Apa yang dimaksud dengan Penyakit Kawasaki atau Kawasaki Disease ?

Penyakit Kawasaki

Penyakit Kawasaki (Sindrom Kawasaki atau Sindrom Nodus Limfa) adalah penyakit Autoimunitas dimana pembuluh darah berukuran sedang diseluruh tubuh menjadi meradang. Hal ini sebagian besar terlihat pada anak di bawah umur lima tahun. Penyakit ini mempengaruhi banyak sistem organ, terutama pembuluh darah, kulit, selaput lendir, dan kelenjar getah bening, biarpun jarang terjadi kerusakan pada hati yang disebabkan oleh aneurisma arteri koroner dapat terjadi pada anak yang penyakitnya tidak ditangani.

Apa yang dimaksud dengan Penyakit Kawasaki atau Kawasaki Disease ?

Kawasaki disease (KD) atau mucocutaneuous lymph node syndrome adalah salah satu vaskulitis akut pada anak yang paling banyak ditemui. KD pertama kali dideskripsikan oleh Tomisaku Kawasaki di Jepang pada tahun 1967 dan sampai saat ini masih ditemukan dalam bentuk endemik dan epidemik di Amerika, Eropa, dan Asia.[1]

Penyakit ini 80% terjadi pada anak di bawah 5 tahun. Sebagian besar anak dapat sembuh, namun 15–25% penderita KD akan mengalami abnormalitas arteri koroner (AAK) yang dapat meningkatkan risiko infark miokard, gagal jantung, dan kematian mendadak.[2] Di Amerika Serikat, KD telah melampaui demam reumatik akut sebagai penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak. Diagnosis dan terapi yang akurat dapat menurunkan risiko AAK sebesar 20%.[3]

Etiologi dan Patogenesis


Etiologi pasti KD belum diketahui secara pasti. Penelitian menunjukkan bahwa infeksi adalah faktor yang paling mungkin menyebabkan atau memicu terjadinya KD. Namun, agen penyebab infeksi yang berperan belum ditemukan melalui berbagai pemeriksaan serologi dan kultur bakteri atau virus konvensional.1 Anak 1–2 tahun merupakan kelompok usia yang paling rentan, karena pada periode ini imunitas tubuh belum sempurna. Bayi <1 tahun masih memiliki antibodi dari ibunya dan anak >2 tahun telah mengalami perkembangan sistem imun.

Hipotesis lain menyatakan bahwa KD mungkin disebabkan oleh respons imunologis yang dipicu oleh beberapa agen mikrobial yang berbeda. Hal ini didukung oleh temuan berbagai mikroorganisme pada berbagai kasus KD dan kegagalan mendeteksi mikroba atau agen lingkungan tunggal selama 3 dekade penelitian. Respons imunologis jelas terlibat dalam patogenesis KD, yaitu aktivasi kaskade sitokin dan aktivasi sel endotel. KD adalah vaskulitis sistemik yang melibatkan hampir semua pembuluh darah sedang dan besar, arteri koroner merupakan arteri yang selalu terlibat dan berpotensi menimbulkan abnormalitas yang membahayakan.[1]

Diagnosis


Tidak ada gejala klinis patognomonis atau tes diagnosis spesifik pada KD. Kriteria diag- nosis telah disusun untuk membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis KD, dapat dilihat padaTabel dibawah ini.[1]

Tabel Kriteria diagnosis Kawasaki Disease

Gambaran Klinis Utama

Gambaran klinis utama merupakan gejala dan tanda yang paling umum pada KD dan merupakan dasar diagnosis KD. Contoh gambaran klinis utama KD dan perjalanan klinis KD digambarkan pada gambar berikut ini,

Gambaran klinis utama KD
Gambar Gambaran klinis utama KD (A) Injeksi konjungtiva bilateral, (B) Eritema, fisura, dan deskuamasi bibir disertai strawberry tongue, © dan (D) Eritema dan edema pada kaki dan tangan, (E) Eksantema kulit, (F) Eksantema yang meluas sampai perineum. Sumber: Trager J. Kawasaki’s disease. N Engl J Med. 1995; 333:1391.

  1. Demam.
    Demam pada KD tipikal tinggi dan remiten, dengan suhu puncak 39oC sampai >40oC. Tanpa terapi, demam akan bertahan selama rata-rata 11 hari, namun dapat berlanjut sampai 3-4 minggu. Dengan terapi, demam umumnya menurun setelah 2 hari.[1]

  2. Perubahan pada Ekstremitas.
    Perubahan pada ekstremitas cukup khas. Gambaran yang ditemui pada fase akut (dalam 1-2 hari) adalah eritema atau edema pada telapak tangan atau kaki. Dalam 2-3 minggu setelah awitan demam, terjadi deskuamasi periungual pada kuku jari kaki atau tangan. Setelah 1-2 bulan, pada beberapa penderita dapat timbul Beau’s line (garis horizontal putih yang dalam pada kuku).[1,3]

  3. Eksantema Polimorfik.
    Ruam eritema umumnya timbul dalam 5 hari setelah demam. Bentuk ruam bervariasi dan tidak spesifik. Bentuk yang paling sering adalah erupsi makulopapular difus. Ruam timbul secara ekstensif meliputi trunkus, ekstremitas, dan regio perineum.[1]

  4. Injeksi Konjungtiva Bilateral.
    Injeksi konjungtiva timbul beberapa saat setelah awitan demam. Injeksi meliputi konjungtiva

  5. Perubahan pada Bibir dan Kavum Oral.
    Perubahan meliputi: (1) eritema, fisura, deskuamasi, dan perdarahan pada bibir, (2) strawberry tongue, di mana lidah berwarna merah terang dan papilla fungiformis menonjol, dan (3) eritema difus pada mukosa orofaringeal. Perubahan ini tidak meliputi ulkus oral atau eksudat faring.[1,3]

  6. Limfadenopati Servikal.
    Limfadenopati servikal merupakan gambaran klinis yang paling jarang ditemui. Limfadenopati umumnya unilateral, pada trigonum anterior, padat, tidak berfluktuasi, tidak disertai eritema, ≥1 nodus, dan diameter >1,5 cm.[1]

Perjalanan gejala pada Kawasaki Disease
Gambar Perjalanan gejala pada Kawasaki Disease. Sumber: Alikhan M, Lohr K. Kawasaki disease: Do you know the signs? Medscape

Gambaran Klinis dan laboratorium lain

  1. Kelainan Jantung.
    Sekuele utama KD berkaitan dengan kardiovaskuler, terutama sistem arteri koroner (5–15% pasien KD akut).[3]

    • Aneurisma. Pada pasien KD, terdapat gangguan fungsional dan struktural pada arteri koroner akibat aktivasi berbagai mediator pro-inflamasi. Gangguan fungsional berupa gangguan reaktivitas vaskuler yang bergantung pada endotel dan gangguan kapasitas fibrinolitik. Gangguan struktural berupa penghancuran elastin dan degradasi dinding pembuluh darah. Penghancuran elastin dinding arteri koroner penderita KD disebabkan oleh adanya enzim matrix metalloproteinase (penghancur elastin) dan menurunnya kadar cystatin C (penghambat penghancuran elastin).[4]

      Degradasi dinding pembuluh darah disebabkan oleh aktivasi TNF-α. Gangguan fungsional dan struktural ini pada akhirnya berujung pada aneurisma arteri koroner, yang dapat menetap atau berkembang menjadi stenosis. Stenosis pada fase lanjut akan berujung pada iskemia atau infark.[5] Mekanisme terjadinya aneurisma digambarkan pada gambar dibawah ini.

      Ilustrasi mekanisme terjadinya aneurisma dan stenosis pada KD
      Gambar Ilustrasi mekanisme terjadinya aneurisma dan stenosis pada KD. Sumber: Varshney V. Ebb and flow of Kawasaki. Down to Earth Online

      Aneurisma dapat terjadi di luar arteri koroner, terutama pada arteri subklavia, brakialis, aksilaris, iliaka, dan femoralis, serta aorta abdominal. Harada, dkk. menyusun sistem skor untuk memperkirakan risiko terjadinya aneurisma koroner dan kebutuhan terapi IVIG, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.[1,6] Adanya minimal 4 poin positif dari 7 poin pada skor Harada menandakan risiko tinggi mengalami aneurisma koroner.[6]

      Tabel Skor Harada
      Skor Harada
      Sumber: Tewelde H, Yoon J, Ittersum W, Worley S, Preminger T, Goldfarb J. The Harada score in the US population of children with Kawasaki disease. Hospital Pediatrics 2014

    • Miokarditis. Miokarditis cukup sering ditemui pada KD fase akut (50–70%) yang menyebabkan gangguan kontraktilitas otot jantung. Namun, gangguan ini membaik dengan cepat setelah pemberian terapi IVIG. Meskipun ditemui gangguan histopatologis pada biopsi otot jantung penderita KD beberapa tahun setelah resolusi KD, kontraktilitas dan fungsi jantung jangka panjang tampak normal pada pemeriksaan ekokardiografi.[1]

    • Regurgitasi Katup. Gangguan katup dapat berupa regurgitasi mitral (~1%) atau regurgitasi aorta (~5%) yang disebabkan disfungsi muskulus papilaris, infark, atau valvulitis. Gangguan katup dapat berujung pada pemulihan, gangguan katup menetap, atau kematian akibat infark miokard.1

  2. Kelainan Non-kardiak.
    Artritis dan atralgia pada sendi besar atau kecil dapat timbul pada minggu pertama. Anak dengan KD umumnya lebih gelisah dibanding anak dengan penyakit demam lain. Kelumpuhan nervus fasialis dan tuli sensori-neural frekuensi tinggi sementara dapat terjadi. Pada 1/3 kasus, terdapat keluhan gastrointestinal seperti diare, muntah, dan nyeri perut. Temuan lain yang lebih jarang antara lain pembengkakan testis, nodul pulmonal, efusi pleura, hepatomegali, jaundice, dan hidrops kantung empedu.[1,3]

  3. Kelainan Laboratorium.
    Pada fase akut, kelainan yang ditemukan adalah leukositosis (>15.000/mm3), anemia, serta peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP). Peningkatan LED dan CRP hampir selalu ditemui pada KD dan akan mengalami penurunan pada minggu ke-6 sampai ke-10. Pada fase lanjut, terjadi trombositosis (500.000-1.000.000 mm3) yang akan mengalami penurunan pada minggu ke-4 sampai ke-8. Temuan lain yang tidak terlalu spesifik antara lain peningkatan ringan transaminase, hiperbilirubinemia, hipoalbuminemia, dan peningkatan leukosit urin. Sebagian penderita mengalami pe- ningkatan troponin I pada fase akut.

    Meskipun tidak spesifik, temuan laboratorium dapat membantu diagnosis pada penderita yang diduga mengalami KD atipikal. Oleh karena itu, disusun kriteria laboratorium tambahan untuk diagnosis KD, yaitu:

    1. albumin ≤3g/dL,
    2. anemia sesuai usia,
    3. peningkatan alanin aminotransferase (ALT),
    4. kadar trombosit setelah 7 hari ≥450.000/ mm3,
    5. leukosit ≥15.000/mm3, dan
    6. leukosit urin ≥10 sel/LPB.1,3,4

Kawasaki Disease Atipikal

Beberapa penderita yang tidak memenuhi kriteria diagnosis di atas, namun sangat sugestif mengalami KD atau diketahui mengalami AAK disebut KD atipikal atau inkomplit. Penderita yang mengalami demam ≥5 hari disertai 2 atau 3 gejala utama (KD inkomplit) dengan peningkatan LED dan CRP perlu menjalani pemeriksaan untuk mengetahui kesesuaian dengan kriteria laboratorium di atas. Jika penderita tersebut memenuhi ≥3 kriteria laboratorium tambahan, terapi dapat dimulai sebelum ekokardiografi. Namun, jika <3 kriteria laboratorium tambahan yang terpenuhi, lakukan ekokardiografi terlebih dulu.[1]

Pemeriksaan Penunjang

  1. Ekokardiografi.
    Ekokardiografi sebaik- nya dilakukan segera setelah diagnosis KD dicurigai. Modalitas ini tidak invasif dan memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi untuk deteksi abnormalitas arteri koroner. Pencitraan 2-D harus dilakukan menggunakan transducer dengan frekuensi paling tinggi yang mungkin. Meskipun pemeriksaan ekokardiografi pada pasien KD berfokus pada arteri koroner, informasi lain juga dapat dan harus diambil, seperti fungsi katup dan kontraktilitas jantung. Evaluasi arteri koroner meliputi penilaian kuantitatif diameter internal arteri koroner. Menurut kriteria Kementrian Kesehatan Jepang, arteri dikatakan abnormal jika:

    1. diameter lumen internal >3 mm pada anak <5 tahun atau >4 mm pada anak ≥5 tahun,
    2. diameter internal suatu segmen arteri koroner >1,5 kali segmen yang berdekatan, atau
    3. lumen koroner ireguler.

    Pada kasus non-komplikata, ekokardiografi sebaiknya dilakukan saat diagnosis, 2 minggu setelah onset, dan 6-8 minggu setelah onset. Pemeriksaan dapat lebih sering pada penderita risiko tinggi. Pemeriksaan lanjutan ini bertujuan mengidentifikasi progresi atau regresi AAK, mengevaluasi fungsi ventrikel dan katup, serta menilai adanya efusi perikardium.[1]

  2. Pemeriksaan Non-invasif Lain.
    Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic Resonance Angiography (MRA) dapat digunakan sebagai alternatif. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi aneurisma pada arteri koroner proksimal, oklusi, dan stenosis. Selain itu, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk deteksi aneurisma arteri perifer.[1]

  3. Kateterisasi dan Angiografi.
    Angiografi koroner merupakan pemeriksaan yang lebih invasif, namun dapat menyediakan gambaran yang lebih detail mengenai anatomi arteri koroner daripada ekokardiografi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi stenosis, trombosis, dan luasnya pembentukan arteri kolateral. Penggunaan pemeriksaan ini memerlukan pertimbangan risiko dan biaya. Mengingat kemungkinan adanya aneurisma perifer, aortografi abdominal, dan arteriografi subklavia disarankan untuk pasien KD yang menjalani arteriografi koroner untuk pertama kali.[1]

Pengobatan


Terapi KD dengan aspirin dan IVIG dalam 10 hari setelah awitan demam dapat menu- runkan risiko AAK dari 20% menjadi <5%. Namun, 10–20% pasien KD yang diobati akan mengalami demam dan gejala lain yang menetap (non-responder), dan berisiko mengalami AAK.[2,6]

  1. Aspirin
    Aspirin memiliki efek anti-inflamasi pada dosis tinggi dan anti-platelet pada dosis rendah. Pada fase akut, aspirin diberikan dengan dosis 80-100 mg/kg/hari dalam
    4 dosis, dikombinasi dengan IVIG. Durasi pemberian aspirin bervariasi. Sebagian institusi menurunkan dosis aspirin jika pasien tidak demam selama 48-72 jam. Institusi lain melanjutkan aspirin dosis tinggi sampai hari sakit ke-14 dan ≥48-72 jam setelah demam turun. Saat aspirin dosis tinggi dihentikan, aspirin dosis rendah dimulai (3-5 mg/kg/ hari) dan diberikan sampai pasien tidak me- nunjukkan tanda perubahan arteri koroner pada minggu ke-6 sampai ke-8 setelah awitan penyakit. Jika pasien ditemukan memiliki abnormalitas koroner, maka aspirin diteruskan sampai waktu yang tidak ditentukan.[1,3,4]

  2. IVIG
    Peran IVIG dalam KD tidak diragukan. Agen ini memiliki efek anti-inflamasi generalisata. Pasien KD diterapi dengan IVIG 2 g/kg dalam infus tunggal bersamaan dengan aspirin. Jika mungkin, IVIG paling baik diberikan dalam 7 hari pertama.[1,4]

  3. Kortikosteroid
    Meskipun kortikosteroid berperan dalam vaksulitis lain, penggunaan pada KD masih meragukan. Beberapa penelitian menggunakan steroid sebagai tambahan tidak menghasilkan perubahan signifikan pada ukuran arteri koroner.[1,7] Saat ini, pemberian steroid dibatasi untuk anak yang masih mengalami demam dan inflamasi akut setelah pemberian ≥2 infus IVIG. Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon intravena 30 mg/kg selama 2-3 jam, diberikan satu kali sehari selama 1-3 hari.[1]

Kegagalan Pengobatan

Sekitar ~10% pasien KD mengalami kegaga- lan terapi dengan IVIG pertama. Kegagalan pengobatan didefinisikan sebagai demam yang persisten atau kambuh kembali ≥36 jam setelah selesainya pemberian IVIG infus awal. Terdapat beberapa pilihan terapi untuk kegagalan pengobatan yang memerlukan keahlian lanjut, seperti pengulangan IVIG kedua atau ketiga, steroid, transfusi tukar, ulinastatin, abciximab, antibodi monoklonal, serta agen sitotoksik.[1,4]

Ringkasan

Kawasaki Disease (KD) adalah penyakit vaskulitis akut dengan etiologi yang belum pasti, self-limited, sebagian besar menyerang anak di bawah 5 tahun. Gambaran klinis utama berupa demam, perubahan pada ekstremitas, eksantema, konjungtivitis bilateral, perubahan bibir dan kavum oral, serta limfadenopati servikal. KD dapat menyebabkan komplikasi pada arteri koroner, sehingga menjadi penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak. Komplikasi berupa aneurisma koroner, stenosis, infark miokard, gagal jantung, hingga kematian mendadak. Ekokardiografi dan angiografi berperan penting dalam diagnosis dan follow-up komplikasi KD. Terapi utama berupa aspirin dan intravenous immuno- globulin (IVIG). Diagnosis dan terapi yang tepat dapat menurunkan risiko komplikasi sampai 20%.

Sumber : Natharina Yolanda, Panduan Diagnosis dan terapi Kawasaki Disease, Departemen ilmu Kesehatan Anak RS Atma Jaya, Jakarta, indonesia

Daftar Pustaka
  1. Newburger J, Takahashi M, Gerber M, Taubert K, FAlace D, Pallasch TJ, et al. Diagnosis, treatment, and long-term management of Kawasaki disease. Circulation 2004; 110: 2747- 71.
  2. Kobayashi T, Inoue Y, Takeuchi K, Okada Y, Tamura K, Tomomasa T, et al. Prediction of intravenous immunoglobulin unresponsiveness in patients with Kawasaki disease. Circulation 2006; 113: 2606-12.
  3. Council on Cardiovascular Disease in the Young, Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease, American Heart Association. Diagnostic guidelines for Kawasaki disease. Circulation 2001; 103: 335-6.
  4. Yeung R. Pathogenesis and treatment of Kawasaki’s disease. Curr Opin Rheumatol. 2005; 17: 617-23.
  5. Wu MH, Chen HC, Yeh SJ, Lin MT, Huang SC, Huang SK. Prevalence and the long-term coronary risks of patients with Kawasaki disease in a general population <40 years: A national database study. Circ Cardiovasc Qual Outcomes 2012; 5: 566-70.
  6. Tewelde H, Yoon J, Ittersum W, Worley S, Preminger T, Goldfarb J. The harada score in the US population of children with Kawasaki disease. Hospital Pediatrics 2014; 4; 233.
  7. Newburger J, Sleeper L, McCrindle B, Minich LL, Gersony W, Vetter VL, et al. Randomized trial of pulsed corticosteroid therapy for primary treatment of Kawasaki disease. N Engl J Med. 2007; 356: 663-75.