Apa yang dimaksud dengan Perempuan dalam Pandangan Psikologi Klasik?

image
Perempuan selalu memiliki makna dalam setiap halnya, salah satunya dalam pandangan psikologi klasik.

Apa yang dimaksud dengan perempuan dalam pandangan psikologi klasik?

Psikologi klasik menggunakan paradigma androcentrism, yaitu suatu cara pandang dalam menjelaskan eksistensi perempuan berdasarkan norma laki-laki.

Betapa malangnya nasib perempuan karena mereka dipandang sebagai makhluk yang harus menyesuaikan (measure up) dengan norma yang dibuat laki-laki. Jika tidak pas dengan selera laki-laki, perempuan dianggap tidak normal. Menurut Jalaludin Rahmat perempuan digambarkan oleh psikologi androcentris sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan psikisnya untuk memelihara anak (kinder), memasak (kushe), dan beribadah (kireshe).

Untuk mempertahankan konsep yang misoginis dan memarginalkan perempuan, para ahli psikologi androcentris mengajukan teori tentang naluri keibuan (maternal instinctive) untuk konsep kinder, dan teori tugas keibuan (mothering mandate) untuk konsep kushe. Dengan teori-teori tersebut yang terus dipopulerkan, perempuan makin terhempas dari kegiatan publik. Perempuan hanya pantas berada di kawasan domestik untuk mengasuh anak, memasak, dan beribadah melayani keluarganya. Salah seorang ahli psikologi yang pandangannya sangat bias adalah Sigmund Freud dan dua orang muridnya, Eric Erikson dan Hellen Deutsch. Pandangan psikologi Freud sangat bias karena penelitian-penelitiannya hanya didasarkan pada laki-laki sebagai subjek penelitiannya. Freud tidak mengakomodasi pengalaman, visi, dan perspektif perempuan. Ia hanya menyusun pandangan yang sama untuk kedua jenis kelamin karena ia hidup tidak banyak bergaul dengan perempuan, kecuali putrinya, Anna. Freud sangat renggang hubungannya dengan isteri dan pasien-pasiennya yang perempuan, sehingga tidak memahami eksistensi perempuan yang sesungguhnya.

Erikson juga tidak mempelajari perempuan, sehingga ia hanya berspekulasi menggambarkan kerpibadian perempuan dengan cara membuat generalisasi dari kepribadian laki-laki dalam teorinya The Eight Stages of Man, yaitu delapan tahap perkembangan manusia yang dipandang sama antara perempuan dan laki-laki. Padahal kenyataannya, perkembangan kepribadian perempuan tidak mutlak melewati tahapan-tahapan sebagaimana yang terjadi pada laki-laki.

Helen Deutsch, sekalipun ia seorang perempuan, tetapi sebagian besar pandangannya masih androcentris mengikuti gurunya. Ia memperkokoh citra perempuan seperti digambarkan Freud. Menurutnya, perempuan memiliki karakteristik narcisisme, pasive, dan masochisme. Narcisisme adalah cinta dan kekaguman perempuan terhadap kecantikan dan keindahan tubuhnya sendiri dengan cara menghias dan mempercantik diri. Pasive adalah kecenderungan perempuan untuk bersikap pasrah, menyenangkan, dan mengikuti selera laki-laki. Masochisme adalah kesediaan perempuan untuk menderita sakit dan menyerah pada kekerasan.

Banyak pendangan yang dikembangkan oleh psikologi klasik untuk mengukuhkan stereotype perempuan. Misalnya, jika perempuan tidak suka berhias dan bersolek atau bersikap menentang dan sangat aktif, mereka dipandang sakit dan mengidap kelainan psikis. Dengan narcisisme, perempuan menjadi makhluk pemuas birahi laki-laki karena kecantikan, daya tarik, dan keanggunannya untuk dapat dijadikan kekasih atau isteri tercinta. Dengan masochisme, perempuan akan lebih reseptif secara seksual dan lebih keibuan. Dengan pasivitas, perempuan menjadi korban kebebasan dan perlakuan sewenang-wenang kaum laki-laki.

Para ahli psikologi klasik dengan serta merta menciptakan variabilitas untuk menggambarkan inferioritas perempuan. Perempuan tidak perlu melibatkan diri dalam kegiatan ilmiah karena kecerdasannya lebih rendah, struktur otaknya kurang terspesialisasi, dan kepribadiannya lebih emosional dibandingkan laki-laki. Demikian pula dikembangkan pandangan bahwa kecerdasan laki-laki itu menyimpang dari rata-rata dibandingkan dengan perempuan, sehingga yang paling cerdas mesti laki-laki, sedangkan perempuan moderat saja. Perbedaan kecerdasan ini disebabkan tengkorak perempuan lebih kecil daripada tengkorak laki-laki, demikian pula otak, ukuran, dan kapasitasnya lebih dekat dengan otak gorila daripada otak laki-laki yang paling maju.

Hipotesis tersebut di atas semakin meyakinkan pandangan psikologi klasik bahwa perempuan secara signifikan daya intelektualnya lebih rendah daripada laki-laki. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan kiprah perempuan di berbagai bidang kehidupan, seperti bidang sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang lebih rendah daripada kiprah laki-laki, seperti disinyalir oleh Jalaludin Rahmat.

Sampai saat ini sejumlah pengetahuan yang dikembangkan oleh psikolog akademisi tampaknya mendukung kepercayaan stereotype tentang kemampuan dan karakteristik psikologis perempuan dan lakilaki. Kepercayaan seperti itu kebetulan mendukung ketimpangan (perbedaan) yang ada di antara kedua jenis kelamin ini dalam bidang politik, hukum dan ekonomi.

Padahal hipotesis yang terbukti secara kebetulan itu tidak dapat dijustifikasi secara ilmiah, karena tidak didukung oleh bukti empirik yang meyakinkan. Pantaslah Freud dikritik pandangannya habishabisan oleh Adler dengan mengatakan, “Semua lembaga kita, sikap tradisional kita, hukum kita, moral kita, adat kita, memberikan bukti bahwa semuanya dipertahankan oleh laki-laki yang mempunyai hak istimewa dan untuk kejayaan dominasi laki-laki”
Psikologi klasik menggunakan paradigma androcentrism, yaitu suatu cara pandang dalam menjelaskan eksistensi perempuan berdasarkan norma laki-laki.

Betapa malangnya nasib perempuan karena mereka dipandang sebagai makhluk yang harus menyesuaikan (measure up) dengan norma yang dibuat laki-laki. Jika tidak pas dengan selera laki-laki, perempuan dianggap tidak normal. Menurut Jalaludin Rahmat perempuan digambarkan oleh psikologi androcentris sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan psikisnya untuk memelihara anak (kinder), memasak (kushe), dan beribadah (kireshe).

Untuk mempertahankan konsep yang misoginis dan memarginalkan perempuan, para ahli psikologi androcentris mengajukan teori tentang naluri keibuan (maternal instinctive) untuk konsep kinder, dan teori tugas keibuan (mothering mandate) untuk konsep kushe. Dengan teori-teori tersebut yang terus dipopulerkan, perempuan makin terhempas dari kegiatan publik. Perempuan hanya pantas berada di kawasan domestik untuk mengasuh anak, memasak, dan beribadah melayani keluarganya. Salah seorang ahli psikologi yang pandangannya sangat bias adalah Sigmund Freud dan dua orang muridnya, Eric Erikson dan Hellen Deutsch. Pandangan psikologi Freud sangat bias karena penelitian-penelitiannya hanya didasarkan pada laki-laki sebagai subjek penelitiannya. Freud tidak mengakomodasi pengalaman, visi, dan perspektif perempuan. Ia hanya menyusun pandangan yang sama untuk kedua jenis kelamin karena ia hidup tidak banyak bergaul dengan perempuan, kecuali putrinya, Anna. Freud sangat renggang hubungannya dengan isteri dan pasien-pasiennya yang perempuan, sehingga tidak memahami eksistensi perempuan yang sesungguhnya.

Erikson juga tidak mempelajari perempuan, sehingga ia hanya berspekulasi menggambarkan kerpibadian perempuan dengan cara membuat generalisasi dari kepribadian laki-laki dalam teorinya The Eight Stages of Man, yaitu delapan tahap perkembangan manusia yang dipandang sama antara perempuan dan laki-laki. Padahal kenyataannya, perkembangan kepribadian perempuan tidak mutlak melewati tahapan-tahapan sebagaimana yang terjadi pada laki-laki.

Helen Deutsch, sekalipun ia seorang perempuan, tetapi sebagian besar pandangannya masih androcentris mengikuti gurunya. Ia memperkokoh citra perempuan seperti digambarkan Freud. Menurutnya, perempuan memiliki karakteristik narcisisme, pasive, dan masochisme. Narcisisme adalah cinta dan kekaguman perempuan terhadap kecantikan dan keindahan tubuhnya sendiri dengan cara menghias dan mempercantik diri. Pasive adalah kecenderungan perempuan untuk bersikap pasrah, menyenangkan, dan mengikuti selera laki-laki. Masochisme adalah kesediaan perempuan untuk menderita sakit dan menyerah pada kekerasan.

Banyak pendangan yang dikembangkan oleh psikologi klasik untuk mengukuhkan stereotype perempuan. Misalnya, jika perempuan tidak suka berhias dan bersolek atau bersikap menentang dan sangat aktif, mereka dipandang sakit dan mengidap kelainan psikis. Dengan narcisisme, perempuan menjadi makhluk pemuas birahi laki-laki karena kecantikan, daya tarik, dan keanggunannya untuk dapat dijadikan kekasih atau isteri tercinta. Dengan masochisme, perempuan akan lebih reseptif secara seksual dan lebih keibuan. Dengan pasivitas, perempuan menjadi korban kebebasan dan perlakuan sewenang-wenang kaum laki-laki.

Para ahli psikologi klasik dengan serta merta menciptakan variabilitas untuk menggambarkan inferioritas perempuan. Perempuan tidak perlu melibatkan diri dalam kegiatan ilmiah karena kecerdasannya lebih rendah, struktur otaknya kurang terspesialisasi, dan kepribadiannya lebih emosional dibandingkan laki-laki. Demikian pula dikembangkan pandangan bahwa kecerdasan laki-laki itu menyimpang dari rata-rata dibandingkan dengan perempuan, sehingga yang paling cerdas mesti laki-laki, sedangkan perempuan moderat saja. Perbedaan kecerdasan ini disebabkan tengkorak perempuan lebih kecil daripada tengkorak laki-laki, demikian pula otak, ukuran, dan kapasitasnya lebih dekat dengan otak gorila daripada otak laki-laki yang paling maju.

Hipotesis tersebut di atas semakin meyakinkan pandangan psikologi klasik bahwa perempuan secara signifikan daya intelektualnya lebih rendah daripada laki-laki. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan kiprah perempuan di berbagai bidang kehidupan, seperti bidang sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang lebih rendah daripada kiprah laki-laki, seperti disinyalir oleh Jalaludin Rahmat.

Sampai saat ini sejumlah pengetahuan yang dikembangkan oleh psikolog akademisi tampaknya mendukung kepercayaan stereotype tentang kemampuan dan karakteristik psikologis perempuan dan lakilaki. Kepercayaan seperti itu kebetulan mendukung ketimpangan (perbedaan) yang ada di antara kedua jenis kelamin ini dalam bidang politik, hukum dan ekonomi.

Padahal hipotesis yang terbukti secara kebetulan itu tidak dapat dijustifikasi secara ilmiah, karena tidak didukung oleh bukti empirik yang meyakinkan. Pantaslah Freud dikritik pandangannya habishabisan oleh Adler dengan mengatakan, “Semua lembaga kita, sikap tradisional kita, hukum kita, moral kita, adat kita, memberikan bukti bahwa semuanya dipertahankan oleh laki-laki yang mempunyai hak istimewa dan untuk kejayaan dominasi laki-laki”