Apa yang dimaksud dengan Penyidikan?

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya

Apa yang dimaksud dengan Penyidikan ?

Penyidikan merupakan tahap awal dari proses penegakan hukum pidana atau bekerjanya mekanisme Sistem Peradilan Pidana. Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek) yang seyogyanya di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan “bukti faktual” penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang di duga erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.

Penyidikan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk menentukan berhasil tidaknya proses penegakan hukum pidana selanjutnya. Pelaksanaan penyidikan yang baik akan menentukan keberhasilan Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan selanjutnya memberikan kemudahan bagi hakim untuk menggali/menemukan kebenaran materiil dalam memeriksa dan mengadili di persidangan.

Definisi Penyelidikan Berdasarkan Undang-Undang

Akan tetapi sebelum diadakannya penyidikan maka harus terlebih dahulu diadakan penyelidikan. Untuk lebih jelasnya maka berikut ini adalah pengertian penyelidikan menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia :

  • Pasal 1 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa,

    “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

  • Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan,

    “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

  • Pasal 1 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengorganisasian Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa,

    “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

  • Pasal 1 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa,

    “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

Definisi Penyidikan Berdasarkan Undang-Undang

  • Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa,

    “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

  • Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa,

    “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

  • Pasal 1 ayat (4) Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengorganisasian menyebutkan bahwa,

    “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

  • Pasal 1 ayat (5) Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengorganisasian menyebutkan bahwa,

    “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

    Maka dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan penyidikan merupakan upaya paksa yang meliputi kegiatan untuk melakukan pemanggilan, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang di maksud sebagai penyidik adalah :

    1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;

    2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

    Penyidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan penindakan/upaya paksa, pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Dalam hal ini mulai dari proses pembuatan laporan polisi, penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, pemberkasan, hingga penyerahan berkas perkara dan tersangka serta barang bukti (P-21), sehingga tindakan yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu dalam setiap upaya atau langkah tindakannya dapat berjalan efektif dan efisien dalam rangka penegakan hukum.

    Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana. Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing.

    Menurut Pinto :

    Menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.

    Istilah lain yang dipakai untuk menyebut istilah penyidikan adalah mencari kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau di duga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya.

    Penyidikan itu dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti- bukti yang pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya masih sementara kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menetukan dapat atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan itu dilakukan penuntutan.

    Secara konkrit tindakan itu disebut penyidikan dan dapat diperinci sebagai tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang :

    1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan,
    2. Kapan tindak pidana itu dilakukan,
    3. Di mana tindak pidana itu dilakukan,
    4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan,
    5. Bagaimana tindak tidana itu dilakukan,
    6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan dan,
    7. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.

    Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan oleh penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses penyidikan itu dinyatakan selesai.

  1. Proses Penyidikan Oleh Polri Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
    Penyidikan mulai dapat di laksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasarkan surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.

    Karena kewajibanya tersebut maka penyidik mempunyai wewenang seperti yang diuraikan di dalam Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai berikut :

    Pasal 7

    (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

    a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

    b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

    c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengena diri tersangka;

    d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

    e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

    f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

    g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

    h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

    i. mengadakan penghentian penyidikan;

    j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

    Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :

    a. Penangkapan

    Pasal 1 ayat (20) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa ,

    “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

    Sedangkan Pasal 16 dan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan mengenai tujuan penangkapan adalah sebagai berikut :

    Pasal 16

    (1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.

    (2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.

    Pasal 17

    Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

    b. Penggeledahan

    Di dalam Pasal 1 ayat (17) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa,

    “Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini”.

    Adapun tujuan penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik adalah untuk mendapatkan barang bukti sehubungan dengan adanya tindak pidana. Oleh sebab itu dalam Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan mengenai tujuan dilakukanya penggeledahan adalah sebagai berikut :

    Pasal 32

    Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

    c. Penyitaan

    Pengertian penyitaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (16) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa,

    “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”.

    Dalam pelaksanaan penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu adanya suatu pembatasan-pembatasan dalam penyitaan, antara lain keharusan adanya izin ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapat persetujuannya.

    d. Penahanan

    Pasal 1 ayat (21) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa,

    “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

    Sementara itu, dalam Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan mengenai kegunaan dilakukannya penahanan adalah sebagai berikut :

    “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

    Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi disini terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.

    e. Penyerahan Berkas Perkara ke Kejaksaan

    Jika penyidik telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Hal tersebut diatur didalam Pasal 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatakan bahwa,

    “Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara terdiri dari dua tahap dimana pada tahap pertama penyidik menyerahkan berkas perkara, apabila telah dianggap lengkap maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Kegiatan ini merupakan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik”.

    Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum. Bila belum, maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap maka dapat dilihat dalam waktu empat belas hari. Jika penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tesebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat di lanjutkan prosesnya ke persidangan.

    Keseluruhan proses penyidikan yang telah dilakukan oleh Penyidik Polri tersebut kemudian akan dilanjutkan oleh Kejaksaan dalam hal mempersiapkan penuntutan yang akan diajukan dalam sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada terdakwa yang kesemuanya itu berlangsung dalam suatu sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.

  2. Proses Penyidikan Berdasarkan Perkap Polri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

    Didalam menjalankan tugasnya sebagai garis awal dalam sebuah proses Peradilan Pidana, Polri juga dibekali dengan beberapa peraturan-peraturan tertentu mengenai proses penyelidikan dan penyidikan. Seperti halnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penyelidikan juga dijelaskan kembali didalam Pasal 1 ayat (9) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana sebagai berikut :

    “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

    Penyidikan juga diuraikan kembali didalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana sebagai berikut :

    “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

    Selain itu, di dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan lebih rinci lagi bahwa,

    “Manajemen Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian”.

    Didalam Pasal 11 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan bahwa :

    (1) Kegiatan penyelidikan dilakukan:

    a. sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan; dan

    b. sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam rangka penyidikan.

    (2) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan untuk mencari dan menemukan Tindak Pidana.

    (3) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan penyidikan untuk:

    a. menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau bukan;
    b. membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya; dan
    c. dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa.

    Didalam Pasal 17 ayat (1 dan 2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan langkah-langkah yang harus diambil oleh pihak penyidik adalah sebagai berikut :

    Pasal 17

    (1) Sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan.
    (2) Rencana penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat:

    a. jumlah dan identitas penyidik;

    b. sasaran/target penyidikan;

    c. kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap penyidikan;

    d. karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik;

    e. waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara;

    f. kebutuhan anggaran penyidikan; dan

    g. kelengkapan administrasi penyidikan.

    Didalam Pasal 24 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan kembali hal-hal apa saja yang dilakukan dalam proses peyelidikan.

    Pasal 24

    Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dilaksanakan melalui kegiatan:

    a. pengolahan TKP:

    1. mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas tersangka, dan Saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya;
    2. mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti; dan
    3. memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi;

    b. pengamatan (observasi):

    1. melakukan pengawasan terhadap objek, tempat, dan lingkungan tertentu untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan; dan
    2. mendapatkan kejelasan atau melengkapi informasi yang sudah ada berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya;

    c. wawancara (interview):

    1. mendapatkan keterangan dari pihak-pihak tertentu melalui teknik wawancara secara tertutup maupun terbuka; dan
    2. mendapatkan kejelasan tindak pidana yang terjadi dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana, dan bilamana;

    d. pembuntutan (surveillance):

    1. mengikuti seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana atau orang lain yang dapat mengarahkan kepada pelaku tindak pidana;
    2. mencari tahu aktivitas, kebiasaan, lingkungan, atau jaringan pelaku tindak pidana; dan
    3. mengikuti distribusi barang atau tempat penyimpanan barang hasil kejahatan;

    e. pelacakan (tracking):

    1. mencari dan mengikuti keberadaan pelaku tindak pidana dengan menggunakan teknologi informasi;
    2. melakukan pelacakan melalui kerja sama dengan Interpol, kementerian/lembaga/badan/komisi/instansi terkait; dan
    3. melakukan pelacakan aliran dana yang diduga dari hasil kejahatan;

    f. penyamaran (undercover):

    1. menyusup ke dalam lingkungan tertentu tanpa diketahui identitasnya untuk memperoleh bahan keterangan atau informasi;
    2. menyatu dengan kelompok tertentu untuk memperoleh peran dari kelompok tersebut, guna mengetahui aktivitas para pelaku tindak pidana; dan
    3. khusus kasus peredaran narkoba, dapat digunakan teknik penyamaran sebagai calon pembeli (undercover buy), penyamaran untuk dapat melibatkan diri dalam distribusi narkoba sampai tempat tertentu (controlled delivery), penyamaran disertai penindakan/pemberantasan (raid planning execution);

    g. penelitian dan analisis dokumen, yang dilakukan terhadap kasus-kasus tertentu dengan cara:

    1. mengkompulir dokumen yang diduga ada kaitan dengan tindak pidana; dan
    2. meneliti dan menganalisis dokumen yang diperoleh guna menyusun anatomi perkara tindak pidana serta modus operandinya.

    Setelah diadakannya penyelidikan, maka langkah berikutnya adalah melakukan penyidikan. Akan tetapi, dalam mengambil langkah-langkah penyidikan tersebut, perlu diketahui dasar dilakukannya sebuah penyidikan adalah seperti yang diuraikan didalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan bahwa :

    Pasal 4

    Dasar dilakukan Penyidikan:

    a. laporan polisi/pengaduan;

    b. surat perintah tugas;

    c. laporan hasil penyelidikan (LHP);

    d. surat perintah penyidikan; dan

    e. SPDP.

    Tahap-tahap dalam penyidikan diuraikan didalam Pasal 15 dan 17 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yaitu :

    Pasal 15

    Kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi:

    a. penyelidikan;

    b. pengiriman SPDP;

    c. upaya paksa;

    d. pemeriksaan;

    e. gelar perkara;

    f. penyelesaian berkas perkara;

    g. penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;

    h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan

    i. penghentian Penyidikan.

    Dalam hal melakukan penyidikan, maka penyidikan dilakukan berdasarkan Laporan Polisi seperti yang diuraikan didalam Pasal 14 ayat (1-3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

    (1) Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan surat perintah penyidikan.

    (2) Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Siaga Bareskrim Polri dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B.

    (3) Setelah Laporan Polisi dibuat, penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di SPKT atau Siaga Bareskrim Polri segera menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara pemeriksaan saksi pelapor.

Pengertian penyidikan


Istilah penyidikan dipakai sebagai istilah hukum pada Tahun 1961, yaitu sejak dimuatnya dalam Undang-Undang pokok kepolisian No. 13 Tahun 1961. Sebelumnya dipakai istilah pengusutan yang merupakan terjemah dari bahasa Belanda, yaitu opsporin. Pasal 1 butir 2 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP diuraikan bahwa:

“penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” Berbicara mengenai penyidikan tidak lain dari membicarakan masalah pengusutan kejahatan atau pelanggaran, orang Inggris lazim menyebutnya dengan istilah ”criminal investigation"

Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah dilakukannya. Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun keterangan dengan fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu. Penyidikan yang diatur dalam undang-undang, ini dapat dilaksanakan setelah diketahui bahwa suatu peristiwa telah terjadi tindak pidana dimana dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP berbunyi bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

Penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang :

  • Tindak pidana apa yang telah dilakukan
  • Kapan tindak pidana itu dilakukan
  • Dimana tindak pidana itu dilakukan
  • Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
  • Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
  • Mengapa tindak pidana itu dilakukan
  • Siapa pembuatnya

Proses penyidikan tindak pidana, bahwa penyidikan meliputi :

  • Penyelidikan
  • Penindakan
    • Pemanggilan
    • Penangkapan
    • Penahanan
    • Penggeledahan
    • Penyitaan
      *Pemeriksaan
    • Saksi
    • Ahli
    • tersangka
  • Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara
    • Pembuatan resume
    • penyusunan berkas perkara
    • penyerahan berkas perkara

Kegiatan Penyidikan


  • Penyidikan berdasarkan informasi atau laporan yang diterima maupun yang di ketahui langsung oleh penyidik, laporan polisi, berita acara pemeriksaan tersangka, dan berita acara pemeriksaan saksi.

  • Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap orang maupun barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Penindakan hukum tersebut berupa pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

  • Pemeriksaan adalah merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti ataupun unsur-unsur tindak pidana yang terjadi sehingga kedudukan dan peranan seseorang maupun barang bukti didalam tindak pidana menjadi jelas dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan . yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah penyidik dan penyidik pembantu

  • Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara, merupakan kegiatan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu

Dalam melaksanakan fungsi tersebut harus memperhatikan asas-asas yang menyangkut hak-hak manusia, antara lain :

  • Asas praduga tak bersalah yaitu setiap orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diadili sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan berdasarkan keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan hukum yang tetap

  • Peranan dimuka hukum yaitu perlakuan yang sama atas setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan.

  • Hak memberi bantuan atau penasihat hukum yaitu setiap orang yang tersangkut perkara tindak pidana wajib diberikan kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan penahanan sebelum dimulainya pemeriksaan kepada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau perkara itu wajib didampingi penasihat hukum.

  • Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, terbuka, jujur, dan tidak memihak.

  • Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang dan hanya dalam cara ditentukan oleh Undang-undang.

  • Tersangka yang telah ditangkap berhak untuk mendapatkan pemeriksaan dengan memberikan keterangan secara bebas dan selanjutnya untuk segera diajukan ke penuntut umum

  • Seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili disidang pengadilan tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukumnya dan wajib diberi ganti kerugian atau rehabilitasi (Marpaung, 1992).

Pelaksanaan Tugas Penyelidikan dan Penyidikan

1. Penyidik Polri

Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1982 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 6 ayat (1), penyidik adalah :

  • Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
  • Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang

Setelah diketahui bahwa suatu peristiwa yang terjadi diduga adalah merupakan tindakan pidana, segera dilakukan penyidikan melalui kegiatan-kegiatan penyelidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan berkas perkara.

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 KUHAP terlihat pula adanya beberapa badan yang melakukan tugas kepolisian dalam rangka peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6 (1) yaitu penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.

Menurut Undang-undang No. 8 tahun 1982 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 6 Ayat (1), penyidik adalah :

  • Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
  • Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang

Dalam hal ini penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf b memmunyai wewenang sesuai Undang-Undang yang memunyai dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik lain yaitu pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Bedasarkan Pasal 2 PP No. 27 tahun 1983 pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menentukan syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik yaitu :

  • Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu Brigadir Dua Polisi
  • Pejabat Pegawai Negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf b KUHAP, diangkat oleh menteri atas usul dari departemen yang membawahi pegawai negri sipil tersebut, menteri sebelum melakukan pengangkatan terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Istilah dan Pengertian Penyidikan

Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua 1989 halaman 837, mengemukakan yang dimaksud penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana.[1] Istilah penyidikan sinonim dengan pengusutan yang merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Belanda yaitu opsporing atau onderzoek atau dalam Bahasa Inggrisnya ialah investigation. [2] Opsporing dapat mempunyai arti juga yaitu sudah terjadi delik. Padahal mungkin saja dalam menyidik tidak ada delik yang terjadi. Contoh di Indonesia ialah kasus Sengkon dan Karta.[3]

Ketentuan umum didalam Het Herziene Inlands Reglement (HIR) tidak mencantumkan definisi atau perumusan yang tegas perihal penyidikan. Istilah lain yang dipakai untuk menyebut penyidikan ialah mencari kejahatan dan pelanggaran serta pengusutan. Pengusutan ialah aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, yang dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau diduga terjadinya suatu tindak pidana. Aksi atau tindakan tersebut ialah mencari keterangan tentang apa yang terjadi dan mengungkapkan siapa yang melakukan atau yang disangka melakukan tindak pidana tersebut. [4]

Istilah penyidikan menjadi istilah yuridis dalam Undang-Undang No.13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.[5]

Pengertian penyidikan dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP ialah:[6]

Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Pengertian penyidikan menurut KUHAP dan HIR mempunyai perbedaan yang mendasar. Penyidikan menurut HIR dimulai sejak terjadi atau sejak ada persangkaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Sedangkan menurut KUHAP, penyidikan tidak dilakukan karena ada suatu persangkaan adanya tindak pidana, melainkan penyidikan dilakukan karena sudah ada peristiwa pidana. KUHAP mengatur istilah terhadap tindakan aparat yang mempersangkakan suatu peritiwa merupakan peristiwa pidana atau tidak yaitu penyelidikan.

Pasal 1 Butir 5 KUHAP menyatakan :[7]

Penyelidikan ialah serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan pidana.

Sebelum dilakukan penyidikan, dilakukan dahulu penyelidikan. Maksud dan tujuannya ialah mengumpulkan segala data dan fakta untuk menentukan suatu peristiwa merupakan peristiwa pidana atau tidak. Bila peristiwa tersebut merupakan peristiwa pidana, maka dapat dilakukan tindakan penyidikan. [8] Berdasarkan uraian diatas, pengertian penyidikan menurut KUHAP lebih sempit daripada yang diatur dalam HIR. Pengertian penyidikan dan penyelidikan yang dimaksud KUHAP tercakup pengertian penyidikan yang dimaksud dalam HIR.[9]

Pejabat Penyidik Beserta Tugas dan Wewenangnya

1. Pada Masa Keberlakuan Het Herziene Reglement Inlands Reglement

Pada masa sebelum keberlakuan HIR, Pasal 57 IR menyatakan jaksa sebagai penyidik berada di bawah kekuasaan bupati sebagai kepala kepolisian. Pejabat yang diberikan kewenangan menyidik menurut Pasal 39 HIR, yaitu :[10]

  1. Kepala desa serta pegawai polisi desa

  2. Kepala distrik (wedana) dan kepala onderdistrik (Asisten wedana atau camat) juga menteri polisi yang dibantukan kepadanya

  3. Pegawai dan pejabat polisi umum (polisi Negara)

  4. Jaksa dan Pengadilan Negeri

  5. Mereka yang dengan peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh mencari perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud didalam peraturan itu, yakni sekedar yang mengenai perbuatan yang dimaksud itu

  6. Pegawai polisi yang tidak digaji

Djoko Prakoso membagi ke dalam dua kelompok terhadap pejabat penyidik tersebut, yaitu:[11]

  1. Pegawai penyidik biasa yaitu kepala desa dan pegawai polisi desa. Tugas dan wewenangnya sebagai penerima laporan dan atau pengaduan mengenai tindak pidana dalam hal tertangkap tangan

  2. Pegawai penyidik penuntut umum dan penyidik jaksa pembantu.

Pasal 46 ayat (2) HIR menyatakan pegawai penyidik penuntut umum ialah para jaksa pada Pengadilan Negeri. Penyidik jaksa pembantu menurut Pasal 53 Ayat (1) HIR ialah:[12]

  1. Kepala Distrik (Wedana) dan Kepala Onderdistrik (Asisten Wedana atau Camat)

  2. Pegawai-pegawai polisi umum (Polisi Negara)

  3. Pegawai Polisi istimewa yang ditunjuk oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur.

Peranan serta kedudukan Polisi Negara adalah sebagai pembantu jaksa sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (1) HIR sepanjang menyangkut pelaksanaan penyidikan perkara pidana. Sehingga dapat dikatakan, sistem hukum acara pidana yang termuat dalam HIR menentukan Polisi sebagai tangan kanan jaksa dalam pelaksanaan penyidikan.

Jaksa pembantu berwenang menerima pengaduan dan pemberitahuan tentang kejahatan dan pelanggaran. Dalam hal penyidikan dilakukan bersama-sama oleh penuntut umum, maka Jaksa pembantu harus menyerahkan penyidikan itu kepada penuntut umum. Pengecualiannya ialah jika Penuntut umum menyerahkan penyidikan atau memerintahkan Jaksa pembantu membantu penyidikan yang dilakukan oleh Penuntut umum (Pasal 54 HIR). Jaksa pembantu berhak melanjutkan pemeriksaan selama penuntut umum tidak memberitahukan kepadanya bahwa ia sendiri yang akan melakukan pemeriksaan. Dalam hal penuntut umum menyerahkan pemeriksaan itu kepada Jaksa pembantu, maka Jaksa pembantu harus mengindahkan perintah atau petunjuk dari penuntut umum (Pasal 74 HIR).[13]

Polisi Negara yang statusnya sebagai jaksa pembantu dalam penyidikan, setelah keberlakuan Undang-Undang No.13 Tahun 1961 Tentang Pokok-Pokok Kepolisian, Pasal 12 menyatakan polisi sebagai penyidik, yang bunyinya penyidikan perkara dilakukan oleh pejabat kepolisian tertentu dan untuk peraturan selanjutnya diatur oleh Peraturan Menteri. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.15 Tahun 1961 secara eksplisit juga menyatakan kejaksaan sebagai penyidik yang menyatakan :

Kejaksaan mempunyai tugas mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.

Menurut R.Soesilo pada masa keberlakuan HIR, Pejabat yang berperan penting dalam proses penyelesaian perkara pidana dalam pengadilan atau magistratuur ada dua, yaitu :

  1. Hakim atau zittende magistratuur (jaksa duduk)

  2. Penuntut umum atau staande magistratuur (jaksa berdiri)

Hakim disebut jaksa duduk karena hakim dalam mengucapkan putusannya dengan duduk di kursinya. Sedangkan penuntut umum disebut jaksa berdiri karena penuntut umum mengucapkan tuntutanya dengan berdiri. [14] Penuntut umum berwenang melimpahkan perkara ke sidang Pengadilan dan diharuskan membuktikan segala dakwaan yang telah ia buat didalam sidang pengadilan. Sedangkan hakim hanya memutuskan suatu perkara dan tidak dapat meminta suatu delik diajukan kepadanya. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. [15] Hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum. Sedangkan penuntut umum harus lebih bersifat aktif karena ia mempunyai tanggung jawab dalam penuntutan yang telah ia limpahkan ke sidang pengadilan. Aktif disini berarti ia harus membuktikan segala dakwaan yang telah ia buat didalam sidang pengadilan

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penuntutan ialah keberhasilan penyidikan. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan kegagalan penuntut umum dalam proses penuntutan di pengadilan. [16] Oleh karena itu, demi keberhasilan membuktikan dakwaan, penuntut umum diberi kewenangan untuk menyidik perkara pidana. Pasal 46 Ayat (1) HIR menyatakan :[17]

Pegawai-pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri diwajibkan karena jabatannya mengusut dengan seksama sekalian kejahatan dan pelanggaran dan menuntutnya yaitu yang masuk ke dalam pengadilan negeri.

Ketentuan Pasal 46 Ayat (2) HIR selanjutnya mengatakan jika tidak ditentukan orang lain, jaksa ialah pegawai penuntut umum. Berdasarkan uraian tersebut maka jaksa selaku penuntut umum juga berwenang melakukan penyidikan.[18]

2. Pada Masa Keberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Keberlakuan KUHAP merupakan realisasi dari unifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana. Tujuannya agar masyarakat dapat menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai fungsi dan wewenangnya.[19] Setiap instansi aparat harus merupakan sub sistem yang mendukung total sistem proses penegakan hukum dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. Keberlakuan KUHAP merupakan langkah pembinaan menuju suatu pelembagaan alat-alat kekuasaan penegak hukum dalam suatu pola law enforcement centre.[20]

Law enforcement centre ialah suatu lembaga yang menghimpun alat-alat penegak kekuasaan hukum dalam sistem penegak yang terpadu dalam suatu sentra penegakan hukum. Dalam sentra ini, berlangsung proses penegakan hukum dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sehingga, dalam penertiban aparat yang pertama dilakukan ialah pemolaan dan penjernihan fungsi dan wewenang diantara sesama instasi penegak hukum. [21] Pada masa sebelum keberlakuan KUHAP, terdapat beberapa pejabat yang mempunyai kewenangan penyidik. Sehingga KUHAP mencoba membidangkan tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum. Pembidangan tersebut tidak berarti mengkotak-kotakkan tugas, wewenang, dan tanggung jawab tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi.[22]

Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (Polri)

Pasal 6 KUHAP menyatakan penyidik adalah :[23]

  1. (a).Pejabat polisi negara Republik Indonesia

    (b) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

  2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Berdasarkan ketentuan diatas, penyidikan merupakan kewenangan dari Pejabat polisi negara Republik Indonesia (Polri) dan pegawai negeri sipil yang ditunjuk (PPNS). Agar para pejabat yang dimaksud mempunyai keweangan menyidik maka harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan tertentu. Syarat-syarat kepangkatan penyidik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27. Tahun 1983.[24]

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan sebagai berikut :[25]

  • Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi

  • Atau berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua

  • Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.

Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat

(1) KUHAP, yaitu:[26]

  • menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

  • melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian

  • menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka

  • melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

  • Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

  • Mengambil sidik jari dan memotret seseorang

  • Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi

  • Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara

  • Mengadakkan penghentian penyidikan

  • Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pada daerah terpencil terdapat keterbatasan tenaga Polri dengan pangkat tertentu untuk diangkat menjadi penyidik. Pasal 11 KUHAP menyatakan pejabat polisi dapat diangkat sebagai penyidik pembantu, yang syarat kepangkatannnya sebagai berikut :[27]

  • Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi

  • Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a)

  • Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Terminologi kepolisian sebagai penyidik tunggal, secara teknis yuridis tidak tepat. Istilah penyidik tunggal dapat menimbulkan penafsiran keliru, yaitu seolah-olah Polri hanya satu-satunya pejabat penyidik. Menurut Pasal 6 KUHAP, penyidik terdiri dari polisi dan PPNS. Oleh karena itu lebih tepat disebut penyidik polri daripada polri sebagai penyidik tunggal. [28]

Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur PPNS dapat mempunyai wewenang menyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan. Misalnya Undang-Undang Merek No.19 Tahun 1992 yang diubah menjadi Undang-Undang No.14 Tahun 1997. Pasal 80 Undang-Undang ini menegaskan kewenangan mealkukan penyidikan tindak pidana merek dilimpahkan kepada PPNS.[29]

Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh PPNS hanya terbatas sepanjang tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi : [30]

Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud pada Pasal 6 Ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaa tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.

Hubungan kordinasi antara PPNS dan Penyidik Polri ialah :[31]

  • PPNS tertentu dalam pelasanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP)

  • Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP)

  • PPNS harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan ituoleh PPNS ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP)

  • Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan PPNS melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP)

  • Dalam hal PPNS tertentu, menghentikan penyidikan, segera memberitahukan hal itu kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP).

Kejaksaan Sebagai Penyidik

Berdasarkan uraian terdahulu, telah diketahui lembaga kejaksaan berwenang untuk menyidik. Penyidikan yang dilakukan sebatas tindak pidana khusus, yaitu :

  • Tindak Pidana Korupsi, dasar hukumnya ialah Pasal 284 Ayat (2) KUHAP jo. Pasal 30 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia jo. Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

  • Tindak Pidana Hak Asasi Manusia, dasar hukumnya ialah Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Peradilan HAM jo. Pasal 30 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Secara umum pengaturan spesialisasi fungsional dan prinsip hukum dalam KUHAP ialah kejaksaan melepaskan wewenang penyidikan dan diberikan kepada Polri. Namun Pasal 284 Ayat (2) KUHAP sebagai ketentuan peralihan dari periode HIR ke KUHAP masih menyisakan kewenangan penyidikan kepada penuntut umum sepanjang tindak pidana tertentu. Fungsi dari ketentuan peralihan ialah menampung hal-hal yang belum tuntas diatur dalam undang-undang baru. Sehingga tidak terjadi kekosongan hukum bila ada suatu hal yang belum diatur undang-undang yang baru. KUHAP tidak mengatur hukum acara pidana yang mengenai tindak pidana khusus.[32]

Perbandingan Fungsi dan Wewenang Lembaga Kejaksaan Sebagai Lembaga Penyidik Pada Saat Keberlakuan Undang-Undang No.15 Tahun 1961 jo. Undang-Undang No.5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Tugas dan wewenang kejaksaan dalam bidang penyidikan menurut Pasal 1 jo Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, yaitu :[33]

  1. (a) Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada Pengadilan yang berwenang.

    (b) Menjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana.

  2. Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan- ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.

  3. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara.

  4. Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kemudian dicabut keberlakuannya dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Pencabutan ini demi upaya pembaruan hukum nasional untuk memantapkan kejaksaan sebagai lembaga penuntutan.[34] Tugas dan wewenang Kejaksaan dalam bidang penyidikan perkara pidana menurut Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor.5 Tahun 1991, yaitu:[35]

  • Melakukan penuntutan dalam perkara pidana.

  • Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan.

  • Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat.

  • Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Pengertian pemeriksaan lanjutan ialah kejaksaan dalam melengkapi berkas perkara dapat melakukan penyidikan tambahan dengan syarat sebagai berikut:

  • Tidak dilakukan terhadap tersangka.

  • Hanya terhadap perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat, dan atau yang dapat membahayakan keselamatan negara.

  • Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilaksakan ketentuan Pasal 110 jo. Pasal 138 ayat (2) KUHAP.

  • Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.[36]

Berdasarkan ketentuan tersebut, kejaksaan berwenang untuk menyidik tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Karena dalam Penjelasan Pasal 32 Huruf b yang dimaksud dengan perkara pidana tertentu ialah perkara-perkara pidana yang dapat meresahkan masyarakat luas, dan atau dapat membahayakan keselamatan negara, dan atau dapat merugikan perekonomian negara. Sehingga kejaksaan dapat melakukan pemeriksaan tambahan dalam tindak pidana umum atau tindak pidana tertentu asal memenuhi persyaratan alternatif dari sulit pembuktian, meresahkan masyarakat, dan membahayakan negara.[37]

Selain ketentuan itu, Pasal 32 huruf b juga mengatur Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instruksi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden.[38]

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI kemudian keberlakuannya dan digantikan dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2004. Tugas dan wewenang Kejaksaan dalam bidang penyidikan perkara pidana menurut Pasal 30 Undang-Undang No.16 Tahun 2004, yaitu:[39]

  • Melakukan Penuntutan

  • Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh keuatan hukum tetap

  • Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.

  • Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang

  • Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik.

Pemberlakuan Undang-Undang Kejaksaan No.16 Tahun 2004, secara tegas mengatur wewenang penyidikan oleh Kejaksaan. Pada Undang-Undang Kejaksaan sebelumnya tidak dinyatakan secara tegas bila kejaksaan dapat menyidik melainkan hanya dinyatakan secara implisit. Mengenai pemeriksaan tambahan pada ketentuan tersebut, pengaturannya ialah sama dengan Pasal 27 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor.5 Tahun 1991.

[details=“Referensi”]
[1] Harun M. Husein., Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, (Rineka Cipta:1991), hal.1.
[2] Yan Pramudya Puspa., Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia Inggris, (CV. Aneka:1970) hal.645.
[3] A.Hamzah dan Irdan Dahlan., Perbandingan KUHAP, HIR, dan Komentar, (Ghalia Indonesia:1984) hal. 26.
[4] Djoko Prakoso (a), Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, (PT.Bina Aksara:1987) hal.5.
[5] Ibid.
[6] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961. ps. 1 angka 2.
[7] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961, ps. 1 butir 5.
[8] Harun M. Husein, Op.Cit., hal. 90.
[9] Djoko Prakoso (a), Op.Cit., hal 52.
[10] Djoko Prakoso (b), Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana, (Bina Aksara:1987) hal.11
[11] Djoko Prakoso (a), Op.Cit., hal 9.
[12] Ibid., hal.10.
[13] Djoko Prakoso (a), Ibid., hal.29.
[14] R.Soesilo Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak HUkum). PT Karya Nusantara 1982, hal 32.
[15] Andi Hamzah (b), Op.Cit., hal 13.
[16] mahkamahkonstitusi. go.id/putusan_sidang.php,
[17] R.Soesilo (a), Op.Cit., hal 31.
[18] Ibid.
[19] Djoko Prakoso (b), Op.Cit., hal.5
[20] Yahya Harahap (a), Op. Cit., hal.62.
[21] Ibid.
[22] Djoko Prakoso (b), Op.Cit., hal.6.
[23] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961, ps. 6.
[24] Yahya Harahap (a), Op. Cit., hal.111.
[25] Ibid.
[26] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961, ps. 7 ayat (1).
[27] Yahya Harahap (a), Op.Cit., hal.111
[28] Harun M. Husein, Op.Cit., hal.88.
[29] Yahya Harahap (a), Op.Cit., hal.112.
[30] Indonesia, Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. UU No 15 Tahun 1961 LN 254 Tahun 1961, ps. 7 ayat (2).
[31] Yahya Harahap (a), Op.Cit., hal.113.
[32] Yahya Harahap(a), Op.Cit., hal.367
[33] Indonesia, Undang-undang Tentang Pokok-pokok Kepolisian. UU No.13 Tahun 1961 LN No. 245 TLN Tahun 1961 No. 2289, ps. 1 jo. ps. 2.
[34] Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, menimbang huruf a.
[35] Ibid., ps.27 ayat (1).
[36] Ibid., penjelasan ps 27 ayat (1) huruf d.
[37] Narendra Jatna, Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara, (Skripsi: 1993) hal 54.
[38] Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981 LN No. 76 Tahun 1981 TLN No. 3209, ps.32 huruf b.
[39] Indonesia, Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999 LN No. 75 TLN No. 3851., ps.30.[/details]