Apa yang Dimaksud dengan Pendidikan Mitigasi Bencana Non Formal?


Untuk mendapatkan hasil guna yang efektif dalam program Pengurangan Resiko Bencana (PRB) secara fisik maupun nonfisik, pendidikan formal saja tidak akan cukup mengingat rumitnya masalah. Maka perlu juga pada ranah non formal.

Apa yang dimaksud dengan pendidikan mitigasi bencana non formal?

Secara fisik, bagian yang paling penting adalah membangun rumah tinggal yang layak, aman lokasinya, nyaman, dan berkelanjutan. Sebagai contoh, untuk bencana gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 korban meninggal lebih dari 6.000 jiwa karena tertimpa reruntuhan 180.000 unit rumah yang runtuh. Dengan demikian, program sosialisasi rumah yang layak dan tahan gempa merupakan prioritas utama bagi daerah yang rawan bencana gempa.

Program ini sudah pernah dilaksanakan dengan melatih para pengawas bangunan dan tukang bangunan dengan konsep membangun Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa (BARRATAGA). Program ini dilaksanakan atas bantuan pemerintah Jepang selama dua tahun (2006-2007) yang berlanjut dilakukan oleh instansi pemerintah terkait Dinas Pekerjaan Umum yang dimotori oleh Sarwidi (Sarwidi, dkk. 2007:17).

Secara nonfisik, misalnya psikologis, sosial, ekonomi personalannya jauh lebih rumit karena yang harus dibangun adalah sumber daya manusia (SDM).

Untuk daerah bencana karena sebab yang lain, misalnya ancaman banjir bandang pada pemukim di kawasan lindung bantaran sungai, letusan gunung berapi tidak ada solusi lain bagi penduduk pada Ring-I kecuali relokasi. Lokasi pemukiman yang terancam bencana dalam Ring-I tersebut memang tidak layak untuk pemukiman karena sangat membahayakan. Wilayah ini merupakan sempadan kawasan lindung bagi keberadaan dan fungsi sungai yang sangat penting bagi kehidupan, dan areal tampungan material dari erupsi Gunung Merapi.

Belajar dari dampak bencana yang terjadi, program PRB dengan pelaksanaan program mitigasi bencana menjadi kebutuhan yang wajib dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal karena masih banyak yang belum tersentuh pemahaman tentang mitigasi bencana.

Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Arti penting pendidikan mitigasi bencana dapat dilakukan secara formal melalui jalur pendidikan sesuai ketentuan pemerintah. Secara informal dapat melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, forum temu warga ataupun kelompok- kelompok komunitas yang difasilitasi instansi terkait sebagai pembina ataupun komunikator masalah kebencanaan.

Evaluasi siaga bencana yang telah ada menunjukkan belum ada standard operational procedure (SOP) atau petunjuk prosedur pelaksanaan yang baku secara nasional maupun regional. Perlu sistem komunikasi yang cepat dan akurat ketika terjadi bencana sebagai usaha untuk mengurangi resiko bencana. Dengan adanya kriteria jenjang resiko yang dihadapi normal, waspada, siaga, dan awas yang telah dibakukan, diperlukan penyeragaman secara nasional dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal. Hal ini diperlukan agar pencapaian informasi ke penduduk yang terancam bencana dapat cepat dan akurat.

Sistem komunikasi dan informasi modern tidak cukup untuk menjawab kebutuhan penduduk yang terancam bencana karena banyak yang tinggal justru lokasinya terpencil dan jauh dari fasilitas PRB. Sebagai contoh pemukim di kaki Gunung Merapi yang setiap saat dapat terancam bencana letusan, serta pemukim di pantai yang juga setiap saat dapat terancam bencana gempa dan tsunami. Dengan demikian, sistem informasi tanggap darurat tradisional, misalnya kentongan menjadi sangat penting untuk menyampaikan informasi akan datangnya bencana secara cepat dan luas. Sistem ini juga telah teruji, kentongan telah mampu menyampaikan pesan secara sambung-menyambung (tundan) dari Kota Yogyakarta sebagai pusat komando perlawanan terhadap pendudukan Belanda ke Banaran dan Samigaluh di Kulon Progo sebagai markas gerilyawan. Hasilnya gerilyawan dapat mengusir Belanda dari Kota Yogyakarta, pada 1 Maret 1949 yang menunjukkan kepada dunia bahwa Negara Republik Indonesia masih ada.

Kentongan telah teruji manfaatnya dan masih digunakan sebagai alat komunikasi yang menjadi bagian kehidupan masyarakat. Yang menjadi soal adalah belum ada keseragaman makna sandi yang digunakan dalam bilangan ketukan kentongan. Sebagai contoh, di Kota Yogyakarta (Prawirodirjan), 5 kali ketukan bertahap dimaknai keadaan aman, sedangkan di Kabupaten Bantul (Pleret) dimaknai ada pencurian hewan. Nampaknya, makna sandi kentongan baru sebatas kesepakatan komunitas lokal.

Dengan demikian, perlu ada penyeragaman makna sandi kentongan yang terkait PRB kapan normal (aman), kapan waspada, kapan siaga dan kapan awas. Minimal pada tingkat regional yang mempunyai kesamaan dalam menggunakan sandi komunikasi lokal dengan kentongan. Semua persoalan tersebut secara bertahap akan dapat tercapai secara optimal dengan melalui jalur pendidikan formal maupun informal.