal itu bukan berarti ciptaan itu baru sama sekali atau memiliki keunikan. Sebagai contoh di North Carolina, tanpa sama sekali pernah melihat karya-karya ciptaan Jackson Pollock, secara ajaib seseorang dapat membuat suatu lukisan yang sangat mirip dengan karya dari Jakson Pollock. Ciptaan seperti ini tetap dapat dikategorikan sebagai ciptaan yang orisinal.[54]

Unsur kreativitas mempunyai peranan yang penting untuk menentukan suatu ciptaan apakah memiliki sifat orisinalitas atau tidak. Apabila suatu ciptaan tidak memiliki unsur kreativitas atau unsur kreativitas dalam ciptaan tersebut secara nyata tidak terlihat maka ciptaan tersebut tidak dapat disebut sebagai ciptaan yang memiliki orisinalitas.[55]

Apabila teori orisinalitas ini dikaitkan dengan ciptaan hasil tindakan plagiarisme maka dapat dilihat bahwa suatu ciptaan yang dihasilkan dari tindakan plagiarisme adalah ciptaan yang tidak memiliki unsur orisinalitas, sehingga tidak mendapatkan perlindungan Hak Cipta. Hal ini dikarenakan hasil ciptaan dari tindakan plagiarisme tidak menunjukan suatu ciptaan seseorang yang bersifat pribadi karena dihasilkan dengan menjiplak atau meniru ciptaan yang lain.

Referensi:
[1] The American Historical Association, “What is Plagiarism”, http:/hnn.us/articles/514.html.
[2] Meita Damayanti, Problematika Plagiarisme, http:/[www.uny.ac.id/akademik](http://www.uny.ac.id/akademik).
[3] Josephine R.Potuto,” Academic Misconduct, Athletics Academic Support Services, And The NCAA ,” Westlaw Journal,https://web2.westlaw.com/.
[4] Carmeneliza Perez-Kudzma, “Fiduciary Duties In Academia: An Uphill Battle,” Westlaw Journal,https://web2.westlaw.com/, 27 Juli 2008.
[5] The American Historical Association, “What is Plagiarism”.
[6] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St Paul Minn: West Publishing Co, 1979), hal. 1035.
[7] http://students.berkeley.edu/sas/conduct.html.
[8] http://www.wm/edu/so/honor-council.
[9] http://www.vanderbilt.edu/HonorCoucil/infostud.php.
[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka,1996), hal.
[11] Roger Clarke, “Plagiarism by Academics: More Complex Than It Seems,” JAIS ( Vol.7, No.2, February 2006), hal.1.
[12] Aaron Keyt, An Improved Frameworks For Music Plagiarism Litigation, Westlaw Journal,https://web2.westlaw.com/, 15 Agustus 2008.
[13] Morgan M.Stoddard, “Mother Nature As Muse: Copyright Protection For Works Of Art And Photograph Inspired By, Based On, Or Depicting Nature,” Westlaw Journal,https://web2.westlaw.com/, 12 September 2008.
[14] Pamela Hobbs, “Methods of Determining Substantial Similarity In Copyright Cases Involving Computer Programs,Westlaw Journal,https://web2.westlaw.com/.
[15] Stoddard, Mother Nature as Muse.
[16] Ibid.
[17] Jonathan S. Caplan, “Copyright Infrigement: Application of Originality Requirement and The Idea/Expression Merger Doctrine To Compilation of Date,” Westlaw Journal,,https://web2.westlaw.com/, 25 Agustus 2008.
[18] Stoddard*, Mother Nature as Muse.*
[19] Ibid.
[20] Robert P Merges (et.al), Intellectual Property in the New Technologycal Age, Third Edition, (New York: Aspen Publisher,2003), hal.408.
[21] Ibid
[22] Plagiarisme - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
[23] Rooseno Harjowidigdo, Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik Dalam Pembuatan Rekaman, Cetakan I, ( Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005), hal. 55.
[24] Ibid , hal. 56.
[25] Iainsu - Memberikan Informasi Untuk Perubahan.
[26] Harjowidigdo, Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik, hal. 57.
[27] “Sinetron Jiplakan Artis Bisa Batalkan Kontrak Sepihak, http://www.hukumonline.com/
[28] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, hal. 34.
[29] http://depts.washington.edu/uwcopy/Using_Copyright/Evaluating_Risks/Adaptation.php.
[30] Muhamad Djumhana., dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, sejarah, teori, dan prakteknya di Indonesia,cet. ketiga, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 68.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] World Intellectual Property Organization, Managing Intellectual Property in The Book Publishing Industry.
[35] Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, UUHC 1997, dan Perlindungannya Terhadap Buku Serta Perjanjian Penerbitannya, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal.64.
[36] Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, LN No.85 Tahun 2002, TLN No. 3654, Psl. 41
[37] World Intellectual Property Organization, Managing Intellectual Property in The Book Publishing Industry
[38] Harjowidigdo, Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik Dalam Pembuatan Rekaman, hal. 53.
[39] J.C.T. Simorangkir, Hak Cipta Lanjutan II, Cetakan pertama, (Jakarta: PTDjambatan, 1979)
[40] Goldstein, Hak Cipta: Dahulu, Kini, dan Esok.
[41] Rachmadi Usman, Hukum Atas HKI Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia,(Bandung: Penerbit Alumni, 2003), hal.121.
[42] William Landes dan Richard Posner, The Economic Structure of Intellectual Property Law, (London: The Belknap Press Of Harvard University Press, 2003), hal.91.
[43] Edward Samuels, The Idea-Expression Dichotomy in Copyright Law”, Tennesee Law Review Association, Inc.( No.321, 1989), hal.356.
[44] J.A.L Sterling, World Copyright Law: Protection of Authors Works, Performances, Phonograms, Films, Video, Broadcast and Published Edition in National, International, and Regional Law, (London: Sweet & Maxwell, 1998), hal.190.
[45] Whelan Vs. Jaslow, Weslaw Journal ,https://web2.westlaw.com/, 14 September 2008.
[46] Indonesia, Undang-Undang Tentang Penyiaran, UU No.32 Tahun 2002, LN NO.139 Tahun 2002, TLN No.4252, Psl. 43 ayat (2).
[47] Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, Psl 1 angka 14.
[48] Anita Wulandari, ”Manajemen Televisi Swasta di Indonesia: Studi Deskriptif Strategi Trans TV dalam Meraih Peringkat,”(Thesis FISIP Universitas Indonesia, 2004), hal.28
[49] Ibid ,hal. 91
[50] Ibid ,hal . 89
[51] Potuto, Academic Misconduct.
[52] Ibid.
[53] Leon R. Yankwich, “Legal Protection Of Ideas: A Judge’s Approach,” J-Store Online, http://www.jstor.org/.
[54] Stoddard, Mother Nature As Muse.
[55] Ibid.