Apa yang dimaksud dengan penyakit jantung koroner?

Penyakit jantung koroner

Penyakit jantung koroner mempunyai banyak nama lain, antara lain penyakit arteri koroner, penyakit jantung arteriosklerosis atau penyakit jantung iskemik. Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit yang terjadi ketika ada penyumbatan parsial aliran darah ke jantung.

Masalah ini dapat berdampak pada penumpukan plak di arteri. Ini disebut arteriosklerosis yang merupakan pengerasan pembuluh darah. Hal ini dapat mengakibatkan penggumpalan darah yang dapat menyebabkan serangan jantung atau stroke. Pengerasan pembuluh darah dan penyumbatan arteri utama adalah salah satu penyebab utama kematian.

Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang ditimbulkan akibat kondisi patologik arteri koroner ditandai dengan penimbunan lipid yang abnormal atau jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah yang disebut aterosklerosis. Aterosklerosis koroner menyebabkan penyempitan lumen arteri dan penyumbatan aliran darah ke jantung (Black & Hawk, 2005 ; Smeltzer & Bare, 2002).

Beberapa kondisi yang ditimbulkan akibat aterosklerosis tersebut adalah iskemia sel otot jantung. Kerusakan akibat iskemia tersebut terjadi dalam berbagai tingkat. Manifestasi utama iskemia miokardium tersebut adalah nyeri dada. Angina pektoris adalah nyeri dada yang hilang timbul, tidak ada kerusakan ireversibel sel- sel jantung. Iskemia yang lebih berat, disertai kerusakan sel disebut infark miokardium (Smeltzer & Bare, 2002).

Angina Pectoris

Angina pektoris merupakan suatu sindroma klinis, ditandai dengan episode nyeri atau rasa tertekan didada. Terjadi akibat iskemia miokard dan seringkali menjalar ke lengan kiri. Pasokan oksigen gagal memenuhi kebutuhan oksigen, sebagai akibat gangguan aliran arteri koroner. Faktor utama yang mempengaruhi konsumsi oksigen miokard (MVO2) antara lain tegangan dinding sistolik, keadaan kontraktil dan denyut jantung (FKUI, 2002 ; Gray et al. , 2002).

Manifestasi klinik


Iskemia otot jantung akan menyebabkan nyeri dengan derajat yang berbeda, mulai dari rasa tertekan pada dada atas sampai nyeri hebat yang disertai dengan rasa takut atau rasa akan menjelang ajal. Nyeri tersebut sangat terasa pada dada di daerah belakang strenum atau sternum ketiga tengah (retrosternal), dapat menyebar ke leher, dagu, bahu, dan aspek dalam ekstremitas atas. Sakit dada biasanya timbul saat melakukan aktivitas dan hilang saat istirahat dengan lama serangan berlangsung 1- 5 menit (FKUI, 2002 ; Smeltzer & Bare, 2002).

Tipe Angina

Tipe Ciri / karakteristik
Angina Non stabil Frekuensi, intensitas dan durasi serangan angina meningkat secara progresif
Angina stabil kronis Dapat diramal, konsisten, terjadi saat latihan dan hilang dengan istirahat
Angina nokturnal Nyeri terjadi saat malam hari, biasanya saat tidur; dapat dikurangi dengan duduk tegak. Biasanya akibat gagal ventrikel kiri
Angina dekubitus Angina saat berbaring
Angina refrakter/intraktabel Angina yang sangat berat sampai tidak tertahankan
Angina Prinzmetal Nyeri angina yang bersifat spontan disertai elevasi segemen ST pada EKG
Diduga disebabkan oleh spasme arteri koroner
Berhubungan dengan risiko tinggi terjadinya infark
Iskemia tersamar Terdapat bukti obyektif iskemia (seperti tes pada stress) tetapi pasien tidak menunjukkan gejala

Sumber : Smeltzer & Bare, 2002

Komplikasi


Komplikasi utama dari angina (stable) adalah unstable angina, infark miokard, aritmia dan sudden death (FKUI, 2002).

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan nyeri antara lain : (Muttaqien, 2009; Smeltzer & Bare, 2002)

  • Latihan fisik dapat memicu serangan dengan cara meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.

  • Pajanan terhadap dingin dapat mengakibatkan vasokontriksi dan peningkatan tekanan darah, disertai peningaktan kebutuhan oksigen.

  • Makan makanan berat akan meningkatkan aliran darah ke mesenterik untuk pencernaan, sehingga menurunkan ketersediaan darah untuk suplai jantung (pada jantung yang sudah sangat parah, pintasan darah membuat nyeri angina semakin buruk).

  • Stress atau berbagai emosi akibat situasi yang menegangkan, menyebabkan frekuensi jantung meningkat, akibat pelepasan adrenalin dan meningkatnya tekanan darah, sehingga kerja jantung juga meningkat.

Penatalaksanaan


Tujuan dari penatalaksaan angina yaitu untuk menurunkan kebutuhan oksigen jantung dan untuk meningkatkan suplai oksigen. Adapun penalaksanaan medis sebagai berikut :

  • Pengobatan serangan akut nitrogliserin sublingual yang berfungsi melebarkan vena dan arteri sehingga mempengaruhi sirkulasi perifer. Akibat pelebaran vena tersebut terjadi pengumpulan darah vena di seluruh tubuh, hanya sedikit dari darah yang kembali ke jantung dan terjadi penurunan tekanan pengisian darah (preload). Nitrat juga melemaskan arteriol sistemik dan menyebabkan penurunan tekanan darah (afterload). Tablet nitrat dapat diberikan 1 tablet dan bekerja 1-2 menit dan dapat diulang dengan interval 3-5 menit (FKUI, 2002; Smeltzer & Bare, 2002; Ignatavius & Workman, 2010).

  • Pencegahan serangan lanjutan :

    • Long acting nitrat, yaitu ISDN 3 x 10 – 40 mg oral
    • Beta blocker: propanaolol, nadolol, atenolo
    • Kalsium antagonis: verapamil, nifedipin atau isradipine
  • Berdasarkan rekomendasi AHA/ACC Guideline, 2006 untuk pasien PJK diberikan ACE inhibitor untuk pasien dengan EF < 40%, hipertensi, diabetes, gagal ginjal kronis. Beta blockers diberikan pada pasien ACS (Acute Coronary Syndrome), infark miokard atau gangguan ventrikel kiri.

  • Tindakan invasif: PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty), Laser coronary angioplasty, dan CABG (Coronary artery Bypass Grafting).

  • Perubahan gaya hidup dan aktivitas
    Pasien yang sudah pernah dirawat dengan gangguan vaskularisasi seperti angina atau infark miokard harus melakukan perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok, mengontrol tekanan darah, kontrol diit untuk mengendalikan kadar kolesterol dan melakukan aktivitas latihan serta manajemen stress.

Faktor risiko dan Penyebab penyakit jantung koroner

Faktor risiko dan penyebab penyakit jantung koroner meliputi faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi seperti riwayat keluarga, umur, jenis kelamin, sedangkan faktor risiko yang dimodifikasi adalah hipertensi, merokok, diabetes melitus, dislipidemia (metabolisme lemak yang abnormal), obesitas, kurang aktivitas fisik, pola makan, konsumsi minuman beralkohol dan stress (Ditjen PP&Pl, 2011).

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

Riwayat keluarga

Adanya riwayat keluarga dekat yang terkena Penyakit jantung koroner meningkat risikonya dua kali lebih besar dibanding dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga.

Menurut Tierney et al., 2002 dalam penelitiannya bahwa riwayat keluarga yang positif (terutama bila mulai munculnya sebelum usia 50 tahun) menjadi salah satu faktor risiko penting terjadinya Penyakit Jantung Koroner. Riwayat keluarga Penyakit Jantung Koroner pada keluarga yang berhubungan darah langsung yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya Penyakit Jantung Koroner, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar daripada populasi kontrol (Gray et al., 2002).

Umur

Risiko Penyakit jantung koroner meningkat pada usia diatas 55 tahun untuk laki-laki dan diatas 65 tahun untuk perempuan. Penyakit jantung koroner seiring meningkat dengan usia dan peningkatan ini sangat pesat pada wanita daripada pria, terutama saat memasuki usia menopouse (Ali, 2002; Mosca, Ferris, Fabunmi & Robertson, 2004 dalam penelitian Wu, 2007).

Menurut Tierney, McPhee, Papadakis, 2002 , hormon estrogen melindungi terhadap timbulnya penyakit koroner, namun tindakan terapi penggantian hormon pada pasien pasca menopouse masih belum jelas, namun dalam percobaan klinis dilakukan evaluasi penggunaan estrogen secara prospektif pada wanita dengan penyakit arteri koroner. Didapatkan hasil adanya penurunan kematian atau pencegahan gangguan jantung berikutnya.

Berdasarkan analisis awal dari Women’s Heart Initiative, penggantian estrogen mungkin mencegah gangguan koroner, namun semua penelitian masih terus berlangsung (Tierney, McPhee, Papadakis, 2002).

Jenis kelamin

Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko Penyakit jantung koroner lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini disebabkan oleh perlindungan dari hormon estrogen pada kaum perempuan yang masih menstruasi. Namun seiring dengan perkembangan kesehatan, perbandingan kasus serangan jantung antara pria dan perempuan mencapai 1:2. Hal ini terjadi karena kesehatan perempuan tidak diperhatikan (Sumiati dkk, 2010).

Menurut analisa Sumiati dkk, ada beberapa faktor penyebab mengapa jumlah kasus serangan jantung pada perempuan meningkat drastis yaitu :

  1. Tingkat frekwensi pemeriksaan medis pada perempuan cenderung minim dibandingkan pria.

  2. Perempuan kurang memiliki aktivitas yang padat layaknya pria, sehingga nyeri dada kerap diabaikan dan dianggap sebagai hal biasa.

  3. Asupan gula dan lemak tinggi

  4. Kurangnya kesadaran perempuan terhadap gejala penyakit kardiovaskular, sehingga perempuan tidak mendapatkan pertolongan yang tepat waktu, karena pihak pasien dan dokter terlambat mengambil kesimpulan terhadap gejala penyakit jantung.

Hal ini sangat menarik untuk difahami dan kemudian diusahakan agar dapat dicegah sedini mungkin, apalagi faktor risiko utama pada perempuan bersifat sangat alami. Cara hidup yang baik sejak umur 35 tahun akan sangat menolong mencegah serangan jantung pada perempuan, sesuai dengan rekomendasi dari Sumiati dkk, 2010.

Menurut Cooper-De Hoof dalam Emergency Department Nursing Journal (2007) , perempuan yang datang ke ruang gawat darurat dengan keluhan nyeri dada tanpa tanpa ada sumbatan di arteri koronaria berisiko tinggi terjadi komplikasi jantung atau kematian. Hasil penelitian menunjukkan 564 perempuan dengan nyeri dada yang menjalani coronary arteriography tidak memiliki sumbatan di arteri koronaria. Meskipun ditemukan sedikit plak saat kateterisasi jantung, pasien perempuan tersebut harus dirujuk ke ahli jantung untuk mendapat penanganan yang lebih serius (Cooper-DeHoof & Booker, 2007).

Tahun 2006 sebanyak 10.797 penduduk perempuan Australia meninggal karena serangan jantung dan jumlahnya empat kali lipat dibandingkan karena kanker payudara (Crouch, 2008). Menurut Crouch, meskipun mereka sudah mengetahui pentingnya identifikasi gejala sedini mungkin namun perempuan Australian ini tetap harus menerima dan memahami risiko aktual dari Penyakit Jantung Koroner sebelum mereka memutuskan untuk membuat pilihan yang tepat dalam menngurangi faktor risiko.

Berdasarkan analisa Shaw, 2009, tingginya prevalensi Penyakit Jantung Koroner pada perempuan, dikarenakan reaktivitas dari koroner tersebut, khususnya disfungsi mikrovaskular terutama karena perubahan hormon dan meningkat pada saat menopouse. Disfungsi mikrovaskular tersebut dapat menyebabkan iskemik miokard.

2. Fakor risiko yang dapat di modifikasi

Hipertensi

Risiko Penyakit jantung koroner meningkat sejalan dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi merupakan penyebab tersering Penyakit jantung koroner serta faktor utama dalam gagal jantung kongestif. Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi (Djohan, 2004). Tekanan darah yang tinggi terus menerus menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat. Deteksi awal tekanan darah tinggi dan kepatuhan terhadap aturan terapi dapat mencegah konsekuensi serius yang mungkin di derita oleh penderita dengan tekanan darah tinggi (Smeltzer & Bare, 2002).

Pemberian obat hipertensi yang tepat dapat mencegah terjadinya miokard infrak dan kegagalan ventrikel kiri, namun perlu diperhatikan efek samping dari obat-obatan jangka panjang, oleh sebab itu upaya pencegahan terhadap hipertensi merupakan usaha yang jauh lebih baik untuk menurunkan prevalensi Penyakit Jantung Koroner (Djohan, 2004).

Kebanyakan orang-orang tidak menyadari jika dirinya terkena hipertensi. Hal ini di akibatkan oleh kurangnya pemahaman dan edukasi serta kemampuan melakukan deteksi awal tekanan darah tinggi. Diperlukan pemantauan perkembangan tekanan darah bagi pasien Penyakit Jantung Koroner dengan riwayat hipertensi (Ridwan, 2009).

Dikutip dari pernyataan Djohan, 2004, penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan angka Penyakit Jantung Koroner sebanyak 25%. Keadaan ini dimungkinkan akibat hasil dari deteksi dini dan pengobatan hipertensi, pemakaian betablocker dan bedah koroner.

Merokok

Risiko Penyakit jantung koroner pada perokok 2-4 kali lebih besar daripada yang bukan perokok. Kandungan zat racun dalam roko antara lain tar, nikotin dan karbon monoksida. Rokok akan menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung, poeningkatan tekanan darah dan nadi, pnurunan kadar kolesterol – HDL, peningkatan penggunpalan darah dan kerusakan endotel pembuluh darah koroner (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Gray, 2002, orang yang tidak merokok dan tinggal bersama peroko (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20-30% dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Peran rokok dalam patogenesis Penyakit Jantung Koroner merupakan hal yang kompleks, diantaranya: timbul aterosklerosis, peningkatan trombogenesis dan vasokontriksi (termasuk spasme koroner), peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, provokasi aritmia jantung, peningkatan kebutuhan oksigen miokard, penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.

Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya: kanker paru, bronkitis kronis dan emfisema, penyakit vaskular serebral dan perifer, aneurisme aorta abdominalis, angina berulang pascaprosedur revaskularisasi koroner.

Diabetes melitus

Menurut Sumiati,dkk, 2010, diabetes merupakan kondisi umum yang menimpa 3 dari 100 orang di Inggris. Penyebabnya adalah kekurangan atau resistensi terhadap hormon insulin yang mengontrol penyebaran glukosa ke sel-sel di seluruh tubuh melalui aliran darah. Diabetes dapat meningkatkan risiko gangguan dalam peredaran darah, termasuk Penyakit Jantung Koroner. Kontrol yang baik terhadap diabetes dengan diet, atau insulin dapat mengurangi timbulnya masalah pada aliran darah dan jantung. Diabetes menyebabkan risiko terserang Penyakit Jantung Koroner 3 kali lebih banyak dibandingkan denagn orang yang kadar gula darahnya dalam batas normal.

Diagnosis DM ditegakkkan bila :

  1. Keluhan khas: gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau gula darah puasa ≥
    126 mg/dl

  2. Keluhan tidak khas; gula darah sewaktu 200 mg/dl atau gula darah puasa ≥
    126 mg/dl, pada 2 kali pemeriksaan dengan waktu yang berbeda.

  3. Bila hasil pemeriksaan meragukan dapat dilakukan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Kadar glukosa darah 2 jam sesudah pembebanan glukosa oral 75 gram (300 kalori) : 140 mg/dl (tidak DM), 140-199 mg/dl (Toleransi Glukosa Terganggu/TGT), ≥ 200 mg/dl (DM).

Berdasarkan hasil penelitian Framingham, satu dari dua oorang peenderita DM akan mengalami kerusakan pembuluh darah dan peningkatan risiko serangan jantung. Target pengobatan pada pasien dengan DM adalah kadar HbA1C ≤ 6, kadar gula darah puasa < 110 mg/dl atau gula darah 2 jam PP < 135 mg/dl.

Berdasarkan penelitian Yanti dkk, kadar GDP ≥ 126 mg/dl merupakan faktor risiko terjadi Penyakit Jantung Koroner pada DM tipe 2. Proporsi kadar GDP ≥ 126 mg/dl pada kasus sebesar 82,5% dan pada kontrol 54%. Diabetes berhubungan dengan kekentalan darah, anormalitas fungsi dan aktivasi platelet, memperbanyak growth factors, peningkatan kadar fibrinogen plasma dan abnormalitas komposisi lipid pada plasma yang dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis.

Sebaiknya penderita DM tipe 2 melaksanakan pencegahan terhadap Penyakit Jantung Koroner dengan melaksanakan kontrol kesehatan dan laboratorium secara teratur: glukosa darah, kolesterol HDL, trigliserida, tekanan darah dan olahraga teratur minimal 3 kali seminggu serta mematuhi diet DM.

Dislipidemia

Menurut Gray, 2002, terdapat hubungan langsung antara risiko Penyakit Jantung Koroner dan kadar kolesterol darah. Sekitar sepertiga populasi di Inggris memilki kadar kolesterol yang melebihi 6,5 mmol/L yang dinilai tinggi. Kolesterol ditranspor dalam darah dalam bentuk lipoprotein, 75% merupakan lipoprotein densitas rendah (LDL) dan 20% merupakan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Kadar kolesterol LDL yang rendah memiliki peran yang baik pada Penyakit Jantung Koroner dan terdapat hubungan yang terbalik antara kadar HDL dan insidensi Penyakit Jantung Koroner.

Peranan trigliserida sebagai faktor risisko Penyakit Jantung Koroner masih kontroversial. Kadar trigliserida yang meningkat banyak dikaitkan dengan pankreatitis dan harus diterapi. Hiperlipidemia gabungan (misalnya pada diabetes) membutuhkan intervensi, namun kekuatan trigliserida sebagai salah satu faktor risiko jika kolesterol kembali normal adalah lemah. Pada pasien dengan DM atau pasien asimptomatik dengan risiko penyakit jantung koroner, maka target kolesterol darah harus < 175 mg/dl dan LDL < 100 mg/dl.

Kadar HDL <40 mg/dl pada laki-laki dan < 45 mg/dl pada perempuan, serta kadar trigliserida puasa > 150mg/dl akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah (PP&PL Kemenkes RI, 2011; Gray et.al , 2002). Menurut American Heart Association, 2002 menyatakan bahwa lebih dari 102,3 juta orang Amerika memiliki kadar kolesterol > 200 ml/dl atau lebih dan dengan kadar kolesterol ≥ 240 berisiko terkena Penyakit Jantung Koroner. Dibutuhkan kerjasama tim yang baik dalam menangani maslah ini. Salah satunya dengan memberikan edukasi kesehatan mengggunakan beberapa media dan metode seperti leaflet, medikasi, follow up via telepon, pelayanan sosial, dan sistem rujukan (ke ahli gizi misalnya).

Obesitas

Menurut Gray et.al, 2002, terdapat saling keterkaitan antara berat badan, peningkatan tekanan darah, peningkatan kolesterol darah, diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM) dan tingkat aktivitas fisik rendah. Proporsi populasi yang diklasifikasikan sebagai obesitas (Indeks Massa Tubuh > 30 kg/m2) di Inggris telah meningkat secara progresif dalam 20 tahun terakhir. Fakta menunjukkan bahwa distribusi lemak tubuh berperan penting dalam peningkatan faktor risiko Penyakit jantung koroner. Penumpukan lemak dibagian sentral tubuh akan meningkatkan risiko Penyakit jantung koroner (PP&PL Kemenkes RI, 2011; Gray et.al , 2002). Kegemukan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi, diabetes dan peningkatan kolesterol (Sumiati, dkk, 2010).

Terdapat hubungan yang erat antara obesitas dan Penyakit Jantung Koroner serta DM tipe 2 (Ohkawara, et al., 2008). Hal ini disebabkan terjadi peningkatan distribusi lemak dalam tubuh. Upaya menurunkan akumulasi lemak tersebut dengan cara pembedahan dan farmakoterapi efektif untuk mencegah peningkatan risiko terjadi Penyakit Jantung Koroner. Namun selain upaya tersebut diatas, modifikasi gaya hidup dengan mengurangi konsumsi lemak, meningkatkan aktifitas fisik, menurunkan berat badan akan lebih baik dan lebih aman.

Kurang aktivitas fisik

Aktivitas fisik atau latihan olahraga rutin dapat meningkatkan HDL dan membantu proses metabolisme. Aktivitas aerobik teratur menurunkan rsiko Penyakit Jantung Koroner sebesar 20-40% di Inggris. Aktivitas fisik akan memperbaiki sistem kerja jantung dan pembuluh darah dengan meningkatkan efisiensi kerja jantung, mengurangi keluhan nyeri dada, melebarkan pembuluh darah, membuat koleteral atau jalan baru apabila sudah ada penyempitan pembuluh darah koroner, mencegah timbulnya penggunpalan darah, meningkatkan kemampuan seksual dan meningkatkan kesegaran jasmani (PP&PL Kemenkes RI, 2011; Gray et.al , 2002; Smeltzer & Bare, 2002).

Manajemen faktor risiko melalui pencegahan sekunder dapat menurunkan prevalensi jantung koroner berulang yang lebih buruk lagi. Pencegahan sekunder tersebut melalui anjuran untuk memilki pola hidup yang sehat dan rutin melakukan aktivitas seperti latihan ringan, jalan pagi, bersepeda (Cooper-DeHoof & Booker, 2007).

Pola makan

Kontrol diit sekarang menjadi lebih mudah karena pabrik pengolahan makanan harus mencantumkan data nutrisi lengkap dan benar pada label produknya. Informasi tersebut penting bagi pasien Penyakit Jantung Koroner yang sedang mengontrol kolesterolnya. Makanan yang banyak mengandung serat dan larut dalam air dapat membantu menurunkan kolesterol. Serat yang larut dalam air seperti pektin (ditemukan dalam buah segar) meningkatkan ekskresi kolesterol yang dimetabolisme (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Ridwan, 2009, hampir 90% penyakit baik degeneratif maupun kardiovaskular berasal dari kesalahan dalam mengkonsumsi makanan atau melakukan pola makan yang salah. Hal tersebut berawal dari gaya hidup yang kurang tepat. Sumber makanan yang tidak boleh dikonsumsi umumnya makanan yang mengandung kolesterol dan asam lemak jenuh dalam konsentrasi yang tinggi seperti daging dan makanan siap saji. Makanan dengan kadar garam tinggi dianjurkan untuk dihindari karena dapat meningkatkan retensi cairan tubuh. Kadar garam yang tinggi dapat mempengaruhi ginjal menpertahankan natrium yang akhirnya mengakibatkan penyerapan air yang berlebihan dan terakumulasi dalam tubuh. Tubuh akan mengalami edema, kenaikan berat badan secara eksponensial dan menjadi penyebab munculnya gagal jantung.

Stress

Menurut Sumiati dkk, 2010, stress menjadi salah satu penyebab Penyakit Jantung Koroner. Seseorang dengan jenis kepribadian tertentu berisiko lebih tinggi terhadap serangan jantung. Penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara faktor stress psikologik dengan kejadian penyakit jantung. Secara teoritis, stress yang terus menerus akan meningkatkan katekolamin dan tekanan darah, sehingga menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri koroner.

Stress dapat mengakibatkan diare, kejang otot, serta tangan berkeringat. Tindakan medis pencegah stres dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan seperti valium (diazepam), xanac (alprazolam) atau dilantin (fenotoin). Namun pemberian obat tidak akan menghasilkan dampak apapun tanpa diikuti oleh pengendalian terhadap stress itu sendiri. Stress harus dapat dikendalikan sebijak dan sebaik mungkin (Ridwan, 2009).

Emosi dan kognitif memeiliki hubungan yang erat dalam perilaku kesehatan (Gallo et.al, 2004). Perasaan optimis dan kontrol emosi yang positif dapat mendorong seseorang untuk melakukan gaya hidup yang sehat. Seseorang cenderung untuk menghindari rokok, makan makanan yang sehat, berolahraga dan memiliki koping yang positif dalam menghadapi setiap masalah kesehatan terutama Penyakit Jantung Koroner (Gallo et al., 2004).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah ketidaksanggupan jantung akut atau kronis yang timbul karena kekurangan suplai darah pada myokardium sehubungan dengan proses penyakit pada sistem nadi koroner (Knight, 1996).

Definisi lain untuk Penyakit Jantung Koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh terjadinya penyempitan dan hambatan arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Apabila penyempitan ini menjadi parah, dapat menimbulkan serangan jantung (Soeharto, 2004).

Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner


Menurut Kusumawidjaja (2004), kelainan akibat insufisiensi koroner dapat dibagi menjadi 3 jenis yang hampir serupa, diantaranya adalah:

  • Penyakit Jantung Arteriosklerotik ( Arteriosclerotic Heart Disease = ASHD)
    ASHD menyebabkan fibrosis merata yang disebabkan oleh aliran darah yang lambat laun berkurang. Iskhemi yang relatif ringan, tetapi berlangsung lama menyebabkan artrofi myocardium yang progresif dan diakhiri dengan fibrosis . Perubahan ini dapat pula menyerang katup jantung. Dalam golongan penyakit jantung arteriosklerotik termasuk pula penyakit jantung senilis (presbycardia).

  • Angina Pectoris
    Merupakan suatu gejala kompleks yang tidak disertai kelainan morfologik yang permanen pada myocardium disebabkan oleh insufisiensi relatif yang sementara dari pembuluh darah koroner. Gejala utama ialah rasa nyeri pada dada yang episodik. Angina pectoris biasanya menunjukkan adanya penyakit jantung arteriosklerotik dan biasanya juga merupakan permulaan dari infark myocardium .

  • Infark Myocardium ( Myocardial Infarction = MCI)
    Merupakan penyakit pembuluh darah jantung koroner yang paling penting dan paling gawat. Nekrosis iskhemik yang mendadak pada daerah myocardium yang terbatas ( discrete ), disebabkan oleh insufisiensi arteri koroner yang sangat. Infark myocardium hampir selalu didahului berbagai kelainan antomik yang disebabkan oleh arteriosklerosis. Walaupun lebih jarang daripada ASHD, infark myocardium lebih berbahaya dan jarang ditemukan pada bedah mayat, meskipun hanya 25%, tetapi merupakan sebab kematian yang utama.

Patogenesis Penyakit Jantung Koroner


Istilah PJK menunjukkan ketidakseimbangan antara aliran darah arterial dan kebutuhan myocardium yang dipengaruhi oleh aliran darah koroner, kepekaan myocardium terhadap iskhemi, dan kadar oksigen dalam darah. Gangguan suplai darah pada otot jantung menyebabkan jantung akan mengalami kekurangan darah dengan segala manifestasinya (Bustan, 1997).

Manifestasi klinis penyakit jantung koroner bervariasi tergantung pada derajat aliran dalam arteri koroner. Kebutuhan konsumsi oksigen jaringan tergantung pada pasok arteri koroner, bila aliran koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan maka tidak akan timbul keluhan atau menifestasi klinis. Tetapi bila arteri koroner mengalami ganggguan penyempitan ( stenosis ) atau penciutan ( spasme ) yang menyebabkan pasok arteri koroner tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan. Hal tersebut dapat memberikan gangguan. Manifestasi gangguan dapat bervariasi tergantung pada berat ringannya stenosis atau spasme, luasnya daerah yang terkena, dan kebutuhan jaringan misalnya saat istirahat atau aktif.

Pada umumnya gangguan suplai darah arteri koroner dianggap berbahaya bila terjadi penyempitan sebesar 70% atau lebih pada pangkal atau cabang utama arteri koroner. Penyempitan yang kurang dari 50% kemungkinan belum menampakkan gangguan yang berarti. Keadaan ini tergantung pada beratnya arteriosklerosis dan luasnya gangguan jantung serta apakah serangan tersebut lama atau masih baru. Dalam keadan istirahat, meskipun arteri koroner mengalami stenosis lumen sampai 60% bisa saja belum menimbulkan gejala sebab aliran darah koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan. Mekanisme ini sering disebut penyakit jantung koroner laten atau silent ischemia . Sebaliknya angina pektoris dapat timbul dalam keadaan istirahat.

Tetapi bila terjadi peningkatan kebutuhan jaringan misalnya saat sedang bekerja, berolahraga, berpikir, atau sesudah makan aliran yang tadinya mencukupi menjadi kurang. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan yang akan menghasilkan peningkatan hasil metabolisme (asam laktat). Kekurangan oksigenasi jaringan akan menimbulkan manifestasi klinis seperti nyeri dada, rasa berat, rasa tertekan, panas, rasa tercekik, tidak enak di dada, capek, kadang-kadang seperti masuk angin. (Kusmana, et al , 1996)

Menurut Postulat Virchow, 1982, ada tiga mekanisme utama yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan aliran darah koroner sehingga menimbulkan iskemik, yaitu:

  • Faktor Sumbatan oleh Kerak ( Plaque )
    Bagian dari proses aterosklerosis yang menonjol ke dalam lumen arteri koroner dapat terbentuk konsentris atau eksentris. Penyumbatan 70% atau lebih dari total lumen biasanya baru dapat menimbulkan keluhan angina. Lebih dari 90% serangan PJK terjadi karena mekanisme ini.

  • Faktor Tonus Vasomotor Pembuluh Darah Koroner
    Sumbatan juga dapat ditimbulkan oleh faktor tonus vasomotor yang meninggi, yang menyebabkan pembuluh darah koroner mengalami spasme atau mengalami penyempitan (Vasokontraksi), dengan demikian lumen arteri koroner juga akan mengecil. Kerena mekanismenya, maka keadaan ini kadang-kadang disebut kerak atau plak aktif ( Active Plaque ). Perlu diketahui bahwa pembuluh darah koroner yang mengalami spasme biasanya sudah ada aterosklerosis, hanya lumen yang sebelumnya tersumbat tidak signifikan menjadi jelas setelah adanya spasme .

  • Faktor Trombus
    Plak yang menonjol ke lumen mengandung cairan lipid pada inti selnya dan dapat juga mengandung perkapuran. Plak yang intinya didominasi cairan lipid sangat rawan untuk menimbulkan trombus. Apabila plak ini pecah maka cairan lipid akan keluar dan menyumbat lumen arteri koroner. Proses inilah yang bertanggung jawab akan terjadinya infark akut.

Kematian mendadak ( sudden death ) terjadi pada 50% penderita yang tanpa keluhan sebelumnya. Sedangkan selebihnya disertai keluhan yang mati mendadak 6 jam setelah keluhan. Proses mati mendadak ini dimulai dengan trombosis pembuluh darah koroner yang disusul dengan nekrosis yang disertai aritmia ventrikel (Bustan, 1997).

Gejala Klinis Penyakit Jantung Koroner


Gambaran klinis PJK dapat berupa angina pektoris , infark miokard , payah jantung, ataupun mati mendadak. Angina pectoris (biasanya timbul karena adanya kekurangan suplai oksigen ke otot jantung pada saat aktivitas ataupun dalam keadan istirahat) dengan sakit yang khas yaitu sesak nafas di tengah dada yang dapat menyebar sampai leher dan rahang, pundak kiri atau kanan dan lengan bahkan sampai terasa tembus ke punggung, kadang-kadang juga merasakan kesulitan bernafas. Angina pektoris merupakan gejala utama PJK yang ditandai dengan keluhan nyeri dada ( chest pain ) atau rasa tidak enak di dada ( chest discomfort ) yang spesifik.

Ciri khas dari rasa tidak nyaman ini diawali oleh peningkatan aktifitas fisik dan segara hilang jika sudah beristirahat. Pada umumnya keluhan angina yang berawal dari PJK adalah rasa nafas tak bebas ( tightness ) , tertekan ( pressure ), rasa terbakar ( burning ), rasa berat ( heavy ), sakit ( arching ), rasa tercekik ( strangling ), dan rasa mampat di dada ( compression ). Sedangkan keluhan nyeri dada yang kemungkinan bukan berasal dari PJK antara lain rasa seperti ditusuk jarum atau pisau seperti kena tembak dan rasa kejang.

Kondisi lainnya dikenal dengan acute myocard infarct (AMI) yaitu rusaknya otot jantung akibat penyumbatan arteri secara total yang disebabkan pecahnya plak lemak aterosklerosis pada arteri koroner secara tiba-tiba, dan akan menimbulkan gejala sakit dada yang hebat, nafas pendek dan seringkali penderita akan kehilangan kesadaran sesaat. Kerusakan otot jantung yang terjadi cukup lama dan tidak segera dibuka sumbatannya akan menyebabkan kematian otot jantung dan tidak akan pulih lagi. Infark miokard ditandai dengan sakit dada yang khas lebih dari 20 menit dan tidak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan, serta tidak hilang dengan pemberian nitrat yang umumnya dipakai untuk membedakan dengan angina pektoris. Infark miokard biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang berlanjut pada pembentukan trombus (bekuan).

Pencegahan Penyakit Jantung Koroner


Penyakit Jantung Koroner disebabkan oleh beberapa faktor risiko. Perubahan sederhana pada satu atau lebih faktor risiko dapat mengurangi kejadian Penyakit Jantung Koroner .

Pencegahan primer Penyakit Jantung Koroner meliputi pengendalian pada faktor risiko utama seperti hipertensi, hiperkolesterolemia, merokok, dan aktivitas fisik. Metode pencegahan efektif lainnya seperti kontrol diabetes, mengurangi berat badan, dan mengurangi konsumsi alkohol.

Metode utama dalam deteksi dini Penyakit Jantung Koroner meliputi skrining terhadap hipertensi, kadar kolesterol, dan menilai faktor perilaku seperti kebiasaan merokok, pola makan, dan aktivitas fisik. Skrining rutin diabetes mellitus diantara populasi orang dewasa tidak dianjurkan. The American Diabetes Association menganjurkan skrining diabetes hanya pada orang-orang yang mempunyai faktor risiko terhadap diabetes seperti wanita hamil dan orang yang mempunyai gejala Diabetes mellitus dengan melakukan test gula darah puasa.

Skrining elektrokardiogram tidak dianjurkan untuk populasi umum tetapi hanya orang yang mempunyai risiko tinggi terhadap Penyakit Jantung Koroner yaitu pria yang berumur 40 tahun ke atas dengan 2 atau lebih faktor risiko (Smith & Pratt, 1993).

Epidemiologi Penyakit Jantung Koroner


Kelompok Risiko Tinggi

Sepanjang hidup, pria mempunyai risiko kematian lebih tinggi daripada wanita. Di Amerika Serikat, angka kematian Penyakit Jantung Koroner pada pria dua kali lebih tinggi daripada wanita. Kejadian Penyakit Jantung Koroner juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Diperkirakan 55% dari semua kejadian serangan jantung terjadi pada umur 65 tahun ke atas. Pada pria peningkatan kejadian Penyakit Jantung Koroner dimulai pada umur 35 – 44 tahun. Pada wanita peningkatan kejadian Penyakit Jantung Koroner terjadi setelah menopause.

Rasio kematian Penyakit Jantung Koroner lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih. Adanya riwayat keluarga yang menderita Penyakit Jantung Koroner juga meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner ( American Public Health Association , 1993). Penyakit Jantung Koroner lebih banyak mengenai golongan masyarakat sosial ekonomi menengah ke atas dibanding dengan golongan sosial ekonomi lemah (Bustan, 1997).

Distribusi Geografis

Di Amerika Serikat, rasio kematian Penyakit Jantung Koroner lebih tinggi di negara timur laut dan lebih rendah di negara barat. Studi WHO tahun 1985, rasio kematian yang tinggi akibat Penyakit Jantung Koroner terdapat di negara Inggris, Irlandia, dan beberapa negara Eropa timur. Sedangkan rasio rendah terdapat di negara Eropa Selatan, Perancis dan Jepang. (Smith & Pratt, 1993).

Penyakit Penyakit Jantung Koroner terdistribusi dalam masyarakat berdasarkan karakteristik masyarakat dan lingkungannya. Risiko Penyakit Jantung Koroner lebih banyak pada masyarakat negara berkembang daripada negara sedang berkembang, lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan (Bustan, 1997).

Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner


Menurut Last (2001) dalam Murti (2003), faktor risiko adalah perilaku, gaya hidup, paparan lingkungan (fisik, biologi, sosial, kultural), karakteristik bawaan maupun keturunan yang berdasarkan bukti-bukti epidemiologis diketahui memiliki hubungan dengan penyakit dan kondisi kesehatan sehingga penting untuk dilakukan pencegahan.

Definisi lain menyebutkan bahwa faktor risiko suatu penyakit adalah faktor-faktor yang diyakini dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit yang bersangkutan. Bobot risiko akan meningkat dan sifatnya tidak linier tetapi berganda. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ada kalanya faktor risiko yang satu mendorong adanya faktor risiko lain, misalnya merokok menyebabkan kadar kolesterol yang abnormal (Soeharto, 2004). Misalnya, jika seseorang memiliki satu faktor risiko maka kemungkinan serangan jantung meningkat 2-3 kali lipat; tiga faktor risiko meningkatkan risiko menjadi 8-10 kali lipat (Hull, 1996)

Ada berbagai macam faktor risiko penyakit jantung koroner, namun menurut American Heart Association , faktor risiko dapat dibagi menjadi tiga golongan besar diantaranya:

  • Faktor risiko utama, yaitu faktor risiko yang diyakini secara langsung meningkatkan risiko timbulnya Penyakit Jantung Koroner , misalnya kadar kolesterol darah yang abnormal, hipertensi dan merokok.

  • Faktor risiko tidak langsung ( contributing risk factor ), yaitu faktor risiko yang dapat diasosiasikan dengan timbulnya PJK seperti diabetes mellitus, kegemukan atau obesitas, inaktivitas fisik, konsumsi alkohol, kepribadian tipe A, pemakaian oral kontrasepsi, dan stres. Hubungan antara faktor- faktor risiko tersebut dengan Penyakit Jantung Koroner sering kali bersifat tidak langsung.

  • Faktor risiko alami, yaitu terdiri dari riwayat keluarga, jenis kelamin, suku, dan umur.

Sedangkan dalam kaitannya dengan upaya pencegahan kejadian penyakit jantung koroner, faktor-faktor risiko tersebut terbagi atas dua golongan besar. Kedua faktor risiko tersebut digolongkan menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Soeharto, 2004).