Apa yang Dimaksud dengan Perempuan dalam Pandangan Psikologi Kontemporer?


Perempuan selalu memiliki makna dalam setiap halnya, salah satunya dalam pandangan psikologi kontemporer.

Apa yang dimaksud dengan perempuan dalam pandangan psikologi kontemporer?

Psikologi kontemporer mengacu pada paradigma psikologi feminis, yaitu suatu cara pandang memahami eksistensi perempuan berdasarkan norma perempuan.

Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk meruntuhkan pandangan yang telah terlanjur diyakini secara umum.

Suatu fakta biologis yang tidak dapat disangkal, perempuan dikodratkan untuk haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Suatu fungsi yang tidak dapat diambil alih oleh laki-laki. Fakta ini menimbulkan konsekuensi yang penting bagi kehidupan manusia. Manusia berbeda dengan makhluk lain, ia memiliki kemampuan untuk menginternalisasi komposisi biologisnya sehingga terbentuklah kenyataan sosial baginya. Apa yang dipandang sebagai perilaku perempuan atau laki-laki, tergantung pada bagaimana fakta biologis itu diasosiasikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam tata hidup masyarakat tertentu. Jadi perbedaan perempuan dan laki-laki mencerminkan interaksi antara komposisi biologis dan pola kehidupan sosial.

Penelitian psikologi yang telah dilakukan beranggapan bahwa perbedaan antara sifat keperempuanan (feminity) dan sifat kelaki-lakian (masculinity) sangat erat hubungannya dengan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, perbedaan kedua sifat itu diasumsikan sebagai dua kutub yang berbeda sehingga “jika seseorang menunjukkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma perempuan atau laki-laki, dianggap mempunyai kelainan”.

Asumsi tersebut mestinya dilakukan untuk mengukur sifat perempuan dan laki-laki dengan menggunakan skala kontinum yang berbeda. Konsep ini disebut dengan konsep dua kutub (bipolar), tetapi para ahli psikologi klasik menggunakan model skala kontinum tunggal (single continum scale), di mana sifat feminin dan maskulin dipandang sebagai gejala satu dimensi dan bukan gejala multidimensional.

Dengan model skala kontinum tunggal, perempuan tidak menjadi dirinya sendiri, mereka harus menyesuaikan diri terhadap norma lakilaki. Oleh karena laki-laki yang menjadi norma, psikologi klasik termasuk psikologi androcentris (serba dan berpusat pada laki-laki). Sedangkan dalam psikologi feminis, pendefinisian perempuan dengan perspektif perempuan (genocentris).

Penelitian yang dikembangkan oleh psikologi feminis selain menggunakan pendekatan bipolar dilakukan juga pendekatan dualistik. Dalam konsep dualistik, sifat feminin dan maskulin dipandang sebagai dua dimensi yang berbeda, tetapi kedua sifat tersebut dalam taraf tertentu dapat ditemukan pada satu individu. Sebagai contoh, psikolog Jung membedakan prinsip animus untuk sifat laki-laki, dan anima untuk sifat perempuan. Demikian juga Bakan memandang adanya dua prinsip agency dan communion yang menjadi ciri makhluk hidup. Kedua prinsip ini harus saling mengimbangi agar individu dapat mempertahankan hidup. Konsep dua prinsip ini kini mewarnai paradigma psikologi kontemporer untuk menjelaskan eksistensi perempuan dan laki-laki.

Penelitian untuk mengidentifikasi ciri-ciri dan sifat-sifat perempuan dalam psikologi umumnya dilakukan dengan mengukur sex role preference dan sex role adoption. Untuk mengukur sifat tersebut, menggunakan skala kontinum bipolar dan dualistik. Jika diasumsikan sifat perempuan dan laki-laki terletak pada satu dimensi, maka dua sifat itu diletakkan pada skala kontinum tunggal yang sama. Jika diasumsikan sifat perempuan dan laki-laki terletak pada dua dimensi yang berbeda, maka digunakan dua skala kontinum yang berbeda.

Dengan model penelitian bipolar dan dualistik yang dikembangkan oleh psikologi feminis, posisi perempuan menjadi equal dan humanis.

Dalam memahami fakta biologis, eksistensi perempuan dan lakilaki dianalisis menggunakan pendekatan bipolar. Fakta biologis menunjukkan perempuan secara kodrati dapat haid, hamil, melahirkan, dan menyusui, sedangkan laki-laki secara kodrati dapat membuahi sel telur perempuan, sesuai dengan potensi organ dan reproduksi yang dimiliki masing-masing yang berkonsekuensi pada fungsi reproduksi yang berbeda. Perbedaan fakta biologis ini tidak mengindikasikan yang satu lebih unggul atas yang lain, tetapi untuk menunjukkan bahwa fungsi-fungsi yang terdapat pada masingmasing potensi tidak akan terjadi tanpa ikatan ketergantungan, dan saling melengkapi. Dengan kata lain, fungsi reproduksi hanya terjadi karena ada perbedaan potensi reproduksi yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, dan juga fungsi reproduksi tidak akan terjadi oleh dirinya sendiri, tanpa saling ketergantungan dan kelengkapan dari lain jenis.

Dalam memahami sifat feminin dan maskulin, psikologi feminis menggunakan pendekatan dualistik, karena kedua sifat itu dapat ditemukan ada pada satu individu. Oleh karena itu, pelabelan (stereotype) sifat perempuan sebagai inferior, lemah lembut, emosional, lebih rendah intelektualnya adalah keliru karena tidak didukung oleh metodologi penelitian yang tepat dan bukti empirik yang kuat. Stereotype yang muncul dari ideologi patriarkhisme dan statusquo yang ingin mempertahankan superioritas laki-laki. Teori-teori psikologi androcentris hanya dikembangkan berdasarkan fantasi laki-laki yang diproyeksikan kepada perempuan.

Posisi perempuan yang kurang kuat di masyarakat itulah yang mempengaruhi perilakunya, karena ia harus menyesuaikan dengan keinginan laki-laki yang berkuasa. Perilaku perempuan merupakan suatu reaksi untuk memprotes hak istimewa dan kekuasaan laki-laki. Narcisisme, masochisme, dan pasivitas hanyalah topeng yang dipakaikan laki-laki kepada perempuan. Lahirnya psikologi feminis merupakan kritik terhadap kekuatan sosial yang memaksa perempuan hanya berperan sebagai ibu dan memiliki tugas keibuan. Ideologi “Ibuisme” hanya menciptakan sebuah budaya patriarkhi yang dibalut dengan bingkai “penghormatan”, agar tampak lebih etis secara budaya.

Dahulu pengasuhan anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ibu. Pandangan lama menganggap sosialisasi merupakan bentukan orangtua, guru dan masyarakat. Kini banyak pandangan yang meyakinkan bahwa keibuan adalah sikap yang dapat diberikan oleh siapa pun selain ibunya sendiri. Pandangan baru mengatakan bahwa mulai awal bayi itu aktif, sehingga tugas ibu bukan menciptakan sesuatu dari ketiadaan, tetapi menyesuaikan perilakunya dengan kepentingan anak, mana yang penting mendapat perilaku keibuan sehingga perilaku keibuan dapat pula dilakukan oleh orang lain selain ibunya. Perempuan menjadi berkepribadian keibuan karena proses belajar, latihan, dan pengalaman, bukan potensi yang dibawa sejak lahir. Menurut Chodorow (1978), “tidak semua perempuan menjadi ibu atau berjiwa keibuan, banyak pula laki-laki yang mempunyai sifat keibuan karena belajar”. Menurut Parwati Soepangat (1997), para bapak perlu dilibatkan dalam pengasuhan anak untuk memberikan variasi stimulasi agar potensi anak berkembang secara optimal dan memiliki ikatan emosional dengan bapaknya”.

Pendapat Chodorow dan Soepangat tersebut menolak teori bahwa secara biologis perempuan mempunyai naluri keibuan. Seseorang dapat cakap dalam peran keibuan hanya karena belajar, maka laki- laki pun sangat mungkin mempunyai kecakapan tersebut, sehingga pengasuhan anak tidak hanya tergantung kepada ibunya. Oleh karena itu, perempuan bukanlah satu-satunya agen yang bertugas mendidik dan membesarkan anak (Levy & Fallers, 1959).

Dengan kata lain, ibu tidak harus dan tidak selalu memegang peranan utama sebagai pemelihara anak sendirian, karena dapat dilakukan bersama suami dan anggota keluarga lainnya. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena berdasarkan pola tempat tinggal, jarang ditemukan suatu masyarakat di mana seorang perempuan tinggal sendiri dan tidak dapat menemukan orang lain untuk mengasuh anaknya. Pembagian tanggung jawab memelihara dan mendidik anak tidak saja terjadi pada masyarakat yang tingkat ekonominya tinggi dan yang memiliki organisasi sosial berdasarkan hubungan keluarga, juga pada masyarakat ekonomi rendah. Tugas mengasuh anak sendirian oleh ibu akan sangat melelahkan dan menjenuhkan secara fisik maupun psikologis, di samping kurang menguntungkan untuk perkembangan anak.

Dengan uraian tersebut jelas kebudayaan melalui stereotype telah membentuk perempuan menjadi pasif, masokis, dan penurut. Konteks sosial inilah yang sering dilupakan para ahli psikologi klasik dalam memahami eksistensi perempuan. Jadi perilaku perempuan bukan ditentukan secara biologis, dan bukan pula mengidap kelainan psikis, tetapi karena budaya telah melabelkan perilaku yang banyak merugikan perempuan. Bukankah kalau biaya pendidikan terbatas, maka anak laki-laki yang diprioritaskan daripada anak perempuan? Bukankah kalau ada peluang prestasi di bidang karir antara karyawan dan karyawati, maka karyawan yang lebih didahulukan dipromosikan? Bukankah kalau dalam waktu bersamaan suami dan isteri harus bertugas ke luar rumah, maka isteri yang harus mengalah?

Banyak peristiwa dalam kehidupan keseharian yang menyudutkan kaum perempuan. Misalnya, perempuan dipandang memiliki sifat yang emosional, cengeng, dan mudah menangis. Jika ditelusuri dari akar penyebab perempuan itu suka menangis, tampaknya karena norma sosial membiarkan perempuan menangis dan sebaliknya mengecam laki-laki yang menangis. Dalam kaitan dengan sifat-sifat feminin dan maskulin, Beere (1979) berpendapat: “Apa yang dianggap sebagai ciri sifat feminin pada suatu kebudayaan tertentu tidak perlu dianggap sebagai ciri sifat feminin pada kebudayaan lain. Apa yang dahulu dianggap sebagai ciri-ciri yang membedakan sifat feminin dan maskulin, mungkin tidak berlaku lagi karena beberapa instrumen sudah kadaluwarsa” .

Adapun hujatan psikologi androcentrisme mengenai kecerdasan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki mendapat jawaban dari psikologi feminis berdasarkan hasil penelitian Wolley terhadap sejumlah mahasiswa perempuan dan laki-laki dalam kemampuan indrawi dan motorisnya. Ia menemukan, persamaan kemampuan intelektual perempuan dan laki-laki lebih besar daripada perbedaannya. Namun hasil penelitian Wolley tidak banyak diperhatikan dan dipopulerkan oleh psikologi androcentrisme, mereka tetap berpendirian bahwa laki-laki lebih intelek daripada perempuan, sambil mencari bukti untuk mempertahankan anggapannya itu. Akhirnya ditempuh penelitian lagi yang menemukan jawaban bahwa laki-laki lebih intelek karena ukuran otaknya lebih besar sesuai dengan berat dan tinggi tubuhnya. Hasil penelitian tersebut tidak memuaskan untuk kepentingan perempuan waktu itu. Psikologi feminis tertantang untuk mencari pembuktian dengan membandingkan berat otak lakilaki dan perempuan, dan dengan gembira psikologi feminis menemukan bukti terbaru dari hasil penelitiannya bahwa parietal lobes perempuan lebih besar, sedangkan frontal lobesnya lebih kecil. Hal inilah yang menyebabkan perempuan kurang intelek daripada laki-laki.

Penelitian-penelitian di bidang psikologi terus dilakukan, dan tidak lama kemudian dilaporkan bahwa bagian otak yang ada hubungannya dengan intelek adalah parietal lobes. Berdasarkan hasil temuan penelitian terhadap struktur otak, menunjukkan bahwa perempuan justru lebih intelek daripada laki-laki.

Kendatipun telah jauh menemukan berbagai bukti dari beberapa hasil penelitian tentang struktur otak manusia, namun psikologi androcentrisme tetap mempertahankan pandangan yang misoginis dengan cara mengalihkan pendapatnya bahwa kecerdasan perempuan tidak hanya dihubungkan dengan struktur otaknya, tetapi harus dihubungkan dengan mekanisme hormonalnya, di mana fungsi kecerdasan perempuan akan mengalami gangguan saat datangnya haid (menstruasi). Tentu saja Wolley (dalam Jalaludin Rahmat, 1994: 26) dengan berang membantah hasil penelitian tersebut dengan mengatakan: “Tidak ada satu bidang ilmu pun yang berusaha ilmiah, di mana bias pribadi yang busuk, logika yang dikorbankan untuk menopang prasangka, pernyataan yang tidak berdasar, dan bahkan ketololan yang sentimental berkembang begitu rupa seperti di sini (yakni psikologi)”. Demikian pula ahli psikologi Naomi Weinstein (dalam Jalaludin Rahmat, 1994) setelah melacak beberapa literatur psikologi waktu itu ia berpendapat: “Psikologi klasik sama sekali tidak membicarakan keadaan perempuan yang sebenarnya, apa yang sesungguhnya mereka butuhkan, karena psikologi memang tidak tahu” .

Gugatan kaum feminis ini sejak tahun 1920-an telah diramalkan akan meledak tidak tertahankan oleh Adler (dalam Jalaludin Rahmat, 1994) dengan mengatakan: “Penindasan terhadap perempuan pada suatu saat akan menimbulkan pemberontakan yang sudah tidak tertahankan lagi”. Inilah momentum saatnya kaum feminis mengukuhkan psikologi feminis untuk mengkonter pandangan-pandangan bias dari psikologi klasik yang androcentrisme.