Apa yang dimaksud dengan Phychical Distance dalam seni?

image

Apa yang dimaksud dengan Phychical Distance dalam seni?

Teori ini dikemukakan oleh Edward Bullough (1800-1934) yang merasakan bahwa jika merasakan suatu pengalaman estetik (seni), pengamat (yang mengalami benda estetik/seni) harus dapat meniadakan segala kepentingan yang mempengaruhi pandangannya terhadap seni yang sedang dihadapi. Dalam kesadaran estetis, pengamat harus membuat jarak kejiwaan antara dirinya dengan benda seni yang sedang diamati.

Bullough menegaskan bahwa Phychical Distance as a faktor in art and an aesthetic principle. Adapun hal-hal yang mempengaruhi antara lain adalah segi manfaat atau kegunaan benda seni itu atau kualitas materialnya, dan kebutuhan (interest/kepentingan) subjek terhadap objek (benda seni). Dengan kata lain –menurut teori ini-tidak mendekati seni dalam batasan praktis.

Hal ini sejalan dengan pendapat Immanuel Kant (1724-1804) bahwa dalam menikmati seni, subjek harus bersifat tanpa pamrih. Usaha membangun kesenangan estetis dengan mempertinggi kemampuan subjek dalam mengamati objek seni. Teori ini sebenarnya dianggap kurang sempurna dan diperkuat lagi oleh P. A. Michelis (tulisannya Aesthetic Distance dalam Journal of Aesthetic and Art Criticsm, vol. 18, 1969).

Michelis menganalisa pendapat Bullough dan pendapatnya tentang jarak kejiwaan. Dia lebih mengarahkan pada jarak estetik (Aesthetic Distance). Bahkan secara lebih rinci, bahwa membuat jarak terhadap benda seni tidak hanya jiwa saja, tetapi juga ruang dan waktu (distansi ruang dan distansi waktu).

Untuk memahami distansi ruang, Michelis membuat ilustrasi sebagai berikut. Ketika kita menikmati lukisan dari jarak dekat, maka kita akan kehilangan keutuhan dari satu unit format karya lukis. Kita akan hanya terpaku detail insidental serta tekniknya, yang seringkali sambil merabanya, dan merasakan tekstur materialnya. Dengan demikian lukisan itu telah sampai pada apresiasi kita dalam keadaan berubah, dari suatu image menjadi suatu objek, yakni suatu benda.

Namun sebaliknya, jika mengamati dari jarak yang terlampau jauh, lukisan tersebut hanya bisa ditangkap dengan kesan globalnya saja, mungkin hanya bayangan atau siluetnya. Yang paling baik adalah distansi tengah, yang akan membimbing kita untuk mengapresiasi relasi di bagian-bagian bentuk keseluruhan, dan keseluruhan itu sebagai unit. Maertens (seperti yang dikutip Michelis) menegaskan bahwa distansi tengah merupakan distansi terpenting, yang membentuk sudut optis 27 derajat.

Teori ini bukan hanya untuk pengamat saja, tetapi juga untuk pencipta (seniman). Seniman yang sedang berkarya perlu sekali menjaga distansi tengah dalam menghadapi modelnya atau objek lukisan yang sedang digarapnya. Bahkan kadangkala perlu setengah pusat pandangan. Distansi tengah adalah distansi ruang yang harus dipertahankan baik oleh pengamat maupun pencipta (seniman) pada waktu mengamati atau mencipta karya seni untuk memperoleh pengalaman yang utuh.

Selain distansi ruang ada lagi satu pendapat bahwa distansi waktu (=diartikan selang waktu) diperlukan sebagai jarak dalam berkontemplasi terhadap karya seni yang dihadapi ataupun proses penciptaan seni. Waktu bisa menyempurnakan suatu proses berkarya, sebab pengamatan dan imajinasi yang subur bisa berkembang karena ada jarak waktu.

Seorang pelukis, jika ingin melukis suasana pantai dan gemuruh ombak, secara relatif –menurut pengalaman beberapa pelukis- ada yang memerlukan waktu kontemplasi lebih dahulu dengan realita alam yang akan dijadikan inspirasi melukisnya. Ada yang hanya sekilas, tetapi ada juga yang sambil membuat sketsanya tentang laut dalam beragam komposisi. Barulah menyelesaikan studi awalnya di studio., atau langsung di outdoor studio.

Distansi waktu bagi si seniman diperlukan untuk memantapkan kadar emosinya. Begitupun bagi si pengamat dalam menikmati karya seni memerlukan distansi waktu, bahkan melihat sekilas tapi memerlukan durasi kontemplasi (permenungan) yang cukup, sampai pada tingkat pemahaman dan penghayatan.