Apa yang dimaksud dengan penyakit kardiovaskular?

Penyakit kardiovaskuler

Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah. Ada banyak macam penyakit kardiovaskuler, tetapi yang paling umum dan paling terkenal adalah penyakit jantung koroner dan stroke

Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian utama pada orang dewasa dan penyebab umum kecacatan kronis di banyak negara. Penyakit kronis ini terjadi setelah kontak yang terlalu lama dan berkelanjutan dengan faktor risiko.

Penyakit kardiovaskular terutama dihubungkan dengan aterosklerosis, yaitu penyakit jantung koroner, stroke, peripheral vascular disease , hipertensi, congestive heart failure , penyakit jantung rematik, cardiac myophaty , dan congenital heart disease (Luepker, 2004).

Faktor Risiko dan Penyebab Penyakit Kardiovaskular


Penyebab primer dari penyakit kardiovaskular (penyakit jantung dan stroke) adalah aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan bentuk dari arteriosklerosis atau pengerasan arteri. Aterosklerosis ditandai oleh penimbunan lemak yang progresif-lambat pada dinding-dinding arteri yang disebut plak, yang mengurangi atau memblokir sama sekali aliran darah ke jaringan. Bila sel-sel otot arteri tertimbun lemak maka elastisitasnya akan menghilang dan kurang dapat mengatur tekananan darah (Hull, 1986).

Ada sejumlah faktor risiko yang berperan dalam perkembangan aterosklerosis, yaitu makanan, lemak, obesitas, kurangnya aktivitas fisik, diabetes, hipertensi, merokok dan sebagainya (Luepker, 2004).

Menurut Bullock (1996) dalam buku Pathophysiology Adaptation and Alteration in Function ed. 4 , faktor risiko penyakit kardiovaskular diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu faktor risiko yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah. Faktor risiko yang dapat diubah terdiri dari makanan, merokok, hipertensi, stres, diabetes mellitus dan alkohol. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat diubah terdiri dari umur, jenis kelamin, ras dan hereditas.

Faktor Risiko yang Dapat Diubah


Faktor risiko yang dapat diubah diantaranya, yaitu:

Makanan

Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-unsur/ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan ke dalam tubuh. Zat gizi ( nutrients ) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2001).

Menurut Karmas dalam buku yang berjudul Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan (1989), zat gizi yang harus ada dalam bahan pangan agar tubuh sehat, dibedakan menjadi golongan lemak, protein dan karbohidrat, yang disebut zat gizi makro; serta vitamin dan mineral yang disebut zat gizi mikro. Air juga merupakan bagian penting dari gizi yang baik.

Lemak yang terdapat dalam zat makanan umumnya terdiri dari gabungan tiga gugus asam lemak dengan gliserol dan dikenal sebagai trigliserida. Lemak dalam bahan makanan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu lemak jenuh (saturated fat), lemak tidak jenuh tunggal (unsaturated fat) dan lemak tidak jenuh majemuk (poly-unsaturated fat).

  • Lemak asal binatang adalah sumber dari lemak jenuh. Lemak jenis ini terdapat juga dalam susu, keju, mentega, es krim dan minyak yang berasal dari tumbuh- tumbuhan seperti minyak kelapa, minyak palem dan lain-lain. Semua makanan yang digoreng dengan minyak tersebut berarti bercampur dengan lemak jenuh berkadar tinggi sehingga menjadi makanan yang mengandung lemak jenuh tinggi pula (Soeharto, 2002). Lemak jenuh adalah lemak jahat (bad fat) karena berpotensi terbentuknya plak pada pembuluh darah (Castelli dan Griffin, 1997).

  • Terdapat dua macam lemak tidak jenuh, yaitu lemak tidak jenuh tunggal dan lemak tidak jenuh majemuk. Lemak tidak jenuh tunggal adalah lemak yang sebagian asam lemaknya mono- unsaturated , seperti minyak olive dan canola.

  • Di dalam lemak tidak jenuh majemuk, yang dominan adalah asam lemak poly- unsaturated, seperti minyak bunga matahari, minyak jagung dan minyak kedelai. Lemak tidak jenuh tunggal dan majemuk ini diklasifikasikan sebagai lemak baik (good fat) karena dapat memperbaiki kadar kolesterol darah, yang pada taraf berikutnya mengurangi potensi terbentuknya plak (Soeharto, 2002).

Kebiasaan makan khususnya asupan kolesterol dan asam lemak jelas berhubungan dengan kadar kolesterol darah (Luepker, 2004). Konsumsi makanan yang mengandung lemak akan meningkatkan trigliserida dalam darah dan cenderung meningkatkan kadar kolesterol. Lemak yang berasal dari buah-buahan seperti kelapa, durian dan alpukat tidak mengandung kolesterol, tetapi kadar trigliseridanya tinggi. Selain itu, kolesterol dalam zat makanan yang kita makan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Sejauh pemasukan ini masih seimbang dengan kebutuhan, tubuh akan tetap sehat (Soeharto, 2002).

Rekomendasi terkini dari The National Cholesterol Education Program (United State), yaitu membatasi asupan lemak total sebesar 30% atau kurang dari total kalori (Bullock, 1996). Sementara itu, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII (2004), merekomendasikan proporsi lemak dalam makanan yaitu sebesar 20-30% dari total energi (Almatsier, 2001). Bila makanan yang dikonsumsi mengandung lemak dengan kolesterol yang berlebih maka kadar kolesterol darah pun meningkat sampai di atas angka normal (Soeharto, 2002).

Proses pengolahan karbohidrat dan lemak terutama dimaksudkan untuk menghasilkan energi sedangkan metabolisme protein menghasilkan pertumbuhan. Jika makanan yang tersedia hanya cukup untuk memenuhi keperluan bahan bakar, seluruh karbohidrat, lemak dan asam amino dari protein yang diserap akan dibakar untuk menghasilkan energi. Tetapi sebaliknya, jika jumlah kalori yang didapatkan dari makanan itu melebihi yang diperlukan, kelebihan ini akan disimpan dalam tubuh terutama dalam bentuk lemak, dan meningkatkan kadar lemak dalam cairan tubuh. Lemak dalam darah dapat berupa kolesterol dan trigliserida (Soeharto, 2000).

Kelebihan energi (jumlah kalori) yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh dapat menyebabkan berat badan lebih atau kegemukan (Almatsier, 2001). Kegemukan menyebabkan beban jantung semakin berat. Selain itu, timbunan lemak dalam otot jantung dapat mengganggu efisiensi gerakan jantung (Redaksi Agromedia, 2009). Menurut Dr. Faisal Baraas dalam bukunya Tentang Kolesterol (1993), kegemukan cenderung menyebabkan kadar kolesterol VLDL dan LDL yang tinggi. Yang keduanya merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Pada umumnya orang gemuk memiliki kadar trigliserida yang tinggi, yang disimpan di bawah kulit. Memang terjadi juga bahwa walaupun trigliserida disimpan di bawah kulit, kadang-kadang kadarnya di dalam darah tidak terlalu tinggi, tetapi perlu selalu diingat bahwa simpanan trigliserida itu merupakan bahan utama pembentukan VLDL dan LDL di liver dan akan masuk ke dalam cairan darah (Soeharto, 2000).

Kolesterol di dalam darah dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis, yaitu LDL, VLDL dan HDL.

  • LDL (Low Density Lipoprotein Cholesterol) adalah inti dari permasalahan penyakit kardiovaskular (khususnya penyakit jantung koroner) dan sering dinamakan “kolesterol jahat”. LDL di dalam darah dapat mengendap di dinding arteri menjadi padat yang terdiri dari campuran kalsium, fibers dan zat-zat lain yang kesemuaannya disebut plak. Plak ini menyebabkan penyempitan dan pengerasan pembuluh darah arteri (aterosklerosis) (Soeharto, 2000). Bila penyempitan dan pengerasan ini cukup berat, sehingga menyebabkan suplai darah ke otot jantung tidak cukup jumlahnya, timbul sakit atau nyeri dada yang disebut angina, bahkan dapat menjurus ke serangan jantung (Soeharto, 2002). Makin besar kadar LDL di dalam darah. Risiko penyakit kardiovaskular semakin tinggi.

  • VLDL (Very Low Density Lipoprotein Cholesterol) adalah salah satu senyawa yang digunakan oleh hati untuk membuat LDL. Dengan kata lain, makin tinggi kadar VLDL, makin banyak pula LDL yang diproduksi oleh hati. HDL (High Density Lipoprotein Cholesterol) dianggap sebagai senyawa yang memiliki kemampuan untuk menjauhkan (membuang) kelebihan kolesterol dari pembuluh darah arteri, dan karena itu disebut kolesterol baik. Makin tinggi kadar HDL, makin terlindung seseorang dari risiko penyakit kardiovaskular (Soeharto, 2000).

Merokok

Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia. Sekali satu batang rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen sianida, ammonia, acrolein, acetilen, benzaldehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin, 4- ethylcatechol, ortocresol, perylene dan lain-lain. Secara umum bahan-bahan ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar (Aditama, 1997).

Konsumsi rokok berpengaruh besar terhadap kematian dan kesakitan akibat penyakit jantung koroner (Luepker, 2004).

Kebiasaan merokok memang merupakan salah satu faktor risiko penting sampai terjadinya penyakit jantung koroner, di samping faktor risiko lain seperti tekanan darah tinggi, tingginya kadar lipid dalam darah, kegemukan dan lain-lain. Dua bahan penting dalam asap rokok yang berkaitan dengan penyakit jantung adalah nikotin dan gas CO. Asap rokok mengandung sekitar 0,5% sampai 3% nikotin, dan kalau diisap maka kadar nikotin dalam darah akan
berkisar antara 40-50 mg/ml. Setiap batang rokok mengandung 3% sampai 6% gas CO. kadar CO dalam darah perokok berat sekitar 5% (Aditama, 1997).

Peranan merokok terhadap penyakit kardiovaskular (Soeharto, 2002), yaitu: asap rokok mengandung nikotin yang memacu pengeluaran zat-zat seperti andrenalin. Zat ini merangsang denyutan jantung dan tekanan darah. Nikotin ini dapat mengganggu jantung, membuat irama jantung menjadi tidak teratur, mempercepat aliran darah, menimbulkan kerusakan lapisan dalam dari pembuluh darah dan menimbulkan penggumpalan darah (Aditama, 1997).

Terjadinya penyumbatan pembuluh darah (aterosklorosis) sebenarnya tidak hanya dipicu dari tingginya konsumsi makanan berlemak, namun juga dipicu karena merokok. Ketika merokok, zat oksidan semakin banyak terlepas akibat dari respon masuknya racun dari rokok yang dihisap. Zat oksidan inilah yang membuat dinding pembuluh darah rusak dan membuat kolesterol low-density lipoprotein (LDL). LDL semakin mudah tersangkut di area kerusakan yang ditimbulkan oleh zat oksidan tersebut. Kemudian kolesterol yang ‘tersangkut’ tersebut kian bertambah dan menimbulkan sumbatan sehingga pembuluh darah menjadi mengeras dan terjadilah aterosklorosis (Reveny, 2011).

Selain itu, asap rokok mengandung karbon monoksida yang memiliki kemampuan lebih kuat daripada sel darah merah ( hemoglobin ) untuk menarik atau menyerap oksigen, sehingga menurunkan kapasitas darah merah tersebut untuk membawa oksigen ke jaringan-jaringan termasuk jantung. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat oksigen 200 kali lebih kuat dari hemoglobin (Aditama, 1997). Hal ini perlu diperhatikan terutama bagi penderita penyakit jantung koroner, karena pada daerah arteri yang sudah ada plak, aliran darahnya sudah berkurang dari seharusnya.

Merokok dapat “menyembunyikan” angina, yaitu sakit di dada yang dapat memberi sinyal adanya sakit jantung. Tanpa adanya sinyal tersebut penderita tidak sadar bahwa ada penyakit berbahaya yang sedang menyerangnya, sehingga ia tidak mengambil tindakan yang diperlukan. Selain itu, perokok dua atau tiga kali lebih mungkin terkena stroke dibandingkan mereka yang tidak merokok. Penyumbatan pembuluh darah otak yang bersifat mendadak atau stroke banyak dikaitkan dengan merokok. Risiko kematian lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok (Kompas, 2006).

Disamping akibat-akibat buruk diatas, penelitian Framingham
Heart Study menemukan bahwa merokok menurunkan kadar kolesterol baik (HDL). Penelitian ini dilakukan terhadap 2.000 orang laki-laki dan 2.000 perempuan, berusia 20-49 tahun.

Penurunan HDL pada laki-laki rata-rata 4,5 mg/dl dan pada perempuan 6,5 mg/dl. Pada penelitian tersebut, faktor yang penting adalah jumlah batang rokok yang diisap per hari dan bukan lamanya waktu seseorang telah merokok. Sementara itu, penelitian yang dikerjakan oleh Lipid Research Program Prevalence Study menunjukkan mereka yang merokok dua puluh batang atau lebih per hari mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14% untuk perempuan, dibandingkan mereka yang tidak merokok.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh akibat aktivitas otot-otot skelet yang mengakibatkan pengeluaran energi. Latihan fisik adalah aktivitas fisik yang terencana, terstruktur dilakukan berulang-ulang dan bertujuan untuk memperbaiki dan mempertahankan kebugaran. Latihan fisik merupakan bagian dari aktivitas fisik, sedangkan olahraga adalah aktivitas fisik yang mempergunakan otot-otot besar yang bersifat baik kompetitif
maupun non kompetitif (Fatmah, 2011).

Kegiatan fisik sangat mempengaruhi semua komponen kesegaran jasmani, latihan fisik yang bersifat aerobik dilakukan secara teratur akan mempengaruhi atau meningkatkan daya tahan kardiovaskular dan dapat mengurangi lemak tubuh (Depkes, 1994).

Para ahli epidemiologi membagi aktivitas fisik ke dalam dua kategori, yaitu aktivitas fisik terstruktur (kegiatan olahraga) dan aktivitas fisik tidak terstruktur (kegiatan sehari-hari seperti berjalan, bersepeda dan bekerja) (Williams, 2002). Menurut Baecke (1982) dalam buku Gizi Kebugaran dan Olahraga (2011), terdapat tiga aspek yang secara bermakna dapat menggambarkan tingkat aktivitas fisik seseorang, yaitu pekerjaan, olahraga dan kegiatan di waktu luang. Banyaknya aktivitas fisik berbeda pada tiap individu tergantung pada gaya hidup perorangan dan faktor lainnya.

Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat mengurangi risiko terhadap penyakit seperti cardiovascular disease (CVD), stroke, diabetes mellitus dan kanker kolon. Selain itu juga memberikan efek positif terhadap penyakit seperti kanker payudara, hipertensi, osteoporosis dan risiko jatuh, kelebihan berat badan, kondisi muskuloskeletal, gangguan mental dan psikologikal dan mengontrol perilaku yang berisiko seperti merokok, alkohol serta juga dapat meningkatkan produktivitas dalam bekerja (WHO, 2008).

Aktivitas fisik rutin dapat memberikan dampak positif bagi kebugaran seseorang, di antaranya yaitu: peningkatan kemampuan pemakaian oksigen dan curah jantung, penurunan detak jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan efisiensi kerja otot jantung, mencegah mortalitas dan morbiditas akibat gangguan jantung, peningkatan ketahanan saat melakukan latihan fisik, peningkatan metabolisme tubuh (berkaitan dengan gizi tubuh), meningkatkan kemampuan otot serta mencegah obesitas (Astrand, 1992).

Jika tubuh kurang bergerak maka timbunan lemak lebih cepat terkumpul karena tidak terjadi pembakaran berkala dari energi yang masuk ke dalam tubuh. Karena itu, risiko terjadinya obesitas semakin tinggi, otot jantung juga tidak dapat bergerak dengan baik. Hal ini akan memperberat risiko terjadinya penyakit jantung koroner (Redaksi Agromedia, 2009). Individu yang lebih aktif kelihatannya memiliki risiko yang lebih rendah.

Hasil penelitian komprehensif mengenai pencegahan primer dengan cara aktivitas fisik menyebutkan bahwa pada individu yang aktif lebih sedikit timbulnya PJK, dibandingkan dengan mereka yang kurang aktif. Bilamana mereka yang aktif terkena PJK, “sakitnya” cenderung kurang berat dibandingkan dengan mereka yang tidak aktif (Berlin dan Colditz. 1990).

Centre for Disease Control and Prevention dan American College of Sport Medicine merekomendasikan bahwa setiap orang dewasa harus berusaha meng-akumulasikan paling sedikit tiga puluh menit aktivitas fisik dengan intensitas sedang setiap hari.

Stres

Menurut Richard Lazarus dalam Psychological Speaking (1994), stres didefinisikan sebagai tingkat kegelisahan yang dihasilkan ketika peristiwa atau tanggung jawab melebihi dari kemampuan sesorang untuk mengatasinya. Stres menurut Hans Selye (1994) adalah respon tubuh (yang tidak spesifik) untuk beradaptasi terhadap setiap tuntutan yang ada, apakah tuntutan tersebut menghasilkan kesenangan atau penderitaan.

Definisi stres dalam bidang pengobatan holistik menurut Lazarus dan Selye (1994), yaitu ketidakmampuan dalam mengatasi ancaman terhadap kesejahteraan mental, fisik, emosional dan spiritual seseorang yang menghasilkan serangkaian respon fisiologis dan adaptasi. Stres dapat diartikan sebagai suatu persepsi akan adanya ancaman atau tantangan yang menggerakan, menyiagakan atau membuat aktif dirinya (Anies, 2005).

Menurut Soeharto (2002) dalam buku Serangan Jantung dan Stroke Hubungannya dengan Lemak & Kolesterol, stres dapat dideskripsikan sebagai suatu keadaan mental yang tampak sebagai kegelisahan, kekhawatiran, tensi tinggi, keasyikan yang abnormal dengan suatu dorongan atau sebab dari lingkungan yang tidak menyenangkan.

Berbagai gejala stres menurut Arden (2002) dibagi menjadi tiga, yaitu gejala fisik, psikologis dan perilaku. Gejala fisik dapat ditunjukkan dengan sakit kepala, sakit punggung, kehilangan nafsu makan atau makan berlebihan, bahu tengang, diare,insomnia, kelelahan, sering flu, gangguan pencernaan, gangguan perut dan napas pendek. Sementara gejala psikologis ditunjukkan dengan sifat pesimis, mudah lupa, kebosanan, ketidaktegasan, ketidaksabaran, pikiran yang kaku, depresi, kecemasan, dan sebagainya.

Gejala perilaku dari stres dapat ditunjukkan dengan adanya keresahan, mudah marah, hygiene buruk, pekerjaan yang buruk, mudah bingung, agresivitas, mangkir kerja dan sebagainya. Bila tingkat stres sangat tinggi, konstan dan mencemaskan, derajat stres tersebut cenderung menjadi tidak bermanfaat untuk kesehatan dan bahkan dapat membahayakan. Tingkat stres yang tinggi dapat cenderung ke serangan jantung, terutama kalau faktor risiko lainnya juga hadir. Stres dapat memicu pengeluran hormon andrenalin dan katekolamin yang tinggi yang dapat berakibat mempercepat kekejangan (spasm) arteri koroner, sehingga suplai darah ke otot jantung terganggu (Soeharto, 2002).

Stres juga adalah salah satu penyebab hipertensi. Dalam keadaan stres pembuluh darah akan menyempit sehingga menaikkan tekanan darah. Jika tubuh terus menerus dalam keadaan stres, maka tekanan darah pun akan tetap tinggi. Dan, tekanan darah yang selalu tinggi akan memaksa jantung untuk bekerja lebih keras. Hal ini akan merusak dinding pembuluh darah. Selain itu, tekanan darah tinggi yang kronis dapat menimbulkan penyakit kardiovskuler (Hutapea, 1993).

Dr. Hans Selye mengamati General adaptation syndrome (sindrom adaptasi umum), yaitu serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan. Sindrom ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap ‘alarm’ (tanda bahaya), tahap resistance (perlawanan) dan tahap exhaustion (kehabisan tenaga). Tahap pertama organisme berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman. Tahap ini tidak dapat tahan lama. Dan kemudian, organisme memasuki tahap kedua. Organisme memobilisasi sumber-sumber supaya mampu menghadapi tuntutan. Jika tuntutan berlangsung lama, maka sumber-sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme mencapai tahap terakhir, yaitu tahap exhaustion .

Jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh stres maka mekanisme pertahanan dalam tubuh diaktifkan. Kelenjar- kelenjar mengeluarkan/melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang besar, dan perubahan- perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm ). Jika exposure /paparan terhadap pembangkit stres ( stressor ) bersinambung dan tubuh mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stres ini disebut tahap resistance . Tetapi jika paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan tubuh secara perlahan- perlahan menurun sampai menjadi tidak sesuai dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi sepatutnya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dari hampir semua bagian tubuh (tahap exhaustion ).

Menurut Selye, jika tubuh tidak cukup, berlebihan, atau salah, maka reaksi tubuh itu sendiri dapat menimbulkan penyakit. Hal ini dinamakan disease of adaptation (penyakit dari adaptasi), karena penyakit-penyakit tersebut lebih disebabkan oleh reaksi adaptif yang kacau dari tubuh kita daripada oleh hasil yang merusak langsung dari penimbul stres. Misalnya gastrointestinal ulcers (nanah dari perut), tekanan darah tinggi, penyakit jantung (cardiac incidents), alergi dan berbagai jenis penyakit/gangguan mental (Munandar, 2001).

Plaut dan Friedman (1981) dalam buku yang berjudul Penyakit Akibat Kerja Berbagai Penyakit Akibat Lingkungan Kerja dan Upaya Penanggulangannya (2005), membuktikan bahwa stres sangat berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk menderita penyakit, terkena alergi serta menurunkan sistem autoimmune-nya. Sementara itu, menurut Dantzer dan Kelley (1989) pengaruh stres terhadap daya tahan tubuh ditentukan oleh jenis, lama dan frekuensi stres yang dialami oleh seseorang. Makin kuat stressor , makin lama dan sering terjadi, sangat berpotensi menurunkan daya tahan tubuh dan mudah menimbulkan penyakit.

Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah


Faktor risiko yang tidak dapat diubah diantaranya, yaitu:

Umur dan Jenis Kelamin

Pria di atas umur 35 tahun lebih rentan terhadap penyakit jantung koroner dibandingkan dengan wanita. Sebab, proses aterosklerosis lebih intensif terjadi dan sudah mulai memunculkan gejala pada pria usia menjelang tua (proses penuaan). Pada wanita, kerentanan ini belum terjadi selama ia masih dalam usia subur, karena hormon-hormon wanita mempunyai khasiat melawan proses aterosklerosis. Ketika wanita memasuki masa klimakterium atau bahkan menopause, ia mempunyai kerentanan yang sama terhadap penyakit kardiovaskular seperti pada pria. Namun, bagi penderita diabetes melitus, baik pria maupun wanita sama saja, proses aterosklerosis berjalan sangat awal (Cahyono, 2008).

Menurut Arif Muttaqin (2009) dalam buku yang berjudul “Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular”, kerentanan terhadap arteriosklerosis koroner meningkat dengan bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap faktor-faktor arteriogenesis.

Herediter/genetik

Gen yang terdapat dalam inti sel adalah pembawa sifat makhluk hidup yang diturunkan oleh nenek moyangnya, termasuk jenis penyakit tertentu. Hal yang diturunkan (genetik) pada penyakit kardiovaskular ini adalah penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia dan obesitas.

Faktor genetik ini tidak dapat dihilangkan, namun dapat diubah untuk kepentingan pencegahan penyakit kardiovaskular. Meskipun penyakit ini diturunkan, namun tidak berarti 100% anak-anaknya dalam satu keluarga harus semua terkena penyakit kardiovaskular (Cahyono, 2008).

Ras/etnik

Berdasarkan data American Heart Association, ras Afrika-Amerika berisiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan ras Kaukasia. Dengan kata lain, ras kulit hitam, dengan tingginya risiko hipertensi dan diabetes, lebih berisiko terkena stroke dibandingkan ras lainnya (Holistic Health Solution, 2011). Sementara itu, di Indonesia belum ada penelitian tentang suku-suku yang mana yang mempunyai faktor risiko lebih tinggi.

Faktor risiko pada suatu rasa atau suku tertentu lebih disebabkan oleh kebiasaan makan atau pola hidup yang dianut suku tersebut. Misalnya, kebiasaan makan yang tinggi lemak dan garam akhirnya memicu hipertensi. Lalu muncullah anggapan bahwa seolah-olah ini melekat pada suatu ras (Sutrisno, 2007).