Apa yang Dimaksud dengan Pendidikan sebagai Produksi Sosial?

image

Salah satu pendekatan dalam sosiologi pendidikan adalah pendidikan sebagai produksi sosial.

Apa yang dimaksud dengan pendidikan sebagai produksi sosial?

Pandangan yang melihat pendidikan sebagai produksi sosial merupakan tesis dasar pendekatan sosiologi teori konfl ik. Bertolak belakang dengan pendekatan struktural-fungsional , teori konfl ik percaya bahwa masyarakat dipenuhi dengan persaingan dari kelompok-kelompok sosial yang memiliki aspirasi dan kepentingan yang berbeda, serta memiliki akses yang berbeda-beda pula terhadap kesempatan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesempatan mendapatkan pendapatan-pendapatan atau capaian-capaian sosialnya. Dalam pandangan tersebut, masyarakat merupakan hubungan yang diwarnai penindasan, pengisapan, eksploitasi, dan subordinasi.

Banyak para guru yang mengasumsikan bahwa murid-murid akan mengalami pengalaman kelas menengah di rumah, dan bagi sebagian murid asumsi ini sangatlah salah. Sebagaimana hasil penelitian B. Wilson dan J. Wyn dalam bukunya Shaping Futures: Youth Action for Livelihood (1987), sejumlah murid diharapkan membantu orangtuanya setelah pulang sekolah dan menjalankan tanggung jawab domestik. Tuntutan bagi anak untuk menjadi pekerja ini mempersulit mereka untuk mengerjakan PR yang diberikan oleh gurunya di sekolah dan situasi ini jelas memengaruhi hasil belajarnya.

Teori konflik secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi Karl Marx yang melihat pendidikan sebagai proses dan institusi sosial sebagai proses sosialisasi ideologi (cara pandang) penguasa, terutama kelas pemilik modal (kapitalis) dalam tatanan kapitalisme. Ada cerita lain lagi yang harus diketahui. Jauh sebelum berupaya dikomersialisasikan, subjektivisme kelas penguasa telah lama masuk melalui elemen-elemen pendidikan, seperti penyusunan kurikulum, proses pembelajaran, penilaian, dan pandangan tentang pengetahuan. Kurikulum, misalnya, adalah salah satu media yang sangat penting untuk mereproduksi cara pandang yang sesuai dengan kapitalisme. Semua sekolah kapitalis memiliki “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) untuk tujuan memaksakan ideologi kapitalis masuk kelas—sebagaimana dikatakan Henry Giroux:

“Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada normanorma, nilai-nilai, dan sikap di bawah sadar yang seringkali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi sosial di sekolah dan kelas. Dengan menekankan pada aturan konformitas, pasivitas,dan ketertundukan, hidden curriculum menjadi salah satu media sosialisasi yang kuat yang dapat berguna untuk memproduksi model-model pribadi yang siap menerima hubungan sosial dan sruktur kekuasaan yang sedang bekerja.

Sungguh tak dapat kita sangkal betapa pentingnya kurikulum. Kurikulum adalah yang menentukan pelajaran apa yang harus diberikan pada murid dan apa yang harus diajarkan guru. Hal itu juga akan menentukan apa yang dimasukkan pada pikiran anak didik dan guru, akhirnya juga pengetahuan apa dan macam apa (di mana keberpihakannya) yang harus diajarkan di sekolah. Menurut Paulo Freire dalam bukunya Education for Critical Consciousness, kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman peserta didik yang menjadi objek pembahasan dan praktik belajar-mengajar. Subjek materi dan proses belajar mengajar dalam kurikulum seharusnya bersumber dari dari realitas konkret keseharian peserta didik.

Kurikulum yang baik adalah yang berpusat pada problematisasi situasi konkret. Peserta didik bersama para pendidiknya memaknai berbagai macam persoalan seputar pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sebagai mediator, pendidik seharusnya berfungsi meyakinkan realitas yang diketahui oleh peserta didiknya, lantas secara bersama menganalisisnya sehingga peserta didik mampu membangun pengetahuannya secara kritis dan berakar dari pengalaman konkret.

Sayangnya, hal itu tak terjadi, dan kurikulum semacam itu benar-benar dijauhi oleh pendidikan kapitalis. Padahal, kita tahu dari Freire bahwa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis sekarang adalah bahwa kurikulum yang ada terputus dari kehidupan, berpusat pada kata-kata yang mewakili realitas yang ingin disampaikan, miskin aktivitas konkret, dan tidak pernah mengembangkan kesadaran kritis.

Bahkan, jika mau kita analisis secara jauh memakai pendekatan kelas Marxian, kurikulum kapitalis secara jelas berspektif kelas. Lebih dari tidak berdasarkan pengalaman konkret peserta didik, kurikulum dalam sekolah kapitalis telah membaca cara pandang dan cara berpikir berdasarkan kelas penguasa. Para peserta didik, yang berasal dari berbagai latar belakang, dipaksa untuk berpikiran satu dimensi atau bahkan dipaksa menjadi kelas kapitalis.

Tak terbantahkan lagi bahwa remaja-remaja kita yang belajar ilmu ekonomi, dipaksa seolah ia seorang kapitalis (pemilik modal). Dalam buku penulis yang berjudul Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, (Neo)Liberal, Marxis-Sosialis, Posmodern (2010), penulis bercerita tentang pengalaman penulis waktu menempuh pelajaran Ekonomi Koperasi yang penulis dapatkan sejak sekolah di SMP (Sekolah Menengah Pertama). Waktu itu, sebagaimana metode pelajaran mengondisikan kita untuk menghafal dan bukan untuk mengerti dan memahami, sebelum ujian harian penulis harus menghafal doktrin-doktrin ekonomi kapitalis.