Apa yang dimaksud dengan Peripheral Arterial Disease?

Peripheral Arterial Disease (PAD) merupakan suatu penyakit dimana terganggunya atau tersumbatnya aliran darah dari atau ke jaringan organ. Sumbatan itu disebabkan oleh plak yang terbentuk di arteri yang membawa darah ke seluruh anggota tubuh.

Apa yang dimaksud dengan Peripheral Arterial Disease ?

Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan aortailiaka, sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah pembuluh pada keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, aorta abdominalis, dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka. Namun demikian, secara klinis PAP merupakan gangguan pada arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah.

PAP dapat terjadi oleh karena adanya perubahan struktur ataupun fungsi dari pembuluh darah. PAP sering kali merupakan bagian dari proses penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel. Adanya PAP pada satu arteri menjadi prediktor kuat adanya PAP pada arteri lainnya, termasuk pada pembuluh darah koroner, karotis dan serebral.

Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang berolahraga/aktivitas fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi sakit, sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit. Pasien dengan klaudikasio intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan metabolik, sehingga memunculkan gejala klaudikasio.

Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya dalam jarak yang pendek, atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di malam hari. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak dapat sembuh dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada kaki atau jari kaki.

Dampak dan Faktor Risiko PAP

Pasien dengan PAP kemungkinan mengalami banyak masalah, seperti klaudikasio intermiten, critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat inap berulang, revaskularisasi, dan amputasi anggota tubuh.22 Hal ini menyebabkan kualitas hidup pasien menjadi buruk dan meningkatkan kejadian depresi pada pasien.5, 6 Pasien dengan PAP juga memiliki kemungkinan lebih besar mengalami infark miokard (MI), stroke, dan kematian akibat penyakit jantung.

Penyebab terbesar PAP adalah adanya aterosklerosis, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor risiko aterosklerosis juga menjadi faktor risiko PAP.

Faktor risiko klasik PAP adalah usia tua, hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus, dan merokok.

Jenis kelamin dan ras diketahui juga merupakan faktor risiko dari PAP.25 Faktor risiko potensial lainnya adalah peningkatan kadar c-reactive protein, fibrinogen, homosistein, apolipoprotein b, lipoprotein a dan viskositas plasma.

image
Gambar Perkiraan odds rasio untuk setiap faktor risiko PAP simptomatik

Patofisiologi PAP

PAP merupakan proses sistemik yang berpengaruh terhadap sirkulasi arteri multipel yang disebabkan oleh karena adanya aterosklerosis, penyakit degeneratif, kelainan displasia, inflamasi vaskuler (arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli. Dari sekian proses patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang paling banyak di dunia adalah aterosklerosis.

Aterosklerosis biasanya didahului oleh adanya disfungsi endotel. Endotelium sehat, normalnya berfungsi untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah dengan menghambat kontraksi sel otot polos, proliferasi tunika intima, trombosis, dan adhesi monosit.

Endotel memiliki peranan penting dalam meregulasi proses inflamasi dalam pembuluh darah yang normal, yakni menyediakan permukaan antitrombotik yang menghambat agregasi platelet dan memfasilitasi aliran darah. Endothelium normal mengatur proses trombosis melalui pelepasan oksida nitrat, yakni NO, yang menghambat aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi, serta mediator lain dengan kegiatan antitrombotik.

Disfungsi endotel berhubungan dengan sebagian besar faktor risiko penyakit kardiovaskular, yang terkait dengan terjadinya mekanisme sentral pembentukan lesi aterosklerotik. Penurunan kemampuan endotel untuk bervasodilatasi juga dikaitkan dengan faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular.

Zat yang diperdebatkan sebagai zat paling penting yang berperan dalam proses relaksasi pembuluh darah adalah Nitrat Oksida (NO). NO tidak hanya terlibat dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, tetapi juga memediasi penghambatan aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi; mencegah proliferasi otot polos pembuluh darah; dan mencegah adhesi leukosit pada endotel. Aktivitas biologis NO ternyata terganggu pada pasien dengan penyakit vaskular aterosklerotik koroner dan pembuluh darah perifer.

  • Hipertensi dan PAP

    Hampir setiap studi menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara hipertensi dan PAP, dan sebanyak 50% sampai 92% dari pasien dengan PAP memiliki riwayat hipertensi. Pada laki-laki dan wanita dengan hipertensi, risiko terjadinya klaudikasio juga meningkat 2,5 hingga 4 kali lipat. Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP), dalam studinya menyatakan, 5,5% dari peserta memiliki ankle brachial index (ABI) di bawah 0.90. Secara kumulatif, studi yang sudah ada telah menggaris bawahi tingginya prevalensi PAP pada pasien dengan hipertensi.

    Hipertensi menyebabkan perubahan yang kompleks dalam struktur dinding arteri. Pada penderita hipertensi, fungsi endotel mengalami gangguan, jaringan elastin pada dinding arteri digantikan oleh jaringan kolagen, dan terdapat hipertrofi medial. Semua faktor ini berkontribusi terhadap penurunan komplians vaskular. Hipertensi menyebabkan terjadinya proses aterosklerosis yang lebih agresif yang terjadi di seluruh sirkulasi, dan merupakan faktor risiko penyakit serebrovaskular dan penyakit koroner. Hipertensi juga diakui sebagai faktor risiko utama untuk terjadinya PAP.

    Mekanisme hipertensi menyebabkan PAP belum sepenuhnya dimengerti. Hipertensi dapat mempengaruhi kejadian PAP melalui perannya dalam proses terjadinya aterosklerosis. Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis melalui berbagai mekanisme, antara lain disfungsi sel endotel, inflamasi, penurunan kadar NO dan abnormalitas faktor hemostasis yang dimediasi oleh peningkatan Angiotensin-II (ANG-II) serta Endothelin-1 (ET-1).

    Tekanan darah yang tinggi menyebabkan arteri berdilatasi dan teregang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan cedera pada endotel. Disfungsi endotel menyebabkan abnormalitas tonus otot polos pembuluh darah, proliferasi sel otot polos pembuluh darah, gangguan koagulasi dan fibrinolisis serta inflamasi persisten.

    Hipertensi terkait dengan ketidak-imbangan hemostasis. Pasien dengan hipertensi memiliki kadar fibrinogen, plasminogen activator inhibitor-1 (PAi-1), tissue plasminogen activator (TPA), fibrinogen dan trombomodulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu normotensi. Oleh karena itu pasien dengan hipertensi lebih rentan terhadap proses aterotrombotik. Mekanisme gangguan hemostasis pada hipertensi belum sepenuhnya dimengerti. Namun demikian, ini diduga disebabkan oleh shear stress, disfungsi endotel dan aktivitas Ang-II. Ang-II menstimulasi ekspresi berlebihan dari PAi-1 yang menyebabkan gangguan fibrinolisis.

    Pada hipertensi, kadar dan aktivitas Ang- II serta ET-1 meningkat. Ang-II menyebabkan vasokonstriksi, retensi natrium, sekresi aldosteron, fibrosis, proliferasi selular, pembentukan superoksida, inflamasi dan trombosis. Ang-II menstimulasi konversi NADPH/NADH di endotel, sel otot polos dan adventisia pembuluh darah menjadi ROS. Peningkatan ROS mengakibatkan disfungsi endotel, proliferasi dan inflamasi. ROS menyebabkan hambatan sintesis dan peningkatan degradasi NO yang dibutuhkan untuk vasodilatasi dan relaksasi dinding pembuluh darah. Reaksi ROS dan NO akan membentuk ONOO- yang merupakan metabolit toksik terhadap endotel. Ang-II memicu upregulasi ET-1, molekul adesi, nuclear factor-κB (NF-κB) dan mediator pro- inflamasi lainnya. ET-1 juga memicu vasokonstriksi, proliferasi, inflamasi, pembentukan ROS dan aktivasi trombosit yang ikut menyumbang dalam proses aterosklerosis.

  • Diabetes Melitus dan PAP

    Diabetes meningkatkan risiko kejadian PAP simptomatik dan asimptomatik sebesar 1,5-4 kali lipat, dan mengarah pada peningkatan kejadian penyakit kardiovaskuler dan kematian lebih dini. Risiko terjadinya PAP proporsional dengan keparahan dan durasi diabetes. Risiko terjadinya Klaudikasio intermiten juga lebih besar pada pasien diabetes dibanding pasien non diabetes. Pasien diabetes dengan PAP memiliki kemungkinan 7-15 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami amputasi dibanding pasien non diabetes dengan PAP.

    Diabetes mellitus mengakselerasi perjalanan proses aterosklerosis, yang dapat menghasilkan insiden penyakit perifer, koroner, dan serebrovaskular yang lebih tinggi. Hubungan patofisiologis diabetes dalam menimbulkan PAP tidak diketahui dengan jelas, karena terdapat dua efek langsung, yakni dari hiperglikemia serta adanya hipertensi dan hiperlipidemia yang sering terjadi pada pasien dengan diabetes.

    Banyak bukti menunjukkan bahwa disfungsi endotel terlibat dalam patogenesis penyakit vaskuler pada pasien diabetes. Dalam sebuah studi, didapatkan informasi bahwa pembuluh darah pada pasien diabetes tipe-2 ternyata mengalami gangguan relaksasi. Disfungsi endotel pada- DM 1 terjadi karena berkurangnya sensitivitas sel-sel otot polos pembuluh darah terhadap NO. Pada individu dengan DM tipe 2, disfungsi endotel tampaknya didasarkan pada penurunan bioavailabilitas NO.

    Peningkatan produksi superoksida radikal tidak hanya menyebabkan peningkatan inaktivasi NO, tetapi juga meningkatkan sintesis prostanoid yang berfungsi sebagai vasokonstriktor dengan adanya pembentukan hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil. Namun demikian, belum ditentukan dengan jelas bahwa hiperglikemia, hiperinsulinemia, atau resistensi insulin merupakan mekanisme penyebab disfungsi endotel pada DM-2.

Faktor Risiko PAP Lainya

  1. Merokok

    Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama PAP, terutama pada penderita usia muda. Merokok dapat menyebabkan kerusakan pada endotel, mendorong terjadinya koagulasi, dan mempercepat terjadinya aterosklerosis.

    Cardiovascular Health Study menyatakan, perokok memiliki risiko relatif sebesar 2,5 kali lebih besar untuk menderita PAP dibanding non perokok. Studi lain menyatakan bahwa mantan perokok memiliki risiko relatif tujuh kali lipat untuk menderita PAP dan perokok aktif sebesar 16 kali lipat bila dibandingkan dengan pasien non perokok.

  2. Hiperlipidemia

    Hiperlipidemia mempengaruhi struktur endotel dinding arteri, yang dapat menyebabkan pembentukan lesi aterosklerotik. Kolesterol LDL merupakan salah satu penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos. Perubahan struktur endotel memungkinkan lipoprotein memasuki dinding arteri, menjadi teroksidasi, dan mendukung pembentukan fatty streak, yang merupakan lesi awal pada aterosklerosis. Hal ini akan berkembang menjadi lesi yang lebih kompleks yang menyebabkan stenosis atau oklusi arteri. Peningkatan kadar Kolesterol LDL juga diketahui dapat meningkatkan risiko terjangkit penyakit kardiovaskular dan PAP.

    Tingkat kolesterol yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko klaudikasio sebanyak 2 kali lipat (Framingham Study). NHANES menyatakan, lebih dari 60% pasien dengan PAP yang berstatus hiperkolesterolemia. PARTNERS (Peripheral Arterial Disease Awareness, Risk, and Treatment : New Resources for Survival) dalam hasil studinya menyatakan prevalensi hiperlipidemia pada pasien PAP adalah 77%. Hiperlipidemia meningkatkan kemungkinan terjadinya PAP sebesar 10% untuk setiap 10 mg / dL kenaikan kolesterol total.

  3. Usia

    Orang yang berusia 65 tahun atau lebih (Framingham Heart Study ) dan orang-orang berusia 70 tahun atau lebih memiliki peningkatan risiko untuk menderita PAP (NHANES). Adapun prevalensinya adalah 4,3 pada peserta yang berusia lebih dari 40 tahun dan 14,5 pada mereka yang berusia lebih dari 70 tahun. `Hubungan usia dengn PAP mencerminkan lamanya paparan terhadap faktor-faktor aterogenik dan efek kumulatif penuaan pada pembuluh darah.

  4. Kadar C-reactive Protein

    Peningkatan kadar C-reactive protein merupakan penanda serologis peradangan sistemik yang berhubungan dengan PAP. Physicians ‘Health Study’ menyatakan, orang yang memiliki konsentrasi C-reactive protein pada kuartil tertinggi memiliki peningkatan risiko 2,1 kali lipat menderita PAP dibanding orang yang sehat. Penelitian ini juga mencatat bahwa terdapat tingkat protein C-reactive yang tinggi pada individu penderita PAP dan konsentrasi paling tinggi didapat pada pasien yang membutuhkan operasi vaskuler.

  5. Kadar Homosistein

    Beberapa peneliti telah menguji pengaruh homosistein terhadap pertumbuhan sel-sel endotel pada jaringan yang dikultur. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa homosistein dapat memberikan efeksitotoksis langsung terhadap endotel, sehingga terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel. Peningkatan kadar homosistein berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya PAP sebesar 2 sampai 3 kali lipat.

    The European Concerted Action Project memperkirakan bahwa konsentrasi homosistein puasa yang lebih besar dari persentil 80 (yaitu, lebih besar dari 12,1 mikromol per liter) berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit vaskular aterosklerotik sebesar 2 kali lipat, antara lain PAP, penyakit pembuluh koroner, dan stroke, dan faktor risiko tradisional independen lainya. Dalam suatu studi, kenaikan kadar homosistein total sebesar 5 mikromol per liter meningkatkan risiko PAP sebesar 44%.

  6. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen

    Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan terdapat pada pasien dengan PAP, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok. Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko trombosis, dikaitkan dengan kejadian PAP pada beberapa penelitian. Hiperviskositas dan hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti sebagai marker atau faktor risiko terkait dengan prognosis yang buruk.

  7. Ras dan Jenis Kelamin

    The National Health and Nutrition Examination Survey, sebuah survei di Amerika Serikat pada hasil penelitianya menemukan informasi bahwa ABI 0,90 umumnya lebih sering terdapat pada ras kulit hitam non - Hispanik (7,8 ) dibandingkan dengan ras kulit putih (4,4 ).

    Prevalensi PAD, baik yang simptomatik maupun asimptomatik, sedikit lebih besar pada pria daripada wanita , terutama pada kelompok usia yang lebih muda. Pada pasien dengan klaudikasio intermiten, rasio laki-laki dibandingkan dengan wanita adalah antara 1 : 1 dan 2 : 1. Rasio ini meningkat pada beberapa studi setidaknya hingga 3 : 1 pada tahap penyakit yang lebih parah, seperti critical limb ischemia kronis. Namun demikian, terdapat penelitian lain yang menyatakan bahwa prevalensi PAP pada wanita maupun laki-laki adalah sama. Terdapat pula studi yang menyatakan bahwa klaudikasio intermiten didominasi oleh jenis kelamin wanita.

Tolak Ukur Penilaian status PAP

1. Diagnosis PAP

Diagnosis klinis PAP tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penggunaan pemeriksaan pembuluh darah secara noninvasif dan invasif.
Penilaian PAP perlu dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi faktor risiko, adanya klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan atau adanya suatu gangguan fungsi.

2. Diagnosis Noninvasif PAP

Pasien dengan gangguan pembuluh darah dapat didiagnosis secara anatomi dengan akurat menggunakan teknik diagnostik vaskular noninvasif modern (misalnya, ankle- and toe-brachial index, segmental pressure measurements, pulse volume recordings, duplex ultrasound imaging, Doppler waveform analysis, dan exercise testing).

Tes non-invasif dapat menilai status PAP secara obyektif dan dapat memfasilitasi perencanaan terapi. Tes ini relatif murah, dapat dilakukan tanpa risiko, dan dapat memberikan informasi prognostik. Pemeriksaan ini pada pasien PAP memungkinkan dokter untuk :

  • secara obyektif menentukan diagnosis PAP
  • secara kuantitatif menilai keparahan penyakit,
  • melokalisasi lesi pada segmen arteri ekstremitas tertentu, dan
  • menentukan sejauh mana perkembangan penyakit atau respon terhadap terapi.

3. Ankle Brachial Index

Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non invasif untuk mengidentifikasi penyakit arteri perifer. ABI adalah rasio yang berasal dari tekanan darah sistolik pergelangan kaki (dorsalis pedis dan tibialis posterior) setiap kaki kanan dan kiri dibandingkan dengan lengan brakialis. Jika aliran darah normal di ekstremitas bawah, tekanan pada pergelangan kaki harus sama atau sedikit lebih tinggi dengan di lengan, maka ABI akan bernilai 1,0 atau lebih. ABI yang bernilai ≤ 0,9 menunjukkan adanya PAP.

Tabel Interpretasi Nilai ABI
Interpretasi Nilai ABI

Ankle Brachial Index
Gambar Ankle Brachial Index

ABI memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, serta akurasi yang baik untuk menetapkan diagnosis PAP. ABI telah digunakan dalam banyak studi cross sectional untuk mendeteksi adanya PAP. Alat ini merupakan alat yang paling hemat biaya untuk mendeteksi PAP.

ACC / AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI sebaiknya dilakukan pada :

  1. Individu yang diduga menderita gangguan arteri perifer karena adanya gejala exertional leg atau luka yang tidak sembuh.
  2. Usia ≥ 65 tahun.
  3. Usia ≥ 50 yang mempunyai riwayat DM atau merokok.

Sebagai tambahan, American Diabetes Associaton (ADA) menyarankan skrining ABI dilakukan pada penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor risiko penyakit arteri perifer seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, dan lamanya menderita DM >10 tahun.

Keterbatasan ABI

  1. ABI adalah pemeriksaan yang menyimpulkan lokasi anatomi dari oklusi atau stenosis secara tidak langsung. Lokasi pasti dari stenosis atau oklusi tidak bisa ditentukan hanya dengan menggunakan ABI.

  2. ABI dapat meningkat (>1,3) karena adanya kalsifikasi arteri pada pergelangan kaki pasien yang memiliki penyakit diabetes, gagal ginjal dan rheumatoid arthritis; dan pada keadaan ini, tes vaskular lainnya seperti TBI (Toe Brachial Index) perlu dilakukan.

  3. Studi yang melakukan evaluasi vaskular pada 1.762 subyek, melaporkan bahwa ABI meningkat pada 8,4% individu dan prevalensi PAP pada individu ini adalah 62,2%.

  4. Beberapa individu dengan stenosis arteri dapat mengalami gejala klaudikasio saat beraktivitas namun memiliki tekanan pergelangan kaki yang normal saat istirahat, pada kasus ini diperlukan evaluasi vaskular lainya.

Prosedur Penggunaan ABI

ABI dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah Doppler gelombang kontinyu, tensimeter dan manset untuk mengukur tekanan darah brakialis dan pergelangan kaki. Jika dilakukan oleh profesional yang terlatih, menggunakan peralatan yang tepat, dan mengikuti prosedur berbasis penelitian, ABI yang diperoleh menggunakan Doppler saku setara dengan Tes pembuluh darah di laboratorium untuk mendeteksi PAP.

Pada pelayanan kesehatan primer, dimana alat doppler tidak selalu ada, ABI yang diukur dengan stetoskop merupakan pendekatan alternatif yang dapat dilakukan. Sebuah penelitian yang membandingkan ABI yang diukur dengan stetoskop dan ABI yang diukur dengan Doppler memberikan informasi bahwa nilai keduanya ternyata berkorelasi baik, sehingga pengukuran ABI dengan stetoskop dapat digunakan sebagai alat skrining PAP pada pelayanan kesehatan primer.

Persiapan Pasien dan Lingkungan

  1. Menanyakan kapan terakhir merokok, mengkonsumsi kafein ataupun alkohol; apakah ada aktivitas berat yang baru saja dilakukan sebelumnya, dan adanya nyeri. (Catatan: Jika memungkinkan, menyarankan pasien untuk menghindari stimulan atau latihan berat selama satu jam sebelum tes.)

  2. Melakukan pengukuran ABI di tempat yang tenang, lingkungan yang hangat untuk mencegah vasokonstriksi arteri (21-23 + 1 ° C).

  3. Hasil ABI terbaik akan diperoleh ketika pasien santai, nyaman, dan dengan keadaan kandung kemih yang kosong.

  4. Menjelaskan prosedur kepada pasien.

  5. Melepaskan kaus kaki, sepatu, dan pakaian yang ketat untuk penempatan manset dan memberi akses ke daerah yang akan dipulsasi oleh Doppler.

  6. Menempatkan pasien pada posisi terlentang, memberikan satu bantal kecil di belakang kepala pasien untuk kenyamanan pasien.

  7. Sebelum penempatan manset, memberi pelindung/ penghalang (misalnya, bungkus plastik) pada ekstremitas jika terdapat luka atau perubahan integritas kulit)50

  8. Menempatkan manset pada lengan sekitar 2-3 cm di atas fossa cubiti dan maleolus di pergelangan kaki

  9. Memastikan pasien merasa nyaman dan mempersilakan pasien beristirahat selama minimal 10 menit sebelum pengukuran ABI untuk menormalkan tekanan darah.

Pasien yang mengalami klaudikasio dengan stenosis arteri iliaka terisolasi memiliki kemungkinan untuk tidak mengalami penurunan tekanan darah saat istirahat, sehingga, pada kasus ini akan dijumpai nilai ABI yang normal. Namun, dengan dilakukannya tes provokasi dengan exercise oleh pasien ini, lesi hemodinamik akan terlihat signifikan karena adanya peningkatan kecepatan aliran darah.

Pada kondisi ini, exercise akan menyebabkan penurunan ABI yang dapat dideteksi segera sebelum periode recovery, dan dengan demikian dapat ditegakkan diagnosis PAP. Prosedur ini memerlukan pengukuran ABI saat istirahat, dan pasien kemudian diminta untuk berjalan (biasanya menggunakan treadmill dengan kecepatan 3,2 km/h (2 mph), 10% -12% grade) sampai terjadi klaudikasio (atau maksimal 5 menit), diikuti dengan pengukuran ulang tekanan darah pada pergelangan kaki. Penurunan ABI dari 15% -20% didiagnosis sebagai PAP.

Jika treadmill tidak tersedia, tes provokasi dapat dilakukan dengan menaiki tangga. Tes provokasi alternatif yang dapat dilakukan jikasubjek tidak dapat naik-turun bangku antara lain dengan jalan kaki selama 6 menit atau melakukan dorsoflexi-plantarflexi selama 6 menit.


Gambar Algoaritma untuk mendiagnosis PAP

Kontraindikasi untuk ABI

  1. Apabila terdapat rasa sakit luar biasa di kaki bagian bawah / kaki.

  2. Pada kondisi terdapat trombosis vena dalam, yang dapat menyebabkan lepasnya trombus, sebaiknya dirujuk untuk dilakukan tes duplex ultrasound

  3. Nyeri berat terkait dengan luka pada ekstremitas bawah.