Istilah dan Pengertian Penyidikan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua 1989 halaman 837, mengemukakan yang dimaksud penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana.[1] Istilah penyidikan sinonim dengan pengusutan yang merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Belanda yaitu opsporing atau onderzoek atau dalam Bahasa Inggrisnya ialah investigation. [2] Opsporing dapat mempunyai arti juga yaitu sudah terjadi delik. Padahal mungkin saja dalam menyidik tidak ada delik yang terjadi. Contoh di Indonesia ialah kasus Sengkon dan Karta.[3]
Ketentuan umum didalam Het Herziene Inlands Reglement (HIR) tidak mencantumkan definisi atau perumusan yang tegas perihal penyidikan. Istilah lain yang dipakai untuk menyebut penyidikan ialah mencari kejahatan dan pelanggaran serta pengusutan. Pengusutan ialah aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, yang dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau diduga terjadinya suatu tindak pidana. Aksi atau tindakan tersebut ialah mencari keterangan tentang apa yang terjadi dan mengungkapkan siapa yang melakukan atau yang disangka melakukan tindak pidana tersebut. [4]
Istilah penyidikan menjadi istilah yuridis dalam Undang-Undang No.13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.[5]
Pengertian penyidikan dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP ialah:[6]
Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pengertian penyidikan menurut KUHAP dan HIR mempunyai perbedaan yang mendasar. Penyidikan menurut HIR dimulai sejak terjadi atau sejak ada persangkaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Sedangkan menurut KUHAP, penyidikan tidak dilakukan karena ada suatu persangkaan adanya tindak pidana, melainkan penyidikan dilakukan karena sudah ada peristiwa pidana. KUHAP mengatur istilah terhadap tindakan aparat yang mempersangkakan suatu peritiwa merupakan peristiwa pidana atau tidak yaitu penyelidikan.
Pasal 1 Butir 5 KUHAP menyatakan :[7]
Penyelidikan ialah serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan pidana.
Sebelum dilakukan penyidikan, dilakukan dahulu penyelidikan. Maksud dan tujuannya ialah mengumpulkan segala data dan fakta untuk menentukan suatu peristiwa merupakan peristiwa pidana atau tidak. Bila peristiwa tersebut merupakan peristiwa pidana, maka dapat dilakukan tindakan penyidikan. [8] Berdasarkan uraian diatas, pengertian penyidikan menurut KUHAP lebih sempit daripada yang diatur dalam HIR. Pengertian penyidikan dan penyelidikan yang dimaksud KUHAP tercakup pengertian penyidikan yang dimaksud dalam HIR.[9]
Pejabat Penyidik Beserta Tugas dan Wewenangnya
1. Pada Masa Keberlakuan Het Herziene Reglement Inlands Reglement
Pada masa sebelum keberlakuan HIR, Pasal 57 IR menyatakan jaksa sebagai penyidik berada di bawah kekuasaan bupati sebagai kepala kepolisian. Pejabat yang diberikan kewenangan menyidik menurut Pasal 39 HIR, yaitu :[10]
-
Kepala desa serta pegawai polisi desa
-
Kepala distrik (wedana) dan kepala onderdistrik (Asisten wedana atau camat) juga menteri polisi yang dibantukan kepadanya
-
Pegawai dan pejabat polisi umum (polisi Negara)
-
Jaksa dan Pengadilan Negeri
-
Mereka yang dengan peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh mencari perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud didalam peraturan itu, yakni sekedar yang mengenai perbuatan yang dimaksud itu
-
Pegawai polisi yang tidak digaji
Djoko Prakoso membagi ke dalam dua kelompok terhadap pejabat penyidik tersebut, yaitu:[11]
-
Pegawai penyidik biasa yaitu kepala desa dan pegawai polisi desa. Tugas dan wewenangnya sebagai penerima laporan dan atau pengaduan mengenai tindak pidana dalam hal tertangkap tangan
-
Pegawai penyidik penuntut umum dan penyidik jaksa pembantu.
Pasal 46 ayat (2) HIR menyatakan pegawai penyidik penuntut umum ialah para jaksa pada Pengadilan Negeri. Penyidik jaksa pembantu menurut Pasal 53 Ayat (1) HIR ialah:[12]
-
Kepala Distrik (Wedana) dan Kepala Onderdistrik (Asisten Wedana atau Camat)
-
Pegawai-pegawai polisi umum (Polisi Negara)
-
Pegawai Polisi istimewa yang ditunjuk oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur.
Peranan serta kedudukan Polisi Negara adalah sebagai pembantu jaksa sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (1) HIR sepanjang menyangkut pelaksanaan penyidikan perkara pidana. Sehingga dapat dikatakan, sistem hukum acara pidana yang termuat dalam HIR menentukan Polisi sebagai tangan kanan jaksa dalam pelaksanaan penyidikan.
Jaksa pembantu berwenang menerima pengaduan dan pemberitahuan tentang kejahatan dan pelanggaran. Dalam hal penyidikan dilakukan bersama-sama oleh penuntut umum, maka Jaksa pembantu harus menyerahkan penyidikan itu kepada penuntut umum. Pengecualiannya ialah jika Penuntut umum menyerahkan penyidikan atau memerintahkan Jaksa pembantu membantu penyidikan yang dilakukan oleh Penuntut umum (Pasal 54 HIR). Jaksa pembantu berhak melanjutkan pemeriksaan selama penuntut umum tidak memberitahukan kepadanya bahwa ia sendiri yang akan melakukan pemeriksaan. Dalam hal penuntut umum menyerahkan pemeriksaan itu kepada Jaksa pembantu, maka Jaksa pembantu harus mengindahkan perintah atau petunjuk dari penuntut umum (Pasal 74 HIR).[13]
Polisi Negara yang statusnya sebagai jaksa pembantu dalam penyidikan, setelah keberlakuan Undang-Undang No.13 Tahun 1961 Tentang Pokok-Pokok Kepolisian, Pasal 12 menyatakan polisi sebagai penyidik, yang bunyinya penyidikan perkara dilakukan oleh pejabat kepolisian tertentu dan untuk peraturan selanjutnya diatur oleh Peraturan Menteri. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.15 Tahun 1961 secara eksplisit juga menyatakan kejaksaan sebagai penyidik yang menyatakan :
Kejaksaan mempunyai tugas mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.
Menurut R.Soesilo pada masa keberlakuan HIR, Pejabat yang berperan penting dalam proses penyelesaian perkara pidana dalam pengadilan atau magistratuur ada dua, yaitu :
-
Hakim atau zittende magistratuur (jaksa duduk)
-
Penuntut umum atau staande magistratuur (jaksa berdiri)
Hakim disebut jaksa duduk karena hakim dalam mengucapkan putusannya dengan duduk di kursinya. Sedangkan penuntut umum disebut jaksa berdiri karena penuntut umum mengucapkan tuntutanya dengan berdiri. [14] Penuntut umum berwenang melimpahkan perkara ke sidang Pengadilan dan diharuskan membuktikan segala dakwaan yang telah ia buat didalam sidang pengadilan. Sedangkan hakim hanya memutuskan suatu perkara dan tidak dapat meminta suatu delik diajukan kepadanya. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. [15] Hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum. Sedangkan penuntut umum harus lebih bersifat aktif karena ia mempunyai tanggung jawab dalam penuntutan yang telah ia limpahkan ke sidang pengadilan. Aktif disini berarti ia harus membuktikan segala dakwaan yang telah ia buat didalam sidang pengadilan
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penuntutan ialah keberhasilan penyidikan. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan kegagalan penuntut umum dalam proses penuntutan di pengadilan. [16] Oleh karena itu, demi keberhasilan membuktikan dakwaan, penuntut umum diberi kewenangan untuk menyidik perkara pidana. Pasal 46 Ayat (1) HIR menyatakan :[17]
Pegawai-pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri diwajibkan karena jabatannya mengusut dengan seksama sekalian kejahatan dan pelanggaran dan menuntutnya yaitu yang masuk ke dalam pengadilan negeri.
Ketentuan Pasal 46 Ayat (2) HIR selanjutnya mengatakan jika tidak ditentukan orang lain, jaksa ialah pegawai penuntut umum. Berdasarkan uraian tersebut maka jaksa selaku penuntut umum juga berwenang melakukan penyidikan.[18]
2. Pada Masa Keberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Keberlakuan KUHAP merupakan realisasi dari unifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana. Tujuannya agar masyarakat dapat menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai fungsi dan wewenangnya.[19] Setiap instansi aparat harus merupakan sub sistem yang mendukung total sistem proses penegakan hukum dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. Keberlakuan KUHAP merupakan langkah pembinaan menuju suatu pelembagaan alat-alat kekuasaan penegak hukum dalam suatu pola law enforcement centre.[20]
Law enforcement centre ialah suatu lembaga yang menghimpun alat-alat penegak kekuasaan hukum dalam sistem penegak yang terpadu dalam suatu sentra penegakan hukum. Dalam sentra ini, berlangsung proses penegakan hukum dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sehingga, dalam penertiban aparat yang pertama dilakukan ialah pemolaan dan penjernihan fungsi dan wewenang diantara sesama instasi penegak hukum. [21] Pada masa sebelum keberlakuan KUHAP, terdapat beberapa pejabat yang mempunyai kewenangan penyidik. Sehingga KUHAP mencoba membidangkan tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum. Pembidangan tersebut tidak berarti mengkotak-kotakkan tugas, wewenang, dan tanggung jawab tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi.[22]
Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (Polri)
Pasal 6 KUHAP menyatakan penyidik adalah :[23]
-
(a).Pejabat polisi negara Republik Indonesia
(b) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
-
Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan diatas, penyidikan merupakan kewenangan dari Pejabat polisi negara Republik Indonesia (Polri) dan pegawai negeri sipil yang ditunjuk (PPNS). Agar para pejabat yang dimaksud mempunyai keweangan menyidik maka harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan tertentu. Syarat-syarat kepangkatan penyidik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27. Tahun 1983.[24]
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan sebagai berikut :[25]
-
Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi
-
Atau berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua
-
Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat
(1) KUHAP, yaitu:[26]
-
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
-
melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian
-
menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
-
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
-
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
-
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
-
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
-
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
-
Mengadakkan penghentian penyidikan
-
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pada daerah terpencil terdapat keterbatasan tenaga Polri dengan pangkat tertentu untuk diangkat menjadi penyidik. Pasal 11 KUHAP menyatakan pejabat polisi dapat diangkat sebagai penyidik pembantu, yang syarat kepangkatannnya sebagai berikut :[27]
-
Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi
-
Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a)
-
Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Terminologi kepolisian sebagai penyidik tunggal, secara teknis yuridis tidak tepat. Istilah penyidik tunggal dapat menimbulkan penafsiran keliru, yaitu seolah-olah Polri hanya satu-satunya pejabat penyidik. Menurut Pasal 6 KUHAP, penyidik terdiri dari polisi dan PPNS. Oleh karena itu lebih tepat disebut penyidik polri daripada polri sebagai penyidik tunggal. [28]
Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur PPNS dapat mempunyai wewenang menyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan. Misalnya Undang-Undang Merek No.19 Tahun 1992 yang diubah menjadi Undang-Undang No.14 Tahun 1997. Pasal 80 Undang-Undang ini menegaskan kewenangan mealkukan penyidikan tindak pidana merek dilimpahkan kepada PPNS.[29]
Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh PPNS hanya terbatas sepanjang tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi : [30]
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud pada Pasal 6 Ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaa tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.
Hubungan kordinasi antara PPNS dan Penyidik Polri ialah :[31]
-
PPNS tertentu dalam pelasanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP)
-
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP)
-
PPNS harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan ituoleh PPNS ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP)
-
Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan PPNS melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP)
-
Dalam hal PPNS tertentu, menghentikan penyidikan, segera memberitahukan hal itu kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP).
Kejaksaan Sebagai Penyidik
Berdasarkan uraian terdahulu, telah diketahui lembaga kejaksaan berwenang untuk menyidik. Penyidikan yang dilakukan sebatas tindak pidana khusus, yaitu :
-
Tindak Pidana Korupsi, dasar hukumnya ialah Pasal 284 Ayat (2) KUHAP jo. Pasal 30 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia jo. Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
-
Tindak Pidana Hak Asasi Manusia, dasar hukumnya ialah Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Peradilan HAM jo. Pasal 30 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Secara umum pengaturan spesialisasi fungsional dan prinsip hukum dalam KUHAP ialah kejaksaan melepaskan wewenang penyidikan dan diberikan kepada Polri. Namun Pasal 284 Ayat (2) KUHAP sebagai ketentuan peralihan dari periode HIR ke KUHAP masih menyisakan kewenangan penyidikan kepada penuntut umum sepanjang tindak pidana tertentu. Fungsi dari ketentuan peralihan ialah menampung hal-hal yang belum tuntas diatur dalam undang-undang baru. Sehingga tidak terjadi kekosongan hukum bila ada suatu hal yang belum diatur undang-undang yang baru. KUHAP tidak mengatur hukum acara pidana yang mengenai tindak pidana khusus.[32]
Perbandingan Fungsi dan Wewenang Lembaga Kejaksaan Sebagai Lembaga Penyidik Pada Saat Keberlakuan Undang-Undang No.15 Tahun 1961 jo. Undang-Undang No.5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Tugas dan wewenang kejaksaan dalam bidang penyidikan menurut Pasal 1 jo Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, yaitu :[33]
-
(a) Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada Pengadilan yang berwenang.
(b) Menjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana.
-
Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan- ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.
-
Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara.
-
Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kemudian dicabut keberlakuannya dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Pencabutan ini demi upaya pembaruan hukum nasional untuk memantapkan kejaksaan sebagai lembaga penuntutan.[34] Tugas dan wewenang Kejaksaan dalam bidang penyidikan perkara pidana menurut Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor.5 Tahun 1991, yaitu:[35]
-
Melakukan penuntutan dalam perkara pidana.
-
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan.
-
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat.
-
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Pengertian pemeriksaan lanjutan ialah kejaksaan dalam melengkapi berkas perkara dapat melakukan penyidikan tambahan dengan syarat sebagai berikut:
-
Tidak dilakukan terhadap tersangka.
-
Hanya terhadap perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat, dan atau yang dapat membahayakan keselamatan negara.
-
Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilaksakan ketentuan Pasal 110 jo. Pasal 138 ayat (2) KUHAP.
-
Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.[36]
Berdasarkan ketentuan tersebut, kejaksaan berwenang untuk menyidik tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Karena dalam Penjelasan Pasal 32 Huruf b yang dimaksud dengan perkara pidana tertentu ialah perkara-perkara pidana yang dapat meresahkan masyarakat luas, dan atau dapat membahayakan keselamatan negara, dan atau dapat merugikan perekonomian negara. Sehingga kejaksaan dapat melakukan pemeriksaan tambahan dalam tindak pidana umum atau tindak pidana tertentu asal memenuhi persyaratan alternatif dari sulit pembuktian, meresahkan masyarakat, dan membahayakan negara.[37]
Selain ketentuan itu, Pasal 32 huruf b juga mengatur Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instruksi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden.[38]
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI kemudian keberlakuannya dan digantikan dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2004. Tugas dan wewenang Kejaksaan dalam bidang penyidikan perkara pidana menurut Pasal 30 Undang-Undang No.16 Tahun 2004, yaitu:[39]
-
Melakukan Penuntutan
-
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh keuatan hukum tetap
-
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.
-
Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang
-
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik.
Pemberlakuan Undang-Undang Kejaksaan No.16 Tahun 2004, secara tegas mengatur wewenang penyidikan oleh Kejaksaan. Pada Undang-Undang Kejaksaan sebelumnya tidak dinyatakan secara tegas bila kejaksaan dapat menyidik melainkan hanya dinyatakan secara implisit. Mengenai pemeriksaan tambahan pada ketentuan tersebut, pengaturannya ialah sama dengan Pasal 27 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor.5 Tahun 1991.
[details=“Referensi”]
[1] Harun M. Husein., Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, (Rineka Cipta:1991), hal.1.
[2] Yan Pramudya Puspa., Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia Inggris, (CV. Aneka:1970) hal.645.
[3] A.Hamzah dan Irdan Dahlan., Perbandingan KUHAP, HIR, dan Komentar, (Ghalia Indonesia:1984) hal. 26.
[4] Djoko Prakoso (a), Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, (PT.Bina Aksara:1987) hal.5.
[5] Ibid.
[6] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961. ps. 1 angka 2.
[7] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961, ps. 1 butir 5.
[8] Harun M. Husein, Op.Cit., hal. 90.
[9] Djoko Prakoso (a), Op.Cit., hal 52.
[10] Djoko Prakoso (b), Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana, (Bina Aksara:1987) hal.11
[11] Djoko Prakoso (a), Op.Cit., hal 9.
[12] Ibid., hal.10.
[13] Djoko Prakoso (a), Ibid., hal.29.
[14] R.Soesilo Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak HUkum). PT Karya Nusantara 1982, hal 32.
[15] Andi Hamzah (b), Op.Cit., hal 13.
[16] mahkamahkonstitusi. go.id/putusan_sidang.php,
[17] R.Soesilo (a), Op.Cit., hal 31.
[18] Ibid.
[19] Djoko Prakoso (b), Op.Cit., hal.5
[20] Yahya Harahap (a), Op. Cit., hal.62.
[21] Ibid.
[22] Djoko Prakoso (b), Op.Cit., hal.6.
[23] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961, ps. 6.
[24] Yahya Harahap (a), Op. Cit., hal.111.
[25] Ibid.
[26] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961, ps. 7 ayat (1).
[27] Yahya Harahap (a), Op.Cit., hal.111
[28] Harun M. Husein, Op.Cit., hal.88.
[29] Yahya Harahap (a), Op.Cit., hal.112.
[30] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961, ps. 7 ayat (2).
[31] Yahya Harahap (a), Op.Cit., hal.113.
[32] Yahya Harahap(a), Op.Cit., hal.367
[33] Indonesia, Undang-undang Tentang Pokok-pokok Kepolisian. UU No.13 Tahun 1961 LN No. 245 TLN Tahun 1961 No. 2289, ps. 1 jo. ps. 2.
[34] Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, menimbang huruf a.
[35] Ibid., ps.27 ayat (1).
[36] Ibid., penjelasan ps 27 ayat (1) huruf d.
[37] Narendra Jatna, Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara, (Skripsi: 1993) hal 54.
[38] Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981 LN No. 76 Tahun 1981 TLN No. 3209, ps.32 huruf b.
[39] Indonesia, Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999 LN No. 75 TLN No. 3851., ps.30.[/details]