Apa yang dimaksud dengan Perilaku Keagamaan Remaja?

Perilaku Keagamaan Remaja

Apa yang dimaksud dengan Perilaku Keagamaan Remaja ?

Perilaku keagamaan adalah segala tindakan, aktifitas maupun yang mencerminkan nilai-nilai Keislaman seperti tentang beribadah kepada Allah SWT. Agama dipeluk dan dihayati oleh manusia, praktek dan penghayatan agama tersebut diistilahkan sebagai keberagamaan (religiusitas). Keberagamaannya, manusia menemukan dimensi terdalam dirinya yang menyentuh emosi dan jiwa. Oleh karena itu, keberagamaan yang baik akan membawa tiap individu memiliki jiwa yang sehat dan membentuk kepribadian yang kokoh dan seimbang. Agama bersumber pada wahyu Tuhan. Oleh karena itu, keberagamaan pun merupakan perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada wahyu Tuhan juga. Keberagamaan memiliki beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain dimensi pertama adalah aspek kognitif keberagamaan, dua dari yang terakhir adalah aspek behavioral keberagamaan dan yang terakhir adalah aspek afektif kebe ragamaan.

C.Y. Glock dan R Stark dalam bukunya Djamaluddin Ancok menyebut ada lima dimensi agama dalam diri manusia, yakni dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan dan praktek keagamaan (ritualistic), dimensi penghayatan (eksperensial), dimensi pengamalan (konsekuensial) dan dimensi pengetahuan agama (intelektual).

  1. Dimensi ideologis (ideological involvement).
    Dimensi ideologi yaitu sesuatu yang berkenaan dengan seperangkat kepercayaan keagamaan yang memberikan penjelasantentang Tuhan, alam manusia dan hubungan diantara mereka. Kepercayaan dapat berupa makna dari tujuan atau pengetahuan tentang perilaku yang baik yang dikehendaki Tuhan. Dimensi ini berisi pengakuan akan kebenaran doktrin-doktrin dari agama. Seorang individu yang religius akan berpegang teguh pada ajaran teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin agamanya, misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surge-neraka, dan sebagainya.

  2. Dimensi intelektual (intellectual involvement)
    Dimensi intelektual yaitu yang dapat mengacu pada pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama, pada dimensi ini dapat diketahui tentang seberapa jauh tingkat pengetahuan agama (religiusliteracy) dan tingkat ketertarikan mempelajari agama dari penganut agama, dalam dimensi ini bahwa orang-orang beragama paling tidak mekiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus kitab suci dan tradisi-tradisi.

  3. Dimensi eksperensial (experiencial involvement)
    Dimensi eksperensial adalah bagian keagamaan yang bersifat efektif, yakni keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran (religion feeling). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh kelmpok keagamaan saat melaksanakan ritual keagamaan. Seperti, tentram saat berdoa, tersentuh mendengar ayat suci Al-Qur’an dibacakan.

  4. Dimensi ritualistik (ritual involvement)
    Dimensi ritualictic yaitu merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan dan dilaksanakan oleh penganut agama dan sangat berkaitan dengan ketaatan penganut suatu agama. Dimensi ini meliputi pedoman pokok pelaksanaan ritus dan pelaksanaanya, frekuensi prosedur dan makna ritus penganut agama dalam kehidupan sehari-hari seperti penerapan rukun Islam, dzikir, sholat lima waktu dan lain-lain.

  5. Dimensi konsekuensi atau dimensi sosial (consequential involvement)
    Dimensi konsekuensi atau dimensi sosial yaitu meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama, dimensi ini memberikan gambaran apakah efek ajaran agama terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian kepada penderitaan orang lain dan sebagainya.

Perspektif islam dalam perilaku keberagamaan dijelaskan pada Al-Qur’an Q.S. Al Baqarah:208 Allah menuntut orang beriman (Islam) untuk beragama secara menyeluruh tidak hanya satu aspek atau dimensi tertentu saja, melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan. Oleh karena itu, setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak haruslah didasarkan pada nilai dan norma ajaran Islam. Bagi seorang muslim, keberagamaan dapat dilihat dari seberapa dalam keyakinan, seberapa jauh pengetahuan, seberapa konsisten pelaksanaan ibadah ritual keagamaan, seberapa dalam penghayatan atas agama Islam serta seberapa jauh implikasi agama tercermin dalam perilakunya. Dalam Islam, keberagamaan akan lebih luas dan mendalam jika dapat dirasakan seberapa dalam penghayatan keagamaan seseorang.

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi keberagamaan dalam Islam terdiri dari lima lima dimensi, yaitu: Aqidah (iman atau ideologi), dimensi ibadah (ritual), dimensi amal (pengamalan), dimensi ihsan (penghayatan, situasi dimana seseorang merasa dekat dengan Allah), dan dimensi ilmu (pengetahuan).

Esensi Islam adalah tauhid, penegasan Allah sebagai pencipta yang mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada. Tauhid adalah intisari Islam. Oleh karena itu, suatu tindakan tidak dapat disebut bernilai Islam, jika tidak dilandasi oleh kepercayaannya kepada Allah SWT. Sejalan dengan pandangan Islam, Glock & Stark menilai bahwa teologi adalah pusat keyakinan beragama. Teologi terapat dalam seperangkat kepercayaan mengenai hari terakhir, mengenai alam dan kehendakkehendak supernatural, sehingga aspek-aspek lain dalam agama menjadi koheren. Ritual dan kegiatan yang menunjukkan ketaatannya baru dapat dipahami jika kegiatan-kegiatan tersebut berada dalam kerangka kepercayaan yang mengandung dalil bahwa ada suatu kekuatan yang besar yang harus disembah. Selain tauhid atau akidah, dalam Islam terdapat syariah dan akhlaq. Akidah adalah sistem kepercayaan dan dasar bagi syariah dan akhlaq. Syariah merupakan tatanan hokum, dan akhlaq adalah dimensi praktis dimana seseorang muslim berperilaku sesuai dengan norma dan nilai Islam.

Konsep keberagamaan Glock & Stark mencoba melihat keberagamaan seseorang dengan memperhatikan semua dimensi. Untuk memahami keberagamaan umat Islam, diperlukan suatu konsep yang mampu memberikan penjelasan tentang beragam dimensi dalam Islam. Keberagamaan dalam Islam tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ritual ibadah saja namun juga aktifitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula.

Karakteristik Perilaku Keagamaan Remaja


Karakteristik Perilaku Remaja dalam beragama dibagi menjadi 4, yaitu:

  1. Percaya secara Ikut-Ikutan
    Percaya secara ikut-ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama dengan cara yang amat sederhana, yaitu pelajaran agama hanya didapat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapatnya dalam keluarga dan lingkungannya, bukan melalui pendidikan.

  2. Percaya dengan Kesadaran
    Semangat agama pada remaja mulai meningkat, sehingga cara beragama yang ikut-ikutan, patuh dan tunduk kepada ajaran agama tanpa komentar tidak lagi memuaskannya, jika alasannya hanya dengan dalil-dalil dan hukum mutlak dari ayat-ayat Tuhan atau hadis-hadis Nabi, atau tradisi-tradisi keagamaan mereka tidak dapat menerimanya. Mereka ingin menjadikan agama sebagai tempat untuk bermujadalah dan bermudzakarah untuk membuktikan kebenaran agama dan ilmu pengetahuan.

  3. Kebimbingan dalam Beragama
    Kebimbangan beragama mulai menyerang remaja setelah pertumbuhan dan kecerdasannya mencapai tingkat kematangan, sehingga remaja bisa mengeritik, menerima, atau menolak sesuatu yang disampaikan kepadanya. Dikarenakan ajaranajaran yang diterima pada waktu kecil berbeda dengan kehidupan agama diwaktu remaja. Hal ini disebabkan pada masa remaja akhir (adoleson) keyakinan agama mereka lebih dikuasai oleh pemikiran. Maka sudah barang tentu banyak ajaran-ajaran agama yang harus diselidiki atau dikritik, terutama pendidikan agama yang diterima pada masa anak-anak yang lebih bersifat otoriter dari orang lain. Kegoncangan keyakinan beragama terjadi sesudah perkembangan kecerdasan selesai, tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan segala pengalaman dan proses pendiddikan yang dilaluinya dimasa kecil, karena pengalaman yang dilalui oleh seseorang ikut memberikan gambaran pribadinya setelah remaja meningkat menjadi dewasa.

  4. Kurang Percaya dengan Tuhan
    Akhir masa remaja timbul rasa resah, gelisah, gundah gulana dalam hidupnya sebagai pantulan dari jiwa remaja yang tidak mempercayai adanya Tuhan secara mutlak. Disamping itu, keingkaran remaja terhadap Tuhan berasal dari keadaan masyarakat yang dilanda penderitaan, kemerosotan moral, kekacauan dan kebimbangan. Selain itu, timbulnya ketidakpercayaan remaja kepada Tuhan sebagai reaksi dari kebebasan berfikir para intelektual atau pancaran dari cara berfikir para ilmuwan, yang membatasi ruang gerak agama dengan konsep positivisme, sekulerisme, dan materilaisme.

Menurut Thomas F. O’dea, Sekulerisme terdiri dari dua bentuk transformasi yang saling menyambung dalam fikirian manusia. Yang pertama ialah desakralisasi sikap terhadap orang, dan benda, yakni menafikan keterlibatan emosional dalam menanggapi hal-hal yang religius dan suci. Kedua, adalah rasionalisasi fikiran yakni mengeluarkan peran serta emosi dalam memahami dunia.

Aspek Yang Mempengaruhi Perkembangan Perilaku Keagamaan Remaja


Ada 5 aspek utama yang mempengaruhi perkembangan remaja dari segi rohani dan jasmani, yaitu:

  1. Pertumbuhan Pikiran dan Mental
    Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young dikutip Ramayulis bahwa Ide dan dasar keyaklinan agama yang diterima remaja pada masa anak-anak, sudah tidak begitu menarik lagi bagi mereka. Mereka sudah mulai memiliki sifat kritis terhadap ajaran agama, mereka mulai tertarik pada masalah-masalah kebudayaan sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

  2. Perkembangan Perasaan
    Perasaan anak remaja memegang peranan yang sangat penting dalam bersikap dan mengamalkan agamanya, Berbagai perasaan telah berkembang dalam diri remaja, diantaranya perasaan sosial, edits, dan estetis mendorong remaja untuk mengahayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Remaja yang tinggal dilingkungan orang yang taat beragama, anak remaja akan terbiasa dengan kehidupan yang agamais. Sebaliknya remaja yang tinggal dilingkungan yang tidak mengenal agama, niscaya remaja akan bersikap dan bertingkah laku seperti orang-orang yang tidak melakukan agamanya, kehidupan mereka lebih banyak didorongan oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, bahkan mereka lebih mudah dinominasi oleh tindakan seksual.

  3. Pertimbangan Sosial
    Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kontradiksi dalam kehidupan keagamaannya, akibatnya timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Sehingga remaja kebingungan dalam menentukan pilihannya, sementara kehidupan dunia lebih dipengaruhi oleh kepentingan materi, sedangkan para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis dalam kehidupan mereka. Dan meninggalkan kehidupan yang berisikan nilai-nilai moral atau agama dalam hidupnya.

  4. Perkembangan Moral
    Anak yang baru lahir tidak dapat dikatakan bermoral, karena moral itu tumbuh dan berkembang dari pengalaman-pengalaman yang dilalui sejak kelahiran anak. Pertumbuhannya baru dapat dikatakan mencapai kematangan pada usia remaja, yaitu ketika perkembangan kecerdasannya telah selesai. Pada hakekatnya tak ada perbedaan yang nyata antara agama dan moral, karena seorang yang beragama percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta mengagumi akan kebesaran Tuhannya, berarti seseorang telah memiliki rasa kepercayaan dan mengangumi Tuhan itu, maka seseorang itu telah menunjukkan dan memiliki moral yang baik. Secara psikologis seseorang yang beragama membutuhkan sifat attempts to harmonize (berusaha untuk mengharmoniskan hidupnya dengan Tuhan). Agama dan moral memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan ada yang mengatakan bahwa moral adalah bagian dari agama. Perkembangan moral remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksinya.

  5. Sikap dan Minat
    Sikap merupakan kecenderungan seseorang terhadap sesuatu untuk bertindak, yaitu menerima atau menolak terhadap aksi yang diberikan, sedangkan sikap terhadap sesuatu itu bisa bernilai positif dan negatif. Secara psikologis, esensi pada sikap terdapat beberapa komponen fungsi jiwa yang bekerja secara kompleks dalam menentukan sikapnya terhadap sesuatu, ketiga komponen itu adalah. Pertama, komponen kognisi akan memberikan jawaban tentang apa yang dipikirkan individu tentang objek. Kedua, komponen afeksi dihubungkan dengan apa yang dirasakan oleh individu terhadap objeknya, misalnya perasaan senang, marah, benci, sayang dan sebagainya. Ketiga, komponen konasi yaitu kesedian/kesiapan individu terhadap objek dengan menerima atau menolak keberadaan objek tersebut. Ketiga komponen itu saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara satu dangan lainnya.

Selain itu, faktor pengalaman memliki peranan penting dalam pembentukan sikap seseorang, karena munculnya sikap pada seseorang adalah tatkala individu mengenal sesuatu atau objek, baik objek itu dalam bentuk internal maupun eksternal, Jika seseorang hidup dilingkungan yang berbeda dengan lingkungannya sudah dapat dipastikan bahwa sikap hidupnya dipengaruhi oleh lingkungan tersebut.