Apa yang Dimaksud dengan Peta Bahasa?


Selama ini yang sering kita dengar adalah peta mengenai teritorial wilayah administratif di Indonesia. Tahukah kalian , bahwa dalam bidang linguistik juga terdapat peta yang beri nama “peta bahasa”.

Apakah itu peta bahasa?

Menurut J.K Chambers dan Peter Trudgill (2004: 25), peta bahasa diartikan sebagai peta linguistik. Peta linguistik ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peta tampilan dan peta interpretasi. Peta tampilan ini secara sederhana bertujuan untuk memindahkan tabel jawaban untuk keterangan data di atas peta dengan menggunakan perspektif geografi. Sementara itu, peta interpretasi berusaha untuk membuat beberapa pernyataan umum dengan menunjukkan distribusi variasi utama dari daerah yang satu dengan daerah lainnya. Contoh dari peta tampilan ini seperti yang digunakan Gillieron dalam Atlas linguistique de la France, Kurath dalam Linguistic Atlas of New England, dan Kolb dalam Phonological Atlas of the Northern Region.

Dalam hal ini, peta interpretasi tidak hanya menggunakan satu pendekatan ilmu untuk menghasilkan pernyataan berdasarkan distribusi variasi bahasa. Meskipun begitu, peta interpretasi ini tetap menggunakan data geografi dialek sebagai sumber utama dari perkembangan topik. Contoh dari penggunaan peta interpretasi yang berdasarkan peta tampilan adalah batas bahasa di utara dan selatan Prancis oleh George Jochnowitz. Penelitian tersebut didasarkan pada penelitian Gillieron.

Hal yang dirujuk oleh George Jochnowitz adalah pembuatan peta interpretasi berdasarkan peta tampilan Gillieron. Hal mendasar yang membedakan peta tampilan dengan peta interpretasi adalah bentuk dari peta itu sendiri. Peta tampilan hanya memindahkan data yang diambil dengan menggunakan simbol sesuai dengan daerah pemakaian bahasa tersebut di peta, sedangkan peta interpretasi tidak hanya memindahkan data yang diambil dengan menggunakan simbol tetapi menggunakan garis pembatas untuk memisahkan data yang berbeda.

Selain itu, Ayatrohaedi (2002) juga membagi lima jenis peta, yaitu peta bahasa langsung, peta bahasa lambang, peta bahasa petak langsung, peta bahasa petak warna, dan peta bahasa petak garis. Peta bahasa langsung ialah peta yang datanya dimasukkan secara langsung ke dalam peta. Maksudnya, data ditulis secara langsung di setiap titik pengamatan. Kemudian, peta bahasa lambing adalah peta yang datanya diubah ke dalam bentuk lambang dan ditulis di setiap titik pengamatan. Keterangan mengenai peta yang berbentuk lambang tersebut ditulis dalam kolom yang disebut legenda.

Selanjutnya, peta bahasa petak langsung adalah peta yang hampir sama dengan peta bahasa langsung. Keduanya sama-sama menuliskan data ke dalam peta secara langsung. Perbedaannya, peta bahasa petak langsung harus dikelompokkan terlebih dahulu titik pengamatan yang datanya sama. Jika terdapat data yang sama, data yang ditulis hanya satu saja. Hal ini disebabkan adanya perbedaan data akan dibatasi oleh garis. Dalam hal ini, terdapat dua garis pemisahdata, yaitu garis isofon dan garis isoglos.

Garis isofon adalah garis yang memisahkan data etima yang sama tetapi terdapat perbedaan bunyi, sedangkan garis isoglos adalah garis yang memisahkan etima yang berbeda. Berikutnya, peta petak warna adalah peta bahasa yang perbedaan data ditunjukkan oleh warna yang tidak sama. Terakhir, peta petak garis adalah peta yang perbedaan data ditunjukkan dengan variasi garis. Pemakaian peta yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggabungkan peta tampilan dengan peta interpretasi yang telah disebutkan di atas.

Penggabungan peta tampilan dan peta interpretasi tersebut juga dapat dikatakan peta lambang dengan menggunakan garis isoglos untuk memisahkan etima yang berbeda. Data yang telah didapat tidak hanya dimasukkan ke dalam peta dengan bentuk simbol sesuai dengan daerah atau wilayah pakai bahasa tersebut, tetapi dalam peta juga ada garis pembatas di antara bentuk bahasa yang berbeda. Pemilihan jenis peta ini disebabkan peta jenis ini akan lebih mudah memperlihatkan perbedaan bahasa atau dialek. Dari sisi penulis, peta jenis ini juga termasuk ke dalam jenis peta yang praktis.

Isoglos dan Berkas Isoglos

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peta bahasa mempunyai batas yang memisahkan bahasa yang berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya. Lyle Campbell (1998: 191) mengartikan isoglos sebagai garis dalam peta yang merepresentasikan batas geografi dari daerah variasi linguistik. Isoglos ini juga dapat mengarah pada garis batas keistimewaan dialek daerah tersebut. Bahkan, bisa juga isoglos dikatakan sebagai bentuk asli kata yang berhadapan dengan garisdalam peta yang mengacu kepada fenomena linguistik yang sebenarnya dari daerah tersebut.

Dubois dalam Ayatrohaedi (1983: 5) menyebut isoglos ini dengan istilah watas kata. Isoglos atau watas kata ini diartikan sebagai garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan tersebut. Selain itu, berkas isoglos diartikan oleh Lyle Campbell (1998: 192) sebagai beberapa garis isoglos yang luas dan serupa pada batas geografi yang sama. Bisa juga berkas isoglos diartikan sebagai pengambilan batas dari dialek yang dominan. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat Lauder (2007:93) yang mengungkapkan bahwa berkas isoglos adalah himpunan garis isoglos yang dibuat dalam satu peta dasar. Dalam hal ini, pengelompokan semua garis isoglos dari setiap peta ke dalam satu peta menghasilkan berkas isoglos.

Dialektometri

Pemilahan bahasa tidak hanya bisa dilakukan dengan cara memberikan garis isoglos pada peta. Pemilahan bahasa dapat juga dilakukan dengan cara penghitungan dialektometri. Penghitungan dialektometri ini diakui oleh Grijns dapat mengatasi penyeleksian berkas dengan cara menghitung semua berian yang ditampilkan oleh segitiga antardesa. Menurut Revier dalam Ayatrohaedi (1983: 32), dialektometri adalah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut.

Jika kembali kepada ruang lingkup penelitian dialektologi yang melihat tataran leksikon, hal yang diperhitungkan pastinya sebatas pada tataran leksikon pula. Berikut rumus penghitungan dialektometri yang diajukan oleh Jean Seguy (Lauder, 2007: 96).


keterangan:

s: jumlah beda dengan titik pengamatan lain

n: jumlah peta yang diperbandingkan

d: jarak kosakata dalam persen

Penghitungan dialektometri di atas akan menghasilkan sebuah persentase yang dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut dapat menghasilkan sebuah pemilahan bahasa, apakah daerah yang dihitung tersebut merupakan daerah yang memiliki perbedaan dari segi wicara, subdialek, dialek, atau bahasa.

Jika hasil yang diperoleh dari perhitungan tersebut kurang dari 20%, maka dua titik pengamatan tersebut tidak terdapat perbedaan. Jika hasil yang diperoleh antara 21–30%, maka dapat dikatakan adanya perbedaan wicara. Jika hasil yang diperoleh antara 31–50%, maka dapat dianggap terdapat perbedaan subdialek. Jika hasil yang diperoleh antara 51–80%, maka dapat dikatakan ada perbedaan dialek. Terakhir, jika hasil yang diperoleh lebih dari 80%, maka terdapat perbedaan bahasa di antara kedua titik pengamatan tersebut (Guiter dalam Lauder, 2007: 96).

Namun, dalam hal ini Lauder dalam Ayatrohaedi (2002: 12) mengusulkan pengelompokkan hasil penghitungan dialektometri yang berbeda dari Guiter. Dalam hal ini, Lauder mengusulkan bahwa hasil di atas 70% dianggap sebagai perbedaan bahasa. Selanjutnya, hasil penghitungan antara 51—70% dianggap sebagai perbedaan dialek. Kemudian, hasil penghitungan dialektometri sebesar 41—50% dianggap sebagai perbedaan subdialek.

Berikutnya, hasil yang diperoleh antara 31—40% dianggap sebagai perbedaan wicara, sedangkan perbedaan di bawah 30% dianggap tidak ada. Menurut Lauder, perbedaan hasil penghitungan tersebut disebabkan kondisi kebahasaan Indonesia yang sangat beragam sehingga pengelompokan hasil penghitungan Guiter tidak akan sesuai bila digunakan di Indonesia.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah penghitungan di atas didasarkan atas segitiga antardesa. Untuk itu, perlu adanya penjelasan mengenai ketentuan dari segitiga antardesa ini. Menurut Lauder (2007: 97), ketentuan pertama dari segitiga matrabasa ini adalah titik pengamatan yang dibandingkan hanya titik-titik pengamatan berdasarkan letaknya masing-masing yang mungkin melakukan komunikasi secara langsung. Kemudian, ketentuan lainnya adalah setiap titik pengamatan yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan sebuah garis sehingga diperoleh segitiga-segitiga yang beragam bentuknya. Ketentuan terakhir adalah garis-garis pada setiga dialektometri tidak boleh saling berpotongan. Artinya, pilih salah satu kemungkinan saja dan sebaiknya dipilih berdasarkan letaknya yang lebih dekat antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Segitiga matrabasa ini menjadi dasar dari pembuatan garis isoglos dan peta jaring laba-laba.