Apa yang dimaksud dengan peristiwa Brexit?

Apa yang dimaksud dengan peristiwa Brexit?

Pada tahun 2016, Dunia digemparkan dengan peristiwa Britania Raya dengan adanya referendum keanggotaan Uni Eropa akan diselenggarakan hari ini 23 Juni 2016. Apa sebenarnya Brexit itu?

1 Like

Brexit merupakan Keluarnya Britania Raya( dari Uni Eropa(UE) , biasa disingkat Brexit (Britain dan exit) adalah penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa sebagai hasil dari referendum Brexit yang diadakan pada Kamis 23 Juni 2016, referendum Brexit ini diadakan untuk memutuskan apakah Britania Raya harus meninggalkan keanggotaannya atau tetap tergabung dalam Uni Eropa. Referendum ini diikuti oleh 30 juta pemilih, yang berarti partisipasi total didalamnya mencapai 71,8% dari penduduk yang memiliki hak pilih di Britania Raya, hasilnya sendiri adalah 51,9% memilih untuk keluar dari Uni Eropa dan 48,1% memilih untuk tetap tergabung dengan Uni Eropa.

1 Like

Brexit merupakan singkatan dari istilah “British Exit” yang dimaksudkan sebagai kebijakan Inggris untuk melaksanakan referendum agar rakyatnya dapat memutuskan apakah Inggris harus keluar atau tetap menjadi negara anggota Uni Eropa.

Referendum ini telah dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2016 secara serentak di keempat wilayah negara anggota Britania Raya, yaitu Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara yang dipimpin pelaksanaannya oleh mantan Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Sebelum memenangkan pemilu pada tahun 2010, dalam masa kampanye David Cameron sebagai pemimpin Partai Konservatif mengangkat isu penyelenggaraan referendum Inggris agar keluar dari Uni Eropa karena hal ini dipercaya merupakan kebijakan yang sesuai dengan prinsip demokrasi dimana rakyat Inggris menjadi pemegang penuh hak politik di negara tersebut.

Prinsip demokrasi inilah yang kemudian membawa isu referendum Inggris menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Pasalnya kebijakan Inggris Raya untuk keluar dari Uni Eropa bukan hanya akan berdampak pada hubungan kedua pihak, melainkan juga mempengaruhi negara-negara lain dalam skala internasional mengingat Inggris merupakan salah satu negara maju dunia sehingga memiliki peran signifikan dalam tatanan sistem politik dan ekonomi internasional.

Referendum Brexit tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa Inggris harus melepaskan keanggotaannya di Uni Eropa dengan perolehan suara dimana 51,9% rakyat Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa, sedangkan 48% rakyat Inggris lainnya memilih untuk tetap menjadi anggota Uni Eropa.

Keputusan mayoritas rakyat Inggris yang memilih untuk keluar dari Uni Eropa dilandaskan pada kepercayaan bahwa Uni Eropa telah melanggar kedaulatan Inggris dalam banyak aspek, mulai dari kebijakan Luar Negeri, keamanan, hingga isu-isu internal seperti penentuan standar upah pekerja-pekerja industri, maupun kebijakan Perikanan dan Kelautan Inggris yang seharusnya menjadi kewenangan penuh pemerintah domestik dalam rangka mempertahankan dan menjalankan kedaulatan negaranya.

Uni Eropa dinilai telah melakukan terlalu banyak intervensi dalam implementasi kebijakan pemerintah Inggris karena seringkali memaksakan kebijakannya untuk diterapkan, walaupun kebijakan tersebut bertentangan dengan kepentingan nasional Inggris. Hal ini disebabkan oleh sistem yang dianut Uni Eropa dalam perumusan serta penentuan kebijakannya, dimana keputusan organisasi supranasional tersebut diambil melalui proses voting atau pemungutan suara negara-negara anggota yang membuat Inggris tidak mampu berdiri sendiri dan menentang kebijakan-kebijakan tersebut karena Inggris tidak mampu melawan mayoritas negara anggota lain yang setuju dengan kebijakan yang telah ditetapkan.

Salah satu contoh kebijakan yang menjadi pertimbangan terbesar Inggris untuk keluar dari Uni Eropa adalah “Open Door Immigration Policy” yang mengharuskan Inggris membuka keamanan perbatasannya kepada para imigran dan pengungsi agar dapat dengan bebas masuk dan menetap di negaranya. Walaupun kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh alasan kemanusiaan dan untuk kepentingan bersama negara-negara Eropa, namun hal ini membuat Inggris kehilangan kontrol terhadap perbatasannya sehingga terjadi peningkatan arus imigran yang cukup signifikan memasuki wilayah negara tersebut dalam beberapa dekade terakhir dan telah menimbulkan konsekuensi ekonomis tertentu sehingga harus segera diatasi. Berdasarkan salah satu pertimbangan inilah, rakyat Inggris Raya yang percaya bahwa mereka telah kehilangan hak suara sejak tahun 1975 dalam parlemen Uni Eropa dan memilih untuk lepas dari ikatan kewajibannya sebagai negara anggota Uni Eropa serta berusaha memperoleh kembali kedaulatannya.

Meningkatnya dominasi dari kaum Euroscepticism yang mengadvokasikan kerugian-kerugian menjadi anggota Uni Eropa di Inggris kemudian menyebar ke seluruh negeri dan setelah dipimpin oleh Partai Konservatif di Parlemen, sehingga rakyat Inggrispun akhirnya mewujudkan keinginan mereka untuk optout atau melakukan referendum keluar dari Uni Eropa pada bulan Juni lalu.

Dalam rangka memenuhi tujuan didirikannya Uni Eropa, organisasi regional ini kemudian membentuk sistem kelembagaan kompleks yang antara lain terdiri dari Parlemen Eropa, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, Lembaga Peradilan, Lembaga Pemeriksaan Keuangan, serta sistem institusional Uni Eropa lainnya.

Semakin meluasnya otoritas Uni Eropa, pusat pemerintahan menjadi seakan berpindah tangan dari pemerintah domestik negara ke pemerintahan di Brussel, lokasi kantor parlemen utama Uni Eropa, sehingga pemerintah domestik semakin berkurang pengaruhnya terhadap perumusan kebijakan internal negara. Inilah yang dianggap Inggris sangat merugikan.

Pada akhirnya setelah hasil referendum Brexit dipublikasikan dan Inggris secara resmi menyatakan diri keluar dari Uni Eropa, berbagai reaksi dari seluruh dunia bermunculan. Reaksi yang paling signifikan datang dari pihak negaranegara Uni Eropa itu sendiri. Referendum Brexit dalam waktu singkat menjadi pemicu maraknya kampanye-kampanye Eurosceptic serta ideologi nasionalisme yang dipimpin oleh tokoh-tokoh dari partai sayap kanan seperti yang terjadi di Perancis, Belanda, Swedia, Yunani dan Denmark.

Pernyataan yang dipublikasikan oleh pemimpin-pemimpin Partai Kanan di negara-negara tersebut menyuarakan keinginan yang sama, yakni penyelenggaraan referendum untuk keluar dari Uni Eropa. Seperti yang ditegaskan oleh pemimpin Partai Nasional Perancis Marine Le Pen dalam kampanyenya bahwa “Now is the time to import democracy in our country. The French should have the right to choose!”. Marine Le Pen berjanji bahwa apabila Ia berhasil menang dalam Pemilu tahun 2017 nanti, Ia akan melaksanakan referendum bagi rakyat Perancis agar dapat memilih untuk mempertahankan atau melepaskan keanggoatan Perancis dari Uni Eropa. Marine Le Pen berpendapat bahwa agenda referendum inilah yang merupakan cerminan sesungguhnya dari sistem demokrasi yang dijunjung rakyat Eropa.

Sama halnya dengan Marine Le Pen, inisiatif serupa dinyatakan pula oleh Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan Belanda yang menyerukan agar Belanda mengadakan referendum tentang keanggotaan Uni Eropa. Dalam pidatonya Wilders menyerukan bahwa “We must also liberate ourselves from the Europhiles in Brussels who wipe the floor with our identity, our sovereignty and our prosperity. We are no longer in control of our own borders, our own money, our own democracy”. Pidato Wilders berhasil memanfaatkan momentum dimana terjadi peningkatan massa Anti-Uni Eropa di negaranya pasca Brexit diselenggarakan.

Secara teknis, referendum Brexit bukanlah referendum pertama yang dilakukan oleh negara anggota untuk melepas keanggotaannya di Uni Eropa. Sebelumnya pada tahun 2015 lalu, Yunani juga telah melaksanakan referendum dengan hasil negatif, dimana 61% rakyat Yunani memilih bertahan di Eurozone. Namun setelah Brexit benar-benar terjadi, timbul kekhawatiran masa depan Yunani dalam organisasi tersebut, dimana mereka terancam harus menghadapi perekonomian yang tidak stabil setelah Inggris keluar dan pada akhirnya dituntut untuk melakukan lebih banyak penghematan (austerity) oleh Komisi Uni Eropa.

Penyebaran massa Eurosceptic di benua Eropa setelah terjadinya Brexit terbilang cukup dinamis. Walaupun beberapa negara mulai mengalami Domino Effect sehingga berencana mengikuti langkah Inggris Raya untuk melakukan referendum, namun di lain pihak, negara seperti Polandia serta Hungaria tetap memberikan dukungannya terhadap integrasi yang dilakukan oleh Uni Eropa dan menganggap bahwa Inggris adalah pihak yang akan mengalami lebih banyak kerugian dalam kasus ini.

“Brexit” merupakan terminologi yang populer belakangan ini yang berhubungan dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), melalui referendum di Inggris pada 23 Juni 2016. Referendum ini berkembang fenomenal dalam 6 bulan belakangan. Anggota UE lain mengantisipasi dengan cemas hasil dan implikasinya secara luas dan dalam jangka panjang. Sebagian besar mengharapkan Inggris tetap menjadi bagian UE, sebagian lagi menyiapkan tindakan darurat, dan bahkan balasan, jika Inggris keluar.

“Brexit” adalah akronim dari Britain exit, yang maknanya Inggris keluar dari integrasi UE yang sekarang terdiri dari 28 negara. “Brexit” digunakan untuk mengritik dan menyudutkan Brussels, Belgia, markas UE yang dinilai selama ini menggerogoti kedaulatan Inggris dengan beban-beban regulasinya.

Istilah “Brexit” meniru istilah yang populer terlebih dahulu, yaitu Grexit yang beberapa waktu sebelumnya memberikan peluang bagi Yunani (Greece) untuk keluar dari Uni eropa akibat krisis utang.

Sebagai organisasi, UE telah didirikan sejak lama, yakni pada tahun 1952, dengan peran dominan Prancis dan Jerman dalam merintis dan mengonsolidasikannya hingga
menjadi sebuah sistem yang bekerja dengan mekanisme supranasional dan antarpemerintahan. Dalam beberapa bidang, berbagai keputusan ditetapkan melalui
cara musyawarah-mufakat di antara 28 negara anggotanya. Sebagai konsekuensinya,
setiap negara anggota telah menyerahkan kedaulatannya dan tunduk pada mekanisme
bersama, ketentuan UE. Inggris baru bergabung dengan UE pada 1 Januari tahun 1973.

Kelompok pro-“Brexit” berpendapat Inggris akan lebih baik jika bisa mengatur ekonomi dan imigrasinya sendiri, sedangkan menurut yang anti-“Brexit,” walaupun bergabung dengan UE, Inggris tidak mengadopsi seluruhnya idealisme UE, antara lain tidak memberlakukan visa Schengen dan mata uang Euro. Titik balik menegosiasikan
keanggotaanya dalam UE muncul 22 Januari 2013, dalam janji kampanye PM David Cameron dari Partai Konservatif.

Kubu Brexit dimotori oleh Partai Buruh dan Partai Independen Inggris (UKIP). Namun demikian, tokoh sentral kampanye Brexit justru berasal dari partai penguasa yaitu Boris Johnson, mantan walikota London. Tokoh lainnya adalah Nigel Farage dari UKIP. Sedangkan kubu Bremain dimotori oleh partai berkuasa pimpinan David Cameron sendiri. Dengan demikian di tubuh partai konservatif pun terpecah ke dalam dua faksi, yaitu pendukung Brexit dan pendukung Bremain.

PENYEBAB

  1. Besarnya beban yang diterima Inggris
    Peristiwa Brexit disinyalir oleh besarnya beban yang harus diterima Inggris dalam keanggotaannya di Uni Eropa. Salah satu pengrobaan besar Inggris seperti yang dikutip dari Nainggolan (2016) adalah berkurangnya kedaulatan nasional, yang harus ditransaksikan dengan kepentingan Eropa secara menyeluruh. Kedaulatan nasional tergerus dengan dibangunnya entitas supranasional baru, yang melibatkan negara-negara kecil anggotanya, yang sarat dengan beban ekonomi nasional, hutang luar negeri, bahkan yang hampir bangkrut, seperti Yunani, dan angka pengangguran yang besar. Hal ini menyulitkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang besar.

  2. Kebijakan imigrasi Uni Eropa yang sulit diterima Inggris
    Kebijakan Uni Eropa yang terlalu ramah dalam imigrasi penduduk mendorong niat Inggris untuk keluar dari UE. Hal ini tampak di kalangan mereka yang sangat tidak toleran terhadap orang asing, dengan berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran, sekitar 8,4% dari total penduduk Inggris. Inggris menjadi penerima imigran terbesar kedua setelah Jerman dengan 7,5 juta imigran atau 9,3%. Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi membanjiri Inggris sampai tahun 2030.

DAMPAK

  1. Wacana Brexit telah mengakibatkan tiga jenis perpecahan di antara partai di Inggris, negara-negara Eropa, dan penduduk Inggris.

  2. Terjadinya perpecahan tokoh politik tingkat nasional, yang selama ini selalu memiliki banyak persamaan dalam sikap, seperti antara PM David Cameron dan mantan Walikota London, Boris Johnson.

  3. Isu “Brexit” telah mengakibatkan anggota parlemen perempuan Inggris dari Partai Buruh, Jo Cox, tewas ditembak orang yang menentangnya yang menyerukan Inggris tetap dalam UE. Ia dianggap pengkhianat kemerdekaan dan kebebasan Inggris. Kasus ini menyebabkan Westminster berduka sehingga kampanye referendum dihentikan untuk sementara.

  4. “Brexit” telah menunjukkan rakyat Inggris yang terbelah pandangannya, antara mereka yang melihat peluang dan mereka yang sangat mencemaskan dampaknya. Kebingungan dan keresahan telah berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi nasional.

  5. Dengan “Brexit,” Inggris akan mendapatkan kembali kedaulatan nasionalnya, dan banyak lapangan kerja akan tercipta. Inggris dapat berhubungan langsung dengan kekuatan ekonomi China, India, Rusia dan lain lain lewat WTO, dan secara penuh dapat mengontrol perbatasan dari masuknya imigran. Dari perspektif keamanan, peran Inggris tidak akan hilang ditelan Jerman dan Prancis. Sebaliknya, warga Inggris tidak akan lagi memperoleh perlindungan sosial UE. Inggris harus mengijinkan pergerakan bebas imigran dengan akses pasar bebas yang dapat mengakibatkan berkurangnya pembayaran pajak.

  6. Keluarnya Inggris dari UE akan menyebabkan lubang beban keuangan nasional sebesar US$ 42,4 miliar, atau 30 miliar Poundsterling. Hal ini disebabkan oleh implikasinya terhadap sektor keuangan, dengan harus dinaikkannya pajak penghasilan dan warisan di dalam negeri, serta pemotongan anggaran belanja, khususnya yang harus diberikan untuk jaminan kesehatan nasional melalui National Health Service.

  7. Implikasi lebih jauh akan berpengaruh pada pengurangan anggaran belanja sekolah, rumah sakit, dan angkatan bersenjata Inggris. Pengurangan anggaran belanja
    akan berdampak lebih jauh pada tingkat kesejahteraan keluarga atau warga Inggris.

  8. Implikasi ekonomi akibat “Brexit” mengancam pertumbuhan global dan kejatuhan nilai saham. Indikasi kepanikan di kalangan investor tampak di berbagai negara. Ini logis, karena peran Inggris yang signifikan di Eropa, khususnya UE, mengingat Inggris adalah salah satu kekuatan ekonomi besar dunia, dengan sekitar 50 persen perdagangan luar negeri Inggris adalah dengan UE.

  9. “Brexit,” secara spesifik, akan memprovokasi meningkatnya sentimen nasionalisme serta muncul dan menguatnya pemimpin populis dan kanan di UE dengan ambisi kekuasaan dan semangat antiimigran yang tinggi, sehingga mengancam instabilitas politik UE. Diperkirakan, Inggris akan menghadapi minimal 7 tahun ketidakpastian selama negosiasi terkait hubungan baru dengan UE.

Referensi

Nainggolan, P. P. 2016. Brexit, Penyebab dan Implikasi Globalnya. Majalah Info Singkat Hubungan Internasional. Vol. VII (12) : 5-5.
https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VIII-12-II-P3DI-Juni-2016-1.pdf

Suwarno, Yogi. 2016. Brexit dan Pembelajaran Inovasi Kebijakan Publik. STIA LAN Jakarta.